11.12.18

Sensasi dibungkus Gimmick

Kontestasi politik tahun ini mempertontonkan adu akal sehat. Tidak usah marah kalau negara ini dilabeli negara yang tertinggal 150 tahun. Entah darimana angka itu didapat, tapi label "tertinggal" memang harus diakui dan dijadikan cermin, ngaca! 


Dari momen-momen pemilu yang masih prematur ini saja, banyak orang yang terbawa pada hal-hal yang konyol saja. Saya tidak hanya bicara soal 2 calon presiden, lebih ke tingkat grass-root, melihat para caleg memaparkan visi dan misinya saja sudah nampak kalau politik demokrasi Indonesia masih belum dewasa. Dalihnya mau meraup suara wong cilik, maka mencari sensasi dengan permainan kata-kata yang standar kasta tersebut dan gimmick yang, maaf, kampungan. Dalihnya mau meraup suara millenials, usia muda dan produktif. Lalu sensasi yang dilakukan adalah dengan gimmick motor, jaket kulit, atau campaign content yang berwarna-warni tralala-trilili dibalut bahasa kekinian yang justru memperliatkan kalau dia cacat linguistik. Bahasa Nasional aja blepotan apalagi dibawa ke kancah dunia? Kalau kekonyolan demi kekonyolan ini muncul dari timses, yang sebelumnya hanya simpatisan, asal mau kerja lalu bertarung dengan jargon andalan, maka yang jadi adalah perang tokoh, memenangkan sosok, kepentingan, bukan lagi urusan cakupan wilayah yang ia wakilkan. Visi dan misi sudah tidak lagi digubris. Sama-sama niat baik tapi karena itu tadi, para pelaku kontestasi politik ini sebagian kecil pakarnya, sebagian besar preman.


***



Masalah ini muncul karena visi dan misi bernegara yang sebelumnya di-scrutinize (ditelaah, digodok, dan dicek kematangannya) oleh kalangan yang kritis berdasarkan ilmu, sekarang malah langsung dilempar ke publik yang kritis tapi berdasarkan nafsu. Media sosial menyediakan peluang itu. Jadinya, tafsir masyarakat awam politik hanya menjudge tokoh. Coba lihat sekarang, satu kesalahan kata saja bisa dijadikan counter oleh publik yang bersebrangan. Padahal hanya masalah kata, tanpa ditelusuri lebih lanjut maknanya. Karena bisa jadi itu bernada majasi, metafor, hiperbol, dan perumpamaan lainnya yang jika diartikan seara gamblang, itu bukan hal penting-penting amat. 

Kenapa salah kalau langsung dilempar ke publik? Karena heterogeneity thinking yang ada di sana terlalu luas. Begini misalnya, orang lulus SD dengan lulusan SMA, punya pola pikir berbeda. Kalau dilibatkan langsung dalam penggodokan dan penilaian calon presiden, mereka akan kritis sesuai ilmu yang pernah didapatnya sejauh ini, meskipun usia bisa sama. Proses pendewasaannya berbeda. Lantas siapa yang lebih mendingan untuk proses scrutinize ini? Saya bilang lebih mending karena belum tentu ini opsi terbaik, tapi pasti lebih baik daripada dilempar ke publik.

Masukkan program kampanye ke kampus-kampus. Karena di sana, calon negarawan akan diuji kematangan pikirannya dengan landasan ilmu yang jelas tersedia di kampus. 

Kalau ada yang bilang, karakter masyarakat Indonesia memang senang sensasi dan gimmick, harusnya jangan melayani masyarakat dengan kekonyolan serupa, karena pemimpin bukan untuk menghibur penumpang dengan sensasi-sensasi ataupun gimmick lewat blusukannya, tapi memimpin kapal ke tujuan akhir. Untuk masyarakat, kalau terus menerus dilayani dengan kekonyolan, maka akan terus menerus tidak bisa tumbuh dalam percakapan demokrasi khusunya dalam negeri, apalagi luar negeri. Bisa diketawain.

Terlihat kalau pola kampanye calon-calon negarawan saat ini hanya untuk menarik perhatian publik. Tapi mereka rakus, inginnya semua kalangan. Mereka lupa kalau mencari sensasi melalui gimmick itu sama seperti tayangan televisi. Tidak semua orang berselera sama pada talkshow receh. Padahal di negara-negara berkembang, cara mencari perhatian publik dalam kontestasi politik itu dengan meminta diuji pikiran para calon tersebut di kampus-kampus.

***



Saya terpaksa menyebut jenjang pendidikan, karena hal ini menjadi salah satu faktor pola berpikir di masyarakat Indonesia pada umumnya. Para sarjana akan lebih mampu kritis mengenai konsep menjalankan negara karena mereka kritis pada hal-hal fundamental dan essentials dibandingkan mereka yang SMP saja tidak mau lulus. Nah mereka ini yang belum beruntung mengecap jenjang pendidikan tinggi, akan melihat seorang negarawan itu "menjalankan tugasnya", itu dinilai dari hal-hal yang nampak saja, seperti infrastruktur, pemberian bantuan, blusukan, masuk got, dan sebagainya. Padahal, executive itu fungsinya lebih banyak pada pembuatan kebijakan, rancangan undang-undang, delegasi, dan banyak fungsi lain yang bukan harus tampil.

***


Bicara lagi mengenai campagin/kampanye, yang saat ini mulai ramai. Kalaulah setiap calon, baik dari level DPRD Kota/Kabupaten hingga level presiden, itu masuk ke ranah kampus, kampanye di sana, atau pemaparan visi misi saja, saya yakin kebanyakan jargon hanya enak didengar tapi tidak enak didiskusikan, karena percuma, itu hanya jadi bahan tertawaan saja. Kalau diperiksa seluruh indikator pertumbuhan negara, dibandingkan dengan apa yang nampak di media melalui sensasi-sensasi dan gimmick-gimmick yang ada, itu justru memburuk. Cadangan devisa terkuras, neraca perdagangan defisit, jumlah penganggruan bertambah, angka kemiskinan meningkat, dan kegagalan-kegagalan lainnya yang dicoba ditutup-tutupi melalui sensasi konyol saja. Misalnya saja, dari kubu petahana, mereka mau sulap, menutup infografis tersebut, tapi bagi orang-orang yang berpikir, yang mempunyai metoda dan landasan ilmu yang didapat lewat jenjang pendidikan tinggi, melihat bahwa ada yang palsu di situ. Sedangkan dari kubu oposisi, visi dan misi penyelesaian masalah negara masih belum teruji kematangannya karena belum melalui orang-orang tadi, yang memiliki metoda dan landasan ilmu yang cukup untuk dikritisi dan tukar tambah pemikiran. Padahal politik adalah tukar tambah gagasan, tukar tambah ide, dan proses tukar menukar itu hanya ada di kampus. Kalau selesai di kampus, bolehlah dibawa ke talkshow, dipaparkan ke publik, supaya tidak ada misleading dalam penafsiran konsep bernegara yang sesuai aturan. 

Sekarang kan malah semua orang bicara sekehendaknya, sepemikirannya, lebih parahnya tanpa landasan ilmu yang kuat. Jadilah politikus freestyle. 

10.12.18

Semiotika Identitas

Harusnya kegelisahan ini dikeluarkan oleh seseorang pakar desain komunikasi visual yang puluhan tahun menekuni bidang tersebut terutama yang spesifik pada cabang ilmu semiotika yang menelaah makna di balik suatu gambar, icon, karakter, dan segala aspek visual lain. Tapi saya lihat belum ada tulisan yang meluruskan cara berpikir melalui metodologi yang satu ini.

***

Desain komunikasi visual, saya permudah pemahamannya menjadi berkomunikasi, ngobrol, interaksi, melalui media-media yang bersifat visual, dilihat oleh mata, tanpa suara, tanpa media lain. Ngobrol pake gambar. Itu singkatnya. Ada lagi lebih detail bahas ini yakni cabang ilmu semiotika, semiotics. Gak ngerti bagian ini? Skip aja.

Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda. Tanda-tanda tersebut menyampaikan suatu informasi sehingga bersifat komunikatif. Keberadaannya mampu menggantikan sesuatu yang lain, dapat dipikirkan, atau dibayangkan. Cabang ilmu ini semula berkembang dalam bidang bahasa, kemudian berkembang pula dalam bidang desain dan seni rupa. 

Semiotika berasal dari kata Yunani semeion, yang berarti tanda. Ada kecenderungan bahwa manusia selalu mencari arti atau berusaha memahami segala sesuatu yang ada di sekelilingnya dan dianggapnya sebagai tanda. Penjelajahan semiotika sebagai metode kajian ke dalam berbagai cabang keilmuan-dalam hal ini desain komunikasi visual dimungkinkan, karena menurut Yasraf A. Piliang ada kecenderungan untuk memandang berbagai wacana sosial sebagai fenomena bahasa. Artinya, bahasa dijadikan model dalam berbagai wacana sosial. Bertolak dari pandangan semiotika tersebut, jika seluruh praktik sosial dapat dianggap sebagai fenomena bahasa, maka semuanya–termasuk karya-karya desain komunikasi visual - dapat juga dipandang sebagai tanda-tanda. Hal itu dimungkinkan karena luasnya pengertian tanda itu sendiri. 

Ferdinand de Saussure merumuskan tanda sebagai kesatuan dari dua bidang yang tidak bisa dipisahkan - seperti halnya selembar kertas - yaitu bidang penanda (signifier) atau bentuk dan bidang petanda (signified): konsep atau makna. Berkaitan dengan piramida pertandaan ini (tanda-penanda-petanda), Saussure menekankan dalam teori semiotika perlunya konvensi sosial, di antaranya komunitas bahasa tentang makna satu tanda. Jadi kesimpulan Yasraf berdasar rumusan Saussure adalah satu kata mempunyai makna tertentu disebabkan adanya kesepakatan sosial di antara komunitas pengguna bahasa tentang makna tersebut. 

Sementara itu, Charles Sanders Pierce, menandaskan bahwa kita hanya dapat berpikir dengan medium tanda. Manusia hanya dapat berkomunikasi lewat sarana tanda. Tanda dalam kehidupan manusia bisa tanda gerak atau isyarat. Lambaian tangan yang bisa diartikan memanggil atau anggukan kepala dapat diterjemahkan setuju. Tanda bunyi, seperti tiupan peluit, terompet, genderang, suara manusia, dering telpon. Tanda tulisan, di antaranya huruf dan angka. Bisa juga tanda gambar berbentuk rambu lalulintas, dan masih banyak ragamnya. 

Merujuk teori Pierce, maka tanda-tanda dalam gambar dapat dilihat dari jenis tanda yang digolongkan dalam semiotik. Di antaranya: ikon, indeks dan simbol. Ikon adalah tanda yang mirip dengan objek yang diwakilinya. Dapat pula dikatakan, tanda yang memiliki ciri-ciri sama dengan apa yang dimaksudkan. Misalnya, foto Sri Sultan Hamangkubuwono X sebagai Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat adalah ikon dari Pak Sultan. Peta Yogyakarta adalah ikon dari wilayah Yogyakarta yang digambarkan dalam peta tersebut. Cap jempol Pak Sultan adalah ikon dari ibu jari Pak Sultan. 




***

Sejak awal sejarah terciptanya manusia di alam raya ini, komunikasi antar manusia adalah bagian yang paling penting dalam kehidupan. Selain kata-kata, unsur rupa sangat berperan dalam kegiatan berkomunikasi tersebut. Menurut AD Pirous, komunikasi visual (KV) yang dalam bentuk kehadirannya seringkali perlu ditunjang dengan suara-pada hakikatnya adalah suatu bahasa yang tugasnya membawakan pesan dari seseorang, lembaga, atau kelompok masyarakat tertentu kepada yang lain.

Sebagai bahasa, maka efektivitas penyampaian pesan melalui KV tersebut menjadi pemikiran utama seorang pendesain komunikasi visual. Untuk itu, sang desainer haruslah: pertama, memahami betul seluk beluk pesan yang ingin disampaikannya. Kedua, mengetahui kemampuan menafsir, kecenderungan dan kondisi, baik fisik maupun jiwa dari manusia kelompok masyarakat yang menjadi sasarannya. Ketiga, harus dapat memilih jenis bahasa dan gaya bahasa yang serasi dengan pesan yang dibawakannya, dan tepat untuk dapat dibicarakan secara efektif (jelas, mudah, dan mengesankan) bagi si penerima pesan. Komunikasi visual sebagai suatu sistem pemenuhan kebutuhan manusia di bidang informasi visual melalui lambang-lambang kasat mata, dewasa ini mengalami perkembangan sangat pesat. Hampir di segala sektor kegiatan, lambang-lambang, atau simbol-simbol visual hadir dalam bentuk gambar, sistem tanda, corporate identity, sampai berbagai display produk di pusat pertokoan dengan aneka daya tarik.

Sekarang ini banyak terjadi shifting pemahaman penerimaan pesan, atau salah tafsir pesan yang disampaikan karena itu tadi, Komunikasi berbentuk visual masih harus ditunjang dengan suara-suara, intonasi, pitch, dan lain sebagainya agar maksud pesan tersebut sampai dengan menafsiran yang sama.

***

Masuk ke identifikasi masalah utama, kenapa sekarang ini sangat berisik soal Bendera HTI? Apakah bisa menjudge sebuah kelompok dari semiotik yang tercantum dalam logonya saja? Saya gusar karena saya merasa pihak-pihak yang bodoh dan konyol menyudutkan orang-orang yang tidak terlibat dalam ormas tersebut dan dipandang sebelah mata di masyarakat. Seolah-olah ada sanksi sosial yang diterapkan. 




Bendera, menurut Wikipedia, adalah sepotong kain atau kertas segi empat atau segitiga (diikatkan pada ujung tongkat, tiang, dan sebagainya) dipergunakan sebagai lambang negara, perkumpulan, badan, dan sebagainya atau sebagai tanda; panji-panji; tunggul:sering dikibarkan di tiang, umumnya digunakan secara simbolis untuk memberikan sinyal atau identifikasi. Hal ini sering juga digunakan untuk melambangkan suatu negara untuk menunjukkan kedaulatannya. Nah mempelajari makna dan arti bendera juga ada studi khusus yang dikenal sebagai Vexillology.

Tapi saya bukan mau menjelaskan apa itu velove vexia itu. Ini buah keresahan saya melihat orang-orang netizen banyak omong soal bendera hti, pki, arab saudi, opm, dan lain-lain dan langsung mendakwa orang lain merupakan bagian dari ormas-ormas atau kelompok-kelompok tertentu. Dangkal.

Step 1. 
Ini contoh mudah dan bisa dipahami bahkan anak SD sekalipun. Ada bendera Australia, yang merupakan identitas bangsa. Sebelah kanan bendera Panda Tours Australia. Kenapa disebut bendera? Karena sudah dicetak pada kain berbentuk persegi atau persegi panjang dan dipasang pada tiang. Apakah Panda Tours = Australia dan Australia = Panda Tours? Jelas beda. Karena identitas yang diwakili itu berbeda. Jelas, bong?




Step 2.
Ini pun sama. Selandia Baru bukanlah Inggris Raya dan Inggris Raya bukan Selandia Baru. Yang menjadi irisan keduanya adalah karena Selandia Baru merupakan koloni Inggris. Namun secara kedaulatan, itu berbeda.


Step 3.
Yang ini yang banyak gagal paham. Kalau disebutkan logo HTI, maka yang dimaksudkan adalah yang kanan. Kalau disebutkan bendera HTI, itu juga yang kanan, yang sudah dibingkai persegi panjang. Kasusnya sama dengan Panda Tours. Jika HTI menempel icon/gambar bendera tauhid dalam logonya, bukan berarti HTI mewakili keseluruhan umat Islam. Pun dengan Bendera Ar Rayah di sebelah kiri. Bendera tersebut jadi identitas umat muslim karena di dalamnya ada makna iman yang hanya dipahami umat muslim. Kalian Panda Tours ngapain sewot bakar identitas yang kiri kalau yang kalian maksud mau bakar yang kanan. Kan cacat mikir kalau gitu mah.
Saya hanya mencoba memberikan pemahaman sebagian kalangan yang menjudge sesuatu tidak berdasar ilmu. Atau ketika mencari tau, bukan mencari kebenaran, tapi malah mencari-cari kesalahan untuk kemudian kesalahan itu malah dibesar-besarkan. Kalaulah yang menjadi masalah adalah ideologi HTI (yang kanan), kenapa harus membakar bendera yang kiri? 

Mengenai kasus seorang oknum anggota Banser NU Garut membakar bendera di Lapangan Limbangan, Garut, terlepas dari keberpihakan saya pada kubu manapun, saya berani bertanggung jawab dengan uraian di atas bahwa yang dibakar itu adaah bendera tauhid, bukanlah bendera HTI. Saya yakin yang dibakar itu merupakan bendera Rasullah SAW, yang disebut Ar-Rayah. Mau  berkelit dengan cara apapun, ditinjau dari semiotika komunikasi visual, peristiwa itu menunjukkan cacat logika dari para pelaku karena tidak mampu membedakan identitas lewat simbol/atribut.


HTI sudah selesai. Ormas ini sudah dicabut ijinnya oleh kemenkumham. Sudah tak ada lagi. Jika kemudian hari ada yang bawa atribut HTI, yang jelas ada tulisan HTI, boleh jadi pertama, itu oknum HTI yang tidak mengerti hukum. Kasih tahu, sadarkan dan jika merisaukan, laporkan polisi. No main hakim sendiri. Kedua, bedakan atribut HTI dengan atribut umat islam secara keseluruhan.

Yang pasti, dari sekarang, masyarakat mesti belajar untuk bersikap cerdas. Kebodohan hanya akan memberi peluang bagi orang-orang tak bertanggung jawab untuk menjadikannya sebagai korban dan komoditas politik. 

8.12.18

Bunuh Diri Massal Pers Nasional






Tanda-tanda pers Indonesia sedang melakukan bunuh diri massal, semakin nyata. Pemberitaan media massa tentang Reuni 212 yang berlangsung di Monas, Ahad (2/12), membuka tabir yang selama ini coba ditutup-tutupi. Kooptasi penguasa, kepentingan ideologi, politik dan bisnis membuat pers menerapkan dua rumus baku, framing dan black out. 

Peristiwa besar yang menjadi sorotan media-media internasional itu sama sekali tidak “menarik” dan tidak layak berita, bagi sebagian besar media nasional yang terbit di Jakarta. 


Sejumlah pembaca Harian Kompas pada Senin (3/12) pagi dibuat terkejut ketika mendapati koran nasional itu sama sekali tidak memuat berita jutaan orang yang berkumpul di Monas. Halaman muka Kompas bersih dari foto, apalagi berita peristiwa spesial tersebut. 

Setelah dibuka satu persatu, peristiwa super penting itu ternyata terselip di halaman 15. Dengan judul “Reuni Berlangsung Damai” Kompas hanya memberi porsi berita tersebut dalam lima kolom kali seperempat halaman, atau sekitar 2.500 karakter. Tidak ada foto lautan manusia yang menyemut dan memadati kawasan Monas dan sekitarnya. 



Bagi Harian Kompas peristiwa itu tidak penting dan tidak ada nilai beritanya (news value). Halaman 15 adalah halaman sambungan, dan topiknya tidak spesifik. Masuk kategori berita dibuang sayang. Yang penting ada. Karena itu namanya halaman “umum.” Masih untung pada bagian akhir Kompas mencantumkan keterangan tambahan “Berita lain dan foto, baca di KOMPAS.ID. 

Kompas memilih berita utamanya dengan judul “Polusi Plastik Mengancam.” Ada dua berita soal plastik, dilengkapi dengan foto seorang anak di tengah lautan sampah plastik dalam ukuran besar. Seorang pembaca Kompas yang kesal, sampai membuat status “Koran Sampah!” 



Halaman muka Harian Media Indonesia milik Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh juga bersih dari foto dan berita Reuni 212. Mereka memilih berita utama dengan judul “ PP 49/2018 Solusi bagi Tenaga Honorer.” 



Harian Sindo Milik Ketua Umum Partai Perindo Hary Tanoe memilih berita utamanya “ Pesona Ibu Negara di Panggung G-30” dengan foto-foto mereka dalam ukuran besar. Koran Tempo memilih berita utama “Menuju Ekosistem Digital” yang ditampilkan dalam seluruh halamannya. 

Hanya Koran Rakyat Merdeka, Republika yang memuat berita dan foto peristiwa Reuni 212 di halaman muka. Rakyat Merdeka menulis Judul “212 Makin lama, Makin Besar Kenapa Ya?.” Republika menulis Judul “Reuni 212 Damai.” Sementara Harian Warta Kota memuat foto lepas, suasana di Monas dengan judul berita yang dengan berita utama yang sangat besar “Ketua RW Wafat Usai Reuni.” 


Agenda Setting 

Dengan mengamati berbagai halaman muka media, kita bisa mendapat gambaran apa terjadi di balik semua itu? Media bersama kekuatan besar di belakangnya, tengah melakukan agenda setting

Mereka membuat sebuah skenario menenggelamkan peristiwa Reuni 212, atau setidaknya menjadikan berita tersebut tidak relevan. Operasi semacam ini hanya bisa dilakukan oleh kekuatan besar, dan melibatkan biaya yang cukup besar pula. 

Target pertama black out sepenuhnya. Jangan sampai berita tersebut muncul di media. Untuk kasus pertama ini kelihatannya tidak ada media yang berani mati dan mengabaikan akal sehat. 

Reuni 212 terlalu besar untuk dihilangkan begitu saja. Kasusnya jelas berbeda dengan unjukrasa Badan Eksekutif Media Se-Indonesia (BEM-SI), dan ribuan guru honorer yang berunjuk rasa ke istana beberapa waktu lalu. Pada dua kasus itu mereka berhasil melakukan black out




Target kedua, kalau tidak bisa melakukan black out, maka berita itu harus dibuat tidak penting dan tidak relevan. Apa yang dilakukan Kompas, dan Media Indonesia masuk dalam kategori ini. 

Target ketiga, diberitakan, namun dengan tone yang datar dan biasa-biasa saja. Contohnya pada Republika. Meski dimiliki oleh Ketua Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf, harap diingat latar belakang koran ini adalah milik umat. Tidak mungkin mereka menempatkan berita ini di halaman dalam, apalagi menenggelamkannya. 

Bisa dibayangkan apa yang terjadi, bila Republika berani mengambil posisi seperti Kompas? Ketika Erick memutuskan bersedia menjadi ketua tim sukses saja banyak pembaca yang sudah mengancam akan berhenti berlangganan. Apalagi bila sampai berani melakukan black out dan framing terhadap berita Reuni 212. Wassalam. 

Target keempat tetap memberitakan, tapi dengan melakukan framing, pembingkaian berita. Reuni memakan korban. Contohnya adalah Warta Kota yang membuat judul “Ketua RW Wafat Usia Reuni.” Berita ini jelas terlihat sangat dipaksakan. Satu orang meninggal di tengah jutaan orang berkumpul, menjadi berita yang menarik dan penting? Sampean waras? 



Hal yang sama jika kita amati juga terjadi di media online dan televisi. Hanya TV One yang tampaknya mencoba tetap menjaga akal sehat di tengah semua kegilaan. Mereka masih memberi porsi pemberitaan yang cukup layak dan melakukan siaran langsung dari Monas. 

Tidak perlu orang yang punya pengalaman di media untuk memahami semua keanehan yang kini tengah melanda sebagian besar media arus utama Indonesia. 

Berkumpulnya jutaan orang dari berbagai penjuru kota di Indonesia, dan juga kota-kota dunia di Lapangan Monas, apalagi pada masa kampanye, jelas merupakan berita besar. Tidak alasan untuk tidak memuat, apalagi mengabaikannnya. 

Bagi kalangan media peristiwa itu jelas memenuhi semua syarat kelayakan berita. Mau diperdebatkan dari sisi apapun, pakai ilmu jurnalistik apapun, termasuk ilmu jurnalistik akherat, atau luar angkasa (kalau ada), Reuni 212 jelas memenuhi semua syarat dan melibatkan rumus baku yang menjadi pegangan para wartawan.

1.  Luasnya pengaruh (magnitude), 
2. Kedekatan (proximity), 
3. Aktual (kebaruan), 
4. Dampak (impact), 
5. Masalah kemanusiaan (human interest), dan 
6. Keluarbiasaan (unusualness).

Permainan para pemilik dan pengelola media yang berselingkuh dengan penguasa ini jelas tidak boleh dibiarkan. Mereka tidak menyadari sedang bermain-main dengan sebuah permainan yang berbahaya. Dalam jangka pendek kredibilitas media menjadi rusak. Masyarakat akan kehilangan kepercayaan. Mereka akan ditinggalkan. 

Di tengah terus menurunnya pembaca media cetak, tindakan itu semacam bunuh diri, dan akan mempercepat kematian media cetak di Indonesia. Dalam jangka panjang rusaknya media dan hilangnya fungsi kontrol terhadap penguasa, akan merusak demokrasi yang kini tengah kita bangun. 

Masyarakat, aktivis, wartawan, lembaga-lembaga kewartawanan seperti PWI, AJI, IJTI, maupun lembaga-lembaga seperti Komisi Penyiaran Indonesia, dan Dewan Pers tidak boleh tinggal diam. Terlalu mahal harga yang harus dibayar bangsa ini, karena medianya larut dalam konspirasi dan dikooptasi. 

*** 


Oleh : Hersubeno Arief Wartawan Senior, Konsultan Media

Sumber : https://www.hersubenoarief.com/artikel/bunuh-diri-massal-pers-indonesia-jilid-ii/amp/

Trip Intergalaksi

Selasa, 23 Juni 2020 03.22 dini hari Kisah ini saya tulis begitu bangun tidur dari mimpi yang tidak akan pernah saya lupakan. Mimpi yan...