22.6.20

Trip Intergalaksi

Selasa, 23 Juni 2020
03.22 dini hari
Kisah ini saya tulis begitu bangun tidur dari mimpi yang tidak akan pernah saya lupakan.

Mimpi yang plot ceritanya agak kompleks tapi saya coba buat alurnya sehingga saya paham maksudnya.



Awal mimpi saya sebenarnya masih ada, yaitu bergaul dengan beberapa host acara tv favorit yang tidak perlua saya sebutkan ya. Aneh memang. Mungkin karena lucu dam teringat terus jadi terbawa mimpi. Oke skip aja bagian itu. Lanjut ke inti saja.

***

Saat itu yang entah kapan terjadinya, saya melihat banjir besar tiba-tiba melanda rumah. Semacam banjir bandang yang datang tisak terduga. Aaya keluar rumah sendirian menuju taman depan rumah. Entah di mana anak istri saat itu saya tidak tahu. Banjir datanh cepat sekali sampai airnya sudah mengepung daerah rumah. Saya menuju sebuah bangunan sengan pilar-pilar besar. Saya mencoba memanjat tiap pilar untuk melompat tiap pilar berusaha menuju tempat tinggi. Tapi percuma, air besar yang mengejar tadi sudah melahap saya ke dalamnya.

Saya kemudian terbangun, entah dari ping san atau kematian. Di situ saya bersama seseorang yang entah siapa wajahnya tisqk nampak, tapi feeling saya orang itu ai Imron, teman kantor yang juga teman sepedaan kalau weekend. Dia menghampiri saya dengan bawa sebuah alat yang entah apa itu, menunjukan kalau darah menyusit dengan amat sangat cepat. Dijelaskan saat itu kalau itu adalah jenks penyakit baru yang membuat orang kehilangam darah dengan amat sangat cepat tanpa disadari yang dapat membuat siapapun yang terkena bisa mati mendadak. Lalu saya memandang alat deteksi itu dan ternyata saya terkena penyakit itu. Darah saya menyusut drastis dan tanpa sadar, scene kembali berpindah.

Kemudian saya berada di sebuah tempat yang saya yakini itu adalah masjid. Saya berjalan mengitari tamannya, berjalan lewat teras depan masjidnya, hingga ke ujung belokan. Dari arsitekturnya, seklias mirip sekali dengan masjid salman itb. Di ujung lorong itu saya berhenti dan duduk sebentar. Di situ masih mikir kejadian sebelumnya dimana saya dikejar banjir besar mirip tsunami. Mengerikan. Dalam lamunan itu, saya dikejutkan oleh suara seorang kakek nyeletuk dengan agak keras "sudah sore ya, bentar lagi malam". Lalu saya menoleh ke arahnya dan membalasnya "oh iya pak, tau dari mana?". Lantas ia menunjuk ke arah jam dinding yang twrpasang. Betul sekali, jam sudah menunjukkan pukul 17.05 entah waktu bagian mana.

Tak lama, datang rombongan orang berjalan ke arahku. Sekilas aku lihat itu adalah Ustadz Khalid Basalamah beserta para asistennya. Beliau menuju ke arahku karena ternyata saya duduk di sekitar mihrab/ area depan masjid. Ternyata itu jadwal ceramahnya beliau di masjid itu. Tapi entah apa yang disampaikan di ceramahnya, saya tiba-tiba diserang rasa penyesalan yang bertubi-tubi. Yang saya pikirkan saat itu, mungkim yang dikatakan kakek tadi artinya kalau dunia ini tinggal sebentar lagi. Waktu saya "berbenah diri" sebentar lagi. Setelah perasaan menyesal membuang waktu, saya tersungkur ke lantai hendak menangisi hal teraebut tapi air mata tak kinjung keluar. Saya tersungkur memejam mata. Scene berganti

Tiba-tiba saya erada di sebuah kendaraan yang entah apa itu. Seperti naik mobil bak tapi berjalan halus tanpa deru mesin. Di dalamnya banyak sekali penumpang yang tidak saya kenal. Ada seorang bule berpasangan, tapi saya berbicara lancar seolah kami mengerti bahasa satu sama lain. Lalu kendaraan melaju kencang melewati jalan mirip jalan tol namun di dalam tanah. Lorongnya disinari lampu-lampu TL (lampu neon). Di sebelah jalan ada trotoar lalu pembatas jalan yang terbuat dari plat besi. Mirip-mirip pembatas jalan yang digunakan polisi ketika mengatur lalin.

Di perjalanan yang entah ke mana itu saya ngobrol sengan beberapa penumpang. Entah apa obrolan itu saya lupa. Mendadak lupa beberapa hal. Dari kolong pembatas jalan sesekali saya lihat kendaraan lain lewat. Ya mobil umum lah ya kendaraan polisi atau ambulance lah. Tapi semua penumpang hanya diam melihat lalu lalang kendaraan itu. Mirip sekali di jalan tol. Tak lama, kendaraan berhenti menaikkan seorang peumpang. Saya tidak kenal. Lalu berjalan lagi dan menaikkan penumpang lagi. Terus begitu seolah-olah kapasitas kendaraan ini tak terhingga. Lalu sayang senang bukan kepalang, om saya (mang hana) dan istrinya (bi ema) masuk kendaraan yang saya tumpangi. Tidak lama melanjutkan oerjalanan, ada ibu juga masuk trayek yang sama. Kemudian bertemu istri. Saya menunggu-nunggu apakah bertemu anak, adik saya dan vapak saya. Saya terus menunggu dengan harap-harap cemas. Sampai kendaraam berhenti, anak saya ghazia, adik dan bapak tisak masuk rombongan kami. Sedih rasanya. Dalam benak langsung terpikirkan apakah saat itu artinya mereka "masih hidup" di dunia? Belum saatnya naok kendaraan ini? Atau yang saya takutkan mereka dijemput kendaraan lain yang entah mengarah tujuan yang sama atau tidak. Gelisah sekali. Di penghujung jalan, kendaraan melipir sedikit entah ada apa. Supirnya pun saya tidak tau siapa. Saat-saat menunggu seperti itu, saya diajak jalan keluar oleh si bule yang tadi pertama kali bertemu. Dia lompat dari kendaraan seperti seseorang yang lompat dari gervong kereta ketika munggu kereta lain lewat di sebuah stasiun. Saya lalu diajak jalan sedikit ke arah belakang. Di sana hanya ada pembatas jalan yang secara logika bisa dengan mudah digeser. Saya diajak ke arah pembatas jalan yang agak sedikit terbuka. Lalu saya kaget dengan apa yang saya saksikan. Mendadak ada seseorang yang berlari ke arah mobil  yang sedang bergerak kencang. Dia coba menabrakkan diri tapi mobil tersebut bisa berhenti mendadak. Mereka berkata satu sama lain tapi saya tak bisa mendengar apapun. Bahkan untuk menolong ke arah tkp saya tidak bisa lewat padahal celah pembatas jalan sangat terbuka lebar. Seperti ada barrier tak kasat mata. Si bule yang mengajak saya tadi cerita. Ternyata itu adalah pemandangan dunia saat ini. Orang-orang memilih untuk mati saja daripada hidup. Kesulitan hidup yang amat sangat berat dialami manusia saat itu sampai-sampai orang lebih ingin mati saja daripada hidup.  Saat ai bule cerita itu, tiba-tiba nampak sebuah layar di sebelah tkp. Semacam layar presentasi power point yang ditembakkan proyektor. Di sana banyak sekali visual penyiksaan orang-orang, pembuhunan, ketidakadilan, dan kondisi-kondisi buruk lainnya yang tidak bisa saya ceritakan di sini. Tapi semua itu jelas sekali. Tak lama menyaksikan itu, saya pindah ke kendaraan lagi.

Dalam kondiai menunggu keberangkatan berikutnya, saya dikabarkan bahwa anak saya ditemukan tapi dalam wujud lain, bukan manusia. Dia aman dalam sebuah kotak yang ditaruh di bagasi. Aneh sekali. Saya mencoba membukanya tapi begitu hampir bisa dibuka, scene berganti.

Saya tiba di sebuah daratan luaaaaassss sekali. Awan biru tidak berbatas. Tanpa awan tanpa terik matahari yang menyengat. Saya melihat sebuah pusat perbelanjaan semacam mall. Di ssana saya diberi saldo untuk berbelanja. Di situ saya belum tau kalau ternyata saldo belanja yang diberikan ke tiap orang itu berbeda.

Di dalam mall itu, saya bertemu beberapa public figure yang sering terlihat di media tv, youtube, atau kanal-kanal hiburan lain. Saya mendekati mereka karena saya pikir mereka satu ras, ya gitu kan kalau lagi terdampar di negara asing, manusia serumpun ibarat satu ibu. Untungnya, respon merka ramah. Mereka mengajak saya berbelanja dengan sangat cepat. Saya heran,, kenapa cepat2?

Saya petik buah anggur dari pohonnya langsung. Petik banyak sekali lalu masuk ke keranjang belanja. Di sana banyak sekali manusia sibuk memetik buah dan berbelanja ini itu tapi tidak ada kontak fisik sama sekali. Padat tapi gak crowded sama sekali. Saya sih santai-santai saja belanja saat itu. Sambil lihat-lihat kanan kiri, pilih2 barang mana yang hendak saya masukkan keranjang. Eh di akhir-akhir slot waktu belanja, batu muncul peringatan kalau waktu belanja habis dan sudah saatnya lanjut perjalanan. Saya panik, mencoba mengambil ini itu tapi bukan kebutuhan perjalanan jauh. Karena saya pun tidak tau rombongan ini mejnu ke mana. Saya sendirian walaupun tadi bertemu anggota keluarga lain. Benar-benar sendiri.

Sayup-sayup suara adzan subuh awal. Saya terbangun dari tidur. Melek sebentar lalu menuliskan cerita ini.


Pukul 04.31 WIB kisah ini selesai saya tulis semampu saya ingat. Semoga jadi renungan pribadi dan siapa saja yang tidak sengaja lewat di tulisan ini. Dah. Subuhan dulu

27.2.19

Ayah Pembelajar

Baru saja pulang agak larut, jam 20.32 karena meeting kerjaan sampingan sepulang les bahasa arab. Saat pintu rumah dibuka, ada mata-mata kecil yang mulai terlelap dalam tidurnya. Dia, Ghazia, anakku, anak 4 bulan yang seringkali melewatkan detik-detik menuju tidur lelap tanpa memandang bapaknya. Padahal dulu cita-citaku, tanpa skip semalam menemani anak sampai dia tidur. Challenge failed.

Ada hal prinsipal yang saya pegang dalam menjadi ayah. Namun hal ini tidak perlu dijadikan standar. Siapapun punya gaya masing2 dalam menjadi orang tua. Lagipula, saya belum layak memberikan saran, petuah kata2 bijak seolah saya sudah berpengalaman puluhan tahun dalam hal parenting ini, seperti influencer lain yang usia pernikahan muda sudah sangat bisa memberi influence positif bagi calon ayah dan calon ibu followersnya. Saya ini masih ayah pembelajar. Pembelajar mengenal istri terus menerus, pembelajar mendidik anak terus-menerus. Salah satu hal prinsip ini tentang waktu membersamai buah hati.

Setiap ditanya teman kantor atau tetangga : "Anakmu sudah bisa apa?" Saya jawabnya variasi sesuai aplikasi aja bang. "Sudah bisa bikin bapaknya telat ngantor" kubilang. Karena kalau pagi-pagi sudah bangun, saya mandiin sebelum berangkat kantor. Atau pernah saya jab "Sudah bisa bikin emak bapaknya bahagia". Bahagia punya anak, terutama anak perempuan adalah, bapaknya itu cinta pertama anak perempuannya, begitu katanya. 


Bagi saya amat penting menemani tumbuh kembangnya. Karena anak hanya tau saya sebagai ayahnya, bukan pekerja, bukan aktivis, bukan guru, bukan siapapun kita dikenal di luar sebagai apa. 

***

Dan tentang berlaku adil, perihal membagi cinta, itu tugas berat. Dan bagi para bapak pembelajar, ujian ini datangnya setiap hari, bersamaan dengan ujian sabar. Kalau seorang bapak punya 100% cinta, dan harus membagikan pada ibunya, istrinya, dan anak-anaknya, maka pembagiannya bukan 100 / 3 sama rata. Jadi misalnya 33,3% untuk ibu, 33,3% untuk istri, dan 33,3% untuk anak. Bukan itu. Tapi 100% untuk ibu, 100% untuk istri, 100% untuk anak. Sudah seperti itu? Saya belum, dan masih sangat jauh. Bahkan terkadang, 3 bidadari-bidadari itu rela mentolerir kekurangan saya dalam memberi persenan cinta. 


***







26.2.19

Continuum

Baru tersadar, ternyata kemampuan untuk bersyukur lah yang harus lebih banyak disyukuri. Iya, ssebenarnya kita ini bisa mengucap terima kasih, bersyukur pada yang memberi, tapi lebih banyak yang enggan. 

Akhir-akhir ini saya kembali merenungkan tentang eksistensi diri yang dikembalikan pada fitrahnya manusia. Tentang tujuan hidup, dan rekam jejak selama ini apa nilainya bagi kehidupan setelahnya. Lalu saya kembali menemukan sebuah topik yang menjadi taman bermain pikiran saya untuk menemukan komposisi terbaik sebagai solusinya. Dan di sinilah muara taman bermain pikiran saya berlabuh.

Ada stigma yang berkembang dan terus menerus dibiarkan di masyarakat bahwa : extrovert lebih baik/lebih keren/lebih lebih daripada introvert. Karena ekstrovert biasanya memiliki kepribadian yang terbuka dan senang bergaul, serta memiliki kepedulian yang tinggi terhadap apa yang terjadi di sekitar mereka. Sementara introvert, di sisi lain, dianggap mendapatkan energi lewat menyendiri. Introvert, biasanya cenderung pendiam, suka merenung, dan lebih perduli tentang pemikiran mereka dalam dunia mereka sendiri.

Itu saja yang sampai sekarang bercokol di pikiran banyak orang. 

Lalu muncul pertanyaan "Apakah iya introvert itu salah dan bener-bener bisa dibilang anti sosial? Apakah ketika seseorang punya karakter yang tidak mau mencampuri urusan orang lain itu menjadi salah? Dan sangat diharuskan menjadi sosialis? Seakan orang sosialis lebih baik dibanding anti sosialis? Apakah salah menjadi apatis?

Dan petualangan nalar pun dimulai.

***

Satu waktu saya menemukan penilaian orang lain berbeda-beda mengenai diri saya. Pernah dikata extro karena senang aktif sana sini. Pernah diduga intro karena sering diam. Nah saya pun tidak mengklaim saya di posisi mana. Karena begini...




Kubu-kubuan I & E ini sudah dikenalkan dari tahun 1921 di buku Psychologische Typen karya Carl Jung. Di-bahasa inggrisin sama H.G. Bayden. Inti dari buku itu gini : Gak ada yang 100% Extro dan vice versa, 100% Intro itu gak ada. Yang ada adalah kecenderungan. Jadi, to the point saja, pendapat saya soal apakah si E lebih baik dari I karena dia talkative, energik, banyak teman? Jawabannya tidak. Dan kalau ditanya balik, Kalo gitu I lebih baik dari E, jawabannya juga tidak. Apakah ada kubu netral si Ambivert? Saya jelaskan berdasarkan penjelasan Mbah Jung di bukunya psikososikridipapap itu.





Kekeliruan yang sekarang ini ramai adalah membandingkan sifat Extro dan Intro yang gak Apple to Apple (GAK SEKUFU/GAK SEPADAN) konteksnya. Contohnya begini : 


Kenapa menilai sesuatu baik/buruk dari kuantitas saja? Bukankah ada kualitas?
Si E berteman banyak, sedangkan si I tidak banyak teman. Apakah salah? Menurut saya, judgment seperti itu kurang adil. Apakah beras kutuan 1 ton lebih baik dibanding beras bulog 1 kilo? Maka dari itu, ada variabel lain bernama KUALITAS. Si E mungkin gak  pilih-pilih teman, siapa saja asal energi jiwana penuh, dia banyak membuka hati. Si I mungkin pilih-pilih teman, karena tidak mau gegabah memilih teman. Intinya, baik E dan I, kedua tipe sama-sama punya interaksi sosial. Yang salah adalah menilai si E yang terlalu bergaul bebas, atau menilai si I yang tak punya teman. Itu yang keliru.


Juga soal proses aktualisasi diri. Si E yang cenderung senang bicara, talkative, senang jika dirinya menjadi pusat perhatian. Seangkan si I, yang senang membaca buku dan jauh dari hingar bingar keramaian. Sekali lagi, nilai juga kualitasnya. Si E dinilai point pembicaraannya, faedahnya kalau kata netizen sekarang. Si I dinilai dari pemikirannya, ide-idenya, karena bagi seorang Intro, butuh proses lebih lama dalam hal menggodok kalimat sebelum disampaikan agar yang keluar benar-benar ada bobotnya.

Pun dalam hal lainnya. Aktivitas indoor/outdoor, komunikasi, dan yang daritadi dibahas di prolog adalah sosialisasi. 





Membandingkan yang adil itu, sekali lagi, harus Apple to Apple. Apel yang sama habitat hidupnya malah lebih fair. Apel malang ya sama apel malang. Menilai kemampuan bersosialisasi antara si Intro dan Extro pun harus sebanding pertanyaannya. Jika si E dianggap mampu berteman/menjalin relasi dengan Pak Broto, misalnya, maka si I juga mampu berteman/menjali relasi dengan Pak Broto. Perbandingannya ada pada proses si E dan si I yang berbeda, dan pada akhirnya keduanya mampu 'berkenalan/berteman/bersosialisasi'. Perbedaannya, ada pada kacamata I dan E. umumnya si Intro bakal nyaman dengan circle yang menurut mereka punya quality of life yang mendekati mereka, baik dari idealisme, hobby, bahasa, budaya, background pendidikan, dll. Karena mereka menganggap sangat penting melingkari diri dengan lingkungan yang se-frekuensi. Lalu hal umum pada si E, mereka cenderung mau membaur lebih dulu dengan siapapun, tanpa melihat dulu background asalnya. Kemampuan talkative yang memukau membuatnya nyaman menjadi pusat perhatian dalam satu circle. Dua-duanya melakukan hal itu dengan tujuan sama : Soul Recharge.

Pointnya, baik Introvert maupun extrovert, bisa juga sama-sama cerewet, bisa sama-sama pendiam, bisa sama-sama bersosialisasi, bisa sama-sama punya banyak teman, betapa senangnya...beetapaa...bahagianya..



FAQ:


Q1. Apakah kecenderungan introvert ini, selamanya bakal jadi introvert dan gak bisa berubah? Dan sebaliknya, apakah extrovert selamanya gak bisa berubah?

A1 : Seperti Mbah Jung bilang, dan dibuatkan album pula sama om John Mayer, manusia itu Continuum, antara Introvert dan Extrovert. Artinya, bisa cenderung ke E, juga cenderung ke I. Tergantung kondisinya dia menghadapi apa.

Q2 : Apakah kecenderungan di tengahnya disebut Ambivert?

A2 : Bukan. Karena, kalau dalam satu situasi, dia cenderung ke E, maka akan bersebrangan dengan I. Kalau kamu ke Barat, pasti menjauh dari Timut. Dan, ambivert bukan diklaim oleh diri sendiri supaya dapat pengakuan orang lain bahwa dia punya kelebihan di E dan I secara seimbang. Imposibru itu. 

Q3 : Orang sosialis lebih baik daripada orang anti sosial? Kalau ini Iya. Anti sosial bukan introvert. Ada pula yang Extrovert yang anti sosialisasi. Yang menjadi salah adalah, seseorang yang tidak berperan menurut sikap jiwanya ketika situasi sekitarnya membutuhkannya. Misal, tetangga yang sakit apa etis untuk dibiarkan? Coba pakai kacamata humaniora, kemanusiaan. Mau dia introvert, mau extrovert, kalau menyadari perannya sebagai MANUSIA yang berperikamanusiaan, pasti ada sikap. Bedanya, extrovert akan menjenguk dengan banyak bertanya, kenapa sakit, kenapa ini kenapa itu, diceritakan ke tetangga lain, tapi kalau kelewatan suka bikin gosip. Sedangkan introvert, lebih sensitif, ikut tenggang rasa, akan menjenguk diam-diam, membantu sebisanya, bertanya seperlunya saja. kalau itu tetangga dekat, apapun yang dia lihat atau dengar pasti jadi pikiran berlarut larut sampai ngeganggu dirinya sendiri. Saking sensitifnya, kalau ada hal yang berseberangan jauh dengannya, dia akan balik 180 derajat mengeluarkan jurusnya yaitu cuek.




Ini sebabnya saya kurang suka memakai kosakata kekinian untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, baik konteksnya serius atau candaan. Ada kata-kata baru yang secara tidak sadar bisa mencederai satu individu dalam kehidupan sosialnya. Bagi seorang Introvert, yang sangat sensitif, perlu diksi kata yang lebih hati-hati ketika berinteraksi dengannya. Harus memainkan emosi, intonasi, mimik wajah, karena mereka tipe pendengar yang baik. Sedangkan bagi extrovert, kemampuan memilik diksi kata tidak terlalu sulit karena umumnya mereka juga ceplas ceplos. Tapi keduanya  sama saja. Jika terasa ada yang mencederai aktualisasi dirinya di dalam satu circle, jadinya bukan charging, tapi drowning. Ketika energi yang diharapkannya tidak terkumpul terus menerus dalam satu circle, maka keduanya akan keluar, dan akan kembali lagi jika circle di dalamnya ada yang menarik dengan juga memberikan tawaran ngecharge energinya kembali. Ribet amat tulisan guaa...

***

Dengan dibuatnya tulisan ini, saya ingin membuka wawasan dan memberi semangat pada semua manusia yang masih punya jiwa, untuk tidak perlu merasa dikotak-kotakkan oleh orang lain. Atau merasa tidak berguna karena salah satu sikap jiwa kita. Introvert tidak perlu merasa minder tidak memiliki banyak teman seperti extrovert. Introvert pun bisa berteman bahkan dengan kualitas teman-teman yang lebih cocok dengan dirinya. Extrovert tidak perlu merasa terlalu kepo, terlalu banyak bicara dibanding introvert. Extrovert pun bisa menjadi influence yang baik jika diarahkan untuk memberi manfaat untuk orang lain.

Dengan tulisan ini pula, karakter I dan E menjadikan manusia punya referensi bagaimana mengisi baterai jiwa yang habis. Entah dengan membaca buku, mendaki gunung, menjadi aktivis sosial, public speaker, dan masih banyak hal positif lainnya.

Bukanlah tugas saya menilai seseorang lebih baik dari kecenderungan sikap jiwanya. Terkadang kita hanya melihat dzohirnya, apa yang nampak di permukaan saja, dan tidak tahu di balik permukaan itu seperti apa. Dan istilah Introvert Extrovert ini juga bukan untuk mengkategorikan manusia pada profesi, minat, bakat, yang akan dikejar di masa depannya. Tidak benar menyimpulkan kalau Extrovert akan menjadi pemimpin besar dan Introvert akan menjadi budak zaman. Sejarah-sejarah banyak membuktikan bahwa banyak pemimpin yang mengklaim dirinya introvert malah menjadi pemimpin besar dunia, seperti Mahatma Gandhi. Tidak benar pula menyimpulkan extrovert tidak ada potensi menjadi pemimpin. No. Bergantung sikap jiwa-nya dalam setiap situasi yang ia hadapi.



***


Ibarat charging handphone, maka jiwa manusia juga, menurut Mbah Jung, perlu di-recharge. Dan karakter manusia yang membuatnya memutuskan memilih sikap jiwa ke luar (extro) atau ke dalam (intro). 

11.12.18

Sensasi dibungkus Gimmick

Kontestasi politik tahun ini mempertontonkan adu akal sehat. Tidak usah marah kalau negara ini dilabeli negara yang tertinggal 150 tahun. Entah darimana angka itu didapat, tapi label "tertinggal" memang harus diakui dan dijadikan cermin, ngaca! 


Dari momen-momen pemilu yang masih prematur ini saja, banyak orang yang terbawa pada hal-hal yang konyol saja. Saya tidak hanya bicara soal 2 calon presiden, lebih ke tingkat grass-root, melihat para caleg memaparkan visi dan misinya saja sudah nampak kalau politik demokrasi Indonesia masih belum dewasa. Dalihnya mau meraup suara wong cilik, maka mencari sensasi dengan permainan kata-kata yang standar kasta tersebut dan gimmick yang, maaf, kampungan. Dalihnya mau meraup suara millenials, usia muda dan produktif. Lalu sensasi yang dilakukan adalah dengan gimmick motor, jaket kulit, atau campaign content yang berwarna-warni tralala-trilili dibalut bahasa kekinian yang justru memperliatkan kalau dia cacat linguistik. Bahasa Nasional aja blepotan apalagi dibawa ke kancah dunia? Kalau kekonyolan demi kekonyolan ini muncul dari timses, yang sebelumnya hanya simpatisan, asal mau kerja lalu bertarung dengan jargon andalan, maka yang jadi adalah perang tokoh, memenangkan sosok, kepentingan, bukan lagi urusan cakupan wilayah yang ia wakilkan. Visi dan misi sudah tidak lagi digubris. Sama-sama niat baik tapi karena itu tadi, para pelaku kontestasi politik ini sebagian kecil pakarnya, sebagian besar preman.


***



Masalah ini muncul karena visi dan misi bernegara yang sebelumnya di-scrutinize (ditelaah, digodok, dan dicek kematangannya) oleh kalangan yang kritis berdasarkan ilmu, sekarang malah langsung dilempar ke publik yang kritis tapi berdasarkan nafsu. Media sosial menyediakan peluang itu. Jadinya, tafsir masyarakat awam politik hanya menjudge tokoh. Coba lihat sekarang, satu kesalahan kata saja bisa dijadikan counter oleh publik yang bersebrangan. Padahal hanya masalah kata, tanpa ditelusuri lebih lanjut maknanya. Karena bisa jadi itu bernada majasi, metafor, hiperbol, dan perumpamaan lainnya yang jika diartikan seara gamblang, itu bukan hal penting-penting amat. 

Kenapa salah kalau langsung dilempar ke publik? Karena heterogeneity thinking yang ada di sana terlalu luas. Begini misalnya, orang lulus SD dengan lulusan SMA, punya pola pikir berbeda. Kalau dilibatkan langsung dalam penggodokan dan penilaian calon presiden, mereka akan kritis sesuai ilmu yang pernah didapatnya sejauh ini, meskipun usia bisa sama. Proses pendewasaannya berbeda. Lantas siapa yang lebih mendingan untuk proses scrutinize ini? Saya bilang lebih mending karena belum tentu ini opsi terbaik, tapi pasti lebih baik daripada dilempar ke publik.

Masukkan program kampanye ke kampus-kampus. Karena di sana, calon negarawan akan diuji kematangan pikirannya dengan landasan ilmu yang jelas tersedia di kampus. 

Kalau ada yang bilang, karakter masyarakat Indonesia memang senang sensasi dan gimmick, harusnya jangan melayani masyarakat dengan kekonyolan serupa, karena pemimpin bukan untuk menghibur penumpang dengan sensasi-sensasi ataupun gimmick lewat blusukannya, tapi memimpin kapal ke tujuan akhir. Untuk masyarakat, kalau terus menerus dilayani dengan kekonyolan, maka akan terus menerus tidak bisa tumbuh dalam percakapan demokrasi khusunya dalam negeri, apalagi luar negeri. Bisa diketawain.

Terlihat kalau pola kampanye calon-calon negarawan saat ini hanya untuk menarik perhatian publik. Tapi mereka rakus, inginnya semua kalangan. Mereka lupa kalau mencari sensasi melalui gimmick itu sama seperti tayangan televisi. Tidak semua orang berselera sama pada talkshow receh. Padahal di negara-negara berkembang, cara mencari perhatian publik dalam kontestasi politik itu dengan meminta diuji pikiran para calon tersebut di kampus-kampus.

***



Saya terpaksa menyebut jenjang pendidikan, karena hal ini menjadi salah satu faktor pola berpikir di masyarakat Indonesia pada umumnya. Para sarjana akan lebih mampu kritis mengenai konsep menjalankan negara karena mereka kritis pada hal-hal fundamental dan essentials dibandingkan mereka yang SMP saja tidak mau lulus. Nah mereka ini yang belum beruntung mengecap jenjang pendidikan tinggi, akan melihat seorang negarawan itu "menjalankan tugasnya", itu dinilai dari hal-hal yang nampak saja, seperti infrastruktur, pemberian bantuan, blusukan, masuk got, dan sebagainya. Padahal, executive itu fungsinya lebih banyak pada pembuatan kebijakan, rancangan undang-undang, delegasi, dan banyak fungsi lain yang bukan harus tampil.

***


Bicara lagi mengenai campagin/kampanye, yang saat ini mulai ramai. Kalaulah setiap calon, baik dari level DPRD Kota/Kabupaten hingga level presiden, itu masuk ke ranah kampus, kampanye di sana, atau pemaparan visi misi saja, saya yakin kebanyakan jargon hanya enak didengar tapi tidak enak didiskusikan, karena percuma, itu hanya jadi bahan tertawaan saja. Kalau diperiksa seluruh indikator pertumbuhan negara, dibandingkan dengan apa yang nampak di media melalui sensasi-sensasi dan gimmick-gimmick yang ada, itu justru memburuk. Cadangan devisa terkuras, neraca perdagangan defisit, jumlah penganggruan bertambah, angka kemiskinan meningkat, dan kegagalan-kegagalan lainnya yang dicoba ditutup-tutupi melalui sensasi konyol saja. Misalnya saja, dari kubu petahana, mereka mau sulap, menutup infografis tersebut, tapi bagi orang-orang yang berpikir, yang mempunyai metoda dan landasan ilmu yang didapat lewat jenjang pendidikan tinggi, melihat bahwa ada yang palsu di situ. Sedangkan dari kubu oposisi, visi dan misi penyelesaian masalah negara masih belum teruji kematangannya karena belum melalui orang-orang tadi, yang memiliki metoda dan landasan ilmu yang cukup untuk dikritisi dan tukar tambah pemikiran. Padahal politik adalah tukar tambah gagasan, tukar tambah ide, dan proses tukar menukar itu hanya ada di kampus. Kalau selesai di kampus, bolehlah dibawa ke talkshow, dipaparkan ke publik, supaya tidak ada misleading dalam penafsiran konsep bernegara yang sesuai aturan. 

Sekarang kan malah semua orang bicara sekehendaknya, sepemikirannya, lebih parahnya tanpa landasan ilmu yang kuat. Jadilah politikus freestyle. 

10.12.18

Semiotika Identitas

Harusnya kegelisahan ini dikeluarkan oleh seseorang pakar desain komunikasi visual yang puluhan tahun menekuni bidang tersebut terutama yang spesifik pada cabang ilmu semiotika yang menelaah makna di balik suatu gambar, icon, karakter, dan segala aspek visual lain. Tapi saya lihat belum ada tulisan yang meluruskan cara berpikir melalui metodologi yang satu ini.

***

Desain komunikasi visual, saya permudah pemahamannya menjadi berkomunikasi, ngobrol, interaksi, melalui media-media yang bersifat visual, dilihat oleh mata, tanpa suara, tanpa media lain. Ngobrol pake gambar. Itu singkatnya. Ada lagi lebih detail bahas ini yakni cabang ilmu semiotika, semiotics. Gak ngerti bagian ini? Skip aja.

Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda. Tanda-tanda tersebut menyampaikan suatu informasi sehingga bersifat komunikatif. Keberadaannya mampu menggantikan sesuatu yang lain, dapat dipikirkan, atau dibayangkan. Cabang ilmu ini semula berkembang dalam bidang bahasa, kemudian berkembang pula dalam bidang desain dan seni rupa. 

Semiotika berasal dari kata Yunani semeion, yang berarti tanda. Ada kecenderungan bahwa manusia selalu mencari arti atau berusaha memahami segala sesuatu yang ada di sekelilingnya dan dianggapnya sebagai tanda. Penjelajahan semiotika sebagai metode kajian ke dalam berbagai cabang keilmuan-dalam hal ini desain komunikasi visual dimungkinkan, karena menurut Yasraf A. Piliang ada kecenderungan untuk memandang berbagai wacana sosial sebagai fenomena bahasa. Artinya, bahasa dijadikan model dalam berbagai wacana sosial. Bertolak dari pandangan semiotika tersebut, jika seluruh praktik sosial dapat dianggap sebagai fenomena bahasa, maka semuanya–termasuk karya-karya desain komunikasi visual - dapat juga dipandang sebagai tanda-tanda. Hal itu dimungkinkan karena luasnya pengertian tanda itu sendiri. 

Ferdinand de Saussure merumuskan tanda sebagai kesatuan dari dua bidang yang tidak bisa dipisahkan - seperti halnya selembar kertas - yaitu bidang penanda (signifier) atau bentuk dan bidang petanda (signified): konsep atau makna. Berkaitan dengan piramida pertandaan ini (tanda-penanda-petanda), Saussure menekankan dalam teori semiotika perlunya konvensi sosial, di antaranya komunitas bahasa tentang makna satu tanda. Jadi kesimpulan Yasraf berdasar rumusan Saussure adalah satu kata mempunyai makna tertentu disebabkan adanya kesepakatan sosial di antara komunitas pengguna bahasa tentang makna tersebut. 

Sementara itu, Charles Sanders Pierce, menandaskan bahwa kita hanya dapat berpikir dengan medium tanda. Manusia hanya dapat berkomunikasi lewat sarana tanda. Tanda dalam kehidupan manusia bisa tanda gerak atau isyarat. Lambaian tangan yang bisa diartikan memanggil atau anggukan kepala dapat diterjemahkan setuju. Tanda bunyi, seperti tiupan peluit, terompet, genderang, suara manusia, dering telpon. Tanda tulisan, di antaranya huruf dan angka. Bisa juga tanda gambar berbentuk rambu lalulintas, dan masih banyak ragamnya. 

Merujuk teori Pierce, maka tanda-tanda dalam gambar dapat dilihat dari jenis tanda yang digolongkan dalam semiotik. Di antaranya: ikon, indeks dan simbol. Ikon adalah tanda yang mirip dengan objek yang diwakilinya. Dapat pula dikatakan, tanda yang memiliki ciri-ciri sama dengan apa yang dimaksudkan. Misalnya, foto Sri Sultan Hamangkubuwono X sebagai Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat adalah ikon dari Pak Sultan. Peta Yogyakarta adalah ikon dari wilayah Yogyakarta yang digambarkan dalam peta tersebut. Cap jempol Pak Sultan adalah ikon dari ibu jari Pak Sultan. 




***

Sejak awal sejarah terciptanya manusia di alam raya ini, komunikasi antar manusia adalah bagian yang paling penting dalam kehidupan. Selain kata-kata, unsur rupa sangat berperan dalam kegiatan berkomunikasi tersebut. Menurut AD Pirous, komunikasi visual (KV) yang dalam bentuk kehadirannya seringkali perlu ditunjang dengan suara-pada hakikatnya adalah suatu bahasa yang tugasnya membawakan pesan dari seseorang, lembaga, atau kelompok masyarakat tertentu kepada yang lain.

Sebagai bahasa, maka efektivitas penyampaian pesan melalui KV tersebut menjadi pemikiran utama seorang pendesain komunikasi visual. Untuk itu, sang desainer haruslah: pertama, memahami betul seluk beluk pesan yang ingin disampaikannya. Kedua, mengetahui kemampuan menafsir, kecenderungan dan kondisi, baik fisik maupun jiwa dari manusia kelompok masyarakat yang menjadi sasarannya. Ketiga, harus dapat memilih jenis bahasa dan gaya bahasa yang serasi dengan pesan yang dibawakannya, dan tepat untuk dapat dibicarakan secara efektif (jelas, mudah, dan mengesankan) bagi si penerima pesan. Komunikasi visual sebagai suatu sistem pemenuhan kebutuhan manusia di bidang informasi visual melalui lambang-lambang kasat mata, dewasa ini mengalami perkembangan sangat pesat. Hampir di segala sektor kegiatan, lambang-lambang, atau simbol-simbol visual hadir dalam bentuk gambar, sistem tanda, corporate identity, sampai berbagai display produk di pusat pertokoan dengan aneka daya tarik.

Sekarang ini banyak terjadi shifting pemahaman penerimaan pesan, atau salah tafsir pesan yang disampaikan karena itu tadi, Komunikasi berbentuk visual masih harus ditunjang dengan suara-suara, intonasi, pitch, dan lain sebagainya agar maksud pesan tersebut sampai dengan menafsiran yang sama.

***

Masuk ke identifikasi masalah utama, kenapa sekarang ini sangat berisik soal Bendera HTI? Apakah bisa menjudge sebuah kelompok dari semiotik yang tercantum dalam logonya saja? Saya gusar karena saya merasa pihak-pihak yang bodoh dan konyol menyudutkan orang-orang yang tidak terlibat dalam ormas tersebut dan dipandang sebelah mata di masyarakat. Seolah-olah ada sanksi sosial yang diterapkan. 




Bendera, menurut Wikipedia, adalah sepotong kain atau kertas segi empat atau segitiga (diikatkan pada ujung tongkat, tiang, dan sebagainya) dipergunakan sebagai lambang negara, perkumpulan, badan, dan sebagainya atau sebagai tanda; panji-panji; tunggul:sering dikibarkan di tiang, umumnya digunakan secara simbolis untuk memberikan sinyal atau identifikasi. Hal ini sering juga digunakan untuk melambangkan suatu negara untuk menunjukkan kedaulatannya. Nah mempelajari makna dan arti bendera juga ada studi khusus yang dikenal sebagai Vexillology.

Tapi saya bukan mau menjelaskan apa itu velove vexia itu. Ini buah keresahan saya melihat orang-orang netizen banyak omong soal bendera hti, pki, arab saudi, opm, dan lain-lain dan langsung mendakwa orang lain merupakan bagian dari ormas-ormas atau kelompok-kelompok tertentu. Dangkal.

Step 1. 
Ini contoh mudah dan bisa dipahami bahkan anak SD sekalipun. Ada bendera Australia, yang merupakan identitas bangsa. Sebelah kanan bendera Panda Tours Australia. Kenapa disebut bendera? Karena sudah dicetak pada kain berbentuk persegi atau persegi panjang dan dipasang pada tiang. Apakah Panda Tours = Australia dan Australia = Panda Tours? Jelas beda. Karena identitas yang diwakili itu berbeda. Jelas, bong?




Step 2.
Ini pun sama. Selandia Baru bukanlah Inggris Raya dan Inggris Raya bukan Selandia Baru. Yang menjadi irisan keduanya adalah karena Selandia Baru merupakan koloni Inggris. Namun secara kedaulatan, itu berbeda.


Step 3.
Yang ini yang banyak gagal paham. Kalau disebutkan logo HTI, maka yang dimaksudkan adalah yang kanan. Kalau disebutkan bendera HTI, itu juga yang kanan, yang sudah dibingkai persegi panjang. Kasusnya sama dengan Panda Tours. Jika HTI menempel icon/gambar bendera tauhid dalam logonya, bukan berarti HTI mewakili keseluruhan umat Islam. Pun dengan Bendera Ar Rayah di sebelah kiri. Bendera tersebut jadi identitas umat muslim karena di dalamnya ada makna iman yang hanya dipahami umat muslim. Kalian Panda Tours ngapain sewot bakar identitas yang kiri kalau yang kalian maksud mau bakar yang kanan. Kan cacat mikir kalau gitu mah.
Saya hanya mencoba memberikan pemahaman sebagian kalangan yang menjudge sesuatu tidak berdasar ilmu. Atau ketika mencari tau, bukan mencari kebenaran, tapi malah mencari-cari kesalahan untuk kemudian kesalahan itu malah dibesar-besarkan. Kalaulah yang menjadi masalah adalah ideologi HTI (yang kanan), kenapa harus membakar bendera yang kiri? 

Mengenai kasus seorang oknum anggota Banser NU Garut membakar bendera di Lapangan Limbangan, Garut, terlepas dari keberpihakan saya pada kubu manapun, saya berani bertanggung jawab dengan uraian di atas bahwa yang dibakar itu adaah bendera tauhid, bukanlah bendera HTI. Saya yakin yang dibakar itu merupakan bendera Rasullah SAW, yang disebut Ar-Rayah. Mau  berkelit dengan cara apapun, ditinjau dari semiotika komunikasi visual, peristiwa itu menunjukkan cacat logika dari para pelaku karena tidak mampu membedakan identitas lewat simbol/atribut.


HTI sudah selesai. Ormas ini sudah dicabut ijinnya oleh kemenkumham. Sudah tak ada lagi. Jika kemudian hari ada yang bawa atribut HTI, yang jelas ada tulisan HTI, boleh jadi pertama, itu oknum HTI yang tidak mengerti hukum. Kasih tahu, sadarkan dan jika merisaukan, laporkan polisi. No main hakim sendiri. Kedua, bedakan atribut HTI dengan atribut umat islam secara keseluruhan.

Yang pasti, dari sekarang, masyarakat mesti belajar untuk bersikap cerdas. Kebodohan hanya akan memberi peluang bagi orang-orang tak bertanggung jawab untuk menjadikannya sebagai korban dan komoditas politik. 

8.12.18

Bunuh Diri Massal Pers Nasional






Tanda-tanda pers Indonesia sedang melakukan bunuh diri massal, semakin nyata. Pemberitaan media massa tentang Reuni 212 yang berlangsung di Monas, Ahad (2/12), membuka tabir yang selama ini coba ditutup-tutupi. Kooptasi penguasa, kepentingan ideologi, politik dan bisnis membuat pers menerapkan dua rumus baku, framing dan black out. 

Peristiwa besar yang menjadi sorotan media-media internasional itu sama sekali tidak “menarik” dan tidak layak berita, bagi sebagian besar media nasional yang terbit di Jakarta. 


Sejumlah pembaca Harian Kompas pada Senin (3/12) pagi dibuat terkejut ketika mendapati koran nasional itu sama sekali tidak memuat berita jutaan orang yang berkumpul di Monas. Halaman muka Kompas bersih dari foto, apalagi berita peristiwa spesial tersebut. 

Setelah dibuka satu persatu, peristiwa super penting itu ternyata terselip di halaman 15. Dengan judul “Reuni Berlangsung Damai” Kompas hanya memberi porsi berita tersebut dalam lima kolom kali seperempat halaman, atau sekitar 2.500 karakter. Tidak ada foto lautan manusia yang menyemut dan memadati kawasan Monas dan sekitarnya. 



Bagi Harian Kompas peristiwa itu tidak penting dan tidak ada nilai beritanya (news value). Halaman 15 adalah halaman sambungan, dan topiknya tidak spesifik. Masuk kategori berita dibuang sayang. Yang penting ada. Karena itu namanya halaman “umum.” Masih untung pada bagian akhir Kompas mencantumkan keterangan tambahan “Berita lain dan foto, baca di KOMPAS.ID. 

Kompas memilih berita utamanya dengan judul “Polusi Plastik Mengancam.” Ada dua berita soal plastik, dilengkapi dengan foto seorang anak di tengah lautan sampah plastik dalam ukuran besar. Seorang pembaca Kompas yang kesal, sampai membuat status “Koran Sampah!” 



Halaman muka Harian Media Indonesia milik Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh juga bersih dari foto dan berita Reuni 212. Mereka memilih berita utama dengan judul “ PP 49/2018 Solusi bagi Tenaga Honorer.” 



Harian Sindo Milik Ketua Umum Partai Perindo Hary Tanoe memilih berita utamanya “ Pesona Ibu Negara di Panggung G-30” dengan foto-foto mereka dalam ukuran besar. Koran Tempo memilih berita utama “Menuju Ekosistem Digital” yang ditampilkan dalam seluruh halamannya. 

Hanya Koran Rakyat Merdeka, Republika yang memuat berita dan foto peristiwa Reuni 212 di halaman muka. Rakyat Merdeka menulis Judul “212 Makin lama, Makin Besar Kenapa Ya?.” Republika menulis Judul “Reuni 212 Damai.” Sementara Harian Warta Kota memuat foto lepas, suasana di Monas dengan judul berita yang dengan berita utama yang sangat besar “Ketua RW Wafat Usai Reuni.” 


Agenda Setting 

Dengan mengamati berbagai halaman muka media, kita bisa mendapat gambaran apa terjadi di balik semua itu? Media bersama kekuatan besar di belakangnya, tengah melakukan agenda setting

Mereka membuat sebuah skenario menenggelamkan peristiwa Reuni 212, atau setidaknya menjadikan berita tersebut tidak relevan. Operasi semacam ini hanya bisa dilakukan oleh kekuatan besar, dan melibatkan biaya yang cukup besar pula. 

Target pertama black out sepenuhnya. Jangan sampai berita tersebut muncul di media. Untuk kasus pertama ini kelihatannya tidak ada media yang berani mati dan mengabaikan akal sehat. 

Reuni 212 terlalu besar untuk dihilangkan begitu saja. Kasusnya jelas berbeda dengan unjukrasa Badan Eksekutif Media Se-Indonesia (BEM-SI), dan ribuan guru honorer yang berunjuk rasa ke istana beberapa waktu lalu. Pada dua kasus itu mereka berhasil melakukan black out




Target kedua, kalau tidak bisa melakukan black out, maka berita itu harus dibuat tidak penting dan tidak relevan. Apa yang dilakukan Kompas, dan Media Indonesia masuk dalam kategori ini. 

Target ketiga, diberitakan, namun dengan tone yang datar dan biasa-biasa saja. Contohnya pada Republika. Meski dimiliki oleh Ketua Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf, harap diingat latar belakang koran ini adalah milik umat. Tidak mungkin mereka menempatkan berita ini di halaman dalam, apalagi menenggelamkannya. 

Bisa dibayangkan apa yang terjadi, bila Republika berani mengambil posisi seperti Kompas? Ketika Erick memutuskan bersedia menjadi ketua tim sukses saja banyak pembaca yang sudah mengancam akan berhenti berlangganan. Apalagi bila sampai berani melakukan black out dan framing terhadap berita Reuni 212. Wassalam. 

Target keempat tetap memberitakan, tapi dengan melakukan framing, pembingkaian berita. Reuni memakan korban. Contohnya adalah Warta Kota yang membuat judul “Ketua RW Wafat Usia Reuni.” Berita ini jelas terlihat sangat dipaksakan. Satu orang meninggal di tengah jutaan orang berkumpul, menjadi berita yang menarik dan penting? Sampean waras? 



Hal yang sama jika kita amati juga terjadi di media online dan televisi. Hanya TV One yang tampaknya mencoba tetap menjaga akal sehat di tengah semua kegilaan. Mereka masih memberi porsi pemberitaan yang cukup layak dan melakukan siaran langsung dari Monas. 

Tidak perlu orang yang punya pengalaman di media untuk memahami semua keanehan yang kini tengah melanda sebagian besar media arus utama Indonesia. 

Berkumpulnya jutaan orang dari berbagai penjuru kota di Indonesia, dan juga kota-kota dunia di Lapangan Monas, apalagi pada masa kampanye, jelas merupakan berita besar. Tidak alasan untuk tidak memuat, apalagi mengabaikannnya. 

Bagi kalangan media peristiwa itu jelas memenuhi semua syarat kelayakan berita. Mau diperdebatkan dari sisi apapun, pakai ilmu jurnalistik apapun, termasuk ilmu jurnalistik akherat, atau luar angkasa (kalau ada), Reuni 212 jelas memenuhi semua syarat dan melibatkan rumus baku yang menjadi pegangan para wartawan.

1.  Luasnya pengaruh (magnitude), 
2. Kedekatan (proximity), 
3. Aktual (kebaruan), 
4. Dampak (impact), 
5. Masalah kemanusiaan (human interest), dan 
6. Keluarbiasaan (unusualness).

Permainan para pemilik dan pengelola media yang berselingkuh dengan penguasa ini jelas tidak boleh dibiarkan. Mereka tidak menyadari sedang bermain-main dengan sebuah permainan yang berbahaya. Dalam jangka pendek kredibilitas media menjadi rusak. Masyarakat akan kehilangan kepercayaan. Mereka akan ditinggalkan. 

Di tengah terus menurunnya pembaca media cetak, tindakan itu semacam bunuh diri, dan akan mempercepat kematian media cetak di Indonesia. Dalam jangka panjang rusaknya media dan hilangnya fungsi kontrol terhadap penguasa, akan merusak demokrasi yang kini tengah kita bangun. 

Masyarakat, aktivis, wartawan, lembaga-lembaga kewartawanan seperti PWI, AJI, IJTI, maupun lembaga-lembaga seperti Komisi Penyiaran Indonesia, dan Dewan Pers tidak boleh tinggal diam. Terlalu mahal harga yang harus dibayar bangsa ini, karena medianya larut dalam konspirasi dan dikooptasi. 

*** 


Oleh : Hersubeno Arief Wartawan Senior, Konsultan Media

Sumber : https://www.hersubenoarief.com/artikel/bunuh-diri-massal-pers-indonesia-jilid-ii/amp/

14.5.18

Instant Gratification Monkey

Procrastinating. Istilah halus dari membuang-buang waktu, lalai, malas. Jaman ngaji masih pake lampu cempor, cuma ada istilah malas, which ia lawan kata rajin. Belum ada istilah keren ini. 

Saya hanya menginterpretasikan presentasinya om Tim Urban di TED Vancouver supaya mudah dimengerti saya sendiri, atau kalau ada pembaca dari ras melanesia. 

Tiap hari manusia dihadapi tantangan mengelola waktu, baik itu pekerjaan, sekolah, kuliah, meeting, rapat, project, ataupun yang sifatnya pribadi seperti kapan harus tidur, main, istirahat, keluar rimah, makan, dan lainnya. Dalam mengelola waktu, ada batas akhir pengerjaan aktivitaa yang umum disebut deadline.  Idealnya, di pikiran kita, akan secara otomatis mampu memetakan bagaimana tahapan suatu aktivitas harus dilakukan sesuai dengan porsi waktu yang disediakan. Idealnya seperti ini... 


Tapi kenyataannya, seperti ini...


Kita terjebak dalam pola buruk dalam mengelola waltu karena ada sesuatu yang mengganggu, distraksi, pengalih perhatian.

Kalau yang tadi tipikal orang yang plotting waktunya secara harian, ada pula tipe orang yang pengelolaannya mingguan. Dan sama saja, dalam benak mereka, minggu pertama yang ada di pikirannya adalah bagaimana caranya membagi waktu untuk mengerjakannya.

Gagal di mingggu pertama, lantas workload / porsi kerja dilimpahkan ke minggu kedua dan ketiga. Masih masuk akal dan sepertinya bisa dikejar. Sepertinya.

Lalu kembali gagal. Setengah minggu terakhir dan dikebut belum memunculkan hasil.

Dan pada akhirnya, Sangkuriang mode on. Beban kerja ditumpah curahkan di sepertiga malam terakhir. Berharap mendapat faedah lailatul Qadar mungkin. Namun bisa ditwbak hasil akhirnya. Penilaian akhir yang mengecewakan, buruk, tipikal supir bis malam. Tidak peduli bagaimana rupa bis di akhir terminal, yang penting bisa sampai dalam semalam. Disappointing result..




Jadi menurut om Tim, kalau di-breakdown isi otak para deadliners/procrastinator/tukang begadang/pemalas, sebetulnya di awal waktu, ia sudah bisa membayangkan 5W 1H terhadap apa yang menjadi kewajiban dan tugasnya. Mereka punya target yang bisa dicapai secara rasional.  Tapi...

Di pikiran mereka ada yang namanya "Instant Gratification Monkey". Kalau diterjemahkan, monyet pengganggu yang selalu ngajak berbuat sia-sia tapi menyenangkan. Menurutku, ini sama saja dengan syaitan. Bisikin hawa nafsu, cuma mungkin dikemas dengan lucu-lucuan versi om Tim. Yea whatever.




Setiap kali pikiran mentrigger motivasi untuk mulai beraktivitas sesuai kewajiban, mengeluarkan booster untuk take action, si monyet gaib ini yang selalu membisikkan untuk menunda niatan tersebut. 



Kalau pikiran kalah, si monyet bakal ambil alih kemudi untuk melakukan hal-hal yang di luar tugas dan kewajiban. That's what syaithan do, right? 



Karena ternyata si monyet ini senang akan hal-hal yang menyenangkan dan mudah dikerjakan. Saya tambahkan : juga murah. Seseorang akan menghabiskan kesenangan di game balap, karena lebih gampang, no significant risks, and also cheaper than the real ferrari. Jauh lebih murah. Dan di game itu, everyone can be anything. Pembalap, pemain bola, manager tim bola, penjahat, even a terrorist. Oke ini side effect dari game yang menurutku sangat tidak bermanfaat.

Dan berita buruknya lagi, keinginan si monyet itu berseberangan dengan tekad diri sendiri. 


Ujung-ujungnya, para procrastinator akan mengambil jalan tengahnya, dan berpendapat : "gak apa-apa lah senang-senang dulu" atau "work hard, play harder" atau "refreshing dulu di tengah tugas" atau "santai dulu napa? Serius mulu!" sambil mempengaruhi orang lain yang justru telah memulai langkahnya lebih dulu. 

Gak salah, tapi terlalu lama ambil jalan tengah itu malah masuk ke wilayah Dark Playgorund atau Taman Bermain Kegelapan. Lebay sih kalau dibahasa Indonesiakan. Tapi intinya, itulah jebakan batman.
Di kondisi dan momentum seperti itu, justru keinginan si monyet terpenuhi. Hasrat untuk terus terusan bermain menenangkan pikiran malah jadi melupakan apa yang menjadi prioritas.  Dan sekali lagi, kita bicara waktu yang terbuang.

Dalam posisi itu, kewajiban, tugas, obligasi, prioritas, apapun itu namanya, nampak sesuatu yang amat sulit dikerjakan. Yap karena si monyet berhasil menanamkan mindset "Fun things can be easy and cheap. So why would you choose the hardest one? Udeeh mending have fun aja terus. Santaiiii" gitu bisik si monyet yang niru ajakan syaitan.

Si monyet akan terus meracuni pikiran produktif hingga datang makhluk ini. Monster Panik. Pfft.. 


Si monster ini datang untuk menampar si manusia supaya sadar, kalau waktunya mepet. Dia bakal berteriak dan semuanya kaget, termasuk si monyet.



Dan memang, si monyet hanya takut sama monster ini. Dia bakal kabur tak kembali lagi. Menyisakan si nahkoda yang seolah baru bangun dari hipnotis. Kebingungan, ketakutan, gundah, galau, bahwa waktunya sempit sekali. Tapi dia berusaha kendalikan kemudi. Kemungkinan kecelakaannya besar, tapi setidaknya dia sadar dan bisa berbuat sesuatu meskipun di ujung tanduk. 


Dengan begitu, mulailah dia melaksanakan apa yang sudah menjadi tugas dan kewajibannya. Dan dia sudah tidak memikirkan hasil akhir, setidaknya ada yang bisa dikerjakan, demi menyelamatkan sesuatu yang menurutnya berharga. 

****

Dan inilah tabel waktu, jika seorang manusia punya waktu 97 tahun untuk mengejar tujuannya. Saya pikir, yang menjadi masalah adalah, mereka bukannya tidak mampu menggapai impiannya, target hidupnya, cita-citanya, tapi mereka tidak mau memulainya. 


***

Ada dua tipe procrastinating. Yang pertama, mereka yang diberikan batas waktu, deadline, yang masih dalam frame umur mereka hidup. Misalnya, minggu depan, bulan depan, tahun depan. Itu batas waktu yang besar kemungkinan manusia akan melewatinya selama masih hidup. 

Namun ada tipe kedua, dimana target itu tidak ada batas waktu. Sebetulnya ada batas waktu tapi manusia tidak bisa mengukurnya. Batas waktu yang dinamakan kematian, which is gak ada yang tau kapan seseorang mati. Yang menjadi masalah, ketika deadline mati ini habis, sedangkan kita tidak menyangka akan secepat itu, we will ended up in regret. Menyesal, mengapa kemarin-kemarin waktu habis dengan procrastinating, buang waktu, main, have fun, dan malah but banyak dosa. Kalau yang menjadi target adalah kehidupan dunia, jabatan, kekayaan, deadline tak terbatas ini bukan masalah besar. Hasil kerja keras akan terlihat di sisa umur nanti jika Allah berkenan. Tapi kalau targetnya adalah kehidupan setelahnya, tidak mungkin surga didapat jika mindset kita mengikuti si instant gratifigratication monkey tadi. Muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk surga? Kasihan mereka yang miskin, atau yang habis-habisan beramal ketika muda, dan pihak lainnya. Surga itu mahal pastinya. Logikanya, untuk dapat satu buah villa di dago pakar, ribuan jam, pikiran, tenaga, dan materi pasti dicurahkan betul untuk bekerja, sampai dapat keuntungan yang kemudian bisa dipakai membeli villa. Lalu buat beli surga, sudah modal apa? 


12.5.18

Ketidakmampuan yang dimampu-mampukan

Whatsapp is to real community as gran turismo is to real driving a car: a cheap, digital knockoff for those who can’t do better in real life.


Orang awam dan bodoh perkara bidang tertentu jangan memaksakan punya peran, atau urusan di bidang itu tidak akan ada titik temu. Problematika saat ini, orang-orang bodoh ini merasa punya power di balik sekat sunia maya, padahal tak paham-paham betul realita. Yang paham realita teraingkirkan karena the power of community yang berseberangan dengannya karena membawa banyak opini dari berbagai sudut pandang, berbagai rujukan sehingga seolah-olah benar padahal belum tentu, jika kembali pada realita. Pusing gak lo gua ngomong ape?

Ya di ruang tak kasat mata sana, banyak "power" yang terlihat nyata tapi sebetulnya hanya pelampiasan atas ketidakmampuan menghadapi realita di dunia nyata. Nanti kujelaskan alur pikiranku ini. Kasian istriku. Dia lelah, harus kutemani ketila tidur dengan pelukan dan pasang selimut hangat. 

10.5.18

Instantaneously

Tidak usah heran, mengapa di zaman ini, orang-orang ingin hasil yang serba cepat, sulit mengerti keadaan orang lain, dan mental tempe, atau kalau perlu saya tekankan, dia laki-laki, tapi emosi seperti emosi perempuan. Bukan saya mengatakan perempuan punya mental tempe, tapi laki-laki yang porsi pemakaian perasaannya terlalu banyak daripada pemakaian logika, terutama ketika dia dihadapkan pada sebuah masalah.

Sekarang ini manusia terbiasa instant. Saat orang dulu perlu puluhan percobaan meracik bumbu masak, perlu ribuan jam menjadi koki, sekarang hitungan menit orang sudah bisa membuat masakan setara koki profesional dengan rasa yang tidak jauh berbeda. Saat orang dulu perlu mendatangi puluhan guru, merantau ribuan kilometer, dan ribuan jam untuk menjadi seorang cendekiawan, sekarang hitungan menit orang sudah bisa mendapatkan berbagai ilmu setara Ensiklopedia. Saat orang dulu perlu ribuan kegagalan sebelum mencapai keberhasilan, sekarang orang enggan merasa gagal, ingin langsung berhasil, ingin segala sesuatunya mulus, segala sesuatunya sesuai dengan keinginan pribadinya. Karena sulit sekali mencari orang-orang yang betul-betul rela gagal demi kemaslahatan umat.

***

Sudah cukuplah ini semua menjadi pelajaran. Bahwa hubungan yang bukan didasari atas iman, hanya akan berujung kekecewaan. Sudah cukup banyak tahu saya ini. Dan hubungan di wadah organisasi ini sudah bukan tipeku. Mau dipertahankan sepanjang apapun kalau tidak ada keinginan mengubahnya, pergaulan ini seolah hanya buang-buang waktu saja. Buang-buang waktu yang perlahan menjauhkan diri dari kebaikan. Pelan-pelan. Terasa sekali. Mulai dari hilangnya waktu untuk menuntut ilmu, hingga waktu-waktu yang habis dengan urusan-urusan yang tidak ada manfaatnya.

***

Kemarin itu, kalaulah saya tidak tau hadist anjuran berwudhu ketika marah, mungkin sudah berisik isi rumah dengan teriakan kata-kata yang buruk bunyinya.

***

Saya mengerti sekarang, kenapa banyak orang yang sekarang hidup layak, punya ilmu, punya skill untuk mengubah kondisi negara dari level grass-root, sedikit berurusan dengan masyarakat, terutama di level bawah. Bukan karena mereka melihat strata sosial mereka atau background pendidikan, itu tidak manusiawi rasanya. Tapi, bisa jadi karena masyarakat di situ kufur ni'mat, tidak tahu diri, atau bodo katotoloyoh kalau kata orang sunda.

Sedikit spoiler bagi kamu yang punya niatan untuk terjun di ranah sosial dan berkeinginan berjuang mendermakan ilmu, tenaga, waktu, juga pikiran di lingkup tersebut. Saya tidak akan ceritakan manisnya, karena itu bonus saja kalau kita punya resistansi, ketahanan akan hal-hal berikut ini. 

Pertama, kau akan temui beberapa orang tipe banyak omong, berkata-kata anjing, anying, nada bicara seperti orang tidak terdidik, dan tidak ada keinginan sedikitpun darimu untuk menjadikannya teman dekat. Kau harus tahan, lalu ubah pelan-pelan. Kalau masih saja seperti itu, pilihannya ada pada dirimu. Tinggalkan atau kau terbawa. 

Kedua, kau akan temui beberapa orang tipe fake friends. Kalau backgroundmu berbekal ilmu agama yang cukup banyak, pasti mengerti bagaimana mencari teman seperjuangan, yang mau diajak pada kebaikan, dan dari raut wajahnya, kamu temukan ketenangan. Tapi, kalau memang mau betul-betul berjuang dalam dakwah, coba masuklah ke segmen ini, segmen dimana banyak sekali ditemui tanda kepalsuan. Muslim yang membaca buku panduan yaitu Al-Qur'an, pasti tau cirinya and how to deal with them. Ada di Q.S. Al Munaafiqun. Lho bukan saya yang ngomong kok, Allah yang ngomong. Kalau Rasulullah yang ngomong, ini. Sabda Nabi, ada 3 cirinya.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم – قَالَ آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ


Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda, Tanda-tanda orang munafik ada tiga: jika berbicara dia berdusta, jika berjanji dia mengingkari, dan jika diberi amanah dia berkhianat (HR. Al- Bukhari)

Cukup banyak janji yang dicancel mendadak. Cukup banyak janji menghadiri yang dilabrak. Cukup banyak alasan "ketiduran" yang berarti melewatkan shalat subuh. Cukup sudah tugas dan  posisi tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Cukup sudah dalih "sakit gak enak badan" menjadi untaian kalimat untuk berpaling dari ajakan. Kalaulah itu benar, saya selalu doakan kesembuhan. Kalaulah itu sebuah kebohongan yang disembunyikan dalam lubuk hati, saya berlepas diri dan semoga Allah beri hidayah. Cukup. Kalau merasa seperti itu, harusnya banyak istighfar. Termasuk saya pun jika ada kesalahan. Apakah dalam diri kita ada ciri-ciri seperti itu? Naudzubillahimindzalik. Harus berhati-hati memang. Saya sendiri bekalnya kurang sekali, makanya merasa terseret dari jalur yang benar karena di circle itu, tidak ada wingman, partner yang sekufu dengan saya. Sepadan keburukannya maksud saya. Karena saya sadar saya belum baik, maka masih perlu orang yang juga sadar dirinya buruk, lalu bersama-sama mengingatkan kebaikan. Ini tidak. Bahkan untuk membersihkan diri di masjid saja, di nanti-nanti. Sadar di tengah jalan lebih baik dari pada di ujung jalan. Sudah cukup saya melihat tanda komitmen seseorang itu dari komitmennya pada Rabb-nya. Kalau dia serius sama Rabb-nya, dia serius pada manusia. Cukup satu ciri saja, dan saya belum menemukan yang betul-betul seperti itu, termasuk diri sendiri.

Ketiga, kau akan temui beberapa orang tipe instant-kabul. Di pikiran mereka, hal-hal yang menjadi keinginannya, cita-citanya, bahkan cita-cita bersama saja, ingin terkabul cepat-cepat, instant kabul pokoknya. Tidak ada sama sekali rasa ingin berjuang. Setidaknya berjuang mengubah nasib diri sendiri saja dulu. Ini mah, loyo. Perjuangan di dunia saja loyo apalagi perjuangan menggapai tujuan akhir yang tidak mereka yakini sepenuhnya, yaitu surga. Akan lain jadinya kalau kita diiringi oleh orang-orang yang juga menyakini tujuan akhir tersebut. Perjuangan pasti tidak sendiri. Soal cara berjuang, saya tidak idealis. Saya mau beradaptasi dengan berbagai cara. Tapi soal tujuan akhir, saya idealis.

Keempat, kau akan temui beberapa orang tipe haters. Mereka yang tidak suka dirimu, tidak suka cara kerjamu, atau keduanya, akan terus merongrong di belakangmu. Mereka seolah ingin segala keluh kesahnya diketahui olehmu dan menyindirmu dengan perkataan mereka. Saran saya, tutp saja negative vibes mereka, tapi teladani akhlak Rasulullah yang tetap ramah kalau tidak sengaja berjumpa. Karena, sifat mereka seperti yang ditulis di surat Al Muthaffifiin ayat 30-32. Dan ada pula tipe seperti Q. S. At Taubah : 58. Harus peka, terlebih kalau mereka ada di barisanmu.

Kelima, kau akan temui beberapa orang tipe habis manis sepah dibuang-ers. Kau harus kuat dicampakkan dan ditinggalkan orang-orang yang dulu pernah kau bantu urusannya. Tidak perlu dituliskan apa saja perjuanganmu dan kekecewaanmu karena hal itu bisa menghapus amalmu. Kuatkan doa.

***

Menggaungkan perubahan perlu bekal pengetahuan dari mana mulai dan ke arah mana perubahan itu dituju. Jika menginginkan perubahan nasib diri sendiri dari miskin menjadi kaya, banyak cara. Ada yang diridhoi Allah, ada yang tidak. Silakan pilih tapi saya hanya menyampaikan pesan bahwa sebaik-baik pilihan adalah yang pertama. Jika perubahan yang diinginkan adalah kualitas hidup khalayak banyak, harus banyak pula yang terlibat. Perubahan akhlak terutama. Karena dari sanalah gaya hidup sehari-hari terbentuk. Disiplin, rajin, amanah, jujur, dan semua softskill untuk menggapai kesuksesan berawal dari akhlak pribadi. Soal darimana titik awal perubahan, saya yakin ada di masjid. Dan saat ini, saya hanya belum menemukan wingman-wingman yang menguatkan cita-cita ini. Mungkin nanti ada yang lebih handal merealisasikan konsep ini di wilayah ini.

***

Istri saya tak jadi cek USG kehamilannya karena workload di kantornya yang cukup menyita pekerjaan. Berdampak tentunya. Terutama saran dokter, atau mungkin ada resep dokter untuk ibu hamil selama berpuasa ramadhan. Belum lagi bumbu-bumbu lainnya.

***

Kamar saya penuh dengan baju bekas. Lebih dari 8 karung besar isinya. Tempo hari baru angkut dari kantor pos keamanan yang tidak jelas statusnya. Aparat setempat dijapri panjang hanya di-read saja. Enak gak digituin? Siangnya dikata anjing sama anggota sendiri yang dia kira saya gak tau apa. Lalu malamnya dia datang. Main HP. Menonton saya, seorang senior dan beberapa perempuan angkut barang. Laki apa banci? Belum lagi pesan WA yang isinya hanya surat perintah. Apakah selama ini kita berurusan hanya sekedar perintah dan perintah? Apakah hanya berisi mohon memohon lalu yang memohon hanya menginstruksikan? Mohon maaf jika saya dituntut untuk memahami posisi para atasan, setidaknya atasan pun harus mengerti bawahan. Apalagi kalau disana tidak ada atasan bawahan. Layakkah seperti itu?

***

Setelah path, twitter, kini giliran instagram saya uninstall. Berikutnya, giliran pertemanan yang memberi influence negatif yang saya uninstall. Berteman memang tidak usah lihat paras, tidak perlu lihat status, lihat kasta, tidak, tapi saya disuruh lihat akhlaknya. Kata siapa? Kata Nabi Muhammad. 





Diriwayatkan dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ وَكِيرِ الْحَدَّادِ ، لاَ يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيهِ أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ ، وَكِيرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً

“Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang shalih dan orang yang jelek bagaikan berteman dengan pemilik minyak wangi dan pandai besi. Pemilik minyak wangi tidak akan merugikanmu; engkau bisa membeli (minyak wangi) darinya atau minimal engkau mendapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau mendapat baunya yang tidak enak.” (HR. Bukhari, no. 2101)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

“Seseorang akan mencocoki kebiasaan teman karibnya. Oleh karenanya, perhatikanlah siapa yang akan menjadi teman karib kalian.” (HR. Abu Daud, no. 4833; Tirmidzi, no. 2378; dan Ahmad, 2:344. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)

Imam Al-Ghazali rahimahullah mengatakan, “Bersahabat dan bergaul dengan orang-orang yang pelit, akan mengakibatkan kita tertular pelitnya. Sedangkan bersahabat dengan orang yang zuhud, membuat kita juga ikut zuhud dalam masalah dunia. Karena memang asalnya seseorang akan mencontoh teman dekatnya.” (Tuhfah Al-Ahwadzi, 7: 94)

Teman yang shalih punya pengaruh untuk menguatkan iman dan terus istiqamah karena kita akan terpengaruh dengan kelakuan baiknya hingga semangat untuk beramal. Sebagaimana kata pepatah Arab,

الصَّاحِبُ سَاحِبٌ

“Yang namanya sahabat bisa menarik (mempengaruhi).”


Nah saya sudah melihat cukup banyak ketidakserasian akhlak ini. Either i'm not good enough or they aren't. Tau diri saja. Saya tau diri, maka saya cukupkan saja. Posisi ini hanya untuk orang yang punya waktu luang banyak, yang selalu ada di setiap tugas, selalu perhatian pada warga masyarakat seluruhnya, selalu memberikan kabar baik, selalu bisa memberi kesenangan, hiburan, dan liburan. Bukan saya, yang semata-mata mengajak ke arah lebih baik. Bukan saya yang cita-citanya dianggap terlalu jauh, mengkhayal, nisbi, nir-konkrit. Bukan saya yang terbatas ilmunya. Saatnya saya mencari kawanan yang bisa mempengaruhi kehidupan saya lebih bahagia, which are those who believe that changes & growth start from masjid, those who believe that by chasing akhira, they will gain dunya simultaneously. 

Trip Intergalaksi

Selasa, 23 Juni 2020 03.22 dini hari Kisah ini saya tulis begitu bangun tidur dari mimpi yang tidak akan pernah saya lupakan. Mimpi yan...