Beri aku seribu orang, dan dengan
mereka aku akan menggerakkan Gunung Semeru. Beri aku sepuluh pemuda Indonesia
(yang membara cintanya kepada Tanah Air), dan aku akan mengguncang dunia. –
Soekarno.
Januari 27
Sore tadi pikiran saya
meletup-letup kala mendengar paparan dari CEO Daun Biru, Pak Furqan di
workshopnya di daerah Cimanggis, Depok. Letupan-letupan ini begitu kuat
sehingga saya putuskan untuk mengabadikannya dalam sebuah tulisan singkat ini.
Semoga bermanfaat untuk diri saya pribadi dan juga orang lain.
Awalnya, saya beserta rombongan
RnD kantor berkunjung ke Daun Biru dalam rangka studi banding, sharing, dan
juga saling tukar pikiran mengenai teknologi monitoring yang hendak kami
terapkan di produk mobil yang akan datang. Karena beliau adalah seorang alumni
Teknik Mesin, maka otak saya harus di-switch dulu ke mode otak kiri biar
obrolan kali ini nyambung.
Mendengar paparannya soal
teknologi monitoring mesin, saya terkagum-kagum karena kerja keras dan
cita-cita tingginya untuk berkiprah di dunia technopreneur yang betul-betul
memegang teguh sumpah wisudawan ITB yang mengabdikan diri pada bangsa.
Mulanya beliau bercerita soal
Saturn – V Rocket yang berhasil membawa manusia ke Bulan tahun 69. Dengan 400
engineernya, NASA berhasil membuat roket setinggi monas. Dengan pertanyaan
retorisnya beliau berkata : “ITB ada 70 ribu alumni. Pada kemana?”
Dalam hati, saya bilang ‘jualan
di FJB’. Memang bagus kok berdagang itu. Toh Rasulullah juga menjadi saudagar
yang hidup sederhana itu hasil dari berdagang ke mana-mana. Bedanya sama
teman-teman saya yang di FJB, mostly yang dijual produk-produk china, US, Taiwan,
Singapore, dan lain-lain. Semisal powerbank, smartphone, tab, laptop, nike
shoes, dan brand-brand kenamaan lainnya. Sama-sama jualan tapi berbeda
barangnya toh? Taste-nya berbeda. ‘Iyalah rasa brand besar mah prestige-nya tak
sama dengan Cibaduyut’, begitu kata mereka. Lalu di mana mereka yang banyak
berkoar soal perampasan Freeport? Di mana mereka yang emosi ketika tempe saja
diklaim? Di mana mereka yang diminta antar barang ke kampus saja malas karena
hujan? Kalau berjalan segitu saja sudah malas, bagaimana bisa keliling dunia?
Bagaiman bisa dikenal dunia? Terlalu banyak retorika sampai saya mual
dibuatnya. Sudah akhiri saja overthinking ini, saatnya buat action plan.
Ada statement yang cukup menampar
yakni ketika beliau memperjelas kondisi cendekiawan-cendekiawan,
sarjana-sarjana atau pakar-pakar di bidang tertentu di negara ini yang justru
saling menjatuhkan jika ada pihak lain (competitor) yang dinilai akan
merugikan. Contoh singkat saja begini : Jika ada inovasi di Universitas A yang
hampir mirip dengan Universitas B namun Univ A lebih memiliki keunggulan, makan
Univ B seolah-olah meragukan atau bahkan malah menjelek-jelekkan temuan Univ A.
Bukannbya menutupi kesalahannya lalu mendukung untuk berkembang lebih lagi.
Kenapa? Takut pangsa pasarnya direbut? Kondisi seperti ini kerap terjadi di
ajang-ajang lomba antar Universitas. Tak jarang memang saya temukan saling
sindir antar perguruan tinggi ketika kejuaraan berlangsung. Atau yang lebih
parah, tim yang kalah tidak mau menerima kekalahan sehingga berakibat pada
rusaknya hubungan antar universitas. Saya mengalami hal itu, dan memang, bangsa
kita belum mampu untuk menghiraukan prasangka pada orang lain. Pintar sendiri
itu mudah. Maju sendiri itu mudah. Yang sulit itu maju dan pintar bersama-sama.
Itu kan cita-cita bangsa yang dari dulu digaung-gaungkan?
Lalu real actionnya seperti apa? Idealisme
seperti apa yang perlu dimiliki? Orang sini banyak yang sudah lelah menjadi
idealis-idealis yang berusaha mengabdi pada bangsanya namun dicampakkan begitu
saja karena birokrasi dan sengitnya ‘permainan’ di pemerintahan.
Pengalaman-pengalaman kegagalan menjadi technopreneur dengan produk-produk
inovasi dalam negeri lebih banyak (yang diceritakan pada adik kelas) ketimbang
pengalaman kesuksesan sana sini (yang tidak ter-ekspose secara jelas).
Belum-belum mulai sudah ragu duluan. Atau sudah maju, bingung mau ke mana.
Karena hidup harus juga mikirin perut, maka tidak sedikit lah mereka-mereka yang
ketika kuliah menggaung-gaungkan technopreneur think globally act locally,
kemudian memutuskan bekerja di perusahaan perusahaan asing yang jauh lebih
bonafit dan bergaji tinggi. Well life’s is a matter of choices indeed. Tapi
sebelum memilih tentu ada ikhtiarnya dulu. Sejauh apa usahanya. Sekeras apa
pekerjaannya. Sesulit apa masalah-masalah yang pernah dilaluinya. Bukan maksud
saya menganggap bekerja di perusahaan asing itu jelek. Bukan juga ungkapan
kekecewaan pribadi yang pernah gagal masuk multinational company. Namun semakin
ke sini, banyak sekali hal-hal/kejadian-kejadian tidak terduga yang membuka
mata saya bahwa bangsa ini besar dan cukup pantas untuk bilang ‘better die on
our own feet than life on your knee’.
Kita hidup di Era peperangan tanpa senjata api atau bambu runcing.
Kita hidup di era perang pemikiran yang berujung pada tindakan. Action. Bukan
soal secepat apa lesatan peluru yang ditembakkan, tapi secepat apa kita
bertindak. Bukan setajam apa bambu yang dilesakkan, tapi setajam apa kita
berpikir. Penjajah bukan lagi mereka, orang asing yang menginjakkan kaki di
bumi pertiwi, tapi mereka yang mengeruk isi perutnya secara barbar tanpa kita sadari,
dan bangsa kita baru sadar betapa berharganya yang kita miliki setelah kita
kehilangan tanpa pernah mencicipi.
Ibu Pertiwi, seorang ibu modern yang sudah kekinian dan melek akan perkembangan jaman. Beliau rela melepas anaknya merantau jauh, jauh ke negeri orang karena beliau sadar bahwa pendidikan adalah bekal kehidupan. Berharap kembali membawa ilmu segudang lalu menaikkan taraf kehidupan sang Ibu agar di kemudian hari keluarganya senang riang. Anak si ibu yang merantau kini sudah puluhan ribu. Mereka tersebar di berbagai penjuru dunia dengan skill dan wawasan yang jauh di atas anak-anaknya yang di dalam rumah sang ibu. Puluhan tahun sang ibu menanti kepulangan mereka dan berharap mimpi-mimpinya tentang kehidupan yang layak, masa depan gemilang, naik haji, atau sekedar mengisi perut pun rasanya masih jauh dari kenyataan. Anak-anak rantaunya memang pulang setelah mendapat berbagai gelar dan keilmuan yang amat kaya. Tapi kini mereka ‘mengawini’ putri cantik blasteran anak saudagar kaya yang dulu ditemuinya ketika merantau. Meninggalkan ibunya dan saudara-saudaranya di rumahnya yang dulu mereka hidup bersama. Sekarang sang Ibu sudah tua. Rasanya sulit memaksa anak-anak rantaunya untuk pulang dan mewujudkan mimpinya tentang hidup yang indah di masa depan. Dia hanya bisa bertanya-tanya dan mencoba menyadarkan anak-anaknya “Apakah kalian masih mencintai Ibu?”
***
Bonus. Koleksi buku di sana. Urusan belinya mah nanti lagi.