16.4.15

Momen

April 16

Butuh beberapa hari bagi saya untuk mengumpulkan niat menulis apa-apa yang terjadi kemarin. Cukup banyak hal. Seringkali ketika suatu momen begitu terasa menarik, pikiran saya langsung tertuju pada niatan untuk menuliskannya di ujung hari. Tapi, saya terlalu sibuk untuk itu. Karena harus membuka laptop dulu, mengumpulkan ide, merunut kejadian, dan seterusnya. Sedangkan, saat-saat menarik itu terlalu sayang untuk dilewatkan sampai detik terakhir. Dan begitu semuanya selesai, saya terlalu lelah untuk memulai, bahkan untuk paragraf pertama saja. 

Kemarin si Mirfa resign. Orang yang menurut saya paling berpengaruh di bagian elektrik dan budgeting. Menurut saya memang wajar saja dia mengambil keputusan itu, karena akhir-akhir ini pekerjaannya, dan pekerjaan kami semua menjadi tidak jelas. Tidak fokus, gaji telat, tekanan tinggi, tidak ada target konkrit, dan lain-lain. Dan menurutnya, this is the time. Sebelum semuanya menjadi bertambah buruk. 

Ada hal bagusnya. Sebagai tamparan saja buat bos besar, yang selama ini banyak menaruh kepercayaan pada si Mirfa terutama soal project yang sedang akan digarap. Orang hebat yang diperas keringatnya namun minim perhatian. Sepertinya kami semua diperlakukan seperti itu. 

Kontrakan sudah ramai dari sore. Malam ini rencananya, habis futsal ada makan-makan di rumah Babeh. Alhamdulillah kedatangan banyak tamu. Kontrakan ada hangat-hangatnya. Makan hanya dengan sayur ceker, jengkol, tahu dan buah naga dari si Robby begitu nikmat. Alhamdulillah meski sederhana tapi selaksa makna. Habis makan, lanjut ngobrol-ngobrol di teras depan. Nyanyi-nyanyi diiringi gitar sampai tengah malam tiada peduli sekitar. Karena rumah di paling pojok dan sekelilingnya hanya pohon bambu dan lahan kecil yang belum sempat diurus.




***

Baru saja dapat telepon dari adek. Besok katanya berangkat ke Kalimantan untuk mulai kerja. Balikpapan katanya. Entah kenapa telepon malam tadi serasa begitu akrab. Padahal kami belum pernah sebelumnya berbincang macam tadi itu. Sebagai kakak, doa dan berusaha memberi bekal secukupnya adalah usaha maksimal yang bisa saya lakukan. Good luck, Bro.

***

Minggu lalu dapat kabar mengejutkan seisi bumi. Alhamdulillah menang lomba, yang tempo hari presentasi mpot-mpotan sampe mules dan berujung via telpon di tengah serangan hujan badai petir. Bukan berlebihan, memang begitu adanya. Lomba di ITS dapat juara pertama. Harusnya saya ke sana, awarding night hari sabtu malam di Surabaya. Tapi kondisinya saat itu sangat kritis. Untungnya ada adik-adik kelas yang dulu dekat semasa kuliah. Saya minta Winnie buat mewakilkan. Tidak enak saya. Berkali-kali merepotkan. Dari kuliah sampai sekarang masih saja mau direpotkan. Tapi entah kenapa dia selalu mau menerima permintaan saya meskipun terkadang aneh-aneh. Terima kasih.




***

Saya rasa saya tidak bego-bego amat dalam berbasa basi. Saya rasa saya juga tidak bego-bego amat soal perasaan pada perempuan. Malam sebelumnya saya coba memberanikan diri membuka obrolan dengan seorang perempuan yang saya tak habis pikir saya masih berharap padanya setelah apa-apa yang telah saya alami selama 7 tahun ini. Saya pikir malam itu momentumnya bagus. Saya sedang beristirahat dari pekerjaan-pekerjaan pra pekerjaan kantor, dan dia juga baru pulang koas.

I though this conversation would go smoothly as I expected. Entah mungkin karena saya yang terlalu exited mendengar suaranya untuk kemudian bercanda-candi seperti anak alay baru tahu cinta-cinta, atau karena malam itu begitu syahdu untuk dihabiskan berdua. Saya pikir, bertahun-tahun tak berjumpa akan membuat percakapan begitu mesra dan dekat. Saya pikir. Ibarat main pingpong, sayalah yang seringkali membuat servis terlebih dahulu, dia pukul sekali, melewati net, lalu saya pukul lagi ke arahnya, lalu kandas karena ia tak memukul bolanya kembali ke arahku.

Di ujung pembicaraan itu, saya sedikit menyinggung sikapnya yang lebih banyak diam, tidak cerewet seperti obrolan di pesan singkat. Saya tanya mengapa, dia jawab karena capek. Dalam artian badannya yang lelah setelah seharian sibuk di klinik. Saya mencoba mengerti dan menutup sambungan telepon itu dengan lenguhan nafas panjang.

Saya heran saja, kenapa hati ini masih saja merindu pada perempuan yang lebih banyak tidak mau tahu soal pribadi saya, sedangkan saya tahu banyak soal dirinya. Kenapa ulu hati seringkali terasa lebih terrenyuh tiap kali mengingat sikap acuhnya pada saya. Tidak seperti sikap acuh perempuan lainnya yang silih berganti saya dekati. Terkadang saya berharap tulisan ini dibacanya dan menyadari bahwa ada kalanya gengsi itu perlu diabaikan.


No comments:

Post a Comment

Trip Intergalaksi

Selasa, 23 Juni 2020 03.22 dini hari Kisah ini saya tulis begitu bangun tidur dari mimpi yang tidak akan pernah saya lupakan. Mimpi yan...