21.4.15

Bandung Bersolek

April 21

Ada puluhan artikel soal bagaimana memunculkan kembali motivasi. Saya baca beberapa di antaranya. Klise. Senin kemarin, saya bolos kerja.

***

April 18

Sabtu siang sudah pulang kantor. Pulang cepat dikarenakan hendak pulang ke Bandung. Tapi sebelumnya harus bersih-bersih kamar, cuci baju,ngepel, dan segala pekerjaan rumah lain supaya ketika pulang kembali, kontrakan tidak jadi sarang undur-undur.

Jam 4 sor e berangkat. Diantar Geisya sampai terminal sekalian beli lapis bogor, 1 buat dibawa ke Bandung, 1 lagi buat di rumah Babeh. Lucunya, waktu di toko kue tempat beli lapis, si penjualnya sedang tertidur pulas. Mau diketok berkali-kali dia tetap pulas. Dipanggil ‘Bang! Bang!’ sama saja. Baru saya teriak ‘Kebakaran!’ dia langsung bangun. Sambil sempoyongan, bergegas menghampiri kami. Mungkin karena masih linglung, dia ke kamar mandi, cuci muka, menghampiri kami lagi. Barulah saya bisa dapat 2 lapis bogor darinya.

***

Perjalanan ke Bandung kali ini cepat sekali. Mungkin karena sapanjang jalan saya tertidur. Baru bangun di terminal Leuwi Panjang.

Seperti biasanya, dari LP ke Kalapa naik angkot. Baru dari situ naik lagi angkot Cileunyi. Jam 9.24. Angkot yang saya tunggu tak kunjung datang. Saya putuskan jalan kaki saja dari terminal Kalapa sampai Masjid Agung, dengan harapan menemukan angkot di sana.

Pangling. Itulah kata pertama di pikiran saya ketika menyusuri jalan Dewi Sartika. Dari kejauhan terlihat 2 menara Masjid Agung yang disinari lampu keemasan. Jalanan yang basah sehabis hujan dan hingar bingar sekitarnya juga membuat suasana menjadi begitu eksotis. Kanan kiri berjajar toko-toko yang hampir mau tutup. Mungkin karena ini malam minggu, para penjaga toko itu tetap sabar menunggu jam pulang. Lalu lalang pasangan muda mudi masa kini begitu mesra bahkan mengalahkan dua menara Masjid Agung di ujung sana. Enggan saya memotret barang sejepret dua jepret saja. Karena selain ingin menikmati dengan khidmat, saya pun terburu-buru mengejar angkot.

Alun-alun begitu meriah. Baru-baru saya melihat warga kota Bandung yang berdesak-desak hendak bermalam minggu di alun-alun. Sebelum-sebelumnya tempat ini adalah ladang kumpul remaja-remaja labil sambil bermain-main di pojokan gelap. Tapi tidak untuk kali ini. Dari mulai anak kecil sampai kakek nenek tumpah ruah. Ditambah, Bandung sedang bersolek menuju peringatan 60 tahun Konferensi Asia Afrika.

Perjalanan pulang harusnya bisa lebih cepat. Jalan Naripan, Braga, Asia Afrika macet merayap. Baru sampai rumah jam 11 malam. Mampir ke sekre Karang Taruna barang sebentar lalu istirahat di rumah. Jam 2 pagi baru terlelap.


***

April 19

Bangun cepat karena pagi ini agendanya adalah Kerja Bakti keren jilid 2. Latar belakang permasalahannya adalah selokan sekitar rumah yang selalu mampet ketika hujan dan sudah lama dikeluhkan warga. Dulu pernah dikuras, diperbaiki, tapi hanya oleh beberapa orang saja yang memang rumahnya berada di sekitar selokan itu. Ya kali ini semua warga musti ikut wong ini tempat tinggal bersama toh. Mulai jam 7 pagi baru selesai Ba’da Dzuhur kalau tidak salah. Setelah itu saya terkapar kembali di tempat tidur. Dari awalnya hendak pulang kembali ke Bogor jam 2 siang malah batal total. Malas sekali rasanya. Selain hujan, hangatnya rumah begitu kuat meredam niat untuk kembali ke perantauan. 







Alfan. Ditanya itu jari pake apa? Dijawab : "LAPENDER!" - Fenomena batu akik.

Sadar bahwa kesempatan saya di Bandung hanya tinggal semalam lagi, saya habiskan betul-betul malam itu. Pinjam motor om lalu bergegas pergi entah kemana asal menikmati angin kota. Cicaheum - Gasibu -Dago – Balai Kota – Cihampelas – BEC – Asia Afrika – Buah Batu – Alun-alun – Dago atas – Gasibu – Pulang. Tidak usah dipertanyakan lagi kenapa Bandung adalah Parisnya pulau Jawa. Keindahannya membuat saya tidak punya waktu untuk mengambil foto-foto seperti orang-orang yang saya lihat sepanjang jalan.

***

 April 20

Akhirnya terkumpul juga niat untuk ke Bogor. Jam 11 siang beres packing. Naik angkot Panghegar ke arah Cicadas berhenti di perempatan Antapani. Mampir ke Kartika sari beli oleh-oleh. Dari sana lanjut kembali naik Bis Leuwi Panjang. Macet di jalan Asia Afrika tak jadi bahan keluhan orang-orang di bis. Karena mereka tahu bahwa Bandung sedang berdandan, dan mereka pun menikmati proses bersolek itu. Kanan kiri disuguhi instalasi-instalasi dan gedung-gedung tua yang sudah direnovasi. Bis pariwisata di mana-mana dan tentunya, berfoto-foto dengan beragam gaya. Di alun-alun saya turun.






Jalan kaki dari Masjid Agung sampai Jalan Banceuy. Kedia Kopi Aroma masih terlihat lengang saat saya masuk. Pesan beberapa kilo Arabika dan Robusta pesanan orang-orang kantor dan untuk konsumsi pribadi. Jalan lagi ke halte Alun-alun. Menjemput bis menuju Leuwipanjang.






Sampai di kontrakan sekitar maghrib. Ganti baju dan bongkar tas lalu ke Babeh. Karena rumah sebelah diisi oleh orang-orang yang senang berguyon dan bisa meramaikan suasana, maka kehadiran orang-orang yang setipe seperti itu lebih ‘dinanti’ ketimbang yang biasa saja. Mungkin yang biasa saja itu dinanti juga, hanya saja kadar penantiannya tidak lebih dari mereka-meraka yang mampu menghidupkan suasana. Seringkali saya mendengar soal si ibu yang menanyakan si Bobi yang pandai berguyon. Atau anak-anaknya yang menanti-nanti si Robi, si pendiam tampan tapi kadang lucu. Saya adalah pengecualian. Karena seringkali ada perasaan kalau kehadiran saya kurang begitu meramaikan isi rumah di sana. Saya pun tidak mengerti. Tapi mereka baik. Saya senang di dalamnya. Meskipun terkadang tidak pandai melucu dan tidak pula tampan.

***


Ada  masa-masa ketika nama seseorang yang dulu begitu dinanti, kini terdengar biasa saja ketika disebutkan. Masa itu belum menghampiri saya. Karena malam ini, waktu menyetrika pakaian saya habis dengan membuka-buka obrolan lama di Line. 

No comments:

Post a Comment

Trip Intergalaksi

Selasa, 23 Juni 2020 03.22 dini hari Kisah ini saya tulis begitu bangun tidur dari mimpi yang tidak akan pernah saya lupakan. Mimpi yan...