24.3.16

Nyari-nyari yang Nyar’i

Saya pernah berada di posisi sebagai satu-satunya murid yang menerima nilai ulangan fisika dengan nilai 0. Nilai 0 sendiri! Sedangkan teman-teman terdekat saya nilainya perfecto cum laodo. Ada yang 70, 95, 100 ada. Padahal waktu mengerjakan soal rasanya yakin yang haqul yakin gitu. “Ah ini pasti gini caranya”. Tapi faktor lain juga karena cara belajar saya yang sistem kebut semalam itu. Rasanya saat itu kan seperti orang paling malang se-Jawa Timur. Bengong, sedih, ramijud raray, banyak penyesalan dan berjanji akan berbuat lebih baik jika ada ujian berikutnya.

Sebenarnya waktu ujian fisika itu, saya sudah berniat belajar sekencang-kencangnya Jupiter Z. Aslina wani diriungkeun ku bupatina. Tapi ada teman yang bilang “Ah kalem lah da urang ge acan belajar”. Atau “Santai atuh belajar wae. Main heula atuh mumpung masih muda. Sudah tua mah susah main teh”. Lantas saya ikut main. Seru kali bah refreshing setelah sekian lama gak main-main. Kalau anak sekarang bilang kurangpikinik. Maka terjerumuslah saya ke dalam kegiatan menghabiskan waktu di rental PS terdekat main Winning Eleven dan Harvest Moon nepi ka anakan trus poligami. Ingat belajar di injury time.

Lalu saya membayangkan ujian fisika dengan kehidupan. Bagaimana kalau nanti saya mati lalu dihisab, terus dapat buku amal nilainya jeblok dan malah di-DO juga ke neraka? Naudzubuiilah. Lalu di akherat saya melihat kawan-kawan yang tidak saya sangka kesolehannya, mukanya berseri-seri karena nilainya perfecto cum laudo. Yang saya kira preman pasar, tapi ternyata guru ngaji. Yang saya kira tukang mabok, ternyata dia beli miras cuma buat dibuang-buang karena hari itu dia berharap ada beberapa orang yang tidak minum-minum karena stoknya habis diborong. Karena mereka perfecto cum laudo, lalu mereka ditraktir Allah ke tempat yang paling mereka inginkan, makan apa saja yang mereka mau, dimanja-manja. Sedangkan saya dihukum karena gagal lulus ujian. Coba kalau ada waktu buat ujian lagi? Lha ini ujiannya cuma sekali. Gak bisa nego. Sakitu pasna. Pokona, wantun galeuh, teu wantun mangga kantunkeun.


***

Dengan kesibukan akhir-akhir ini mencari-cari kesibukan, saya kepikiran untuk sekolah lagi ambil S2. Inilah tipikal sarjana yang gagal cetak. Setelah bingung mau ngapain, yang terpikir di benaknya adalah kuliah lagi ambil S2, dalam oke, luar negeri lebih oke karena plus jalan-jalan. Yang mikir seperti itu cuma saya saja kok, gak bermaksud menyerempet-menyerempet orang. Picilakaeun. Singkatnya, saya mau daftar S2 lagi. S2 ka Allah jurusan surga. Karena katanya, kalau ambil jurusan ini, begitu lulus, lulusannya mudah bekerja dan berkualitas. Mau berprofesi sebagai apapun nantinya. Desainer produk kek, arsitek, direktur, presiden, walikota, tukang bubur, tukang angon domba, apapun itu, kalau orientasinya, cita-citanya diputar haluan ke arah jannah, maka orang-orang itu akan bekerja terus sampai targetnya tercapai. Beda kalau jurusan desain otomotif (nyepet ka aing eta teh?). Kalau sudah lulus dari jurusan ini, lalu sudah jadi desainer, jadi chief designernya misalnya, sudah we sisa hidupnya geje. Karena target hidupnya sudah tercapai. Begitu katanya. Jadi doakan saya lolos tes masuk S2 ini ya kawan-kawan. Ya kamu pasti bisa! Yaa payaah!! Aayoo manis….

Karena universitas yang saya tuju buat S2 ini universitas favorit, makanya persiapannya kudu edan-edanan. Sekarang kan banyak universitas abal-abal buat S2 jurusan surga Allah. Ya Unjil, Universitas Jaringan Iblis Lieur, Universitas Syiah, ini lah itu lah, yang swasta juga ada tuh Bina Sarana Lia Eden. Geus teu kaharti ku urang mah. Memang sekarang belajar agama itu mudah. Pelajaran yang jauh-jauh dari Arab, dari Cina, dari Malaysia, Garut, Cikawao sudah bisa diakses lewat internet. Sudah ada terjemahannya, tafsirnya, sejarahnya, detail markitail. Bahkan ayat-ayat Al Qur’an dan hadist-hadist yang dibuat postingan rutin di media sosial. Tujuan awal si pembuat tentu untuk menyebar kebaikan. Menyebar ilmu agar para followersnya mengamalkannya. Terkait ini, doa saya satu saja : Ya Allah jangan jadikan aku lelaki yang ngelike postingan-postingan Islami ketika aku ngeceng awewe Ya Allah. Kan ada tuh postingan yang kalau di-like, kelihatan kalau kita ngelike itu. Saya mah takut weh ngelike teh da muncul di timeline orang lain. Lain. Bisi disangka keur loba kuota jol dipentaan pulsa ku mamah. Tapi persepsi orang kan beda-beda. Bisa jadi memang dia selalu mengamalkan apa yang dilike di postingan tersebut. Namanya hati orang siapa yang tahu sih iwal ti Gusti Nu Agung. Wallahua’lam.

***

Ieu mah lain pesan-pesan terakhir sebelum urang join Isis. Lain jon! Sok lalawora. Ngan, kalau ada yang menyangka saya agak berubah akhir-akhir ini mohon maklumin. Rek jadi betmen. Kalau saya juga agak menjauh dari teman-teman yang merasa dijauhi, maaf juga bukan berarti saya menjauh, tapi karena pindah pergaulan. Lagi nyari-nyari yang nyar'i. Piraku kudu kagebunshin? Kecuali kalau kita bareng-bareng bergaulnya, sama frekuensinya, nanti juga bertemu lagi. Malahan lebih menyenangkan kalau kumpulnya, ketemunya ketika sudah saling memperbaiki satu sama lain. No more sikut-sikutan, gak ada lagi saling menyinggung perasaan, gak ada lagi saling adu emosi, gak ada lagi pakuat-kuat sabar menghadapi satu sama lain, moal patarik-tarik nyanyi Mars Perindo deui da geus apal ngaji. Beungeut metal hati murottal tea geningan. Pokona beres weh urusan galau-galau hidup teh. Karena bisa jadi bukan masalah hidup kita yang Allah selesaikan, tapi kita yang lebih dikuatkan menghadapi permasalahan hidup kita. Cenah eta oge nyak. Tong percaya ceuk urang. Musyrik.

Kalau saya lihat di masjid-masjid sekarang isinya orang-orang tua yang juga sedang persiapan ujian pas nanti dihisab, saya mau mempercepat persiapan selagi muda dan bertenaga. Memang harus menunggu tua untuk siap-siap? Apa bedanya sama sistem kebut semalem? Takut materinya belum nempel pas ujian. Atau yang nempel cuma dikit. Karena saya tahu rasanya mendapat nilai 0 di ujian fisika. Makanya, mumpung masih belum nyusun tesis S2, saya mau bikin contekan ke Rasulullah yang nilanya udah 100+.

Percaya gak kalau ngejar akherat, dunia juga dapet? Percaya, tapi belum mengalami karena selama ini, ilmu agama yang sampai ke saya hanya sebatas tau tapi tidak diprioritaskan. Karena saya anggap ada urusan lain yang harus lebih diutamakan semacam kuliah, pekerjaan, pacaran,  rapat, lomba, segala macam sampai hati ini dibutakan dari hidayah. Akhir-akhir ini semacam ada cahaya nyempil di balik mendung yang selama ini bergelayut (teu ngeunaheun kieu bahasana). Enak. Cerah. Hangat. Sudahlah yang penting mah percaya we heula. Hayu mari sahabat dahsyat, kita nyanyi   ngaji bareng.

3.3.16

Sabar Ada Tempatnya.

Sabar ada Batasnya.

Penemu quote itu layak mendapatkan penghargaan setinggi-tingginya. Bagaimana tidak? Qoute-nya dipakai banyak orang. Laku di pasaran. Dipakai oleh orang-orang yang kurang fight, mudah putus asa, tempramen, medioker, dan biasanya ingin dikasihani karena pamrih (mengharapkan sesuatu tapi tidak kesampaian). Pertanyaannya, memang sudah mencapai titik habisnya kesabaran? Atau yang mudah dulu saja. Sudah punyakan kita sifat sabar?

Sabar ini tanda keimanan. Kata ulama-ulama lho bukan kata saya. Saya menulis ulang saja tapi saya percayai hal itu. Dan sifat sabar yang paling jelas itu ada pada orang-orang beriman. Allah akan tahu seseorang itu beriman atau tidak dengan melihat respon orang itu jika dihadapkan pada sesuatu yang menguji kesabarannya. Apakah responnya emosi? Diam? Mendoakan hal buruk pada orang lain? Mendoakan hal baik pada orang lain? Jika seseorang merespon hal yang membuatnya jengkel dengan tersinggung, emosi, baper, sejatinya itu bukan kesabaran dan bukan tanda orang yang beriman. Orang-orang yang ‘sumbunya pendek’ ini biasanya sering bawa kaca pembesar. Apa-apa yang kecil dibesar-besarkan. Misalnya seseorang diuji karena menghadapi orang yang membuatnya kesal, ia akan mencari-cari sumber kekesalannya pada orang lain lalu membesar-besarkannya seolah-olah orang tersebut lebih salah dari dirinya. Pasang status di media sosial bahwa dia kesal, marah, dan bahkan dengan kata-kata yang kurang layak untuk dikatakan. Orang-orang sabar tidak akan seperti itu. Orang-orang sabar tidak akan membesar-besarkan masalah. Pepatah bilang, tutupi luka sebesar ukuran luka itu sendiri. Kalau luka gores di jari, perbannya gak lebay, obat merahnya gak bergalon-galon, cukup setetes sebesar luka itu sendiri. Orang-orang sabar tidak akan membawa kaca pembesar, melainkan membawa cermin. Kalau kita emosi, galau, lelah, putus asa yang disebabkan karena perbuatan/perkataan orang lain, cari solusinya dengan cermin. Dengan bercermin, kita akan selalu melihat kekurangan diri kita dan berusaha memperbaiki diri kita sendiri bukan menuntut orang lain untuk menjadi seperti kita atau mengikuti kehendak kita yang menurut kita baik tapi menurut orang lain tidak. Kan belum tentu kita itu lebih baik darinya, kecuali kebaikan yang kita tunjukkan itu ada sumbernya. Cari solusinya untuk diri sendiri, bukan untuk orang yang kita emosiin atau kita galau-in. 

Sabar itu tidak ada batasnya. Kalau ada batasnya, bukan sabar namanya. Sabar itu ada tempatnya. Bisa jadi itu emosi, galau, gegana (gelisah galau merana), dan ungkapan ketidakberdayaan lainnya. Galaunya orang-orang sekarang apalagi anak muda, biasanya hal-hal remeh temeh. Kalau bukan soal sekolah, orang tua, teman, cinta-cintaan. Beda dengan orang-orang zaman sebelum ini. Galau-galau mereka ketika muda itu galau karena memikirkan bangsa, umat, permasalahan negara, dan lainnya di luar permasalahan perasaan. 

Salah satu penyebab bangsa ini jadi bangsa yang menye-menye dan apa-apa main perasaan, melankolis, sensitif, itu karena setiap permasalahan yang dihadapi yang menguji kesabaran, sering dicekokin juga lagu-lagu penggiring kegalauan dan amarah. Sedang kecewa putus cinta, “listening to Kandas, Patah, Menangis semalam, dll". Sedang marah sejadi-jadinya, nyetel lagu Burgerkill. Malah semakin dipertegas dan terjerumus dalam kegalauan atau amarahnya menjadi-jadi. Bukannya menyemangati diri dengan lagu-lagu penyemangat, film-film inspiratif, kegiatan-kegiatan yang bisa mempertebal kesabaran atau setidaknya meredakan kegelisahan dan amarah.

Sabar itu juga dengan belajar mengajari telinga kita untuk ikhlas mendengar dan mata kita untuk ikhlas melihat. Belajar mendengar dan melihat sesuatu karena Allah bukan karena orang lain. Kalau karena orang lain, kita hanya mau mendengar dan melihat dari orang-orang yang kita anggap hebat, pintar, dari orang-orang yang akrab, se-pemikiran, se-pergaulan, nyaman. Kalau dari orang yang ia benci, tidak pintar di matanya, tidak hebat di matanya, akan dia hiraukan. Kalau telinga dan mata mau belajar ikhlas, dia akan sabar mendengar dan melihat apapun karena Allah, karena kebenaran. Mendengar kebenaran itu bebas dari mana saja sekalipun dari musuh, dari orang lulusan SD, dari orang yang DO, dari pemulung, dari mana saja. Bangsa ini tidak akan maju jika orang-orang tua tidak mau mendengar kebenaran dari orang-orang muda. Bangsa ini tidak akan besar jika orang pintar tidak mau minum tolak angin. Maaf salah. Jika orang pintar berpendidikan tinggi tidak mau mendengar kebenaran dari orang yang kurang pendidikannya. Terimalah kebaikan walau itu dari seorang budak. Terimalah kritik jika itu kritik konstruktif, membangun dan memang benar itu baik. Akui kesalahan jika itu nyata sebuah kesalahan. Tidak berdalih dan mengutarakan ribuan alasan agar terlihat tidak bersalah. Andai semua itu bisa kita terapkan, atau setidaknya ada usaha ke arah sana, Allah akan menunjukkan jalan keluar dari segala permasalahan yang kita hadapi. 

***

Sabar waktu.

Soal siang tadi di sebuah kampus di daerah Dipati Ukur. Saya hendak menghadiri sebuah acara seminar wirausaha. Ditawari, lebih tepatnya. Jadi saya anggap ini gratisan. He he. Daftarnya on the spot saja katanya. Ok. Begitu sampai di lokasi, tiketnya habis, kata panitianya. Oh yasudah saya pikir. Lalu sebelum pulang lagi, saya laporan saja pada orang yang mengajak saya itu bahwa tiketnya habis. Kecewa memang, tapi sudah terbiasa. You know what? Di sana saya semakin yakin hal ini > Apa yang menurut kita buruk, menyebalkan, mengecewakan, ternyata bisa jadi itu yang terbaik kata Allah. Dan apa yang menurut kita terbaik, menyenangkan, belum itu itu yang terbaik menurut Allah. Kuncinya sabar. Singkatnya, setelah itu, eh saya malah disuruh masuk sama panitianya, gratis, tapi tanpa konsumsi katanya. Karena saya mengejar ilmunya, tak apalah. Eh di acara itu, karena saya bertanya, saya dikasih voucher kafe, plus, pulangnya malah dikasih lagi konsumsi yang tadi katanya habis ternyata masih ada sisa. Allah doubled it! He he. 

*** 

Jujur saja, akhir-akhir ini saya merasa aneh jika bersikap seperti orang ‘bener’, I mean, ya semacam bener tapi gak merasa bener. Hanya menyampaikan kebenaran demi mengingatkan diri sendiri dan juga orang lain. Agak-agak sedikit dakwah, dan sebagainya. Bukan karena merasa lebih benar dan lebih tahu. Bukan! Kalau ini disampaikan oleh Aa Gym saya setuju, tapi kalau keluarnya dari saya, saya sendiri sering bertanya lagi soal tingkat kebenarannya. Tapi tanpa bermaksud menganggap diri lebih baik dari pembaca sekalian, tapi sekali lagi, saya menulis ini semata-mata sebagai reminder, ngelingan diri sorangan, pengingat diri sendiri khususnya, dan saya berharap orang-orang yang saya sayangi pun bisa mendapat kebaikan ini. Kebaikan dan kebenaran yang pada masa ini banyak dipertanyakan. Kebenaran yang datangnya dari langit. Ti Gusti Allah. Dari kitab suci umat Islam dan Hadis. Dengan melihat kondisi negeri saat ini, apakah ada yang punya solusi lain untuk menyelesaikan permasalahan ini dan menyelamatkan diri beserta orang-orang yang kita cintai selain dengan kembali ke agama Islam?

Trip Intergalaksi

Selasa, 23 Juni 2020 03.22 dini hari Kisah ini saya tulis begitu bangun tidur dari mimpi yang tidak akan pernah saya lupakan. Mimpi yan...