14.5.18

Instant Gratification Monkey

Procrastinating. Istilah halus dari membuang-buang waktu, lalai, malas. Jaman ngaji masih pake lampu cempor, cuma ada istilah malas, which ia lawan kata rajin. Belum ada istilah keren ini. 

Saya hanya menginterpretasikan presentasinya om Tim Urban di TED Vancouver supaya mudah dimengerti saya sendiri, atau kalau ada pembaca dari ras melanesia. 

Tiap hari manusia dihadapi tantangan mengelola waktu, baik itu pekerjaan, sekolah, kuliah, meeting, rapat, project, ataupun yang sifatnya pribadi seperti kapan harus tidur, main, istirahat, keluar rimah, makan, dan lainnya. Dalam mengelola waktu, ada batas akhir pengerjaan aktivitaa yang umum disebut deadline.  Idealnya, di pikiran kita, akan secara otomatis mampu memetakan bagaimana tahapan suatu aktivitas harus dilakukan sesuai dengan porsi waktu yang disediakan. Idealnya seperti ini... 


Tapi kenyataannya, seperti ini...


Kita terjebak dalam pola buruk dalam mengelola waltu karena ada sesuatu yang mengganggu, distraksi, pengalih perhatian.

Kalau yang tadi tipikal orang yang plotting waktunya secara harian, ada pula tipe orang yang pengelolaannya mingguan. Dan sama saja, dalam benak mereka, minggu pertama yang ada di pikirannya adalah bagaimana caranya membagi waktu untuk mengerjakannya.

Gagal di mingggu pertama, lantas workload / porsi kerja dilimpahkan ke minggu kedua dan ketiga. Masih masuk akal dan sepertinya bisa dikejar. Sepertinya.

Lalu kembali gagal. Setengah minggu terakhir dan dikebut belum memunculkan hasil.

Dan pada akhirnya, Sangkuriang mode on. Beban kerja ditumpah curahkan di sepertiga malam terakhir. Berharap mendapat faedah lailatul Qadar mungkin. Namun bisa ditwbak hasil akhirnya. Penilaian akhir yang mengecewakan, buruk, tipikal supir bis malam. Tidak peduli bagaimana rupa bis di akhir terminal, yang penting bisa sampai dalam semalam. Disappointing result..




Jadi menurut om Tim, kalau di-breakdown isi otak para deadliners/procrastinator/tukang begadang/pemalas, sebetulnya di awal waktu, ia sudah bisa membayangkan 5W 1H terhadap apa yang menjadi kewajiban dan tugasnya. Mereka punya target yang bisa dicapai secara rasional.  Tapi...

Di pikiran mereka ada yang namanya "Instant Gratification Monkey". Kalau diterjemahkan, monyet pengganggu yang selalu ngajak berbuat sia-sia tapi menyenangkan. Menurutku, ini sama saja dengan syaitan. Bisikin hawa nafsu, cuma mungkin dikemas dengan lucu-lucuan versi om Tim. Yea whatever.




Setiap kali pikiran mentrigger motivasi untuk mulai beraktivitas sesuai kewajiban, mengeluarkan booster untuk take action, si monyet gaib ini yang selalu membisikkan untuk menunda niatan tersebut. 



Kalau pikiran kalah, si monyet bakal ambil alih kemudi untuk melakukan hal-hal yang di luar tugas dan kewajiban. That's what syaithan do, right? 



Karena ternyata si monyet ini senang akan hal-hal yang menyenangkan dan mudah dikerjakan. Saya tambahkan : juga murah. Seseorang akan menghabiskan kesenangan di game balap, karena lebih gampang, no significant risks, and also cheaper than the real ferrari. Jauh lebih murah. Dan di game itu, everyone can be anything. Pembalap, pemain bola, manager tim bola, penjahat, even a terrorist. Oke ini side effect dari game yang menurutku sangat tidak bermanfaat.

Dan berita buruknya lagi, keinginan si monyet itu berseberangan dengan tekad diri sendiri. 


Ujung-ujungnya, para procrastinator akan mengambil jalan tengahnya, dan berpendapat : "gak apa-apa lah senang-senang dulu" atau "work hard, play harder" atau "refreshing dulu di tengah tugas" atau "santai dulu napa? Serius mulu!" sambil mempengaruhi orang lain yang justru telah memulai langkahnya lebih dulu. 

Gak salah, tapi terlalu lama ambil jalan tengah itu malah masuk ke wilayah Dark Playgorund atau Taman Bermain Kegelapan. Lebay sih kalau dibahasa Indonesiakan. Tapi intinya, itulah jebakan batman.
Di kondisi dan momentum seperti itu, justru keinginan si monyet terpenuhi. Hasrat untuk terus terusan bermain menenangkan pikiran malah jadi melupakan apa yang menjadi prioritas.  Dan sekali lagi, kita bicara waktu yang terbuang.

Dalam posisi itu, kewajiban, tugas, obligasi, prioritas, apapun itu namanya, nampak sesuatu yang amat sulit dikerjakan. Yap karena si monyet berhasil menanamkan mindset "Fun things can be easy and cheap. So why would you choose the hardest one? Udeeh mending have fun aja terus. Santaiiii" gitu bisik si monyet yang niru ajakan syaitan.

Si monyet akan terus meracuni pikiran produktif hingga datang makhluk ini. Monster Panik. Pfft.. 


Si monster ini datang untuk menampar si manusia supaya sadar, kalau waktunya mepet. Dia bakal berteriak dan semuanya kaget, termasuk si monyet.



Dan memang, si monyet hanya takut sama monster ini. Dia bakal kabur tak kembali lagi. Menyisakan si nahkoda yang seolah baru bangun dari hipnotis. Kebingungan, ketakutan, gundah, galau, bahwa waktunya sempit sekali. Tapi dia berusaha kendalikan kemudi. Kemungkinan kecelakaannya besar, tapi setidaknya dia sadar dan bisa berbuat sesuatu meskipun di ujung tanduk. 


Dengan begitu, mulailah dia melaksanakan apa yang sudah menjadi tugas dan kewajibannya. Dan dia sudah tidak memikirkan hasil akhir, setidaknya ada yang bisa dikerjakan, demi menyelamatkan sesuatu yang menurutnya berharga. 

****

Dan inilah tabel waktu, jika seorang manusia punya waktu 97 tahun untuk mengejar tujuannya. Saya pikir, yang menjadi masalah adalah, mereka bukannya tidak mampu menggapai impiannya, target hidupnya, cita-citanya, tapi mereka tidak mau memulainya. 


***

Ada dua tipe procrastinating. Yang pertama, mereka yang diberikan batas waktu, deadline, yang masih dalam frame umur mereka hidup. Misalnya, minggu depan, bulan depan, tahun depan. Itu batas waktu yang besar kemungkinan manusia akan melewatinya selama masih hidup. 

Namun ada tipe kedua, dimana target itu tidak ada batas waktu. Sebetulnya ada batas waktu tapi manusia tidak bisa mengukurnya. Batas waktu yang dinamakan kematian, which is gak ada yang tau kapan seseorang mati. Yang menjadi masalah, ketika deadline mati ini habis, sedangkan kita tidak menyangka akan secepat itu, we will ended up in regret. Menyesal, mengapa kemarin-kemarin waktu habis dengan procrastinating, buang waktu, main, have fun, dan malah but banyak dosa. Kalau yang menjadi target adalah kehidupan dunia, jabatan, kekayaan, deadline tak terbatas ini bukan masalah besar. Hasil kerja keras akan terlihat di sisa umur nanti jika Allah berkenan. Tapi kalau targetnya adalah kehidupan setelahnya, tidak mungkin surga didapat jika mindset kita mengikuti si instant gratifigratication monkey tadi. Muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk surga? Kasihan mereka yang miskin, atau yang habis-habisan beramal ketika muda, dan pihak lainnya. Surga itu mahal pastinya. Logikanya, untuk dapat satu buah villa di dago pakar, ribuan jam, pikiran, tenaga, dan materi pasti dicurahkan betul untuk bekerja, sampai dapat keuntungan yang kemudian bisa dipakai membeli villa. Lalu buat beli surga, sudah modal apa? 


12.5.18

Ketidakmampuan yang dimampu-mampukan

Whatsapp is to real community as gran turismo is to real driving a car: a cheap, digital knockoff for those who can’t do better in real life.


Orang awam dan bodoh perkara bidang tertentu jangan memaksakan punya peran, atau urusan di bidang itu tidak akan ada titik temu. Problematika saat ini, orang-orang bodoh ini merasa punya power di balik sekat sunia maya, padahal tak paham-paham betul realita. Yang paham realita teraingkirkan karena the power of community yang berseberangan dengannya karena membawa banyak opini dari berbagai sudut pandang, berbagai rujukan sehingga seolah-olah benar padahal belum tentu, jika kembali pada realita. Pusing gak lo gua ngomong ape?

Ya di ruang tak kasat mata sana, banyak "power" yang terlihat nyata tapi sebetulnya hanya pelampiasan atas ketidakmampuan menghadapi realita di dunia nyata. Nanti kujelaskan alur pikiranku ini. Kasian istriku. Dia lelah, harus kutemani ketila tidur dengan pelukan dan pasang selimut hangat. 

10.5.18

Instantaneously

Tidak usah heran, mengapa di zaman ini, orang-orang ingin hasil yang serba cepat, sulit mengerti keadaan orang lain, dan mental tempe, atau kalau perlu saya tekankan, dia laki-laki, tapi emosi seperti emosi perempuan. Bukan saya mengatakan perempuan punya mental tempe, tapi laki-laki yang porsi pemakaian perasaannya terlalu banyak daripada pemakaian logika, terutama ketika dia dihadapkan pada sebuah masalah.

Sekarang ini manusia terbiasa instant. Saat orang dulu perlu puluhan percobaan meracik bumbu masak, perlu ribuan jam menjadi koki, sekarang hitungan menit orang sudah bisa membuat masakan setara koki profesional dengan rasa yang tidak jauh berbeda. Saat orang dulu perlu mendatangi puluhan guru, merantau ribuan kilometer, dan ribuan jam untuk menjadi seorang cendekiawan, sekarang hitungan menit orang sudah bisa mendapatkan berbagai ilmu setara Ensiklopedia. Saat orang dulu perlu ribuan kegagalan sebelum mencapai keberhasilan, sekarang orang enggan merasa gagal, ingin langsung berhasil, ingin segala sesuatunya mulus, segala sesuatunya sesuai dengan keinginan pribadinya. Karena sulit sekali mencari orang-orang yang betul-betul rela gagal demi kemaslahatan umat.

***

Sudah cukuplah ini semua menjadi pelajaran. Bahwa hubungan yang bukan didasari atas iman, hanya akan berujung kekecewaan. Sudah cukup banyak tahu saya ini. Dan hubungan di wadah organisasi ini sudah bukan tipeku. Mau dipertahankan sepanjang apapun kalau tidak ada keinginan mengubahnya, pergaulan ini seolah hanya buang-buang waktu saja. Buang-buang waktu yang perlahan menjauhkan diri dari kebaikan. Pelan-pelan. Terasa sekali. Mulai dari hilangnya waktu untuk menuntut ilmu, hingga waktu-waktu yang habis dengan urusan-urusan yang tidak ada manfaatnya.

***

Kemarin itu, kalaulah saya tidak tau hadist anjuran berwudhu ketika marah, mungkin sudah berisik isi rumah dengan teriakan kata-kata yang buruk bunyinya.

***

Saya mengerti sekarang, kenapa banyak orang yang sekarang hidup layak, punya ilmu, punya skill untuk mengubah kondisi negara dari level grass-root, sedikit berurusan dengan masyarakat, terutama di level bawah. Bukan karena mereka melihat strata sosial mereka atau background pendidikan, itu tidak manusiawi rasanya. Tapi, bisa jadi karena masyarakat di situ kufur ni'mat, tidak tahu diri, atau bodo katotoloyoh kalau kata orang sunda.

Sedikit spoiler bagi kamu yang punya niatan untuk terjun di ranah sosial dan berkeinginan berjuang mendermakan ilmu, tenaga, waktu, juga pikiran di lingkup tersebut. Saya tidak akan ceritakan manisnya, karena itu bonus saja kalau kita punya resistansi, ketahanan akan hal-hal berikut ini. 

Pertama, kau akan temui beberapa orang tipe banyak omong, berkata-kata anjing, anying, nada bicara seperti orang tidak terdidik, dan tidak ada keinginan sedikitpun darimu untuk menjadikannya teman dekat. Kau harus tahan, lalu ubah pelan-pelan. Kalau masih saja seperti itu, pilihannya ada pada dirimu. Tinggalkan atau kau terbawa. 

Kedua, kau akan temui beberapa orang tipe fake friends. Kalau backgroundmu berbekal ilmu agama yang cukup banyak, pasti mengerti bagaimana mencari teman seperjuangan, yang mau diajak pada kebaikan, dan dari raut wajahnya, kamu temukan ketenangan. Tapi, kalau memang mau betul-betul berjuang dalam dakwah, coba masuklah ke segmen ini, segmen dimana banyak sekali ditemui tanda kepalsuan. Muslim yang membaca buku panduan yaitu Al-Qur'an, pasti tau cirinya and how to deal with them. Ada di Q.S. Al Munaafiqun. Lho bukan saya yang ngomong kok, Allah yang ngomong. Kalau Rasulullah yang ngomong, ini. Sabda Nabi, ada 3 cirinya.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم – قَالَ آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ


Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda, Tanda-tanda orang munafik ada tiga: jika berbicara dia berdusta, jika berjanji dia mengingkari, dan jika diberi amanah dia berkhianat (HR. Al- Bukhari)

Cukup banyak janji yang dicancel mendadak. Cukup banyak janji menghadiri yang dilabrak. Cukup banyak alasan "ketiduran" yang berarti melewatkan shalat subuh. Cukup sudah tugas dan  posisi tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Cukup sudah dalih "sakit gak enak badan" menjadi untaian kalimat untuk berpaling dari ajakan. Kalaulah itu benar, saya selalu doakan kesembuhan. Kalaulah itu sebuah kebohongan yang disembunyikan dalam lubuk hati, saya berlepas diri dan semoga Allah beri hidayah. Cukup. Kalau merasa seperti itu, harusnya banyak istighfar. Termasuk saya pun jika ada kesalahan. Apakah dalam diri kita ada ciri-ciri seperti itu? Naudzubillahimindzalik. Harus berhati-hati memang. Saya sendiri bekalnya kurang sekali, makanya merasa terseret dari jalur yang benar karena di circle itu, tidak ada wingman, partner yang sekufu dengan saya. Sepadan keburukannya maksud saya. Karena saya sadar saya belum baik, maka masih perlu orang yang juga sadar dirinya buruk, lalu bersama-sama mengingatkan kebaikan. Ini tidak. Bahkan untuk membersihkan diri di masjid saja, di nanti-nanti. Sadar di tengah jalan lebih baik dari pada di ujung jalan. Sudah cukup saya melihat tanda komitmen seseorang itu dari komitmennya pada Rabb-nya. Kalau dia serius sama Rabb-nya, dia serius pada manusia. Cukup satu ciri saja, dan saya belum menemukan yang betul-betul seperti itu, termasuk diri sendiri.

Ketiga, kau akan temui beberapa orang tipe instant-kabul. Di pikiran mereka, hal-hal yang menjadi keinginannya, cita-citanya, bahkan cita-cita bersama saja, ingin terkabul cepat-cepat, instant kabul pokoknya. Tidak ada sama sekali rasa ingin berjuang. Setidaknya berjuang mengubah nasib diri sendiri saja dulu. Ini mah, loyo. Perjuangan di dunia saja loyo apalagi perjuangan menggapai tujuan akhir yang tidak mereka yakini sepenuhnya, yaitu surga. Akan lain jadinya kalau kita diiringi oleh orang-orang yang juga menyakini tujuan akhir tersebut. Perjuangan pasti tidak sendiri. Soal cara berjuang, saya tidak idealis. Saya mau beradaptasi dengan berbagai cara. Tapi soal tujuan akhir, saya idealis.

Keempat, kau akan temui beberapa orang tipe haters. Mereka yang tidak suka dirimu, tidak suka cara kerjamu, atau keduanya, akan terus merongrong di belakangmu. Mereka seolah ingin segala keluh kesahnya diketahui olehmu dan menyindirmu dengan perkataan mereka. Saran saya, tutp saja negative vibes mereka, tapi teladani akhlak Rasulullah yang tetap ramah kalau tidak sengaja berjumpa. Karena, sifat mereka seperti yang ditulis di surat Al Muthaffifiin ayat 30-32. Dan ada pula tipe seperti Q. S. At Taubah : 58. Harus peka, terlebih kalau mereka ada di barisanmu.

Kelima, kau akan temui beberapa orang tipe habis manis sepah dibuang-ers. Kau harus kuat dicampakkan dan ditinggalkan orang-orang yang dulu pernah kau bantu urusannya. Tidak perlu dituliskan apa saja perjuanganmu dan kekecewaanmu karena hal itu bisa menghapus amalmu. Kuatkan doa.

***

Menggaungkan perubahan perlu bekal pengetahuan dari mana mulai dan ke arah mana perubahan itu dituju. Jika menginginkan perubahan nasib diri sendiri dari miskin menjadi kaya, banyak cara. Ada yang diridhoi Allah, ada yang tidak. Silakan pilih tapi saya hanya menyampaikan pesan bahwa sebaik-baik pilihan adalah yang pertama. Jika perubahan yang diinginkan adalah kualitas hidup khalayak banyak, harus banyak pula yang terlibat. Perubahan akhlak terutama. Karena dari sanalah gaya hidup sehari-hari terbentuk. Disiplin, rajin, amanah, jujur, dan semua softskill untuk menggapai kesuksesan berawal dari akhlak pribadi. Soal darimana titik awal perubahan, saya yakin ada di masjid. Dan saat ini, saya hanya belum menemukan wingman-wingman yang menguatkan cita-cita ini. Mungkin nanti ada yang lebih handal merealisasikan konsep ini di wilayah ini.

***

Istri saya tak jadi cek USG kehamilannya karena workload di kantornya yang cukup menyita pekerjaan. Berdampak tentunya. Terutama saran dokter, atau mungkin ada resep dokter untuk ibu hamil selama berpuasa ramadhan. Belum lagi bumbu-bumbu lainnya.

***

Kamar saya penuh dengan baju bekas. Lebih dari 8 karung besar isinya. Tempo hari baru angkut dari kantor pos keamanan yang tidak jelas statusnya. Aparat setempat dijapri panjang hanya di-read saja. Enak gak digituin? Siangnya dikata anjing sama anggota sendiri yang dia kira saya gak tau apa. Lalu malamnya dia datang. Main HP. Menonton saya, seorang senior dan beberapa perempuan angkut barang. Laki apa banci? Belum lagi pesan WA yang isinya hanya surat perintah. Apakah selama ini kita berurusan hanya sekedar perintah dan perintah? Apakah hanya berisi mohon memohon lalu yang memohon hanya menginstruksikan? Mohon maaf jika saya dituntut untuk memahami posisi para atasan, setidaknya atasan pun harus mengerti bawahan. Apalagi kalau disana tidak ada atasan bawahan. Layakkah seperti itu?

***

Setelah path, twitter, kini giliran instagram saya uninstall. Berikutnya, giliran pertemanan yang memberi influence negatif yang saya uninstall. Berteman memang tidak usah lihat paras, tidak perlu lihat status, lihat kasta, tidak, tapi saya disuruh lihat akhlaknya. Kata siapa? Kata Nabi Muhammad. 





Diriwayatkan dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ وَكِيرِ الْحَدَّادِ ، لاَ يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيهِ أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ ، وَكِيرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً

“Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang shalih dan orang yang jelek bagaikan berteman dengan pemilik minyak wangi dan pandai besi. Pemilik minyak wangi tidak akan merugikanmu; engkau bisa membeli (minyak wangi) darinya atau minimal engkau mendapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau mendapat baunya yang tidak enak.” (HR. Bukhari, no. 2101)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

“Seseorang akan mencocoki kebiasaan teman karibnya. Oleh karenanya, perhatikanlah siapa yang akan menjadi teman karib kalian.” (HR. Abu Daud, no. 4833; Tirmidzi, no. 2378; dan Ahmad, 2:344. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)

Imam Al-Ghazali rahimahullah mengatakan, “Bersahabat dan bergaul dengan orang-orang yang pelit, akan mengakibatkan kita tertular pelitnya. Sedangkan bersahabat dengan orang yang zuhud, membuat kita juga ikut zuhud dalam masalah dunia. Karena memang asalnya seseorang akan mencontoh teman dekatnya.” (Tuhfah Al-Ahwadzi, 7: 94)

Teman yang shalih punya pengaruh untuk menguatkan iman dan terus istiqamah karena kita akan terpengaruh dengan kelakuan baiknya hingga semangat untuk beramal. Sebagaimana kata pepatah Arab,

الصَّاحِبُ سَاحِبٌ

“Yang namanya sahabat bisa menarik (mempengaruhi).”


Nah saya sudah melihat cukup banyak ketidakserasian akhlak ini. Either i'm not good enough or they aren't. Tau diri saja. Saya tau diri, maka saya cukupkan saja. Posisi ini hanya untuk orang yang punya waktu luang banyak, yang selalu ada di setiap tugas, selalu perhatian pada warga masyarakat seluruhnya, selalu memberikan kabar baik, selalu bisa memberi kesenangan, hiburan, dan liburan. Bukan saya, yang semata-mata mengajak ke arah lebih baik. Bukan saya yang cita-citanya dianggap terlalu jauh, mengkhayal, nisbi, nir-konkrit. Bukan saya yang terbatas ilmunya. Saatnya saya mencari kawanan yang bisa mempengaruhi kehidupan saya lebih bahagia, which are those who believe that changes & growth start from masjid, those who believe that by chasing akhira, they will gain dunya simultaneously. 

7.5.18

Anger Management




Ada kelompok manusia yang marah ketika tim sepakbola andalannya dihina. Ada kelompok manusia yang marah ketika dirinya direndahkan. Ada kelompok manusia yang marah ketika kepentingannya dicurangi. Manusiawi memang.. tapi itu bukan dalih permisif yang melegalkan marah dan berbuat seenaknya sebagai luapan kemarahan. 

Balik lagi deh sama guide book yang saya pake.  Al Qur’an, surah Ali Imran 134, yang artinya gini, “(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik pada waktu lapang maupun sempit, serta orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS Ali Imran [3]: 134)”. 

Nah jelas ya, saya gak butuh marah sebagai luapan emosi seperti orang-orang bilang "lo harus luapin kemarahan lo biar plong". Ya ini pilihan saya. Mau dikata saya orangnya terlalu memendam, kurang terbuka, ya terserah, namanya juga pilihan. Kalau kesel-kesel dikit mungkin ada sekilas tapi saya gak ambil pusing. 

Salah satunya saya menghindar dari marah, dari kesal, dari hal-hal yang nguras pikiran seperti itu, ya menghindar saja dari sumbernya. Menghindar dari sumber yang membuat amarah berbeda dengan menghindar dari masalah. Masalah harus dihadapi, amarah harus dihindari. 

Oke sampai sini dulu. Mau makan. 

***

Santai aja. 

Saya sedang belajar marah untuk hal lain. Belajar peka lebih tepatnyat. Peka untuk marah. Marah ketika agama, kepercayaan, way of life, cara hidup yang saya jalani dihina. Marah ketika idola hidup diolok-olok. Marah ketika kitab petunjuk hidup dinistakan. Marah ketika saudara seiman diperlakukan seperti serangga. Marah itu yang saya butuh. Dengan marah, ada  perasaan ingin membela kan? Dan jelas siapa dan apa yang ingin saya bela. 

Obrolan selentingan di sebelah sana baik dunia maya atau dunia nyata bukan fokus utama saya. Mohon maaf saja bagi haters. Sayang banget haters saya masih dikit. Belum bisa nyaingin orang2 saleh. Nabi Muhammad saja waktu di Thaif sampai dilempari batu. Nabi Musa dikejar presiden dan paspampres. Kalau saya, yang bari dikatain di belakang saja sudqh pundung dan bermental tahu, malu lah. Siapa gue? Ye gak? 

Mindset bahwa urusan sesama manusia akan ada perhitungannya di akherat kelak, saya pegang terus. Saya percaya kalau apa yang kita perbuat pada orang lain, baik buruknya akan saling berbalasan di yaumul hisab nanti. Biarlah saya lelah dengan semua perkataan, tidak akan saya masukkan ke hati, bahkan menjadi transfer pahala. Rugi kalau saya balas. Transferan itu akan lenyap dan tidak akan membedakan saya dengan mereka. Kalau jalan dakwah itu mudah, gak banyak musuh, mungkin saya salah jalan. 

***

Akhir-akhir ini saya kurang fokus. Karena fokus utama ada keluarga kecil yang sedang saya bangun fondasinya. Saya ingin bisa menemani istri ketika lelahnya, atau sekedar membantu pekerjaan rumah yang menurut ia pahala bagi suaminya. Ruh yang ada dalam rahim, titipan Allah itu, saya ingin menemani tumbuh kembangnya. Suatu kebanggaan. 

Orang lain tidak akan paham perasaan ini karena yang menilai saya hanya dzohirnya, yang kelihatannya saja. Tapi biarlah. Memang yang punya hak menilai semua tentang saya hanya Allah. 

Seandainya saja, amarah-amarah mereka itu atas dasar membela agama, amar mama'runahi munkar, mungkin tidak perlu seperti itu, karena sejatinya kita berjalan pada jalan yang sama. Namun, itupun setelah kita tau sama tau, bahwa saya dan mereka berada dalam satu barisan, satu shaff. Shaff perjuangan dan shaff shalat. Kalau shaff shalat kita sudah bersama, hal lain biar Allah yang menyatukan. Tetapi, kalau dalam ibadah shalat ini saja kita sudah berbeda, kalian tidak pernah, mungkin memang kita berbeda niat dalam berjuang. Saya tidak marah, tapi perlu penegasan bahwa kita belum sama. Semoga Allah memneri hidayah. 

Trip Intergalaksi

Selasa, 23 Juni 2020 03.22 dini hari Kisah ini saya tulis begitu bangun tidur dari mimpi yang tidak akan pernah saya lupakan. Mimpi yan...