27.2.19

Ayah Pembelajar

Baru saja pulang agak larut, jam 20.32 karena meeting kerjaan sampingan sepulang les bahasa arab. Saat pintu rumah dibuka, ada mata-mata kecil yang mulai terlelap dalam tidurnya. Dia, Ghazia, anakku, anak 4 bulan yang seringkali melewatkan detik-detik menuju tidur lelap tanpa memandang bapaknya. Padahal dulu cita-citaku, tanpa skip semalam menemani anak sampai dia tidur. Challenge failed.

Ada hal prinsipal yang saya pegang dalam menjadi ayah. Namun hal ini tidak perlu dijadikan standar. Siapapun punya gaya masing2 dalam menjadi orang tua. Lagipula, saya belum layak memberikan saran, petuah kata2 bijak seolah saya sudah berpengalaman puluhan tahun dalam hal parenting ini, seperti influencer lain yang usia pernikahan muda sudah sangat bisa memberi influence positif bagi calon ayah dan calon ibu followersnya. Saya ini masih ayah pembelajar. Pembelajar mengenal istri terus menerus, pembelajar mendidik anak terus-menerus. Salah satu hal prinsip ini tentang waktu membersamai buah hati.

Setiap ditanya teman kantor atau tetangga : "Anakmu sudah bisa apa?" Saya jawabnya variasi sesuai aplikasi aja bang. "Sudah bisa bikin bapaknya telat ngantor" kubilang. Karena kalau pagi-pagi sudah bangun, saya mandiin sebelum berangkat kantor. Atau pernah saya jab "Sudah bisa bikin emak bapaknya bahagia". Bahagia punya anak, terutama anak perempuan adalah, bapaknya itu cinta pertama anak perempuannya, begitu katanya. 


Bagi saya amat penting menemani tumbuh kembangnya. Karena anak hanya tau saya sebagai ayahnya, bukan pekerja, bukan aktivis, bukan guru, bukan siapapun kita dikenal di luar sebagai apa. 

***

Dan tentang berlaku adil, perihal membagi cinta, itu tugas berat. Dan bagi para bapak pembelajar, ujian ini datangnya setiap hari, bersamaan dengan ujian sabar. Kalau seorang bapak punya 100% cinta, dan harus membagikan pada ibunya, istrinya, dan anak-anaknya, maka pembagiannya bukan 100 / 3 sama rata. Jadi misalnya 33,3% untuk ibu, 33,3% untuk istri, dan 33,3% untuk anak. Bukan itu. Tapi 100% untuk ibu, 100% untuk istri, 100% untuk anak. Sudah seperti itu? Saya belum, dan masih sangat jauh. Bahkan terkadang, 3 bidadari-bidadari itu rela mentolerir kekurangan saya dalam memberi persenan cinta. 


***







26.2.19

Continuum

Baru tersadar, ternyata kemampuan untuk bersyukur lah yang harus lebih banyak disyukuri. Iya, ssebenarnya kita ini bisa mengucap terima kasih, bersyukur pada yang memberi, tapi lebih banyak yang enggan. 

Akhir-akhir ini saya kembali merenungkan tentang eksistensi diri yang dikembalikan pada fitrahnya manusia. Tentang tujuan hidup, dan rekam jejak selama ini apa nilainya bagi kehidupan setelahnya. Lalu saya kembali menemukan sebuah topik yang menjadi taman bermain pikiran saya untuk menemukan komposisi terbaik sebagai solusinya. Dan di sinilah muara taman bermain pikiran saya berlabuh.

Ada stigma yang berkembang dan terus menerus dibiarkan di masyarakat bahwa : extrovert lebih baik/lebih keren/lebih lebih daripada introvert. Karena ekstrovert biasanya memiliki kepribadian yang terbuka dan senang bergaul, serta memiliki kepedulian yang tinggi terhadap apa yang terjadi di sekitar mereka. Sementara introvert, di sisi lain, dianggap mendapatkan energi lewat menyendiri. Introvert, biasanya cenderung pendiam, suka merenung, dan lebih perduli tentang pemikiran mereka dalam dunia mereka sendiri.

Itu saja yang sampai sekarang bercokol di pikiran banyak orang. 

Lalu muncul pertanyaan "Apakah iya introvert itu salah dan bener-bener bisa dibilang anti sosial? Apakah ketika seseorang punya karakter yang tidak mau mencampuri urusan orang lain itu menjadi salah? Dan sangat diharuskan menjadi sosialis? Seakan orang sosialis lebih baik dibanding anti sosialis? Apakah salah menjadi apatis?

Dan petualangan nalar pun dimulai.

***

Satu waktu saya menemukan penilaian orang lain berbeda-beda mengenai diri saya. Pernah dikata extro karena senang aktif sana sini. Pernah diduga intro karena sering diam. Nah saya pun tidak mengklaim saya di posisi mana. Karena begini...




Kubu-kubuan I & E ini sudah dikenalkan dari tahun 1921 di buku Psychologische Typen karya Carl Jung. Di-bahasa inggrisin sama H.G. Bayden. Inti dari buku itu gini : Gak ada yang 100% Extro dan vice versa, 100% Intro itu gak ada. Yang ada adalah kecenderungan. Jadi, to the point saja, pendapat saya soal apakah si E lebih baik dari I karena dia talkative, energik, banyak teman? Jawabannya tidak. Dan kalau ditanya balik, Kalo gitu I lebih baik dari E, jawabannya juga tidak. Apakah ada kubu netral si Ambivert? Saya jelaskan berdasarkan penjelasan Mbah Jung di bukunya psikososikridipapap itu.





Kekeliruan yang sekarang ini ramai adalah membandingkan sifat Extro dan Intro yang gak Apple to Apple (GAK SEKUFU/GAK SEPADAN) konteksnya. Contohnya begini : 


Kenapa menilai sesuatu baik/buruk dari kuantitas saja? Bukankah ada kualitas?
Si E berteman banyak, sedangkan si I tidak banyak teman. Apakah salah? Menurut saya, judgment seperti itu kurang adil. Apakah beras kutuan 1 ton lebih baik dibanding beras bulog 1 kilo? Maka dari itu, ada variabel lain bernama KUALITAS. Si E mungkin gak  pilih-pilih teman, siapa saja asal energi jiwana penuh, dia banyak membuka hati. Si I mungkin pilih-pilih teman, karena tidak mau gegabah memilih teman. Intinya, baik E dan I, kedua tipe sama-sama punya interaksi sosial. Yang salah adalah menilai si E yang terlalu bergaul bebas, atau menilai si I yang tak punya teman. Itu yang keliru.


Juga soal proses aktualisasi diri. Si E yang cenderung senang bicara, talkative, senang jika dirinya menjadi pusat perhatian. Seangkan si I, yang senang membaca buku dan jauh dari hingar bingar keramaian. Sekali lagi, nilai juga kualitasnya. Si E dinilai point pembicaraannya, faedahnya kalau kata netizen sekarang. Si I dinilai dari pemikirannya, ide-idenya, karena bagi seorang Intro, butuh proses lebih lama dalam hal menggodok kalimat sebelum disampaikan agar yang keluar benar-benar ada bobotnya.

Pun dalam hal lainnya. Aktivitas indoor/outdoor, komunikasi, dan yang daritadi dibahas di prolog adalah sosialisasi. 





Membandingkan yang adil itu, sekali lagi, harus Apple to Apple. Apel yang sama habitat hidupnya malah lebih fair. Apel malang ya sama apel malang. Menilai kemampuan bersosialisasi antara si Intro dan Extro pun harus sebanding pertanyaannya. Jika si E dianggap mampu berteman/menjalin relasi dengan Pak Broto, misalnya, maka si I juga mampu berteman/menjali relasi dengan Pak Broto. Perbandingannya ada pada proses si E dan si I yang berbeda, dan pada akhirnya keduanya mampu 'berkenalan/berteman/bersosialisasi'. Perbedaannya, ada pada kacamata I dan E. umumnya si Intro bakal nyaman dengan circle yang menurut mereka punya quality of life yang mendekati mereka, baik dari idealisme, hobby, bahasa, budaya, background pendidikan, dll. Karena mereka menganggap sangat penting melingkari diri dengan lingkungan yang se-frekuensi. Lalu hal umum pada si E, mereka cenderung mau membaur lebih dulu dengan siapapun, tanpa melihat dulu background asalnya. Kemampuan talkative yang memukau membuatnya nyaman menjadi pusat perhatian dalam satu circle. Dua-duanya melakukan hal itu dengan tujuan sama : Soul Recharge.

Pointnya, baik Introvert maupun extrovert, bisa juga sama-sama cerewet, bisa sama-sama pendiam, bisa sama-sama bersosialisasi, bisa sama-sama punya banyak teman, betapa senangnya...beetapaa...bahagianya..



FAQ:


Q1. Apakah kecenderungan introvert ini, selamanya bakal jadi introvert dan gak bisa berubah? Dan sebaliknya, apakah extrovert selamanya gak bisa berubah?

A1 : Seperti Mbah Jung bilang, dan dibuatkan album pula sama om John Mayer, manusia itu Continuum, antara Introvert dan Extrovert. Artinya, bisa cenderung ke E, juga cenderung ke I. Tergantung kondisinya dia menghadapi apa.

Q2 : Apakah kecenderungan di tengahnya disebut Ambivert?

A2 : Bukan. Karena, kalau dalam satu situasi, dia cenderung ke E, maka akan bersebrangan dengan I. Kalau kamu ke Barat, pasti menjauh dari Timut. Dan, ambivert bukan diklaim oleh diri sendiri supaya dapat pengakuan orang lain bahwa dia punya kelebihan di E dan I secara seimbang. Imposibru itu. 

Q3 : Orang sosialis lebih baik daripada orang anti sosial? Kalau ini Iya. Anti sosial bukan introvert. Ada pula yang Extrovert yang anti sosialisasi. Yang menjadi salah adalah, seseorang yang tidak berperan menurut sikap jiwanya ketika situasi sekitarnya membutuhkannya. Misal, tetangga yang sakit apa etis untuk dibiarkan? Coba pakai kacamata humaniora, kemanusiaan. Mau dia introvert, mau extrovert, kalau menyadari perannya sebagai MANUSIA yang berperikamanusiaan, pasti ada sikap. Bedanya, extrovert akan menjenguk dengan banyak bertanya, kenapa sakit, kenapa ini kenapa itu, diceritakan ke tetangga lain, tapi kalau kelewatan suka bikin gosip. Sedangkan introvert, lebih sensitif, ikut tenggang rasa, akan menjenguk diam-diam, membantu sebisanya, bertanya seperlunya saja. kalau itu tetangga dekat, apapun yang dia lihat atau dengar pasti jadi pikiran berlarut larut sampai ngeganggu dirinya sendiri. Saking sensitifnya, kalau ada hal yang berseberangan jauh dengannya, dia akan balik 180 derajat mengeluarkan jurusnya yaitu cuek.




Ini sebabnya saya kurang suka memakai kosakata kekinian untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, baik konteksnya serius atau candaan. Ada kata-kata baru yang secara tidak sadar bisa mencederai satu individu dalam kehidupan sosialnya. Bagi seorang Introvert, yang sangat sensitif, perlu diksi kata yang lebih hati-hati ketika berinteraksi dengannya. Harus memainkan emosi, intonasi, mimik wajah, karena mereka tipe pendengar yang baik. Sedangkan bagi extrovert, kemampuan memilik diksi kata tidak terlalu sulit karena umumnya mereka juga ceplas ceplos. Tapi keduanya  sama saja. Jika terasa ada yang mencederai aktualisasi dirinya di dalam satu circle, jadinya bukan charging, tapi drowning. Ketika energi yang diharapkannya tidak terkumpul terus menerus dalam satu circle, maka keduanya akan keluar, dan akan kembali lagi jika circle di dalamnya ada yang menarik dengan juga memberikan tawaran ngecharge energinya kembali. Ribet amat tulisan guaa...

***

Dengan dibuatnya tulisan ini, saya ingin membuka wawasan dan memberi semangat pada semua manusia yang masih punya jiwa, untuk tidak perlu merasa dikotak-kotakkan oleh orang lain. Atau merasa tidak berguna karena salah satu sikap jiwa kita. Introvert tidak perlu merasa minder tidak memiliki banyak teman seperti extrovert. Introvert pun bisa berteman bahkan dengan kualitas teman-teman yang lebih cocok dengan dirinya. Extrovert tidak perlu merasa terlalu kepo, terlalu banyak bicara dibanding introvert. Extrovert pun bisa menjadi influence yang baik jika diarahkan untuk memberi manfaat untuk orang lain.

Dengan tulisan ini pula, karakter I dan E menjadikan manusia punya referensi bagaimana mengisi baterai jiwa yang habis. Entah dengan membaca buku, mendaki gunung, menjadi aktivis sosial, public speaker, dan masih banyak hal positif lainnya.

Bukanlah tugas saya menilai seseorang lebih baik dari kecenderungan sikap jiwanya. Terkadang kita hanya melihat dzohirnya, apa yang nampak di permukaan saja, dan tidak tahu di balik permukaan itu seperti apa. Dan istilah Introvert Extrovert ini juga bukan untuk mengkategorikan manusia pada profesi, minat, bakat, yang akan dikejar di masa depannya. Tidak benar menyimpulkan kalau Extrovert akan menjadi pemimpin besar dan Introvert akan menjadi budak zaman. Sejarah-sejarah banyak membuktikan bahwa banyak pemimpin yang mengklaim dirinya introvert malah menjadi pemimpin besar dunia, seperti Mahatma Gandhi. Tidak benar pula menyimpulkan extrovert tidak ada potensi menjadi pemimpin. No. Bergantung sikap jiwa-nya dalam setiap situasi yang ia hadapi.



***


Ibarat charging handphone, maka jiwa manusia juga, menurut Mbah Jung, perlu di-recharge. Dan karakter manusia yang membuatnya memutuskan memilih sikap jiwa ke luar (extro) atau ke dalam (intro). 

Trip Intergalaksi

Selasa, 23 Juni 2020 03.22 dini hari Kisah ini saya tulis begitu bangun tidur dari mimpi yang tidak akan pernah saya lupakan. Mimpi yan...