23.2.15

Phobia

“Terkadang saat kita sudah benar-benar lelah dan menyerah, Allah bercanda dengan mengabulkan harapan yang sudah lama kita relakan.”

Itu sebuah update status seorang kawan di timeline Line. Mungkin kata ‘bercanda’ di atas agak terdengar sarkas. Mungkin maksudnya bahwa Allah selalu tidak terduga. Dia yang selalu mengawasi, yang paham timingnya kapan sebuah harapan dan do’a kita harus dikabulkan.

Februari 22

Cuaca begitu cerah. Saya hanya keluar untuk makan di warung padang dekat kantor setelah terbangun dari tidur pagi jam 2 siang, karena semalam sebelumnya begadang bersama tetangga. Sore tadi, di kamar kecil ini, saya hanya terlentang sambil memandang langit-langit kamar. Lamunan saya  tentang hidup ini kemudian diinterupsi oleh panggilan telepon ayah. Beliau bertanya kabar dan mengobrol sana sini terutama tentang rencana bulan depan yang akan berkunjung ke sini. Panggilan ditutup, saya kembali melanjutkan lamunan.

Langit-langit kamar kontrakan terlihat seperti cermin. Ada pantulan diri saya di sana. Melihat manusia perawakan cungkring yang tidak tampan-tampan tetapi cukup keren membuat saya geer sendiri. Di langit-langit itu saya pun melihat diri saya lebih dalam. Terlihat dari luar, kau memang seperti banyak kawan tapi sebenarnya ada ruang sepi yang amat luas di dalamnya.

Menulis tentang kesepian membuat saya linglung, tidak tahu harus memulai dari mana. Kalau saya mulai dari perempuan yang saya taksir, selalu terkesan cheesy ketika dibaca ulang. Kalau saya mulai dari kegelisahan hati, terlalu drama. Kalau saya mulai dari… ah kebanyakan mikir. Mungkin harus mulai dari sekarang.

Ini tentang hati yang seolah diayun-ayun oleh kora-kora dufan. Akhir-akhir ini saya kembali diajak bernostalgia oleh kenangan-kenangan masa SMP SMA dan awal-awal perkuliahan. Nostalgia sialan. Karena datangnya keroyokan di saat saya perfectly lonely. Ada monitor besar di otak saya yang sedang memutar film lama di mana di dalamnya terdapat scene-scene yang saya hafal. Misalnya, scene di jalan sumur bandung, habis magrib, dan cuaca hujan. So melodrama. Saat itu, jujur saja, saya sedang tergila-gila pada perempuan ini. Yang saya tunggu ketika ia pulang lesnya. Yang saya harap saya bisa mengantarnya pulang tapi dia berlalu begitu saja di depan mata. Atau scene di sebuah gigs band favorit yang diadakan salah satu universitas. Atau scene ketika saya adalah anak yang tidak tahu sopan santun di mata orang tuanya. Dan scene-scene lainnya. Dan semuanya sama. Tentang seorang perempuan yang pernah lewat dalam hidup saya. Perempuan yang dulu saya harap,yang pernah saya kejar hingga membuat lelah, yang kemudian saya relakan, tenggelamkan dalam kesibukan saya, dan kini , dengan izin Allah, harapan ini kembali menyeruak ke permukaan.

Di kamar ini, sore tadi. Pembicaraan dengan langit-langit itu sejatinya hanya satu arah, namun saya merasakan ada obrolan sengit. Ini tentang cara pandang saya pada perempuan yang saya kagumi, sukai, hingga saya (seolah-olah) perjuangkan (habis-habisan). Apakah benar saya mencintai perempuan dan saya membutuhkan kasih sayangnya atau hanya nafsu belaka? Apakah saya butuh cintanya atau hanya ingin memilikinya dalam konteks hubungan saja?

Postingan saya yang lalu terkesan sangat kental dengan aroma drama. Tutur kata dalam tulisan saya seolah-olah seperti pria yang mendamba cinta pada wanita-wanita yang pernah dijumpai dalam hidupnya. Saya pernah melakukan hal ini itu padanya, saya sedang merasa seperti ini itu, hingga saya seolah-olah punya rencana matang bahwa saya ‘akan kembali’ padanya dengan kondisi yang lebih baik. Entah baik macam apa. Setan pun tak tahu itu. Saya merasa bahwa saya belum cukup paham tentang cinta. Pria matang atau dewasa itu relatif. Semakin lama saya memandang langit-langit itu, semakin besar gaung yang terdengar itu. “Sudah dewasakah saya dalam menyikapi urusan hati?”

Setiap dewasa, laki-laki dan perempuan tentu berharap mendapat sosok jodoh yang ideal di masa depannya. Seorang teman hidup sampai maut memisahkan. Begitu kata lagu-lagu dan syair puitis. Saya pun ingin seperti itu. Bahkan saya ingin mencintai seorang perempuan sampai mati lalu bertemu lagi di surga kelak.

Kora-kora Dufan ini seperti tidak mau berhenti. Bahkan semakin kencang. Ingin sekali saya menjajaki kembali hubungan asmara-asmara masa muda. Namanya juga manusia. Tapi menyadari  akan ketakutan saya pada kendali nafsu, dan juga umur sudah bukan remaja, saya selalu dihadapkan pada preseden-preseden buruk masa lalu atau kemungkinan-kemungkinan di masa datang. Entah itu baik atau buruk untuk saya dan juga pasangan saya nantinya. Hal ini yang menjadi pertimbangan saya untuk menerima hati perempuan pilihan yang nantinya akan menjadi partner seumur hidup saya. Lewat jalur resmi yang namanya pernikahan.

Langit-langit kamar ini juga mencerminkan saya seolah-olah sambil bertanya, “Sudah sesiap apa kamu untuk menjadi imam? Bagi istrimu, anak-anakmu, keluargamu.” Karena kehidupan rumah tangga bukan hanya sekadar cinta. Itu yang masih menjadi bahan renungan saya akhir-akhir ini. Semoga Allah memberi kemudahan dan cahaya terang bagi setiap jalan saya. Aaamiin.



Pagi ini di kontrakan



19.2.15

Antara Ibu Pertiwi, Anaknya, Cucunya dan Cicitnya

Membaca adalah aktivitas menuliskan sesuatu dalam benak, sedangkan menulis itu membacakan apa yangsudah ada di dalam benak. Menulis itu seperti membacakan ulang apa yang ada dalam benak. Saya senang membaca tapi tidak pandai menulis bagus, apalagi disertai kajian mendalam. Bahkan boleh dibilang setiap kali saya mencoba menulis, sebagian besar berupa opini yang saya bentuk dari comotan pengalaman dan kondisi yang terpantau, kecuali tugas akhir. Itu pun masih disertai kejanggalan-kejanggalan tata bahasa. Seringkali saya temukan tulisan-tulisan yang kontennya bagus tapi ada saja komentar-komentar yang menyebutkan bahwa kajiannya belum dalam. Saya kurang begitu mendalami kajian-kajian begitu. Kalau mengaji ya ngerti lah. Jadi, andaikata tulisan ini kurang berkenan, atau saya belum banyak mengaji, bolehlah kita perbincangkan, atau boleh kontak saya, kalau cocok ya kita lihat ke depannya.

***

Ibu Pertiwi. Sering sekali saya dengar personifikasi itu untuk negeri ini. Ada lagunya juga. Namun sayang, lagu tentang ibu yang satu ini, baru bait pertama saja sudah “sedang bersusah hati”. Tanpa bermaksud mengurangi rasa hormat saya pada Ibu Sud, seandainya dulu beliau sudah bertemu Indra Bekti, mungkin ceritanya lain. “Kulihat Ibu pertiwi, hidup sejahtera di khatulistiwa.” Energinya positif duluan.

Entah kebetulan atau bagimana, lagu Ibu Pertiwi sangat representatif dan ceriminan dengan kondisi Indonesia akhir-akhir ini. Ibaratnya Indonesia adalah Ibu, dan beliau memiliki 253.609.643 anak cucu cicit (BPS, 2014), sang ibu sedang pusing. Anak-anaknya tidak akur, anak yang paling tua gak mau ngalah, cucu-cucunya yang lagi merantau ke negara lain gak pulang-pulang, cicitnya bukannya sekolah malah hobi jadi groupis dahsyat, rumahnya kebanjiran, perhiasan emasnya dirampok garong, kebunnya kebakaran, aduh kasihan. Pisan.

Rumah si Ibu memang nyaman. Terlalu nyaman malah. Letaknya di belahan dunia yang terdapat 2 musim yang saling mengimbangi. Kolamnya banyak ikannya. Kebunnya banyak sayuran dan buah. Pokoknya serba nikmat. Tiada badai tiada topan kau temui, ikan dan udang menghampiri dirimu (Koes Plus, 1960). Saking terlalu nyaman, mereka kadang lupa bersyukur. Saking terlalu nyaman, mereka tidak mau ke mana-mana. Saking terlalu nyaman, jadi merasa fine-fine saja kalau dirampok sedikit saja, toh masih banyak ini. Begitu mungkin pikirnya. Namun, segala yang dimiliki akan terasa begitu berharga ketika telah kehilangan.

***

Ibu pusing, tapi ini bukan masalah rumah tangga biasa Mengurus anak cucu cicit yang bergiga-giga banyaknya tidak semudah mengurus-kan badan. Maka sang Ibu tentu punya cara. Ketika dulu masih muda dan anak-anaknya bisa dihitung jari, Ia mengasuh dan mendidik mereka seperti memperlakukan raja. Dididik menurut adat istiadat agar kelak tak jadi kacang lupa akan kulitnya, diberi asupan nutrisi terbaik, disekolahkan di sekolah-sekolah terbaik di luar negeri dengan harapan kembali ke rumah membawa kemaslahatan dunia akhirat bagi keluarga sang Ibu. Kondisi pada masa kini pun tak jauh berbeda. Sang Ibu tetap mengaplikasikan teknik parenting ini pada cucu-cucu dan cicit-cicitnya. Soal perkembangan zaman, si Ibu paham betul soal penyesuaian ini itunya.

***

2015. Waktu arisan di Bu Nippon bersama Bu Amrik, Bu Fin, Bu Van Basten, Bu Ausie, Bu Kajol, Bu Sancay, dan Bu Berlin, di situ Ibu Pertiwi kadang merasa sedih ketika mendengar cerita-cerita Ibu-ibu lainnya tentang keshalehan anak cucu cicitnya pada orang tua. Bu Nippon sendiri misalnya. Anak-anaknya sudah bisa memberikan robot asisten pembantu rumah tangga supaya gak kesusahan waktu mencuci baju. Cucunya Bu Amrik juga sudah membuatkan mobil listrik Tesla biar ibunya gak usah ngantri-ngantri lagi di pom bensin atau kehabisan. Anak cucu Bu Fin malah membuat sekolah-sekoIah terbaik di dunia yang membuat anak cucu cicit tetangga iri dengan kecerdasan mereka. Dengan begitu, Ibu-ibu yang lain tentu ingin menyekolahkan anak cucu cicitnya di sana. Ibu-ibu yang lain sama-sama punya kebanggan tersendiri pada anak-anak cucu-cucu cicit-cicitnya, meskipun terkadang mereka bandel-bandel atau susah diatur. Semua cerita itu sedikit banyak membuat Ibu Pertiwi menghela nafas. Mencoba recall ingatannya tentang pengabdian apa saja yang pernah anak cucu cicitnya perbuat untuknya. Sesungging senyum disertai air mata membuat Ibu Pertiwi pulang duluan dari arisan.

***

Dosen saya pernah meluncurkan statement soal ke-chaos-an sosial yang akan terjadi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat di negara ini. Karena minoritas-minoritas akan bergerak sendiri tanpa kendali, kehilangan kepercayaan pada pemimpin-pemimpin, dan faktor-faktor lainnya yang entah apa saja itu, saya pun kurang mendalami hal tersebut. Ketika ada suatu komunitas/masyarakat/bangsa yang besar dan mayoritasnya menaruh harapan pada satu orang pemimpin terdepan, yang dipercayai membawa kesejahteraan, bisa dibilang tahap ‘menyamakan arah dan tujuan’ itu sudah didapat. Tetapi satu orang terdepan ini tidak bisa melakukan semuanya sendirian untuk mengajak umatnya yang berada di jalur paling belakang. Perlu ada orang yang handal dan amanah untuk melakukan tugas ini. Orang handal ini pun pemimpin juga. Presiden, Menteri, Dirjen, Gubernur, Walikota, Bupati, Camat, Lurah, Ketua RW, Ketua RT.

Sudah hampir 3 tahun saya terlibat aktif di organisasi Karang Taruna unit RW dan Kelurahan. Sejak masih menjalani kuliah tingkat 3 sampai bekerja sekarang, perbedaan kehidupan sosial yang saya rasakan begitu signifikan. Dulu ketika kuliah, tergabung di beberapa organisasi kemahasiswaan kampus adalah pengalaman berharga yang saya kira bisa saya terapkan saat hidup di masyarakat kelak. Kenyataannya amat berbeda. Jauh sekali. Entah karena saya merasa lingkungan rumah dan kampus itu berbeda jauh atau bagaimana. Di kampus yang (alhamdulilah) saya dipertemukan dengan orang-orang hebat nan pintar dari berbagai pelosok negeri yang membuat pola pikir saya berkembang banyak. Entah apa jadinya kalau saya tidak dapat kesempatan bersekolah di perguruan tinggi, mungkin saya akan senang mengedit-edit gambar emo atau foto tampak atas dan efek motion blur 40 %. Sedangkan di sekitar rumah, jujur saja saya sulit ‘menyamakan arah dan tujuan’ bersama ini karena kendala pola pikir yang berbeda. Saya harus menyamakan komunikasi, bahasa, kosakata, budaya dengan (maaf) teman-teman yang belum seberuntung saya bisa sekolah tinggi. Memang ada juga kawan seumuran yang juga berkuliah di perguruan tinggi. Ada yang bergabung dengan sungguh-sungguh, tapi ada juga yang acuh. Diajak berkegiatan ini itu, ada saja excuse. Mungkin lain ceritanya kalau dia sedang PKL atau Kuliah Lapangan di mana dirinya akan mau berbaur dengan preman, tukang mabok, atau kuli panggul di daerah-daerah karena ada tuntutan kuliah saja. Mungkin.

Saya malu. Malu kalau dibilang sarjana perguruan anu yang selalu dipandang wah oleh orang lain tapi sumbangsihnya pada (minimal) lingkungan sekitar rumah/kosan/kontrakan saja hanya sumbangan rutin bulanan. Malu kalau kenalan tetangga saja hanya 1-2 rumah kanan kiri depan belakang. Itu pun diperluas ke 7 rumah sebelah utara kalau ada perlunya saja. Pernah seperti itu? Masih seperti itu? Malu juga nggak kalau begitu? Kalau ketika mati, lalu yang mengurusmu hanya orang-orang 1-2 rumah kanan kiri depan belakang saja bagaimana? Naudzubillah.

***

Ibu pertiwi sudah terlalu lelah dikhianati anak-anaknya yang dulunya bercita-cita setinggi angkasa tapi sekarang mengobral asset-aset pribadinya ke tetangga. Ibu pertiwi masih punya cicit-cicit hebat. Guru, dokter, engineer, scientist, atlet, seniman, dan lainnya. Di dalam rumah juga di luar rumah. Sama-sama belajar tapi yang belajar di luar rumah sejatinya mendapatkan lebih daripada mereka-mereka yang di dalam rumah saja. Mungkin kelak akan datang saatnya yang di dalam rumah juga mengitari bumi dan belajar banyak hal. Namun ketika sudah tiba waktunya pulang, pulanglah. Ambil kemudi yang selama ini dalam mode auto-pilot. Buat negara ini menjadi sehebat negara-negara yang ada di foto-foto kawan-kawan. Menjadi presiden, menteri, dirjen, walikota, camat, lurah, ketua RT, ketua RW, dokter, guru, pedagang sarung, seniman, motivator, semua profesi bukan jadi soal. Kalaupun berniat mulia kembali ke kampung asal, unit-unit terkecil masyarakat, lebih bagus bukan kepalang. Ayomi tanpa harus menggurui, bimbing tanpa merasa ‘paling’, mengajak tanpa harus memaksakan kehendak. Toh di sana juga arena belajar. Belajar hidup dan ladang amal. Pengabdian tidak harus dibatasi dari latar belakang pendidikan. Jadi lakukan apapun selagi mau dan mampu semata-mata untuk orang tua, keluarga, ayah, ibu, juga Ibu Pertiwi.

Memang manusia, apalagi laki-laki tidak senang didikte, dipengaruhi, atau diperintah apalagi oleh orang yang dianggap biasa saja. Berbeda dengan orang yang dianggap teladan. Kalau bisa, seseorang akan rela diceramahi oleh teladan ini berjam-jam demi kebaikannya. Tetapi sebenarnya apa-apa yang disampaikan seorang teladan pun bukanlah suatu dikte, bukan pula perintah untuk mengubah seseorang, tapi menyadarkannya tentang perannya sebagai manusia. Dengan kesadarannya, manusia berpikir. Tulisan seperti ini sepertinya lebih pantas disampaikan oleh seseorang yang pencapaiannya sudah bermacam-macam seperti Pak Habibie, Pak Ridwan Kamil, Luffy, atau Jack Sparrow. Bukan oleh saya yang masih mencapai hati kamu saja belum bisa. Tapi saya mencoba saja sharing sesuatu yang semoga berguna.

Sebaik-baiknya manusia , manusia yang paling banyak memberi manfaat bagi orang lain. (Nabi Muhammad kepada Ali bin Abi Thalib lalu sampai ke Ridwan Kamil, tapi orang-orang pada mengiranya ini quote dari Pak Emil). Kayu mati & lapuk masih memberikan manfaat, menghasilkan kehidupan.

***

Mengutip teman saya, cicitnya Bu Nippon, Si Luffy dari SD One Piece pernah bilang : “Mun urang pas keur ngusahakeun, nya sahenteuna urang geus usaha.” Atau dalam bahasa Sunda edisi Kamisnya : “If I die trying, at least I tried.”

16.2.15

Meet D' Koncis

Februari 16

I noticed something today. Si Pak Candra satpam ‘gila’ kantor diputus kontrak atau dalam bahasa kerennya, he got fired. Sayup-sayup dari pembicaraan orang-orang bahwa perusahaan ini sedang dalam tahap berjuang keras supaya tetap hidup. Memang tadi pagi saya mengintip isi surat yang sedang ditulis rekan kerja. Isinya soal pengajuan pencairan dana sekian miliar pada salah satu bank swasta. Sudah hampir 2 tahun dana tersebut tak kunjung cair. Dan tadi sih isi suratnya sedikit mengancam. Bahkan mungkin bisa dikatakan itu surat ancaman pada bank tersebut. Entahlah, saya tidak mau membahas itu lebih lanjut. Semoga Pak Candra dimudahkan rezekinya dan kami pun demikian. Aamiin.

***


Kemarin mati lampus seharian. KZL. Dari jam 2 siang sampai jam 9 malam dan tanpa pemberitahuan sebelumnya. Mana desain buat lomba belum diotak atik pula, deadline mala mini pula. Pagi-paginya sih sok-sok asik anak nongkrong cibinong sampe lupa waktu. Ibarat anak ayam ketemu induknya ya kayak gitu. Dari pagi sepedahan dari kontrakan ke cibinong sampai sentul belum nemu orang-orang yang pake sepeda onthel juga. Miris jis. Literally anak ayam yang ilang. Nyari sampai stadion persikabo juga gak nemu-nemu. Desperate. Pulang. Eh pas hampir nyampe ada yang manggil-manggil di tepi jalan. ONTHEL!! Finally.. Langsung mlipir, kenalan sana sini, dan saya nongkrong deh di sana sampai siang.




Namanya KONCI. Bukan Konflik Cinta. Komunitas Onthel Cibinong. Ketuanya Pak Ari. Doi dari Teghal. Wakilnya Pak Anam, dari Malang. Pak Ana mini katanya kolektor kelas kakap. Itu berdasarkan cerita-cerita bang Naseh aja yang sering ke rumahnya. Wah tak sabar saya ikut gathering berikutnya. Bertemu sesame orang-orang ‘aneh’ kan ibarat bertemu saudara, keluarga.

***

Pulang sepedahan langsung ngejungkruk di kasur. Sebelumnya masih ada si Rohman yang meriang mulu beberapa hari ini, terus dia tidur di tempat saya. Kasian sih kamarnya agak kotor. Petaka muncul ketika listrik dipadamkan dari jam 2 siang. Batere hp masih 70 persenan lah, jadi bisa ada mainan dulu. Eh kenyataannya juga gak cukup sampai malam. Sorenya ada anaknya tetangga, si Rahman, yang awalnya ngintip-ngintip di balik pintu pengen liat hotwheels katanya. Saya suruh masuk aja biar ada temen. Kan jadi ada yang bisa disuruh-suruh buat ngelapin mobil-mobilan.



***

Jam 9 malam. Belum nyala juga. Beli lilin deh. Ngerjain  lomba pake batere laptop yang tinggal nyisa beberapa menit doang. Dipindahin ke flashdisk lalu pergi cari warnet. Eh ternyata mati lampunya hampir se-cibinong raya. Buset dah muke gilee nyari-nyari sampai GDC gak nemu-nemu. Balik lagi, bengong, nungguin nyala, jaga lilin. Untungnya, nyala lagi jam 10an. Lanjut ngerjain lomba. PRET!! Kampret mati lagi deh jam 12 kurang. Pas mau upload-uploadnya tuh. Kepaksa deh pake wifi HP. Jebol-jebol deh tuh kuota. Semua itu demi lomba ini. Semoga menang Ya Allah, buat biaya nikah atau beli rumah. Aaminn.

***

Ngomong-ngomong soal financial planning, tadi saya baca artikel menarik. Build Your Wealth: Graduate from a Paycheck Mentality to a Net Worth Mentality. Belum saya baca full, jadi saya cantumkan dulu di sini dengan harapan nanti dibaca lagi. Panjang dan banyak kosakata yang gak familiar sih tapi worth to read.


13.2.15

Pemekaran Wilayah. Ada apa di baliknya?

Semua orang tidak suka didikte. Terlebih laki-laki. Mereka ini model-model makhluk keras kepala yang tidak mau diatur, diajari, juga dinasehati, apalagi oleh sesama laki-laki, apalagi oleh laki-laki biasa. Mereka ini umumnya, atau kebanyakan lebih mau menyediakan ruang untuk mendapat pelajaran dari laki-laki yang ia anggap hebat, yang ia anggap tauladan.

Tulisan terakhir saya di facebook tahun lalu soal detik-detik pelantikan walikota Bandung. Dulu dipandang sebelah mata, namun kini, dengan tindakannya, ia berhasil membawa kotanya hampir Juara. Beliau menjadi teladan bagi para bapak yang memimpin keluarga, menjadi teladan bagi para bos di perusahaan, menjadi teladan bagi para pelajar, civitas akademik, buruh, ibu rumah tangga, dan segala golongan umat manusia, bukan hanya di kotanya, namun juga di seluruh pelosok Nusantara.

---

Akhir-akhir ini ada sesuatu yang membuat saya gatal untuk tidak berkomentar. Bukan soal politik makro negeri ini, bukan mobil nasional, bukan kisah syahrini kebanjiran. Ini soal ketidakwarasan bapak-bapak di tempat tinggal saya yang sudah tercium bau-bau permainan busuknya.

Februari 8.
Minggu pagi sudah rapi dan wangi. Hari ini ada dua agenda pernikahan teman, ridwan dan akrim. Saya sudah janjian sama kawan-kawan KM biar berangkatnya barengan. Jam 9.40 saya diundang rapat koordinasi Karang Taruna di kelurahan. Pembahasannya soal virtual payment tagihan listrik, pulsa, internet, dan lain-lain. Sisanya ya bumbu-bumbu penyedap yang bahkan saya lupa. Baru setelah rapat itu selesai, dilanjut obrolan saya dengan ketua tarka keluarahan, si Rendi. Bagi saya yang akhir-akhir ini ‘menelantarkan’ karang taruna, obrolan ini membuka pengetahuan baru. Singkatnya, kami membicarakan dana ratusan juta per RW yang diagendakan pemerintah Kota Bandung tahun ini. Ceritanya seperti apa?



Jadi begini, berdasarkan pengumuman dari Pak Ridwan Kamil, tahun ini tiap RW akan mendapatkan dana hibah sebesar seratus juta rupiah untuk pengembangan wilayah. Untuk apa saja? Mostly it’s all about Training SDM, dari yang sifatnya hanya mengasah keterampilan hingga mendorong usaha ekonomi kecil kreatif. Saya lihat rincian anggarannya, ya itu bisa dibilang amat besar. Coba saja hitung di Bandung ada berapa RW.

Sampai situ jelas? Oke lanjut.

Kabar terbaru menyebutkan, dana hibah itu akan cair secara berkala, tidak langsung BLEG cepe juta. Katanya, tahap pencairan pertama akan diturukan sekitar bulan April mendatang. Sebentar lagi ya? Memmang..bulu ketek tidak sama dengan memmang…

Sekarang, beralih ke cerita lain. Tempo hari, sewaktu saya masih di Bandung, belum pindah ke Bogor, saya diundang rapat di Balai RW perihal pemekaran RW. Sejujurnya, saat itu saya belum paham soal pemekaran. Tapi setelah mengikuti rapat itu, perlahan saya mengerti maknanya. Pemekaran adalah proses pembagian area wilayah (dalam cakupan RT/RW/Kelurahan/Kecamatan) berdasarkan demografi suatu daerah (kepadatan penduduk, jumlah kepala keluarga, dan lain-lain). Nah, sekarang, ada isu bahwa RW yang saya tinggali akan dilakukan pemekaran yang notabene di ujung pemerintahan ketua RW yang lama.

Pemekaran itu sifatnya memang optional, tapi tidak selalu critical. Tiap wilayah yang merasa perlu dimekarkan yang silahkan. Ada PP no. berapa gitu saya lupa, yang mengatur soal pemekaran ini. Tapi tunggu dulu, saya menemukan banyak kejanggalan di sini, di rapat tersebut.

Pertama, selama 7 bulan saya menjabat ketua Karang Taruna, tidak pernah ada sounding soal pemekaran RW sebelumnya. Dilihat dari urgensinya, gagasan yang diusung sekarang ini terkesan buru-buru, mengingat momentumnya sekarang dalam masa transisi kepengurusan RW lama ke yang baru. Tergesa-gesa. Bahkan saya baru mendapat surat undangan tersebut J-4.

Kedua, dalam rapat tersebut banyak sekali pembahasan soal pembagian wilayah. Loh? Pemekaran ini ide siapa toh? Mengapa terburu-buru sekali menentukan pembagian wilayah sedangkan warga saja belum mendapat sosialisasi soal ini. Keputusan ini terlalu cepat. Urgensinya apa? Kalau hanya soal ada beberapa RT yang tingkat kepadatan penduduknya diatas rata-rata dan sesuai UU, kenapa baru sekarang? Kenapa tidak dari dulu?

Ketiga, yang terakhir dan yang menurut saya paling krusial. Pemerintah Kota Bandung sendiri telah mengeluarkan pengumuman cukup penting di awal tahun ini. Bisa dibilang ini kabar baik. Dana 100 juta/RW rencananya akan diturunkan bertahap mulai bulan April ini. Prosedurnya belum terlalu jelas mengingat masih banyak pembenahan. Tapi, di Karang Taruna kelurahan sendiri sudah ancang-ancang dengan menerbitkan Program Kerja tahunan yang didalamnya lebih banyak menargetkan pada kegiatan sosial seperti penyuluhan, pengembangan UKM kreatif, dan lain sebagainya. Memang ada pula untuk pengadaan alat dan barang tapi itu pun sangat dibatasi dan diantau ketat. Yang ingin saya singgung adalah, dengan dana 100 juta/RW ini, sangat rawan praktik korupsi sana sini. Tanpa bermaksud mengeneralisir, saya sih sudah cukup banyak melihat praktik macam begini sewaktu kuliah. Mati suri kita ini,seperti terkena suntik bius.

Saya tinggal di kawasan tersebut sudah hampir 2 dekade. Dari dulu mana ada tuh wacana pemekaran padahal jumlah Kepala Keluarga di sana sudah melebihi batas wajar seperti yang tertera dalam Perda. Tapi momentum sekarang ini seolah-olah ada niat lain dari para elit-elit kampung saya, para 'bapak' yang menganggap dirinya punya andil dalam lingkungan itu. Waspada dan suudzon itu bagi saya bedanya cuma sehelai rambut. Jadi, pemekaranitu sendiri merupakan tata cara pemerataan penduduk dengan membagi dua sebuah wilayah yang dianggap sudah tidak ideal karena kepadatan penduduk di kawasan tersebut. Bukan hanya itu memang pertimbangannya, tapi di kawasan saya, itu yang dianggap urgensi pemekaran ini. Imbasnya adalah pada struktural kepengurusan RT, RW, DKM, dan juga Karang Taruna tentunya yang akan menjadi 'terpecah'.

Saya hubungkan ke kucuran dana Pemkot :
Jika awalnya ada satu RW saja, maka dana 100 juta/RW tersebut otomatis hanya diperuntukkan untuk kepentingan kesejahteraan warga dalam RW tersebut. Sekarang, jika RW tersebut yang memiliki luas wilayah sekian meter persegi, jumlah penduduk sekian jiwa, lalu kemudia dimekarkan, tidak akan ada yang berubah dari jumlah penduduk dan luas wilayah, hanya secara struktural dijadikan 2 RW. Dengan begitu, akan ada jajaran-jajaran pengurus RW yang baru dan yang lama akan dirombak. Visi Misi, Program-program ke depannya tentu akan disusun dalam AD ART-nya. Dan semua itu tentu butuh 'ongkos'. Yang menjadi unek-unek saya adalah momentum pemekaran yang seolah-olah dikejar supaya jatah 100 juta yang tadinya hanya untuk satu RW bisa dilipatgandakan karena sekarang menjadi 2 RW pasca pemekaran. Begitukah bapak-bapak di sana berpikirnya? Kalau ketebak, yaa saya harusnya dapat gelas cantik.

5.2.15

Obrolan Ini akan Menjadi Cerita Masa Depan

 Februari 1

Seharian ini Bandung tak henti diguyur hujan kemarin fine-fine saja. Niatan ngambil gitar pagi hari hanya wacana rumput yang bergoyang. Gravitasi adalah hukum alam yang hanya terasa pada tiap kasur para pemalas. Karena badan bukanlah hp Oppo yg bisa fast charging.    

Baru agak sorean saya beranjak ke kitharra, guitar shop punyanya mbak dodo cinnamons itu. Pulang agak telat karena harus berurusan dulu sama rantai motor yang tiba-tiba putus.

***

Febtuari 2

"Widiih keren bener, Bang!" ketika seorang bocah tetangga berpapasan di jalan sewaktu berangkat kerja. Lucu juga sih. Selama ini yang membuat saya mudah berbaur dengan lingkungan sekitar adalah hobi-hobi yang saya gemari. Sepeda onthel jadi sirotab utama. Karena hampir 60%an orang sini minimal melirik saya. Bukan orangnya sih lebih tepatnya sepedanya. Hik. Keuntungan lainnya, ongkos transport 0%.

***

Januari 26.

Saya pulang larut. Memang sudah biasa pulang larut tapi kali ini tidak biasa, ada yang menemani nun jauh di sana. Seorang kawan lama, bahkan bisa dibilang kecengan dari SMP hingga tahun pertama kuliah, yang tak pernah bisa kesampean. Malam ini kami bercerita lagi, dia bercerita lagi, saya tidak. Tentangnya yang didekati seorang pria yang hendak serius dengannya.

***

Februari 4

Kalau bukan karena perbincangan sore tadi bersama duo ustad kantor, mungkin tidak akan bercermin kembali soal pribadi saya selama kurang lebih 24 tahun ini. Mungkin saya tidak akan kembali mengingat siapa saya dan dari mana saya berasal. Kalau bukan karena obrolan sore tadi, saya tidak akan bela-belain memaksa mata tetap melek dalam kondisi kantuk luar biasa begini.

Akhir-akhir ini suasana kantor terasa begitu muram. Entahlah. Mungkin karena terlihat mendung, atau karena focus pekerjaan yang ngalor ngidul. Buat saya mungkin seperti itu karena yang saya kerjakan di kantor masih belum jelas kepastian ke depannya alias proyeknya masih belum deal. Ya gitu deh. Pusing. Hampir tiap istirahat makan siang saya selalu pulang ke kontrakan. Entah itu Cuma ngecek cucian atau tiduran. Si Bang Rohman sakit meriang katanya, sudah 4 hari gak masuk. Saya jenguk ke kosannya masih selimutan. Di sampingnya ada sebuah buku. Judulnya “Menjadi Laki-laki”. Isinya bukan kisah-kisah seorang bencong yang ikutan acara Be A Man kok bukan. Itu sih beda lagi. Di buku itu banyak sharing ilmu dari penulisnya untuk para pembacanya terutama laki-laki. Kenapa saya bilang ‘sharing’ karena buku ini bukan buku yang mendikte. Tau sendiri lah laki-laki memang enggan didikte. Banyak ilmu soal kehidupan di masa sekarang dan masa mendatang ketika sudah berkeluarga. Karena menjadi suami bukanlah menjadi seseorang yang mencari uang untuk kebutuhan keluarga saja tapi yaa gitu deh. Cukup banyak tertera di buku ini dan Insya Allah akan saya tulis reviewnya kalau sudah beres.

Balik lagi ke perkara sore tadi. Awalnya saya hanya iseng bertanya ke Pak Zaenal sepulang kerja. Doi seorang ustad yang juga anak ketua RT. Gak ada hubungannya sih. Kebetulan dia lagi main-main hp doang. Pertanyaan saya soal ta’aruf sepertinya mengalihkan perhatiannya dari smartphone canggihnya ke topic saya. Saya ceritakan kronologisnya kemudian beliau menanggapi dengan lugas. Tak seberapa lama kemudian muncul Pak Ginting.  Beliau juga pakar dalam bidang ini karena dulunya pernah menjadi mentor Hitmansys.

Kami ngobrol banyak. Tepatnya Pak Ginting yang lebih banyak, karena saya cuman iya-iya saja. Seandainya kapasitas memori saya masih banyak dan fresh, saya sangat ingin merekam semua isi pembicaraan itu sepenuhnya tanpa interupsi. Sayangnya hanya beberapa yang saya tangkap:

 -  Ikhtiar itu sebetulnya bukan berarti mengusahakan. Ikhtiar itu memilih, karena segala yang kita inginkan sudah Allah beri dan tinggal kita memilih.
- Seorang laki-laki akan memilih pasangan yang karakternya identic dengan ibunya karena ia melihat bagaimana ibunya memperlakukan ayahnya dan anak-anaknya. Seorang perempuan akan memilih pasangan yang karakternya identic dengan ayahnya karena ia melihat bagaiman ayahnya memperlakukan ibunya dan anak-anaknya.
- Shalat Istikharah adalah jawaban atas segala keraguan, pilihan. Jawaban yang didapat tidak selalu dari mimpi, tapi ada juga kecenderungan, bahkan kecenderungan adalah jawaban yang hampir paling obvious. Mungkin saja suatu kejadian yang tak terduga yang tak pernah disangka-sangka.
- Shalat Dhuha adalah shalat untuk rezeki, jodoh, karena ada doa-doa yang ‘memaksa’,’ngotot’ tapi Allah senang jika seseorang banyak berdo’a padanya. Jangan sombong. Selalu minta pertolongan pada-Nya. Emang situ bisa ngurusin sendiri?


Saya lupa yang lainnya. Kalau saya ingat akan ditambahkan nanti. Sekarang sudah  amat sangat teramat sikat kawat si mamat cepat kilat ngantuk. Gawat kalau kerja kelewat. Sampai jumpa.

Trip Intergalaksi

Selasa, 23 Juni 2020 03.22 dini hari Kisah ini saya tulis begitu bangun tidur dari mimpi yang tidak akan pernah saya lupakan. Mimpi yan...