28.8.14

Once in a while in Pare

Pare, August 28th

It's been a week since I moved to Kampung Inggris, Pare. Kalau dicertakan semuanya, saya perlu beli 2 pak buku tulis sidu yang 58 lembar buat mencertiakan semuanya. Tapi karena sidu adalah anak sekolahan yang ketinggalan jaman, katenye, jadi saya tulis di sini saja. 

Berangkat dari Bandung naik bis malam soalnya gak kebagian tiket kereta yang 50rb-an itu. Selama hampir 14 jam pantat ini diaduk-aduk dalam kemahligaian alunan jalanan jawa. Hingga akhirnya saya sampai di Kediri pukul 11 siang hari esoknya. Pretty hot in here.

Dari kediri cuma naik semacam Angkutan Tak Bernama tapi jurusan Pare. Bayar 15 ribu (padahal harusnya 10rb) langsung diantar ke sebuah daerah bernama Kecamatan Tulungrejo, Pare. Karena belum daftar ke lembaga manapun dan periode 25 belum dimulai, saya cari kosan di sekitar jalan Dahlia. Kebetulan temen si abeng yang pernah ke sini merekomendasikan tempat ini buat kosan sementara, in case saya gak akan nge-camp. Sejujurnya saya juga belum paham itu bedanya ngecamp sama ngekos. Tapi beberapa hari kemudian saya tahu bedanya.

Ini tampak depan kosan sementara kami. Yang punyanya itu seorang mbah dan istrinya yang setiap magrib sering shalat berjamaah di masjid terdekat. So sweet sekali mereka. Saya dan si abeng cuma nyimpen barang-barang dan istirahat sejenak. setelah itu pergi cari-cari rental sepeda. Maklum saja, di sini gak ada angkutan umum. jadi kemana-mana kalau gak naik sepeda ya harus berdikari. Berlari dengan kaki sendiri. Untungnya saya nemu tempat murah. Sekitar 50rb per bulan. Tapi ya bisa dilihat sepedanya. Sepeda cewek warna ungu-ungu janda yang saya ganti berkali-kali setelah rem blong, rantai copot dan pedal yang oglek


Namanya masih belum ngambil apa2 yaa kerjanya paling cuma mlongo-mlongo aja selama di sana. Paling jalan-jalan liat-liat pemandangan pare, bersepeda ke kota, atau nongrong-nongkrong di warteg terdekat. Weekend pertama saya ke Kota Kediri dulu. Niatnya service modem karena saya butuh internet untuk sumber penghidupan. Akhirnya beres sore menjelang magrib.




Minggu pagi di pare. Si Abeng kebluk masih tidur. Saya sepedahan keliling kampung, nemu sawah. Pagi-pagi itu memang pemandangan yang tidak boleh diabadikan dengan kamera. Pagi-pagi itu harus dialami sendiri tanpa kamera.


Minggu sore ada parade. Entahlah ini parade apa, tapi saya kok melihat banyak anak muda berpakaian aneh ya? Rambutnya aneh ya? Hmm ya gitu deh. Nggak kok saya nggak bilang alay. Enggak. Saya cuma nulis.


Periode 25 dimulai hari senin besoknya. Minggu malam tanggal 24-nya, saya memutuskan pindah dari kosan sementara untuk nge-camp di camp terdekat. Namanya Zeal camp. Saya si abeng dan temennya si abeng (Fatul) itu sebenarnya salah waktu masuk camp ini. Harusnya masuk di periode 10, tapi berhubung kami sudah terlihat kusut tidak tahu harus tinggal di mana lagi, jadi yaa nge camp aja lah, toh kalo dipikir-pikir banyak benefitnya juga kok. Tapi yaa belum apa-apa sudah disuruh bersihin WC pagi-paginya sama si tutor sableng di sana. Nanti juga tahu sendiri.

Akhirnya mulai merasakan pendidikan di Kampung Inggris ini. Kelas speaking di Daffodils pagi-pagi jam 7. Yaa introductions gitu-gitu lah yaa. Jam 9 ada kelas sunnah di camp bahas Pronunciation 1, jam 10 kelas vocab 2 di peace, jam 4 kelas pronunciations 1 peace. Maghrib ada optional class di camp. Selesai. Jadi, selama 2 minggu ke depan, kurang lebih rutinitas saya adalah seperti itu.

07.00-08.30 Step One Daffodils with Mrs. Austin

10.00-11.30 Vocabulary 1 Peace woth Mr. Farhan

16.00-17.30 Pronunciations 2 Peace with Mr. Katria Beiber

18.00-20.00 Night Class with Mr. El
Tapi selain courses terdaftar gitu, ada juga study club-nya. Tapi karena gak wajib, saya sering cabut-cabutan. Selain karena first impression dari study club ini yang kurang greget, saya ada keperluan lain pada jam yang sama. Tidur siang.



***

Sebelum berangkat ke sini, saya sempat ditanya oleh keluarga, kenapa sih les bahasa saja perlu ke jawa? Di bandung juga ada, yang deket-deket aja, murah. Nah, entah karena saya yang keras kepala atau lembut hatinya, saya bersikeras tetap ke Pare ini dengan catatan saya tidak akan meminta uang sepeserpun dari enyak babeh buat biaya ini. Semua pure duit pribadi hasil kerjaan sana-sini serabutan. Memang, kalau dihitung-hitung, pasti lebih mahal saya ke Pare ini ketimbang di Bandung. Belum makannya, belum camp, belum transport, belum lain-lain. Tapi, dengan saya pergi dari bandung dan uang sendiri, saya punya alasan untuk tidak menyianyiakan kesempatan ini untuk belajar sebaik-baiknya, untuk meng-improve bahasa Inggris menjadi lebih baik dari sebelumnya. Karena biasanya, apa yang didapat dengan usaha sendiri akan digunakan sebijaksana mungkin.

Selain itu, pergaulan dan lingkungan di sini memang mendukung progress saya dalam mempelajari bahasa Inggris. Di camp misalnya, bangun setiap hari jam 4 pagi lalu ada kelas hafalan expression sampai jam 5 + percakapan sehari-hari antara penghuni camp harusnya berbahasa Inggris. Jadi ya mau nggak mau memang itu haruslah dilakukan untuk kebaikan diri sendiri. Bahkan ada kalanya beberapa tutor dari lembaga lain memberi saran bagaimana belajar di Pare. Contohnya mulai dari memilih teman. Katanya, carilah teman sebanyak mungkin. Cari teman dari berbagai level berbahasa (beginner, medium, expert). Tapi, dekatilah orang yang expert ini supaya kamu terbawa dalam kebiasaannya berbahasa.

Nonton film, dengerin musik, jajan, semuanya pake bahasa inggris dengan cara yang fun. Terakhir ya do'a. Sekeras-kerasnya manusia usaha yang nentuin juga tetap Yang Maha Ngabulin Do'a Kite Kite Pade.


***

Sedikit cerita soal keseruan-keseruan di sini.

Malam kemarin misalnya. Saya pikir kegiatan malam itu memang untuk melatih speaking dan listening. Nyatanya bullshit. Itu semua cuma skenario si tutor-tutor dan teman-teman se camp yang menjadi volunteer seseorang di antara kami yang ingin menyatakan cintanya pada perempuan di camp cewek. Dan hasilnya memang...success!

Setelah acara ini selesai, mendadak teman-teman se-camp mulai menghubungi pacarnya/kecengannya satu-satu. Gak bohong asli! Ada yang hanya menelpon, ada yang sms, bb, dll. Sedangkan saya malah sibuk menelepon kurir karikatur yang katanya mogok ketika mengirim karikatur saya ke klien. Perlu diakui kalau saya juga merindu, tapi.. ah shit kenapa hidup ini harus ada tapi.


Lalu ada lagi seorang guru di kelas Pronunciation. Namanya Mr. Katria, tapi saya sebut beliau Mr. Katro. Karena kelakuannya yang rada gila. Gila dalam konotasi lucu. Entah humor sense saya yang buruk atau orang-orang yang lain buruk. Karena setiap dia menerangkan itu memang pembawaannya selalu lucu. Ada satu kutipan yang saya tulis di buku catatan. Tentang PENGAJAR.

Menurutnya, seorang pengajar itu sudah seharusnya bisa 4 hal :
1. Mengajar
2. Mendidik
3. Memotivasi
4. Menghibur

Ditambah dengan mengatahui nama-nama muridnya. Karena murid yang dikenal oleh gurunya biasanya lebih termotivasi dibandingkan murid yang tidak terlalu dikenal oleh gurunya atau bahkan dicuekkin.



Ini baru beberapa hal saja yang saya ceritakan. Sisanya saya tulis nanti saja ketika punya waktu lebih banyak. Saya harus tidur jam 10 malam. Jadi anak baik.

23.8.14

Singgah Sejenak

Sudah kodratnya, manusia itu penjelajah, pengembara, petualang, dan apapun itu disebutnya. Tujuannya untuk hidup, atau mencari tahu arti hidup itu sendiri.

Dikisahkan 3000 tahun lalu bangsa Hun dari Siberia yang beku. Terkenal kuat karena kemampuannya bertahan hidup di wilayah dingin sekalipun. Sampai pada satu era, mereka bermigrasi melewati Eurasia hingga sampai ke Hungaria. Tujuan mereka untuk mencari padang rumput yang luas untuk makanan ternak-ternak mereka. Lalu mereka sendiri menikmati anggur-anggur dari pohonnya. Dimabuk kenikmatan dunia lalu menjadi bangsa lemah tak berdaya. Mati begitu saja.

Saya kurang begitu jelas dengan kisah itu karena hanya menukil dari buku-buku yang pernah saya baca. Mau googling pun malas kali rasanya. Namun yang ingin saya tekankan adalah pada arti pengembaraan itu sendiri. Perjalanan. Rasa ingin tahu yang bermuara pada tindakan untuk mencari tahu.

***

Pare, Kediri.
Agustus 2014

Baru beberapa hari saya di kota kecil ini tapi sudah banyak 'dosa' yang saya perbuat. Kemarin misalnya, air minum di kosan hampir habis. Selesai makan di RM terdekat, saya memaksa Dewa Galon mencucurkan air minumnya pada botol minum pribadi. Tentu saja tanpa seizin si ibu rumah makan. Atau 'membobol' listrik ibu kosan karena water kettle yang saya nyalakan pagi-pagi demi segelas milo hangat menyedot daya listrik se-kosan. Dua kali kepergok hampir gak bayar : di warung bakso dan swalayan. Itu karena saya yang lupa tapi penjaganya yang ingat. Rencananya, saya akan tinggal di sini 1-2 bulan. Tapi akhir-akhir ini saya merasa malas merencakan hidup. Dan itu ada sebabnya.

Saya adalah seorang sarjana standar. Lulus lebih lama 1 semester dari kawan seangkatan. Sehingga, ketika saya di wisuda, kawan lain mungkin sudah mapan with their settled job. Tadinya, saya pikir itu adalah suatu nilai plus. Lebih lama di kampus untuk menghasilkan karya atau prestasi yang bagus dengan memegang paham "mundur untuk ancang-ancang agar lompatan lebih jauh". Tadinya. Hingga pada satu waktu saya berpikir, apa artinya semua itu jika apa yang direncanakan belum membuahkan hasil. I tought I had my life mapped out.

Ketakutan terbesar dalam perjalanan adalah tersesat. Hilang arah. Seburuk-buruknya kehilangan arah, adalah kehilangan arah pada tujuan hidup. Mau menjalani hidup seperti apa dan ketika mati mau dikenang sebagai siapa. Yang namanya tersesat, pastilah tidak direncanakan, bukan?

***

Dari sini, saya panjatkan do'a-do'a pada Yang Maha Pemberi Petunjuk, semoga perjalanan berikutnya memang membuahkan hasil bagi kebaikan pribadi, ibu, ayah, keluarga. Dan saya harap semua itu adalah buah dari rencana yang memang direncanakan. Iringilah rencana-rencana hidupku dengan rencana-rencana terbaik-Mu.

Trip Intergalaksi

Selasa, 23 Juni 2020 03.22 dini hari Kisah ini saya tulis begitu bangun tidur dari mimpi yang tidak akan pernah saya lupakan. Mimpi yan...