25.1.13

Di Pucuk Sore

Bandung, 25 Januari 2013.

Di sini sudah tidak ada batasan lagi siapa yang boleh menulis romantikanya dan siapa yang tidak. Bukan perkara gender juga sih. Karena sering banyak sentilan kalau pria dewasa umumnya norak kebanyakan menulis. Ini kisah di pucuk sore tadi. Tentang apa saja yang kami bicarakan. Kami. Dua teman lama yang rindu bersapa kabar.

Kehidupan mahasiswa tingkat akhir mulai hinggap. Masih awal-awal memang. Pra TA kata dosen saya bilang. Selasa besok adalah deadline pengumpulan 3 buah topik beserta latar belakang. Benak saya mulai memuncratkan banyak topik dari yang jelas sampai terhalusinasi sekalipun. Saya mau meneliti jalan sirotol mustaqim. Itu yang halusinasi seudahmenjadibubur. Alternatif lain saya menaruh hati pada kehidupan kesehatan. Singkat cerita saya butuh beberapa narasumber untuk mendapat ilmu mendalam. Saya pilih kedokteran gigi yang entah kenapa berlalu begitu saja.

Kami berteman lama. Kami mengenal satu sama lain dari kelas 2 smp. Posisi matahari, merk hp yang saya pinjam, ukuran sepatu, potongan rambut, dan semua itu masih terrekam dalam benak saya. Yang tak habis pikir, hanya pada perempuan ini saja saya mengingat betul detail awal jumpa. Setelah itu, ratusan milyar manusia yang berkenalan menjabat tangan, saya terkadang lupa bagaimana awalnya. Kalau dihitung, kami berteman selama 3 pergantian presiden negara ini. Lama, kalau diingat ingat. Namun cepat kalau dirasa-rasa.

Saya sudah terlalu banyak menulis atau bercerita pada kawan sepenanggungan tentang apa yang kami lewati dalam kurun waktu itu. Mungkin saya yang mengingat saja. Tapi tak akan saya tulis. Biar dicoba lupa meskipun terkadang sulit.

Sore tadi, perempuan ini benar-benar menunjukkan_kalau nanti dirinya dinikahi seorang laki-laki terbaik, maka laki-laki itu paling beruntung di alam ini. Sebetulnya hari itu saya tidak berniat mewawancarainya sebagai narasumber untuk materi Pra TA. Tapi dia mengirim pesan singkat kalau sore ini sudah beres urusan, katanya boleh boleh saja. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Kalau besok-besok lagi dia berhalangan, saya pikir kenapa tidak sekarang? Sampai pada akhirnya kami sepakat bertemu di sebuah tempat makanan cepat saji di kawasan Dago, karena saya pikir dekat dari tempat dia kuliah, Sekeloa. jam 4.17 saya sudah di lokasi. Menunggu dengan kondisi hp habis batere.

4.36. Kami bertemu. Dengan kondisi payung basahnya, dia bercerita sore itu. Yang ternyata sebelumnya dirinya sudah setengah jalan menuju rumahnya di Ujungberung, namun berbalik arah di Cicaheum, naik kembali angkot menuju Dago. (orang Bandung pasti terbayang seberapa jauhnya). Yang saya kagumi, dari dulu saya tahu persis perempuan ini, pada siapapun, untuk siapapun, hatinya ikhlas. Padahal saya tidak memaksanya siapa tau memang sedang sibuk.

Selalu, perempuan ini selalu yang membuat saya sadar akan banyak hal. Saya belajar benyak pada orang ini, dengan ia sadari atau tidak itu tak masalah. Karenanya, saya selalu mencoba berubah, memperbaiki apa yang diri sendiri harus diperbaiki. Ini hikmahnya mengenal orang shalih. Tak banyak berubah pada dirinya. Masih tertawaan yang dulu dengan lipatan anta mata dan hidung. Tapi untuk satu hal, ada pengecualian. Dewasa.

Saya laki-laki normal pada umumnya dan tidak normallah dia kalau tidak sedikitpun mendamba rasa pada perempuan sepertinya. Hanya saja saya yang masih jauh di dasar tebing kalau dibandingkan sifatnya yang begitu mulia pada sesamanya. Saya pribadi yang sudah dianggap kurang sopan oleh keluarganya, dan memang iya, oleh karenanya saya terima. Maka seperti saya bilang tadi, laki-laki beruntunglah dia kalau perempuan ini memilih pria pujaannya. Singkat saja, dua insan ini Habibie - Ainun di era informatika. Saya masih Ali Topan Anak Jerigen Jalanan.

8.1.13

Reflexi itu panti pijet (kan?)


Nikmatnya menjadi anak kecil. Mau ingusan, gak ada yang larang paling diomelin. Mau telanjang pake kacamata hitam lari-lari ngikutin omprengan, kagak dicekal bang haji. Mau tidur juga gak perlu ijin update dulu. Tapi sepertinya anak esde sekarang sudah mulai sih. Jaman tai kotok dilebuan dulu mana ada update status selain di ktp enyak babehnya.
Bicara soal status, bicara juga tentang duas, tigas, empats, limas, dan terus sampai tigamilyarduapuluhstatus. Dinding kamar dipajang future plan. Dulu dibuat iseng karena menyibukkan diri saking pusingnya eek gak keluar-keluar pasca makan salak. Tapi sekarang serius. Orang bilang resolusi 2013. katanya. Impian lulus Insya Allah tercapai setaun lagi. Impian wirausaha masih realistis lah. Bikin workshop. Workshop apanya? belum jelas. Mungkin nanti dibicarakan kembali entah itu workshop kaki kambing atau workshop DKI mamayukeromama. Lagi pula bacotan ini bukan mau membahas itu. Tapi membahas ini. “Nikah” 2015. Katanya. kata siapa? kata future plan cenah mah.
Heh serius amat bang bicara nikah? Ngapa? dapet wejangan felixiauw? Engga juga sih da ini mah kodrat. Nikah mah pilihan. Iya, milih jodohnya. Bukan waktunya. Teman SD saya sudah nikah 5 tahun lalu, sekarang anak-anaknya iiihh meni pika pika pikachu pikaresepeun setum. Teman SD saya itu emang pengen nikah cepet. Katanya, biar segala sesuatunya dikerjain bareng, susah senang bareng, kerjaan suaminya didukung istri, doa suaminya diaminin istri, cucian suaminya dicuciin istri, anaknya pun dilahirin istri. Sampai sekarang, saya dan teman SD saya ini suka bertukar cerita kalau Lebaran tiba. Karena teman SD saya ini kecengan saya selama 6 tahun. Apa hubungannya sih? Ada beul. Soalnya, doi nikah seminggu sebelum abang ini menemuinya di kampuan halaman nan jauh dimato sana. nahas memang dunia persilatan. Itu kisah si uni.
Maap ya ini jalan ceritanya banyak shortcut menuju jalan buntu dan tiba-tiba menemui pintu ke cerita mana saja.

2 hari sebelum tahun baru kemarin, saya berbincang bersama seorang sobat nigga karib dari timbuktu namanya beng. Panjangnya beng. Seperti seorang kacang yang sudah lama pergi dari kulitnya lalu ingin berbagi cerita, maka saya kacangnya yang banyak omong. Saya banyak omong tentang masalah sendiri yang terus dari tahun ke tahun tak pernah selesai. Tau sendiri lah masalah apa. Ya betul masalah ngebagi 22/7 belum nemu ujungnya. mau tau banget atau mau tahu anget? Kalau masalah asmara tak pernah ada kelarnya. Saya berbincang pada si beng ini cuma buat mencak-mencak doang sih. Walaupun ujung-ujungnya saya dapat nasehat bijak.
“Maneh teh kudu Peduli”

berasal dari kata “dul” dengan awalan pe- dan akhiran -i. Kembali bercermin pada pribadi yang selama ini memang lupa akan hal itu. Baik pada diri sendiri maupun orang lain. Selama ini saya ngapain sih? Iya egois. Segala sesuatu ingin dinikmati sendiri. Lidah gak dijaga sampai nyakitin orang, jari gak dikontrol sampai ngetik apapun menancap di hati orang. Orang lain bahagia kadang males ikut bahagia. Musti ke panti pijet kali ini mah buat refleksi diri. introspeksi. Apa yang diberi adalah apa-apa yang didapat di kemudian hari. 
Merasa ter-sepet dengan kritikan itu, merembet hampir ke seluruh aspek kehidupan.  9gag bilang “i like being single. I always here when i need me.” iya untuk momen tertentu. Eek. beda rasanya dengan share cerita sehari, berbagi cilok goreng yang dibeli depan kampus, atau gaji bulanan dihabiskan di suatu tempat makan misalnya. Yep no one to share and no one who truly care, kata mareyah kari mah. Ini sih imbas dari orang yang gak pedulian. Idupnya diliputi kesendirian.

Kemarin  habis ke tukang pijet refleksi. Dari sana saya mau mencoba introspeksi diri. Lebih peduli sekitar. Peduli diri sendiri dulu atuh. Semog bukan pencitraan da niatnya Insya Alloh Lillahita’ala. 
Pe-dul-i. Layaknya si Dul anak selokan yang menjadi pribadi sederhana, apa adanya, peduli lingkungannya, tapi Sarah dan Zaenab tergila-gila padanya. Ah da itu mah sinetron.

Sampai berjumpa dilain waktu. Esok lusa kalau kita bertemu, coba sapa aku kalau aku tidak melihat. Atau tau rasa sendiri nanti kena sapaanku. Seperti anak kecil saja. Hal kecil bahkan jadi tertawaan dan perbincangan. Selamat malam

Trip Intergalaksi

Selasa, 23 Juni 2020 03.22 dini hari Kisah ini saya tulis begitu bangun tidur dari mimpi yang tidak akan pernah saya lupakan. Mimpi yan...