31.1.16

Looking Things at the Bigger Picture.

January 31.

Pagi tadi, lupa minum garam beryodium lagi. Gondok kambuh.

Ini dalam rangka ‘meningkatkan happiness index’ tetangga-tetangga untuk melaksanakan senam pagi rutin. Amanah ketua RW baru khusunya kepada karang taruna yang ditunjuk sebagai leading sector. Entah ini dalih supaya ‘anak muda’ hanya dikerjai sebagai ‘tukang panggul’ saja atau memang dikerjai karena dianggap energi anak muda masih banyak ketimbang yang tua-tua. Ditinjau dari maksudnya memang baik, guna keharmonisan warga dan mengenal karang taruna. Namanya kerja sosial, di lapangan mah tetep saja enggan diperbudak layaknya kerja professional. Kecuali kita digaji dan asuransi. Minimal ‘uang rokok’, begitu kata orang sini, tapi saya bukan perokok. Ada motivasi selain hanya ‘agar dikenal masyarakat’. Cliché. Tapi pak komandan sepertinya tidak tahu kondisi sebenarnya. Apa yang terjadi dengan kami anak-anak muda di sini akhir-akhir ini.

***

Pagi tadi, sehabis subuh dan masih remang-remang, kiclik-kiclik saya berkunjung ke Ustad Yayan, yang pastinya seorang ustad, tapi dia jadi kepercayaan buat penitipan peralatan sound system untuk kegiatan-kegiatan RW. Urgensinya adalah pasti ngangkut-ngangkut peralatan itu ke spot senam pagi. Kira-kira ada 6 item yang harus dibawa sejauh 300 meter yang idealnya dibawa minimal oleh 2 orang. Belum lagi pemasangan panggung ukuran 2x2 meter yang partisi-partisinya banyak dan lebih berat. Kalau ada yang dipasang, tentu ada yang dibongkar dong? Ya, saya harus melakukan itu dua-duanya. Tapi tadi itu, saya sendiri. Mengangkut box-box besar tanpa gerobak alat bantu tanpa teman tanpa upah tanpa ada tawaran bantuan dari yang melihat. Kuat kan? Iyalah sarapan dulu kan sama ati. Begitu selesai angkut-angkut sound, barulah 2 bapak-bapak yang ikut bantu bawa panggung buat instruktur senam. Lalu beberapa jam setelahnya banyak pertanyaan basa-basi yang seolah-olah hanya untuk menghibur saya tapi terdengar seperti menyalahkan dan menjudge. Dijudge dan disalahkan setelah berbuat sekuat tenaga masuk kategori 'hal yang tidak disuka' versi saya. Kodrat laki-laki biasanya seperti itu. Bunyi pertanyaan-pertanyaan itu seperti ini :

“Kenapa gak ngajak yang lain atuh?”
“Anak karang taruna yang lain pada kemana? Sampeur ke rumahnya atuh!”
“Lain kali minta bantuan sama yang lain,, jangan sendiri!”

***

Lalu dengan mencoba senyum, saya jawab dengan lantang.
“Sudah dikabarin, Pak! Di grup (media sosial), bertemu langsung juga sudah.” Saya anggap itu cukup, plus harapan mereka adalah manusia dewasa yang sudah tahu tanggung jawab dan tidak perlu diingatkan apalagi digiring macam itik pulang ke kandang.
“Masih pada tidur, Pak! Disampeur juga gak ada yang keluar.”
“Lha udah, Pak, Bu!” (kalau saya tega dan agak tidak sopan, bisa ditambahkan dengan : “Mangga atuh bantuin bu, pak, jangan sekedar nyuruh saja.”)

Lalu obrolan itu hanya berakhir dengan senyum yang terpancar dari wajah mereka. Entah bagian mana yang lucu. Heran, kalau saya niatkan melucu, seringkali tidak lucu, garing. Giliran tidak melucu, orang senyum. Sense of humor yang aneh. Menawarkan solusi saja tidak. Makin aneh.

Nah, soal saya tidak dibantu tadi itu, bagi sebagian orang mungkin menilai saya tidak pandai me-manage SDM. “Anak muda di sini kan banyak, kok maneh doang yang kerja? Kasian. Gak bisa mimpin?”. Sudah sering selentingan macam itu saya dengar. Wah kalau saya tulis kesulitan memanage SDM terlebih untuk sosial seperti ini, bisa jadi novel, sob. Jaman sekarang, berapa banyak sih yang mau capek-capek buat sesuatu yang gak dia dapet terutama materi, yang dipercaya sebagai alat tukar membeli ‘kebahagiaan’? Kalau seorang leader harus persuasive, nah persuasif macam apa yang bisa dijadikan umpan buat mereka yang mencari timbal balik atas apa yang dilakukannya? Macam apa?!! I’ve been 3 years dealing with that things dan sudah pada tahap buntu. Sekarang ditambah instruksi ini itu dari pak komandan. Makin aja pada males lah kita juga. Banyak maunya tapi sedikit apresiasinya? Ya kan?

Soal habit. Kebiasaan. Bangun pagi buat mereka, teman-teman saya di karang taruna, itu kalau bermanfaat baginya, pasti dijabanin. Mau cuma tidur 2-3 jam saja karena begadang malamnya, tapi kalau mereka tau bakal dapat sesuatu yang ‘membahagiakan’, bukan ‘melelahkan’, itu pasti diusahakan bangun pagi. Saya yakin itu! Misalnya pagi-pagi hendak jalan-jalan ke tempat seru, gratis, dan senang-seang. Oh itu jelas massa membludak. Orientasinya bukan lagi memenuhi tanggung jawab sebagai karang tarunanya sebagai bagian dari masyarakat situ. Tapi hal yang sifatnya memberi timbal balik. Bahkan, maaf, bukan lagi menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim yang harusnya solat subuh. Apakah mereka yang bangun siang itu solat subuh? Apakah mereka tidak mau menjemput rezeki yang ada sebelum matahari terbit? Ya itu urusan dia sama Yang Di Atas. Saya sih husnudzon, bisa saja mereka bangun sampai jam 5, solat subuh, baru tidur bablas sampai jam 2 siang. Atau memang jam 6 itu bangun buat solat, lalu tidur lagi. Setelah itu, urusan membantu saya buat ngankut-ngangkut ini itu yang melelahkan, ya mana mereka pedulikan. Di benak mereka, itu semacam ‘menghukum’ saya dan saya patut menerima konsekuensi karena menerima perintah pak komandan. Mereka tiada urusan soal itu. Peduli amat toh tidak direncanakan bersama-sama. Ditambah konflik akhir-akhir ini yang kian memperburuk hubungan pertemanan di wilayah ini.

***

Yang bikin penyakit gondok makin kambuh adalah, kami ini, yang katanya dinamai karang taruna, Yang secara hierarki sejajar dengan lembaga di lingkungan, dan punya otoritas sendiri, masih saja disuruh ini itu. Kondisinya tadi itu yang di sana cuma 2 orang ( saya sama si Shinta, itu pun bukan warga RW situ, tapi mau saja bantu), Well, pak komandan bahkan agak membentak si Shinta itu karena katanya tidak professional mengurus absen. Lalu disuruh lagi membagikan air minum, menghitung absen, menghitung kencleng. Inikah yang dinamakan Leading Sector? Pemimpin/koordinator kan? Yha suka-suka kita dong, da kita juga percaya itu benar. Tapi kok kita jadi yang diatur? Diperintah sana sini seperti karyawan. Lucu sekali. Saya yakin model kepemimpinan seperti ini tidak akan bertahan lama jika diterapkan pada anak muda di sini ke depannya. Let see.

***

Saya tidak lelah karena angkut-angkut barang-barang tadi. Buat saya itu remeh-temeh. Laki-laki harus kuat. Fisik sama mental. Fisik sudah pasti, laki-laki diberi kelebihan disbanding perempuan. Kalau lembek mental, mangkal saja di veteran atau jadi boyband. Yang buat saya lelah itu ternyata perkataan-perkataan. Bapak ini, bapak itu, ibu ini, teteh itu. Syung meluncur bak rudal kapal selam tanpa dipikirkan dulu maksud perkataannya. Pak komandan gak mau kalah komentar.


Biar energi masih banyak, kalau digenjot terus dengan komando seperti itu enek juga. Itu beberapa suara dari orang-orang. Either he expects too much or he accelerated too much at the beginning. Macam ejakulasi dini. Kenceng banget di awal ujung-ujungnya terasa bikin capek ternyata. Ini masih tahap awal lho, pak. Bapak memang gesit, saya akui itu. Tapi bapak menghadapi manusia-manusia yang berbeda karakter, ego, bahkan suku. Jangan samakan. I used to be like that and ended up with disappointment. Padahal saya berbahasa sama,  suku yang sama, dan setidaknya lebih paham karakter lah dari bapak. Hormati ke-heterogen-an yang ada. You can’t control people. Gak ada yang jual remote controlnya.

Ha ha...

25.1.16

Titip Pesan

Tak pandailah aku berkata soal cinta yang kucoba tanam pada seseorang perempuan. Tak pandai pula aku berperilaku layaknya orang mencinta karena menyampaikan dengan lisan saja bisu tutur kata. Aku bahkan belum tahu caranya memaknai cinta pada perempuan yang terkasih karena seringkali yang kudapatkan hanya kekecewaan ketika aku mencoba menelaahnya, mencicipinya, bahkan sampai memperjuangkan perihal sesuatu yang aku percayai bahwa itu cinta.

Tulisanku ke belakang tentang perasaan ternyata hanya luapan emosi tidak tertata yang menjadikannya kekanak-kanakkan untuk dibaca. Perempuan yang identitasnya kucoba samarkan namun seolah menyinggung sebuah nama dan membuat kisah itu seolah ingin terbaca olehnya, sungguh selayaknya tidak kulakukan. Tidak ada pesan untuk disampaikan pada yang dimaksud. Hanya luapan emosi karena kekecewaan saja. Bukan sebuah pesan cinta, rasa, kasih, yang bisa disampaikan oleh sebuah media tak kasat mata yang aku percayai akan membawa pesanku padanya. Tidak ada.

Lalu dengan berbagai rentetan kejadian, kekecewaan, pedih peri yang diakibatkan harapanku yang terlalu tinggi ini, yang belum bisa mengatur rasa pada perempuan yang didamba, kutanya pada kalian, apakah ada lagi manusia malang di sekitarku yang masih menyimpan kasihnya pada satu orang saja yang berkali-kali memberimu pil pahit kekecewaan? Berlari dan berkelana tiada bedanya. Sama-sama pelarian dari kekecewaan dan harapan seakan-akan di luar sana akan ada yang mau menerima cintanya, daripada memberinya kecewa. Satu orang saja. 

Dalam doa terdapat rangkaian kata-kata yang barang tentu jelas maknanya. Aku ini, bahkan dalam berdoa dan mendoakan saja tidak terbiasa dengan tartilnya bibir berucap. Tembok-tembok dalam hati saja yang kugedor-gedor berontak. Dalam gaduhnya dinding hati itulah tempat do'a-do'a itu aku ucapkan jelas pada Tuhan yang aku percaya mendengar sekecil apapun bunyi dinding itu.

Selama ini, aku hanya berdoa, sudah cukuplah, kau, perempuan terkasih yang halus tutur katanya dan baik budinya, cukuplah melibatkan aku dalam pandanganmu. Palingkanlah matamu ke arah lain jika memang enggan padaku, karena sudah sejak lama aku (berusaha) berpaling, semampu yang aku bisa. Biarlah silaturahmi kita terputus dalam waktu lama, dalam keadaan kita tidak saling membutuhkan apa-apa sau sama lain, agar aku bisa melaju ke arah yang kuyakini di sana tidak akan menemui kekecewaan yang kau buat tanpa kau sadari, kasihku. Janganlah menyampaikan lagi satu dua kata padaku jika itu tidak terlalu perlu. Berhentilah berinteraksi di dunia maya yang justru aku harapkan kau melakukan itu dalam nyata. Semata-mata arena aku takut aku kembali terperosok dalam urusanmu, yang aku percaya membawa kutukan kekecewaan di akhirnya, namun anehnya aku selalu ingin kembali padamu, keseharianmu, kesedetikanmu, hingga redup amarahku padamu.

Berdoalah denganku, kasihku. Berdoalah dengan maksud yang sama denganku. Agar Tuhan sama-sama membantu kita untuk saling memalingkan arah tujuan hati kita masing-masing, jika memang kita tiada harus dipersatukan. Berdoalah dan berbuatlah sekuat mungkin untuk menjauh, meskipun aku tahu kau telah menjauh tanpa pernah kuminta dan memang Tuhan berikan jalanmu untuk begitu. Jalan yang sangat jauh sampai lewat batas pandangku. Untukku pribadi, semoga Tuhan menghilangkan segala rasa dan asa harapanku tentang suatu masa di mana aku mampu bersatu dengannya dalam ikatan suci itu, yang terlihat seperti hal mustahil, seorang pria berlumur dosa mendapat jatah perhiasan terbaik di dunia. Karena mengharapkan hal itu jauh lebih memperkuat dobrakan dalan tembok hati yang semakin dipukul akan semakin tebal rasanya. Biar Tuhan yang menuntun kemana langkah ini pergi. Aku tidak peduli, asal aku terbebas dari kecewa, asal aku sampai pada tujuan di mana cinta itu tiada kecewa. Setelah semua yang aku terima selama ini, aku berharap kita tidak pernah mengenal satu sama lain, kasihku. Tiadalah guna jika kita tidak saling memberi manfaat satu sama lain tetapi malah menyakiti satu sama lain. Jika Tuhan memang mempertemukan kita satu sama lain untuk membuat kita belajar mengenal rasa kecewa dan pulih setelahnya, aku mohon Ya Allah, selesaikanlah semua ini. Jika pertemuan ini harus diakhiri dengan pahit, pahitkanlah sekaligus tanpa harus dipertemukan kembali barang hanya 1-2 detik. Sesungguhnya tiada maksud hati untuk menghinakan kehadiran perempuan terkasih ini di kehidupanku. Tiada niatan sedikitpun. Namun jika Tuhan mempertemukan kita untuk suatu hal baik, dan tertulis di Lauh Mahfudz, sungguh aku berdoa semoga pada-Mu agar aku merasakan makna cinta sedalam-dalamnya dari seseorang yang memang aku kasihi dalam diam selama ini.


21.1.16

Khutbah Kacang Goreng

Januari 22. 12.20 WIB

Habis jumatan di sebuah masjid dekat rumah di Bandung. Al Ikhlas namanya. Masjid ini sudah ada sejak saya lahir dan pendirinya adalah Bapak H. Oman (alm). Beliau adalah ulama yang saya kagumi ketika masih mengaji dulu di sana bersama kawan-kawan sebaya. Ditemani Mas Muhammad, yang amat keras dalam mengajar, berlawanan dengan sifat Pak Oman ini yang sungguh kalem dan sabar pembawaannya dalam mengajar ilmu-ilmu Islam. Saya hanya mengenal 2 orang pengajar ini karena SD pindah ke desa. Di desa di Pangandaran, saya bersyukur ‘dibekali’ ilmu agama yang cukup, meski ada penyesalan kenapa tidak lebih banya. Di sana dibimbing Pak Solihin dan keluarganya dari awal buta huruf sampai hafalan Qur’an, solat-solat, Murottal (lagam), dan lainnya. Lingkungan yang islami juga sedikit banyak menempa saya agar jadi orang yang agak bener dikit. Ha ha. Lalu kembali ke Bandung ketika SMP dan saat itu entah kenapa agak segan untuk mengaji lagi di masjid ini meskipun pengajarnya masih sama. Maka saya pindah ke masjid lain di sebelah utara yang jaraknya agak jauh. Di sana dibimbing A Ndep, yang seringkali diledek anak-anak dengan sebutan Ustad Jet li karena wajahnya yang mirip Jet Li tapi ngomong Sunda asli. Singkat kata, dari 3 masjid berbeda, saya mendapat keyakinan bahwa Islam itu Rahmatan Lil ‘Alamin.

Kembali ke masa kini, saat ini, beberapa saat setelah saya jum’atan di masjid yang sama untuk yang kesekian kalinya, ternyata, banyak hal telah berubah. Bangunan, akses jalan, penerangan, fasilitas, guru-guru, murid, dan kegiatan keagamaan lainnya kecuali satu hal : kualitas khutbahnya.

Dulu saya berpikir bahwa badan ini tak ubahnya seperti HP. Both mentally and physically need to be charged. Perlu di-cas, kata orang sini. Fisik yang lelah bisa dicas dengan istirahat. Sedangkan mental ini berhubungan dengan nurani, hati, pola pikir, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan keyakinan. Kalau boleh saya tekankan pada kata : Iman. Ya, ngecas Iman. Tetapi, makin ke sini, saya sadar bahwa Iman ternyata tidak seperti baterai HP, karena jika baterai sudah kadaluarsa, lalu diganti dengan yang baru, itu berarti saya menganalogikan keimanan yang bisa diperbaharui jika beralih kepercayaan/keyakinan. Jadi sekarang saya menganalogikan keimanan seperti tembok rumah saja. Yang membentengi kita dari panas dingin kehidupan namun bisa ditebalkan/dilapis kembali seandainya terkikis.

Di zaman sekarang yang arusnya sangat kencang dan panas yang amat terik, namanya tembok tentu bisa makin cepat terkikis. Perlu semakin sering ditambal dan diperbaiki. Tidak hanya itu, kualitas tambalannya pun pasti yang anti bocor lah. Nah, kalau isi khutbah standar ‘kacang goreng’ masih saja dipertahankan di masjid-masjid seperti masjid Al-Ikhlas ini, apakah sanggup menambal tembok-tembok rumah banyak orang dengan hanya satu pertemuan di setiap jum’at ini? Khutbah kacang goreng yang saya maksud di sini bukan semata-mata menjelekkan atau mendustakan agama Islam, bukan! Naudzubillahimindzalik! Tapi lebih ke kritik pada para khotib untuk lebih memperhatikan konten dan kualitas materi yang hendak disampaikan di pertemuan yang jarang ini, moment Jum’atan ini.

Here’s the thing. Setiap saya menghadiri jumatan di lingkungan tempat tinggal saya, atau pengajian-pengajian tabligh akbar, seringkali yang saya dapatkan dari penceramah adalah himbauan. Himbauan untuk selalu bertaqwa kepada Allah SWT, beriman, mengikuti perintah Allah dan Nabi Muhammad SAW, supaya kita selamat dunia akhirat lalu masuk syurga. Beberapa diantaranya bahkan disampaikan dengan bahasa daerah. That’s it? Yup that’s it. Gitu doang. Memang ada beberapa improvisasi tapi pesan utama seringkali HANYA seperti itu. Itulah yang saya sebut khutbah kacang goreng. Kemudian saya lihat respon para hadirin siding jum’ah rahimakumullah lainnya. Ada yang mendengarkan, lebih banyak yang ngobrol, lebih banyak lagi yang tidur, lalu bangun ketika sudah mau berdoa di khutbah ke-dua, bahkan ada yang bablas sampai hendak solat. Itu orang tua, yang harusnya lebih dewasa dengan mendengarkan dan mencontohkan pada remaja dan anak-anak malah tidur. Jadi jangan salahkan anak-anaknya juga malah ikut ngobrol lebih bising, pukul-pukulan, bahkan ketika solat, masih saja pukul-pukulan dan berkata-kata kotor. Lalu apakah anak-anak yang muda ini akan tumbuh kembang, dewasa, dan tua dengan didikan seperti it terus menerus? Oh come on! Kerja samanya hey para orang tua!

Jarang sekali saya mendengar khutbah jumat (khususnya) yang membahas bagaimana mendidik anak ala sahabat Ali bin Abi Thalib, misalnya. Atau tentang pergaulan anak muda, menikah, taarufnya, rumah tangganya Rasulullah, peringatan akhir zaman, dajjal, penemu-penemu Muslim, Al-Qur’an yang membahas sains dan teknologi, dan lainnya yang bukan lagi khutbah ‘kacang goreng’ atau ‘bala-bala’ lagi. Ada yang memang berkualitas tapi hanya di acara tertentu saja yang mubalighnya didatangkan dari kota mana lah. Memangnya mubaligh sini gak bisa seperti itu? Yha bisa lah wong tinggal mau saja. Sumber-sumber dakwah bisa dari Tafsir-tafsir Quran yang sudah modern dan mudah dipahami, hadist-hadist, ceramah ulama besar di website-website yang sudah ditranslate, dan buanyak lagi. Itu semua adalah sebagian saja cara penyampaian yang diharapkan membuat hadirin menjadi semangat berbuat baik beramal sholeh, yang membuat orang menemukan ‘oooh ternyata gitu’-nya masing-masing, yang membukakan pintu-pintu ilmu yang selama ini tertutup karena ketidaktahuan dan kemalasan mencari tahu mencari petunjuk. Soal bahasa penyampaian, terserah, bahasa daerah atau asing atau Indonesia sah-sah saja, asal kontennya itu tadi. Toh tujuannya sama : agar hadirin dapat petunjuk tentang bagaimana sih tindakan realnya dari bertaqwa dan beriman? Gimana sih mengaplikasikan keimanan dan ketaqwaan dalam bentuk tindakan sehari-hari, sikap, dan sifat individu maaing-masing supaya mendapat surga Allah SWT itu tadi.

Masjid ini umurnya memang sudah tua dan apa-apa yang sudah tua biasanya mati lalu ditinggalkan. Fisiknya boleh tua, tapi jiwanya tetap segar dengan pembaruan-pembaruan, perubahan yang agak berani keluar dari adat istiadat, radikal, dan bahkan ada kemungkinan ditolak. Maaf kalau salah dan sok tahu, karena setahu saya, Rasulullah pernah bilang dan diriwayatkan dalam sebuah hadist kalau satu saat nanti aka nada masa di mana orang teguh akan agamanya seperti memegang bara api. Seperti orang takut, asa-asa kalau kata orang Sunda bilang. Asa-asa kalau memulai dengan salam ketika bertemu orang. Asa-asa kalau mau makan di kondangan sambil duduk, asa-asa kalau mau berhenti rapat untuk solat berjamaah bersama, asa-asa mau jadi muadzin, dan perasaan takut lainnya yang disebabkan karena kurangnya dorongan, motivasi, dan juga petunjuk melaksakan itu semua. Toh kalau motivasi dan petunjuk itu disampaikan pada setiap majlis ta’lim tentu impactnya bisa lebih besar dari sekedar himbauan kacang goreng tadi yang sudah barang tentu semua umat muslim menyadarinya.

Jum’atan ini adalah momen terbaik menyampaikan ilmu dan petunjuk yang selama ini belum banyak diketahui, atau pun sebagai reminder jika seseorang khilaf. Jemaah yang berbondong-bondong ke masjid, serempak seluruh kota, di tengah kesibukan. Maka di situ, target pencapaian mempertebal keimanan seseorang setidaknya bisa tercapai. Atau gausah muluk deh, buat khutbah itu menjadi menarik saja sudah cukup. Sejatinya khutbah itu obat hati, bukan obat tidur.

***

Tulisan ini saya khususkan sebagai bahan instrospeksi diri pribadi, bukan untuk memperdebatkan soal keyakinan masing-masing pihak yang merasa di-summon atau disenggol oleh tulisan ini. Agama itu letaknya di dapur. Begitu kata Cak Nun. Kalau saya dikomentari : "Yah kenapa bukan kamu saja yang ceramah!", maka saya jawab saja "Asal bapak-bapak dengan murah hati mau mendengarkan anak muda yang agamanya saja belum tentu lebih baik ini dari bapak-bapak sekalian, maka saya mau." Tapi adat di sini kan selalu hormat pada orang tua dan yang muda nanti dulu saja. Orang tua selalu pandai, dan yang muda tau apa.

***


Islam itu datang dalam keadaan asing, dan kembali dalam keadaan asing pula. Berbahagialah orang-orang yang terasing.

18.1.16

Lagi-lagi Soal Ngurusin Orang.

We are not too far away from that age when singularity will come into reality. Just a matter of time. Jadi, saya tidak meragukan akan sebuah teknologi yang bisa membuat ide yang terlintas di kepala baik berupa thoughts (pemikiran), ideation sketch (sketsa, gambar, image board), fantasy, daydreaming (lamunan), dan segala isi kepala, akan bisa dengan mudah dicatat/didokumentasikan/direkam saat itu juga dalam sebuah alat/aplikasi/system/cloud supaya mempercepat proses brainstorming. Misalnya sekarang, saya nulis blog sambil mikir. Biasanya, proses mikir ini yang kelamaan, overthinking katanya. Dan ujung-ujungnya ga jadi nulis. Coba kalau ada teknologi itu tadi. Saya jadi tidak usah mengingat-ngingat kembali kejadian-kejadian kemarin yang terlewat yang ingin saya tulis di sini.

***

Januari Awal.

Saya sudah merasa tidak kerasan berkeliaran di sekitar rumah di Bandung terutama tetangga-tetangga. Ditambah beberapa hari kemarin juga tersungkur nambru di tempat tidur, di kamar, karena ngecharge badan yang baterenya habis dipakai rapat sampai larut, kesana kemari, ngerjain ini itu sendiri karena meminta bantuan di media sosial (yang katanya memudahkan) malah seperti monolog, atau ngomong sama tembok. Lebih parah bahkan, karena tembok saja bisa membalas dengan gaungnya. Ini sama sekali tidak.

Intuisi saya biasanya selalu berkata benar. Saya percaya intuisi/naluri saya hampir 90% bahkan sejak usia 8-9 tahunan. Intuisi saya saat ini boleh dikata kurang sedap, bahkan seringkali saya merenung lama karena ini. Masa-masa saya dihormati, atau setidaknya didengar, dalam kapasitas saya sebagai ketua karang taruna sepertinya sudah di ujung tanduk. Saya bisa merasakan auranya. Ketidakkompakan, kabar yang tidak pernah saya dapat baik itu bahagia, duka, senang-senang, atau lainnya. Manusia itu aneh. Ingin berubah tapi tidak mau diubah. Ingin teratur tapi tidak mau diatur. Kalau sekarang saya dibilang tidak becus meng-handle SDM dan organisasi, yes saya akui dan saya tidak akan mempermasalahkan pembicaraan-pembicaraan di belakang saya lagi. Toh orang-orang yang berkata demikian tidak akan paham posisi saya, begitu juga kondisi di dalam organisasinya. Nah kalau seorang pemimpin sudah dirasa tidak lagi dibutuhkan, untuk apa mengupayakan, kan?. Sok lah silakan kembali lagi seperti dahulu saling tidak mengenal, tidak ada lagi kegiatan-kegiatan sosial anak muda, dan silakan nyanyi-nyanyi sampai larut malam tidak aka nada yang melarang lagi. That’s fair enough.

Prediksi saya, ini karena selama ini saya dianggap cenderung terlalu ‘serius’, disiplin tinggi, banyak aturan oleh sebagian orang. Hey, asa saya pun pernah bercanda-canda dengan kalian kan? Atau memang karena sudah jenuh dan seperti rollercoaster yang mau ke atas lagi, kalau hanya saya yang mendorong, berat. Atau mungkin karena beberapa diantaranya pernah merasa tersinggung dengan perkataan saya dan tidak mau angkat bicara di depan saya. Well, orang Sunda itu melankolis. Cengeng. And they tend to exaggerated it. Berlebihan. Seringkali saya sesalkan itu. Maka tidak usah komplen kalau sekarang RW sendiri saja dipimpin keturunan Jawa Tengah. Yang memanggil saya dengan sebutan Mas, padahal saya maunya disebut Kang, atau Mang. Tapi semua warga setuju dengan pemimpin baru itu karena beliau amat vocal, tegas, disiplin. Beda dengan bapak-bapak sunda di sini. Bisanya hanya berkomentar-komentar yang obvious, yang orang lain juga sudah tahu, identik dengan telat, lelet, santai, dan yang lesu-lesu lainnya. Memang ada yang vocal, cerdas, tapi begitu disuruh memimpin, takut. Takut urusan duniawinya keteteran, pekerjaan, bisnis, liburan, dll. “Say amah di belakang aja, di balik layar”. That’s bullshit! Ha ha. Yakin saya, perkataan itu tidak akan berlangsung lama. Komitmen di balik layar hanya dalih agar lepas dari tanggung jawab dan yang seperti itulah mental-mental lembek, serba takut jika diberi tantangan dan tanggung jawab. Yah, memang itu dampak dari geografis kota ini yang menurut saya terlalu nyaman dan membuat penghuni aslinya terlena dengan kenyamanan ini, sampai tidak sadar rumahnya sudah dikuasai orang luar. Ha ha.

***

January 17

Romi, seorang teman seperjuangan, sekelas di SMP, sekelas di SMA, sekampus, se-geng sepedaan, sekelas sekolah pra nikah (yang agak impulsive), se-band, senyambung-nyambungnya waktu ngobrol, kini sudah melepas status lajang. Bahagia campur terharu sih ngeliatnya. Notabene cukup tau lika-liku hidup dan percintaannya dari SMP karena memang sering bertukar pikiran soal masalah perempuan. Terlebih waktu ikut SPN Salman. Mulai kemarin, apa yang dia dapat di sekolah itu sudah mulai dipraktikan sepertinya. Doaku untuk mereka yang sama-sama baik dan tepat, Insya Allah.

Now, what?

Di dinding kamar masih ada satu future plan spekulatif ketika masih di bangku kuliah tingkat 2. Di sana tertulis bahwa tahun 2016 ini saya merencakan menikah. Urusan sama siapanya saya belum tahu. Ha ha ha. Wongedhan.

Motivasi? Ibadah lah pastinya. Karena Allah. Lainnya, personally, saya takut. Takut gak kuat iman kalau tidak menikah. Boys know that. Namanya iman manusia umat-umat akhir zaman mah kan naik turun. Mau saya sih selamat dunia akherat. Semua juga seperti itu kan? Opsinya, kalau bisa tahan gejolak hawa nafsu pake iman yang kuat, ya nikah ae biar halal.
Kalau orang ngeliat saya mana keliatan siap menikah, ya memang belum siap. Ha ha ha. Dan kalau saya tanya ke tiap calon mempelai kalau ditanya siap enggaknya ya mostly they said they haven’t ready yet. Tapi kalau percaya bahwa semesta mendukung, Allah mendukung, ya pasti diyakinkan. Insya Allah.

Bukan perempuan yang sempurna, tapi yang tepat. Begitu kata Ustad Salim A Filah. Kalau belum nemu, katanya sih Solah Dhuha, minta dibukakan pintu rezeki dan jodoh. Lalu  Solat Istikharah. Nah ini. Karena menyerahkannya pada Yang Ngasih, kalau sekarang punya kecengan, harus diikhlasin. Rada beurat tah. Jadi terkadang, doanya diplesetkan: “Kalau dia bukan jodohku, maka jodohkanlah.” Memang istikharah itu solat dengan maksud ‘minta yang agak maksa’ but Allah loves that tho’. Tapi yang betulnya memang “Kalau bukan jodohku, palingkanlah ia dariku, palingkanlah aku darinya”. “Kalau dia baik untukku, dekatkanlah, kalau buruk untukku, jauhkanlah”. Mengesampingkan hawa nafsu itu susah meureun. Da ai yang cantik mah tetep mau. Tapi kalau mau dipilihkan yang oke, ya memang kudu diserahkeun ka Nu Kawasa.

***

Lagi-lagi soal ngurusin orang lain. Emang orang lain peduli dan ngurus lu juga, Dhy? My? Yas? Atau apapun nama panggilan lu.


1.1.16

Insiden Pak Brutus, seorang alkoholik yang sedang kritis

Selamat datang pada sebuah masa di mana kebaikan/keburukan adalah suatu relativitas yang tidak lagi diukur oleh norma adat, sosial, atau norma agama sekalipun. 

Hampir semua orang sepertinya berniat untuk melakukan perubahan dalam dirinya semenjak pergantian tahun masehi. Hari yang baru, tahun yang baru, jiwa yang baru, semangat yang baru begitu katanya. Buat saya kedengarannya klise. Bahkan saya menganggap malam tahun baru seperti malam biasa saja. Pergantian kamis ke hari jumat kemarin itu seperti pergantian hari yang biasanya terjadi. Nothing special. Meskipun malam tadi saya habiskan meramaikan acara di tetangga, tapi tetap saja saya anggap bukan sesuatu yang harus dirayakan besar-besaran atau hura-huraan. Such a waste of time.

Kalau harus menunggu tahun baru untuk re-charge semangat, duh, kelamaan om, mbak. Recharge semangat bisa tiap hari toh? Contoh mudah ya dengan tidur tidak larut malam dan bangun pagi. Itu menurut saya. Nah kebayang kalau manusia harus menunggu momen hura-hura sebagai dalih refreshing hanya untuk me-recharge semangat. Habis materi duluan gitu mah.

Masih soal tahun baruan. Ada fenomena yang aneh pada satu malam itu. Identitas manusia seakan menjadi bias. Laki-laki dan perempuan yang menyatu bahkan tanpa batasan yang jelas. Melebur, menyatu dalam euphoria kemegahan ‘malam tahun baru’ di benak masing-masing. Bahkan orang tua yang mendorong anak-anaknya yang umumnya remaja agar ‘gaul’ menurut definisi mereka. “Gak taun baruan, Nak? Seru-seruan atuh jug!” Salah? Benar? Menurut mereka bisa jadi suatu kebenaran. Menurut saya kesalahan fatal. Relatif. Mereka mengukur kebenaran itu indikatornya adalah perkembangan zaman, kesetaraan gender, sekularitas. Indikator saya adalah norma agama.

Mabuk-mabukan, judi, begal, geng motor yang ikut serta ‘memeriahkan’ malam tahun baru menjadi hal lumrah dan mayoritas dari kita semua seolah disuntik mati melihat kondisi itu padahal kejadiannya dekat dengan kita. Kita tidak mencegah dari tahap paling awal. Kita disibukkan mengatasi akibatnya yang makin ke sini makin sulit diurai. Pencegahan tahap awal itu dari keluarga. Dan itu ditentukan dari bagaimana seorang insan manusia bertumbuh dan berkembang dalam satu lingkungan keluarga. Bagaimana orang tua yang cerdas mendidik akhlak dan pengetahuannya agar ketika remaja, pemikirannya sudah matang untuk bisa menentukan baik buruknya sesuatu didasari atas norma-norma yang ada.

***

Sekarang saya dihadapkan pada satu relativitas ini. Saya tidak membatasi teman. Saya membatasi pergaulan. Saya berteman dengan pemabuk, preman, tukang judi, geng motor. Tapi pergaulan kami dibatasi, mostly saya yang membatasi diri. Beberapa hari yang lalu seorang tetangga, tokoh masyarakat yang memang cukup dikenal di daerah saya mengalami insiden serius. Sebut saja Brutus. Usianya 65 tahun dan berasal dari keluarga kurang mampu. Ia mengalami penggumpalan darah, pecah pembuluh darah dan keretakan tengkorak belakang serius. Dibawa ke UGD rumah sakit terdekat untuk ditangani intensif. Sayang, BPJS yang dimilikinya tidak bisa mengcover biaya penanganan rumah sakit yang meliputi operasi, rawat inap, dan obat-obatan lainnya secara menyeluruh. Penyebabnya adalah indikasi alkohol yang terkandung dalam tubuhnya. Menurut dokter, pihak rumah sakit tidak bisa menerima bpjs jika kondisi pasien adalah sakit/cedera yang disengaja oleh pasien sendiri. Usut punya usut, ternyata menurut pihak keluarga, indikasi alkohol yang terdeteksi pada tubuh pak Brutus itu semata-mata untuk kesehatan pak Brutus itu sendiri. Pak Brutus mengalami insomnia akut dan seringkali, minuman beralkohol adalah obat tidurnya. Dan ketika kejadian, ada kemungkinan korban terjatuh sangat keras atau menghantam benda keras. Saksi satu-satunya adalah korban sendiri dan sampai saat ini masih tidak bisa diajak komunikasi.

Sampai saat ini, biaya yang terbilang besar itu masih belum bisa dicover sepenuhnya oleh pihak keluarga meskipun, menurut keterangan keluarga, rumah sudah digadaikan. Mengupayakan biaya besar dan cepat tidak mudah apalagi jika dilihat latar belakang kebiasaannya. Keluarga pak Brutus tentu tidak mau mendengar sentimen-sentimen negatif dari orang lain yang hendak memberi bantuan. Mereka hanya butuh biaya dan tanpa melihat latar belakang tersebut. Jika dilihat dari segi kemanusiannya, kita semua tentu iba dan merasa ingin sekali membantu, apalagi orang yang kita kenal cukup baik. Tetapi, jika kembali ke norma-norma yang berlaku, terutama norma agama, menolong pak Brutus seolah-olah memberikan legitimasi bahwa menjadi alcoholic itu merupakan suatu kewajaran. Satu sisi kita dituntut untuk menolak segala jenis minuman beralkohol tetapi di sisi lain terbentur rasa kemanusiaan. Saya inginnya bersikap apatis untuk memberi pelajaran bahwa minuman beralkohol nyatanya sama sekali jauh dari kebaikan. Tapi bersikap seperti itu ternyata malah jadi cemoohan karena sebagai salah satu pemimpin lembaga kemasyarakatan, saya dianggap tidak memberi banyak bantuan pada warganya. Ironis dan dilematis.

Sampai saat ini, follow up bantuan ke beberapa pihak yang fokus di bidang kesehatan masih di postpone. Pihak-pihak pemberi bantuan masih ingin melihat kejelasan latar belakang, status kesehatannya saat ini dan kemungkinan-kemungkinan ke depannya.

***

Kuncinya ada pada keluarga. Pendidikan keluarga yang selama ini diaplikasikan oleh masyarakat Indonesia hanya dilakukan atas dasar pengetahuan mereka sendiri. Saya menyebutnya sok tahu. Entah kata apa yang lebih layak selain itu. Karena ketika diberi pendidikan parenting, ada saja yang mangkir dan seenaknya. Padahal pendidikan parenting tersebut didasari banyak kelimuan baik dari segi adat, budaya, sosial, dan agama. Bagi seorang Muslim, pendidikan keluarga ada dalam kitab suci Al-Qur’an dan hadist. Lantas kenapa tidak membaca? Lantas kenapa menjadi sok tahu dan enggan bertanya? Apakah bertanya masih dianggap sebagai tanda bodohnya seseorang? Kalau masih beranggapan seperti itu, dan nantinya masih terjadi lagi seperti kasus di atas, maka jangan salahkan mereka yang sudah merelakan waktu dan tenaganya untuk peduli pada sekitarnya.

Trip Intergalaksi

Selasa, 23 Juni 2020 03.22 dini hari Kisah ini saya tulis begitu bangun tidur dari mimpi yang tidak akan pernah saya lupakan. Mimpi yan...