18.6.14

Namanya juga Pilihan

| Juni 19 |

Sekarang saya hanya bisa tertawa-tawa geli melihat anak-anak muda yang masih kuliah yang katanya aktivis. Menertawakan diri sendiri juga karena ada beberapa hal yang tidak sepenuhnya dimengerti tentang konsep 'bermasyarakat'. Perbedaan metode sosialisasi di kampus dengan di masyarakat. Tidak semuanya.

Sudah 2 minggu ini label ketua karang taruna nempel di pundak dan ceritanya sudah cukup banyak. Sebetulnya, bukan berarti baru aktif dalam 2 minggu ini. Sudah sejak satu setengah tahun yang lalu saya mulai berkiprah lagi di lingkungan tempat tinggal. Setelah dari SMP hingga kuliah hampir tidak pernah bergaul lagi dengan kawan-kawan sekitar rumah karena rutinitas yang lebih banyak dihabiskan di lingkungan pendidikan. Mengenai awal mula bergaul lagi, kalau diceritakan prosesnya, akan cukup panjang. Singkat cerita, saya mau buat sesuatu yang berbeda di lingkungan ini. Life experiences. Sebagai bentuk rasa syukur pernah mengecap jenjang pendidikan tinggi, apa lagi yang bisa dilakukan selain menggunakan ilmu yang pernah didapatkan untuk kebaikan orang banyak. Terdengar sok mengabdi, tapi peduli setan saya sama sentimen-sentimen itu. Namanya juga pilihan.

***

Ketika masih menjadi mahasiswa, pemahaman saya (atau mungkin mayoritas massa kampus) berpikir begini : banyak ikut organisasi, kegiatan kampus, kepanitiaan > melatih softskill > belajar bersosialisasi > penerapan di masyarakat setelah lulus. That's it. Kenyataannya, pemahaman itu sudah tidak relevan untuk diujicobakan di masa kini. Mungkin dulu iya. Ketika anak-anak muda lebih banyak memikirkan khalayak ramai, cita-cita bersama, dan masa depan bangsanya. Kalau sekarang, mikirin ketidakjelasan cinta-cintaan. Kamu, aku, pacaran. Begitu kira-kira. Kenapa saya berani bilang seperti itu? Karena yang saya amati, kawan-kawan daerah lingkungan rumah yang dulu aktif di karang taruna ini, mulai berguguran setelah punya pacar. Jujur saja, memang itu loh. Kalau dijelaskan lebih rinci bisa meluber. Tapi yang saya bahas bukan itu.

Ibaratkan, saya dapat ilmu dari jenjang pendidikan selama ini, misalnya (alhamdulillah) tingginya 2 meter. Lalu pemuda pemudi di sini (mungkin) tidak seberuntung saya dapat ilmu setinggi 2 meter. Tetapi bukan berarti saya 2 meter dan mereka di bawah saya. Pasti ada ilmu-ilmu lain yang tidak saya ketahui tetapi mereka tahu. Nah, ketika saya mencoba menerapkan ilmu-ilmu itu di masyarakat, ternyata saya yang malah terlihat bodoh. Karena saya dianggap terlalu ribet mungkin, terlalu prosedural, dan lain-lain. Mana becandanya? Lucu-lucuannya? Atau santai-santai liburannya? Becanda atau lucu-lucuan bagi saya perlu disesuaikan tempatnya. Bukankah memang harusnya begitu? Dilematis jadinya. Misalnya soal kedisiplinan, saya tidak bisa secara saklek menerapkan metode disiplin di lingkungan kampus dulu ke lingkungan masyarakat ini. NOL BESAR! Atau membuat agenda mingguan, teknis rapat, notulensi, LPJ, dan lain-lain. Semua itu ada di kampus itebe kan? Pernah dapat kan? Ternyata semua itu nihil. Saya harus beradaptasi kembali dengan mereka. Budaya itu hal yang paling sulit diubah karena menyangkut nilai-nilai individu. Maka dari itu, jangan pernah mencoba memaksakan meluruskan tulang dengan sekali gerak, karena bisa patah.

Jadi, apa yang saya lakukan dalam proses adaptasi ini? Komunikasi. Itu adalah jantungnya suatu sistem masyarakat. Kembali membiasakan bahasa Sunda dalam obrolan; harus terbiasa dengan 'alhamdulillah, nahmaduhu wanasta'inuhu wana'udzubika min syururi anfusina wamin sayyi ati a'malina...etc' ketika membuka rapat/sambutan ditengah bapak dan ibu sekalian, karena mayoritas penduduk orang tua masih kental akan nilai-nilai agamanya; harus beradaptasi dengan rokok, itu yang paling sulit, karena perlu diakui, hampir 98% pemuda di sini perokok hiperaktif, hanya saya dan si yoga mungkin yang perokok pasif, dan itu menyiksa; harus beradaptasi dengan jokes-jokes yang lumrah dibicarakan; istilah-istilah macam 'MoU, revisi, bargaining position, jobdesc, embla'e-mbla'e lain yang memang biasa dipakai, harusnya ditahan, cari kosakata lain yang mendekati maksudnya, karena selain dianggap sok intelek, tidak banyak yang bisa paham maksudnya; dan lain-lain yang masih banyak perlu adaptasi lebih lanjut. See? Semua itu erat kaitannya dengan kondisi budaya. Budaya kampus jelas jauh berbeda dengan budaya masyarakat betulan. 

When you think your life are slowly changing, whether it's better or worse, that's the meaning of life experiences.

Melihat kawan lain sudah bekerja di berbagai instansi atau perusahaan besar maupun kecil, saya hanya bisa senyum-senyum saja. Bagus berarti. Mereka sudah bisa mencukupi kebutuhan pribadi dengan gaji. Sedangkan saya masih sibuk mengurusi orang lain, anak orang, kehidupan orang. Tapi itu tadi saya bilang, namanya juga pilihan.

Sekilas, yang saya lakukan ini terlihat tidak banyak bermanfaat terutama Bagi saya pribadi. Karena jujur saja, terkadang ada pikiran itu. Apakah yang saya lakukan ini berguna nantinya atau hanya buang-buang waktu saja? Karena ada yang bilang, one day you'll realize you lost a diamond while too busy collecting stones. Tapi saya percaya, tidak ada yang sia-sia dari apa yang saya lakukan. Tidak ada yang sia-sia dari mengumpulkan batu. Ambil hikmahnya. Bisa mengenali jenis-jenis batuan.

2 comments:

  1. Sepakat Pak, kebanyakan di kampus, lupaya budaya masyarakat. Ini tulisan menohok buat anak itebe nih, kan kita udah bukan :v

    setuju dengan paragraf terakhir. Ambil manfaat dari apa saja yang dilakukan, ya tinggal prioritasnya :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. wah ada komen. berasa 2 abad blog ini gak dikomen orang/dibaca orang.hahaha

      Iya bung anshor. terkadang kita sibuk tapi tidak menghasilkan apa-apa. tapi kesibukan tanda kehidupan. Untung masih hidup..haha

      Delete

Trip Intergalaksi

Selasa, 23 Juni 2020 03.22 dini hari Kisah ini saya tulis begitu bangun tidur dari mimpi yang tidak akan pernah saya lupakan. Mimpi yan...