“Terkadang saat kita sudah benar-benar lelah dan menyerah,
Allah bercanda dengan mengabulkan harapan yang sudah lama kita relakan.”
Itu sebuah update status seorang kawan di timeline Line.
Mungkin kata ‘bercanda’ di atas agak terdengar sarkas. Mungkin maksudnya bahwa
Allah selalu tidak terduga. Dia yang selalu mengawasi, yang paham timingnya
kapan sebuah harapan dan do’a kita harus dikabulkan.
Februari 22
Cuaca begitu cerah. Saya hanya keluar untuk makan di warung
padang dekat kantor setelah terbangun dari tidur pagi jam 2 siang, karena
semalam sebelumnya begadang bersama tetangga. Sore tadi, di kamar kecil ini,
saya hanya terlentang sambil memandang langit-langit kamar. Lamunan saya tentang hidup ini kemudian diinterupsi oleh
panggilan telepon ayah. Beliau bertanya kabar dan mengobrol sana sini terutama
tentang rencana bulan depan yang akan berkunjung ke sini. Panggilan ditutup,
saya kembali melanjutkan lamunan.
Langit-langit kamar kontrakan terlihat seperti cermin. Ada
pantulan diri saya di sana. Melihat manusia perawakan cungkring yang tidak
tampan-tampan tetapi cukup keren membuat saya geer sendiri. Di langit-langit
itu saya pun melihat diri saya lebih dalam. Terlihat dari luar, kau memang
seperti banyak kawan tapi sebenarnya ada ruang sepi yang amat luas di dalamnya.
Menulis tentang kesepian membuat saya linglung, tidak tahu
harus memulai dari mana. Kalau saya mulai dari perempuan yang saya taksir,
selalu terkesan cheesy ketika dibaca ulang. Kalau saya mulai dari kegelisahan
hati, terlalu drama. Kalau saya mulai dari… ah kebanyakan mikir. Mungkin harus
mulai dari sekarang.
Ini tentang hati yang seolah diayun-ayun oleh kora-kora
dufan. Akhir-akhir ini saya kembali diajak bernostalgia oleh kenangan-kenangan
masa SMP SMA dan awal-awal perkuliahan. Nostalgia sialan. Karena datangnya
keroyokan di saat saya perfectly lonely. Ada monitor besar di otak saya yang
sedang memutar film lama di mana di dalamnya terdapat scene-scene yang saya
hafal. Misalnya, scene di jalan sumur bandung, habis magrib, dan cuaca hujan.
So melodrama. Saat itu, jujur saja, saya sedang tergila-gila pada perempuan
ini. Yang saya tunggu ketika ia pulang lesnya. Yang saya harap saya bisa
mengantarnya pulang tapi dia berlalu begitu saja di depan mata. Atau scene di
sebuah gigs band favorit yang diadakan salah satu universitas. Atau scene
ketika saya adalah anak yang tidak tahu sopan santun di mata orang tuanya. Dan
scene-scene lainnya. Dan semuanya sama. Tentang seorang perempuan yang pernah
lewat dalam hidup saya. Perempuan yang dulu saya harap,yang pernah saya kejar
hingga membuat lelah, yang kemudian saya relakan, tenggelamkan dalam kesibukan
saya, dan kini , dengan izin Allah, harapan ini kembali menyeruak ke permukaan.
Di kamar ini, sore tadi. Pembicaraan dengan langit-langit
itu sejatinya hanya satu arah, namun saya merasakan ada obrolan sengit. Ini
tentang cara pandang saya pada perempuan yang saya kagumi, sukai, hingga saya
(seolah-olah) perjuangkan (habis-habisan). Apakah benar saya mencintai
perempuan dan saya membutuhkan kasih sayangnya atau hanya nafsu belaka? Apakah
saya butuh cintanya atau hanya ingin memilikinya dalam konteks hubungan saja?
Postingan saya yang lalu terkesan sangat kental dengan aroma
drama. Tutur kata dalam tulisan saya seolah-olah seperti pria yang mendamba
cinta pada wanita-wanita yang pernah dijumpai dalam hidupnya. Saya pernah
melakukan hal ini itu padanya, saya sedang merasa seperti ini itu, hingga saya
seolah-olah punya rencana matang bahwa saya ‘akan kembali’ padanya dengan
kondisi yang lebih baik. Entah baik macam apa. Setan pun tak tahu itu. Saya
merasa bahwa saya belum cukup paham tentang cinta. Pria matang atau dewasa itu
relatif. Semakin lama saya memandang langit-langit itu, semakin besar gaung
yang terdengar itu. “Sudah dewasakah saya dalam menyikapi urusan hati?”
Setiap dewasa, laki-laki dan perempuan tentu berharap
mendapat sosok jodoh yang ideal di masa depannya. Seorang teman hidup sampai
maut memisahkan. Begitu kata lagu-lagu dan syair puitis. Saya pun ingin seperti
itu. Bahkan saya ingin mencintai seorang perempuan sampai mati lalu bertemu
lagi di surga kelak.
Kora-kora Dufan ini seperti tidak mau berhenti. Bahkan
semakin kencang. Ingin sekali saya menjajaki kembali hubungan asmara-asmara
masa muda. Namanya juga manusia. Tapi menyadari
akan ketakutan saya pada kendali nafsu, dan juga umur sudah bukan
remaja, saya selalu dihadapkan pada preseden-preseden buruk masa lalu atau
kemungkinan-kemungkinan di masa datang. Entah itu baik atau buruk untuk saya
dan juga pasangan saya nantinya. Hal ini yang menjadi pertimbangan saya untuk
menerima hati perempuan pilihan yang nantinya akan menjadi partner seumur hidup
saya. Lewat jalur resmi yang namanya pernikahan.
Langit-langit kamar ini juga mencerminkan saya seolah-olah
sambil bertanya, “Sudah sesiap apa kamu untuk menjadi imam? Bagi istrimu,
anak-anakmu, keluargamu.” Karena kehidupan rumah tangga bukan hanya sekadar
cinta. Itu yang masih menjadi bahan renungan saya akhir-akhir ini. Semoga Allah
memberi kemudahan dan cahaya terang bagi setiap jalan saya. Aaamiin.
Pagi ini di kontrakan |