27.1.15

Jalan-jalan Sore

Beri aku seribu orang, dan dengan mereka aku akan menggerakkan Gunung Semeru. Beri aku sepuluh pemuda Indonesia (yang membara cintanya kepada Tanah Air), dan aku akan mengguncang dunia. – Soekarno.

Januari 27
Sore tadi pikiran saya meletup-letup kala mendengar paparan dari CEO Daun Biru, Pak Furqan di workshopnya di daerah Cimanggis, Depok. Letupan-letupan ini begitu kuat sehingga saya putuskan untuk mengabadikannya dalam sebuah tulisan singkat ini. Semoga bermanfaat untuk diri saya pribadi dan juga orang lain.


Awalnya, saya beserta rombongan RnD kantor berkunjung ke Daun Biru dalam rangka studi banding, sharing, dan juga saling tukar pikiran mengenai teknologi monitoring yang hendak kami terapkan di produk mobil yang akan datang. Karena beliau adalah seorang alumni Teknik Mesin, maka otak saya harus di-switch dulu ke mode otak kiri biar obrolan kali ini nyambung.

Mendengar paparannya soal teknologi monitoring mesin, saya terkagum-kagum karena kerja keras dan cita-cita tingginya untuk berkiprah di dunia technopreneur yang betul-betul memegang teguh sumpah wisudawan ITB yang mengabdikan diri pada bangsa.

Mulanya beliau bercerita soal Saturn – V Rocket yang berhasil membawa manusia ke Bulan tahun 69. Dengan 400 engineernya, NASA berhasil membuat roket setinggi monas. Dengan pertanyaan retorisnya beliau berkata : “ITB ada 70 ribu alumni. Pada kemana?”

Dalam hati, saya bilang ‘jualan di FJB’. Memang bagus kok berdagang itu. Toh Rasulullah juga menjadi saudagar yang hidup sederhana itu hasil dari berdagang ke mana-mana. Bedanya sama teman-teman saya yang di FJB, mostly yang dijual produk-produk china, US, Taiwan, Singapore, dan lain-lain. Semisal powerbank, smartphone, tab, laptop, nike shoes, dan brand-brand kenamaan lainnya. Sama-sama jualan tapi berbeda barangnya toh? Taste-nya berbeda. ‘Iyalah rasa brand besar mah prestige-nya tak sama dengan Cibaduyut’, begitu kata mereka. Lalu di mana mereka yang banyak berkoar soal perampasan Freeport? Di mana mereka yang emosi ketika tempe saja diklaim? Di mana mereka yang diminta antar barang ke kampus saja malas karena hujan? Kalau berjalan segitu saja sudah malas, bagaimana bisa keliling dunia? Bagaiman bisa dikenal dunia? Terlalu banyak retorika sampai saya mual dibuatnya. Sudah akhiri saja overthinking ini, saatnya buat action plan.

Ada statement yang cukup menampar yakni ketika beliau memperjelas kondisi cendekiawan-cendekiawan, sarjana-sarjana atau pakar-pakar di bidang tertentu di negara ini yang justru saling menjatuhkan jika ada pihak lain (competitor) yang dinilai akan merugikan. Contoh singkat saja begini : Jika ada inovasi di Universitas A yang hampir mirip dengan Universitas B namun Univ A lebih memiliki keunggulan, makan Univ B seolah-olah meragukan atau bahkan malah menjelek-jelekkan temuan Univ A. Bukannbya menutupi kesalahannya lalu mendukung untuk berkembang lebih lagi. Kenapa? Takut pangsa pasarnya direbut? Kondisi seperti ini kerap terjadi di ajang-ajang lomba antar Universitas. Tak jarang memang saya temukan saling sindir antar perguruan tinggi ketika kejuaraan berlangsung. Atau yang lebih parah, tim yang kalah tidak mau menerima kekalahan sehingga berakibat pada rusaknya hubungan antar universitas. Saya mengalami hal itu, dan memang, bangsa kita belum mampu untuk menghiraukan prasangka pada orang lain. Pintar sendiri itu mudah. Maju sendiri itu mudah. Yang sulit itu maju dan pintar bersama-sama. Itu kan cita-cita bangsa yang dari dulu digaung-gaungkan?

Lalu real actionnya seperti apa? Idealisme seperti apa yang perlu dimiliki? Orang sini banyak yang sudah lelah menjadi idealis-idealis yang berusaha mengabdi pada bangsanya namun dicampakkan begitu saja karena birokrasi dan sengitnya ‘permainan’ di pemerintahan. Pengalaman-pengalaman kegagalan menjadi technopreneur dengan produk-produk inovasi dalam negeri lebih banyak (yang diceritakan pada adik kelas) ketimbang pengalaman kesuksesan sana sini (yang tidak ter-ekspose secara jelas). Belum-belum mulai sudah ragu duluan. Atau sudah maju, bingung mau ke mana. Karena hidup harus juga mikirin perut, maka tidak sedikit lah mereka-mereka yang ketika kuliah menggaung-gaungkan technopreneur think globally act locally, kemudian memutuskan bekerja di perusahaan perusahaan asing yang jauh lebih bonafit dan bergaji tinggi. Well life’s is a matter of choices indeed. Tapi sebelum memilih tentu ada ikhtiarnya dulu. Sejauh apa usahanya. Sekeras apa pekerjaannya. Sesulit apa masalah-masalah yang pernah dilaluinya. Bukan maksud saya menganggap bekerja di perusahaan asing itu jelek. Bukan juga ungkapan kekecewaan pribadi yang pernah gagal masuk multinational company. Namun semakin ke sini, banyak sekali hal-hal/kejadian-kejadian tidak terduga yang membuka mata saya bahwa bangsa ini besar dan cukup pantas untuk bilang ‘better die on our own feet than life on your knee’.

Kita hidup di Era  peperangan tanpa senjata api atau bambu runcing. Kita hidup di era perang pemikiran yang berujung pada tindakan. Action. Bukan soal secepat apa lesatan peluru yang ditembakkan, tapi secepat apa kita bertindak. Bukan setajam apa bambu yang dilesakkan, tapi setajam apa kita berpikir. Penjajah bukan lagi mereka, orang asing yang menginjakkan kaki di bumi pertiwi, tapi mereka yang mengeruk isi perutnya secara barbar tanpa kita sadari, dan bangsa kita baru sadar betapa berharganya yang kita miliki setelah kita kehilangan tanpa pernah mencicipi.


Ibu Pertiwi, seorang ibu modern yang sudah kekinian dan melek akan perkembangan jaman. Beliau rela melepas anaknya merantau jauh, jauh ke negeri orang karena beliau sadar bahwa pendidikan adalah bekal kehidupan. Berharap kembali membawa ilmu segudang lalu menaikkan taraf kehidupan sang Ibu agar di kemudian hari keluarganya senang riang. Anak si ibu yang merantau kini sudah puluhan ribu. Mereka tersebar di berbagai penjuru dunia dengan skill dan wawasan yang jauh di atas anak-anaknya yang di dalam rumah sang ibu. Puluhan tahun sang ibu menanti kepulangan mereka dan berharap mimpi-mimpinya tentang kehidupan yang layak, masa depan gemilang, naik haji, atau sekedar mengisi perut pun rasanya masih jauh dari kenyataan. Anak-anak rantaunya memang pulang setelah mendapat berbagai gelar dan keilmuan yang amat kaya. Tapi kini mereka ‘mengawini’ putri cantik blasteran anak saudagar kaya yang dulu ditemuinya ketika merantau. Meninggalkan ibunya dan saudara-saudaranya di rumahnya yang dulu mereka hidup bersama. Sekarang sang Ibu sudah tua. Rasanya sulit memaksa anak-anak rantaunya untuk pulang dan mewujudkan mimpinya tentang hidup yang indah di masa depan. Dia hanya bisa bertanya-tanya dan mencoba menyadarkan anak-anaknya “Apakah kalian masih mencintai Ibu?”

***

Bonus. Koleksi buku di sana. Urusan belinya mah nanti lagi.




26.1.15

Becanda-canda

Terlihat dari keseharian penduduk Indonesia yang mayoritas gemar tontonan komedi, maka tidak salah kalau negeri ini banyak becanda. Seperti yang diberitakan edia akhir-akhir ini.

Untuk urusan becanda, saya jadi merindukan momen-momen candaan jaman kuliah atau di sekitar rumah. Yang unik dan mesra tapi brutal juga. Berbeda dengan kantor. Sebagai satu-satunya manusia seni rupa dan desain yang mindsetnya agak berbeda dengan orang-orang engineering, saya merasa candaan saya terkena demam Fernando Torres, kadang masuk kadang enggak. Kalau di otak saya sedang asyik-asyiknya bermain carrousel misalnya, kadang teman lain asyik bermain lego. Jadi satu-satunya desainer memang asyik. Asyiknya tuh di sini. Ya banyak benefitnya lah, dari mulai jadi head designer amatiran, pengadaan fasilitas untuk desainer yang hampir sekehendak saya, dan dianggap paling keren karena bisa gambar idung yang gak mletot. Tapi karena jadi minoritas, tidak selamanya dieksklusifkan.

Januari 24.

Weekend. (adv)
Saat di mana manusia Indonesia mainstream melancong ke tempat wisata atau mengunjungi keluarga setelah seminggu bergulat di peraduan.

Namun kata itu tidak cocok disematkan pada tempat saya bekerja. Hari ini saya ditugaskan untuk survey ke Jakarta sama Bang Arul. Sebenarnya ini bukan survey. Boleh dibilang jalan-jalan lah. Lumayan deh gratis.



Berangkat dari Stasiun Depok naik Komuter ke Stasiun Juanda. Dari sana, mulailah petualangan kami mengubek-ubek Jakarta. Naik bis City Tour gratisan karena bis inilah yang saya survey. Jeprat jepret sana ini buat lihat detailnya, materialnya, mounting, dan terkadang motret yang bening-bening(windshield). Turun di Bunderan HI lalu naik Bis Transjakarta yang juga mau disurvey. Tapi padet banget jadi gak bebas foto-foto selain foto ketek. Singkatnya, selesai jam 4 sore lalu pulang dengan jalur yang sama. Seru lah mayan meskipun jempol kaki kiri agak cantengan bekas futsal kemarin. Pulang harus cepat cepat karena ada agenda besar yang sedang menunggu. Party brooo.




Awalnya hanya wacana si bang Rohman yang ngajak saya rental PS di kontrakan lalu menyebar bak virus Ebola ke seluruh kantor. Akhirnya event sparing PS pun dijogres dengan bakar jagung dan bakar ikan. Tanpa banyak rencana, malam minggu kemarin pun menjadi malam kebahagiaan para jomblo yang biasanya headstand di kosan kalau malam minggu tiba.



Saya sendiri di kantor sampai jam 4 subuh ditemani Pak candra satpam, pak riza, bang rohman dan bayu. Pulang subuh karena tak tahan gempuran nyamuk kantor. Urusan beres-beres saya nanti-nantiin aja karena badan lelah yang gak bisa diajak kompromi. Akhirnya, saya tidur seperti beruang kutub dalam kulkas dari jam 7 sampai jam 2 siang.

Lagi-lagi saya update soal status keuangan. Tinggal 20rb bro di dompet buat 4 hari. Could it be possible?





22.1.15

Fulus - Seminggu



Sudah seminggu
Hujan melulu
Seolah ia tlah tahu
Jemuranku tak tentu

Tak mungkin bila
Ke laundry mulu
Karna di dalam dompetku
Tinggal sepuluh rebu

Setiap pagi
Perutku sudah kukuruyuk
Maunya sarapan dulu
Agar kuat badanku

Cukup bagiku
Makannya Cuma pake gehu
Di setiap pagiku, siangku, malamku..

Gajian masih lama
Setiap hari puasa
Demi hemat biaya
Kalau gak warteg, ya nasi padang

Kompor pun belum punya
Masaknya belum bisa
S’moga bisa bertahan
Sampai ke akhir bulan..

Ooh… Tak akan lagi.. Sarapan ayam ya cuma tahu..
Daan.. tak ada lagi es jus manis, atau susu..

Back to Intro 2

Ooh… Tak akan lagi.. Sarapan ayam ya cuma tahu..
Daan.. tak ada lagi es jus manis, atau susu..

Jujur memang, sakit di hati
Bila kini nyatanya  kehabisan biaya
Tapia da loh yanglebih sakit
Ada di sebuah lagu, punya Cita Citata..



16.1.15

Bulan Hampir Tua

Alhamdulillah sudah pindah kosan. Memang jadinya makin jauh dari kantor tapi setidaknya lebih bersih, tanpa mengganggu privasi, dan yang paling penting, saya bisa mendesain interiornya seenak udel saya. Meskipun saya belum pernah mencicipi udel sendiri, tapi saya yakin enak.

Januari 14.
Si Bontel baru sampai ke kantor dikirim tiki dengan balutan karung dan gabus. Dengan adanya si bontel ini, jadi lebih mudah eksekusi pemindahan barang-barang. Jam 7 malam mulai. Teman sekamar saya, alias manager di R&D bilang memang tidak keberatan kalau saya sekontrakan sama beliau, dengan pembayaran setengah-setengah. Tapi itu tidak mengurungkan niat saya sedikitpun. Masalahnya adalah, saya tidak kerasan kalau kamar kotor, lingkungan yang agak kumuh, bising. Walaupun kamar saya di Bandung tidak jarang berantakan, tapi kalau kebersihan pasti tetap dijaga. Kotor dengan berantakan adalah dua hal yang berbeda. Toh kamar itu menunjukkan pribadi seseorang. Ya semoga dengan pindahnya kontrakan saya jadi lebih mandiri dan dimudahkan rejeki. (tereak amin pake toa masjid)

Januari 15.
Orang-orang kantor pada cabut ke JKT mau ketemu Pak Ahok setelah kemarin-kemarin doi mengeluarkan statement : ”kalo ada yang nawarin bis listrik saya bakal senang”. Undangan dari kantor gubernur datang H-1. Makanya dari kemarin hampir semua orang di dunia engineering hectic luar biasa. Sepertinya cuma saya sendiri yang duduk manis depan laptop ngedonlot Ini Talkshow sambil nahan berak. Akibatnya, kantor sunyi dan itu sebuah keuntungan bagi kami para karnivor yang tidak ikut ke JKT untuk membabat habis snack pagi berupa cireng karet dan tempe mendoan. Siangnya juga membajak semangka dari bang Kapsin setelah sebelumnya doi mentraktir orang-orang kantor dengan soto ayam di Pondok Rajeg. Ada hikmahnya juga gak ketemu gubernur. Awet batere tubuh.
Sore hari pulang cepat. Ingat kontrakan masih belum beres. Berkali-kali beli lampu baru karena penghuni sebelumnya tidak mewariskan apa-apa selain ember cat. Untungnya, saya menempati kontrakan yang baru beres direnovasi toiletnya dan juga cat ulang walaupun saya kurang sreg dengan pemilihan warna pink ini.

Januari 16.
Rencananya hari ini nganter bang Rohman yang mau lamaran di Jember. Saya nganter sampe stasion aja lah, masa sampai depan calon mertuanya. Motornya dikasih pinjam ke saya, katanya buat kemana-mana daripada pake sepeda mulu capek. Sepertinya doi sudah mempersiapkan sesiap mungkin buat moment yang satu ini. Semoga aja gol, biar kita-kita kecipratan rejekinya. Kali aja taun depan saya bisa menyusul. (scroll-scroll kontak di hp > Nyari temen cewek yang menarik hati > Nemu > tapi banyak tapi > close)

Semenjak dititipin motor sama Bang Rohman, saya betul-betul memanfaatkannya. Pulang kerja langsung batbitbet ke Cibinong City Mall. Niatnya mau ke Ace Hardware atau Informa cari-cari book shelf atau cabinet yang design banget gitu. Lesson learned when I arrived : Jangan sok-sokan hunting well-designed furniture lah kalo bermodalkan duit pas-pasan. Saya beli floating shelf yang beli satu gratis satu lagi. Pikir panjang dulu sih tapi hasrat sudah tak tahan lagi. Habis 270k dan liat isi dompet udah ngos-ngosan. Pulang ke kontrakan niatnya mau langsung pasang eh ternyata susah banget gilak. Perlu bor. Sampe jam 22.00 masih goyang-goyangin obeng buat nacepin paku baut ke tembok. Frustrasi.Tidur sambil dengerin Fajri FM. Kesambet apa gue. Tapi biasanya selalu mendadak soleh kalau jauh dari rumah. Why nyak? Alhamdulillah.


Barusan waktu nulis kalimat di atas itu saya kepikiran mau melakukan sesuatu tapi lupa lagi. Kzl. Apa sih ya? Tolong saya Ultramen..

12.1.15

Freelance di Tengah Prahara Kerjaan Kantoran

Jam 7 malam dan saya adalah satu-satunya pegawai yang masih di kantor. Ya emang ada satpam sih tapi doi mah di luar. Saya masih berkutat sama kerjaan sampingan. Kayak orang gila kali. Ini semata-mata demi menutupi anggaran bulanan yang habis waktu pulang ke Bandung kemarin. Bukannya hemat, di Bandung malah habis buat kirim sepeda, servis gitar, beli senar, juga ongkos pp Bandung-Cibinong. Tapi alhamdulillah kerjaan sampingan yang barusan sudah berlalu. Tinggal menunggu kiriman. Kiriman karikatur juga belum ternyata. Kalau sudah ada mau saya pakai buat dekor-dekor kontrakan baru. Konon kabarnya, si empunya kontrakan lagi renov (cat ulang, bersih-bersih, ganti pintu kamar mandi, dsb). Rabu besok saya sudah bisa menempatinya.







Itu freelance-an tempo hari. Kalo soal kerjaan kantor, masih classified euy. Ya kalo di behance itu ibaratnya masih Work In Progress tapi gabisa dikasih feedback. Bisa repot kalo bos tau. But I'm pretty sure it's gonna be awesome works. 

8.1.15

Double Job

Akhir-akhir ini agak disibukkan dengan 2 hal : pekerjaan tetap dan freelance-an. Memang pressure kerjaan cukup berat. Dari jam 7 pagi sudah berkutat dengan laptop, desain-desain, atau printilan yang lain-lain. Pulang pun biasanya agak malam. Freelance-an ini saya ambil karena bobot fee-nya cukup lumayan sih walau deadlinenya seminggu. Yaa nguras energi lebih lah kalau hasilnya mau lebih juga. Begitu kan Pak Mario?

Tadi pagi ke workshop. Survey-survey sama analisis kendaraan buat desain mobil terbaru. Pulang lagi ke kantor buat finishing sketch-sketch sebelumnya. Habis ini masih ada yang lain. Meskipun berat, alhamdulillah saya masih exited mengerjakan ini. Semoga kedepannya tetap sesemangat ini dan juga diberi kesehatan jiwa raga dari Yang Maha Kuasa.




Sekitar tiga harian lagi, desain mobil saya ini ulang tahun. Aneh kan? Mobilnya belum lahir tapi udah ulang tahun aja. Ya nama mobil ini diambil dari nama orang. Nah orangnya ulang tahun. Sempat juga terlintas buat ngirim ini itu. Tapi, banyak tapinya. Entahlah, saya kebanyakan prasangka akhir-akhir ini sama orang yang bersangkutan.


5.1.15

Catatan Awal Tahun

Assalamu'alaikum. 

Saya berikrar untuk terus mengupdate blog underground ini dengan ilmu-ilmu dan pengalaman yang saya dapat selama merantau di kota orang. Mudah-mudahan saya masih bisa menyisakan waktu menulis sepulang kerja (macam ini) lalu mempostingnya keesokan hari sebelum masuk kerja pakai wi-fi kantor.

Bandung , 3 Januari 2015

Tempo hari sekeluarga touring-touringan ke Bogor, tepatnya Cibinong demi mengantar saya yang katanya diterima pekerjaan. Perusahaan kecil sih, tapi Alhamdulillah saya bisa belajar banyak di sini. Untuk sementara, saya juga stay di kontrakan manager R&D-nya karena belum menemukan kontrakan yang sreg. Suasana kantornya nyaman sih. Pedesaan, religious, dan masih ada lah orang-orang sunda, jadi saya gak kesepian amat. Tapi ya namanya stay sama orang kan beda. Makanya saya giat cari-cari kontrakan sekitar kantor sampai saat ini, karena belum nemu-nemu juga. Biasanya saya merasa biasa-biasa saja meninggalkan Bandung, dalam waktu lama. Tapi ini lain. The hardest part of leaving Bandung at this time, mostly karena berpamitan pada ibu yang saat itu berkaca-kaca. Tidak biasanya beliau begitu. Tapi isak tangis itu toh tak bertahan lama. Baru  4 hari di Bogor, saya pulang lagi ke Bandung. Libur akhir tahun, haha. Kalau gak dapet gaji pertama sih saya enggan pulang ke Bandung. Tapi Alhamdulillah dapat gaji pertama yang gak besar-besar amat, saya berencana menggelar syukuran. Triple. Wisuda, karir, dan Maulid Nabi. Mungkin dari keluarga ada tambahan, syukuran keselamatan Om dan keluarganya yang selamat dari accident di Sumedang.

Di perjalanan pulang dari Bogor ke Bandung, saya gencar mengontak beberapa teman kuliah SMA, karang taruna,dll untuk hadir di syukuran ini. Ada beberapa yang bisa, ada yang tidak memberi kabar, ada pula yang katanya akan memberi kabar namun ketika ditunggu tak kunjung ada kabarnya.

Sabtu sorenya, teman-teman Karang Taruna sudah berkumpul di ruang keluarga. Namanya juga syukuran kecil-kecilan, ya pasti gak ada dangdut oplosan sebagai opening ceremony. Hanya dzikir, do’a untuk keberkahan serta kelapangan rezeki, keselamatan, dan segala kebaikan. Nasi tumpeng sederhana yang dibuat oleh ibu dan tetangga cukup membuat syukuran ini begitu berkesan buat saya pribadi. Kesan yang baik tentunya. Saya percaya, kelapangan dan keberkahan rezeki itu pintunya ada pada ridho orang tua. Semoga dengan mendedikasikan seluruh gaji pertama untuk orangtua, ada keberkahan untuk kami semua. Aaaminn.

Jam 7 malam. Si Ryan yang baru pulang dari Jakarta akhirnya datang juga. Satu-satunya teman di luar lingkungan rumah yang bisa hadir. Karena kemalaman juga, dia menginap di sini. Tamu lain yang saya tunggu bahkan tak ada balasan lagi. Sudah cukuplah sepertinya saya berharap pada ketidakpastian.

Malamnya saya ke Si Omen dulu. Ada perlu sama Karang Taruna yang hendak saya tinggalkan dulu. Ya cuap-cuap masa kini yang mungkin hanya angin lalu bagi mereka. I did a modest goodbye ever. I guessed I should avoid tears and I made it. Keesokan harinya, saya tinggalkan Bandung.





Bogor, 5 Januari 2015

Hari pertama kerja di tahun ini. Saya diajak ke tempat karoseri di daerah Bogor Selatan. To be honest, it was the best place I’ve ever found in Bogor, so far. Akhirnya saya menemukan orang karoseri yang asyik. Pak Dedi namanya. Orangnya gokil. Tua-tua makin berisi ilmunya. Sudah kemana-mana beliau itu. Lulusan Shelby pantes aja usahanya oke. Saya dikasih kesempatan lihat-lihat isi perusahaannya. Seru kali, bah! Seperti mimpi. Baru tahu kalau ada industry keren macam begini. Buat fiber glass hi-quality yang tekniknya udah level atas. Detailing yang setara pabrikan otomotif kelas dunia. No wonder di dalamnya banyak parts mobil Suzuki, Toyota, Daihatsu, Hyundai, dan lainnya. I’d say that this place is a heaven for every product designers. Belum lagi suasana kantornya yang berada di kaki Gunung  Salak. Ntap bis dah. Semoga si bos deal sama perusahaan ini supaya saya bisa sering-sering ke sana.








***

Pulang dari sana siang hari ketika lalu lintas kota Bogor sedang cantik-cantiknya macet. Mampir dulu ke rumah si Rama di daerah stasiun Paledang Bogor buat makan soto. Pulang habis solat Dzuhur. Perjalanan pulang kali ini bukan kesukaan saya. Kali ini, manager saya yang nyetir. Saya kurang suka saja naik mobil yang aura di dalamnya temperamental. Ada yang ngalangin, komentar. Angkot ngetem, komentar. Sampai pejalan kaki yang lewat depannya pun dikata-katain. Chilldish. Sarkas. Memang begitu kan kalau naik mobil. Don’t blame the traffic. You are the traffic. Tapi masa iya saya komentar begitu? Kalau kata orang sini ‘YAKALE?’. Untunglah kami sampai di kantor dengan selamat. Laporan ke bos soal progress-progress, beresin ini itu, pulang.




***

Trip Intergalaksi

Selasa, 23 Juni 2020 03.22 dini hari Kisah ini saya tulis begitu bangun tidur dari mimpi yang tidak akan pernah saya lupakan. Mimpi yan...