30.3.15

Loyalitas

March 31

Once Mr. Dedi, the CEO of body kit company near Bogor said to me, 'Be a loyal employee! It might be good to seek a new career opportunities in other prospective company, but dude, please don't you ever try to quit your job too early even when you really want it. Yes you might think to resign for couple of reasons: you didn't fit with the job, you hate your stubborn boss, and so on. Just be patient and do whatever you can do. As long as you keep on your hella-work, great things will follow after.'

***

Pagi ini cerah sekali. Bangun pagi adalah nikmat tersendiri. Selain perubahan pola hidup yang lebih baik, bisa sempat cuci pakaian lalu jemur di bawah mentari. 

Masuk pagi seperti biasa, hanya telat 2 menit saja dan ruang kerja pun baru ada satu orang. Suram sekali. Sebelum duduk di kursi kerja bermerk chitose-yang biasa buat kondangan-, saya switch AC ke mode swing. Tak tahan dinginnya. Semata-mata demi menjaga kondisi tubuh tetap fit tanpa masuk angin atau masuk penyakit-penyakit lainnya. Akhir-akhir ini saya seringkali merasa lambung perih. Jarang sarapan mungkin. Karena mau bagaimana lagi, gaji yang tak seberapa bulan lalu sudah habis untuk dibagi-bagi. Ada tabungan tapi sama juga nasibnya. Berhemat banyak caranya.

Saya bukan tipe orang boros. Keinginan membeli barang-barang tertentu selalu tertahan oleh kebutuhan yang menduduki kasta skala prioritas tertinggi. Salahnya, saya kurang cerdik mengantisipasi kondisi-kondisi tak menentu yang seringkali terjadi tak terduga. Misalnya sekarang ini, tabungan habis, gajian di-postpone lagi, 'kebutuhan tak terduga'. Kalimat dalam kutip tersebut panjang ceritanya.

***

Perkara krisis moneter kehidupan saya bukan tanpa alasan. Bahkan boleh dibilang ada kejadian-kejadian yang tak terduga yang seolah ada maksudnya Allah menempatkan saya di sana.

30 Maret. Saya bingung menyebutnya hari yang berbahagia atau sebaliknya. Ibu ulang tahun yang ke 49. Tak sempat saya bertemu langsung dan memberi hadiah berupa salam atau kue (seperti yang biasa orang lain lakukan pada orang terkasih). Hanya ucapan via telepon dan diteruskan obrolan lain. Hari yang sama juga, adik satu-satunya berangkat menuju peraduan. Dia baru saja berangkat ke Jakarta untuk kemudian bekerja di Papua. Kata 'Papua' terdengar sangat jauh dan asing ketika saya membuka peta dan memastikan jarak dari Bandung ke sana. Belum lagi saya membayangkan kehidupan sehari-hari di sana. Tak jarang saya mendengar berita soal kelangkaan gas, bbm, dan barang pokok. Atau bentrokan-bentrokan antar suku. Semua itu buat saya resah. Keresahan yang diperparah karena saya belum bisa memberi bekal buatnya di sana. Hanya doa yang saya panjatkan untuk sementara ini.

30 Maret. Hari ini belum selesai. Malam harinya, saya dapat bbm dari ibu tetangga. Dia menawarkan tv-nya. Tanpa balas apa-apa, saya langsung bergegas ke rumahnya. Saya tanya persoalannya detail, meskipun saya tau persoalan ekonomi keluarganya dari cerita anak-anaknya. Tapi kali ini saya hanya mau bicara 4 mata sama si ibu. Gaji suaminya yang PNS belum juga turun dari Januari. Dengan kondisi seperti itu, mana ada ibu yang tak pusing memikirkan kebutuhan sehari-hari keluarga. Belum lagi biaya sekolah anak-anaknya. Anak yang pertama sedang Tugas Akhir. Yang kedua mau Ujian Nasional sebentar lagi. Yang terakhir SPP bulanan SMP. 

Kalau jadi manusia berakhlak itu banyak tidak dikenalnya, saya lebih baik terasing di dunia dan masih menjadi manusia yang masih dikaruniai pikiran yang sehat dan hati yang masih bisa merasa. Buat apa memangnya saya diam saja? Buat apa juga saya acuh? Pura-pura tidak tahu dan buta hati bukanlah yang saya mau. Rasulullah itu kaya raya tapi masih mau bantu sesama. Saya belum kaya raya, tapi semoga dengan membantu sesama, saya bisa kaya dan mata hati yang masih terbuka. Memang gaji saja belum ada. Menunggu hadiah lomba pun belum tentu besok adanya. Tapi siapa tau ada jalannya, saya usahakan bantu si ibu biar mudah rezekinya, rezeki saya juga. Amin.

***

Mengenai prolog di atas, saya masih bingung dengan batasan kapan ketika seseorang memutuskan this is the time to resign. Saya masih bingung menemukan 'eureka'nya. Boleh dibilang, saya enjoy dengan pekerjaan yang sedang saya jalani ini. It's my passion, I'm paid for it, and the world needs it. Lingkungan kerja juga sangat sangat bersahabat. Tapi memang benar apa kata bapak, jangan terlalu menggantungkan karir pada pekerjaan saat ini. Tidak ada jaminan pekerjaan itu akan menjadi ladang mencari nafkahmu sampai tua nanti. Perusahaan yang saya tempati sedang di ujung tanduk. Terlilit utang dan terkait kasus korupsi pengadaan fasilitas yang dulu kerjasama dengan salah satu kementrian di negeri ini. Hal ini diperparah dengan manajemen yang buruk, relasi dengan kolega-kolega yang tidak harmonis, fasilitas yang kurang memadai, dan lain-lain. Saya masih ingin bertahan, mungkin kalaupun worst case-nya perusahaan ini collapse, saya mau sampai titik darah penghabisan perusahaan. Semua tergantung keputusan yang diambil pimpinan. Jika pola pikirnya masih seperti sekarang dan terus dipertahankan, semua ini tinggal menunggu bom waktu meledak. Tapi jika ada perbaikan dari dalam diri pimpinan, manajemen yang dirombak, dan segala improvement yang mendukung terwujudnya visi misi perusahaan, Insya Allah semuanya ada jalan keluar. Man jadda wa jada. Hanya Allah yang maha membolak balikkan hati seseorang.

Cuti Efektif

March 27

Niat hati tak pulang ke Bandung weekend ini meskipun dompet sudah seperti ikan kehabisan air. Jauh-jauh hari sebelumnya bahkan sudah berencana jogging-jogging awesome ke pemda cibinong minggu ini, sekalian shopping pasar tumpah. Malam sabtunya, ditelepon seorang laki-laki bersuara berat dengan nada sepoi-sepoi. Doi dari Datsun Jakarta. Menginformasikan kalau besok saya diundang buat simbolisasi hadiah lomba tempo hari. Karena waktu itu saya ngasih alamat Bandung, bukan Bogor, maka saya harus datang ke dealer yang di Bandung. Besok! Rombak rencana weekend seketika.

Sabtu pagi sudah bergegas ke terminal. Bis baru berangkat jam 7.29. Ini cuti ke dua saya setelah perjalanan tempo hari yang berujung harapan palsu. Maka dari itu, sekarang saya betul-betul memanfaatkan hari sabtu langka ini sebaik-baiknya. Sampai di Bandung jam 12-an, bergegas ke Dealer Datsun di Pajajaran. Foto-foto sebentar lalu pergi tanpa bawa hadiah. Iya, kata mas-masnya ini cuma simbolis saja. 


***

Beres dari sana langsung ke Itebek. Kebetulan lagi wisudaan. Tidak jadi ke nikahan kawan karena sudah kesiangan. Ke salman dulu ganti baju, baru berjalan ke intel. Saya terlalu udzur untuk berada di kampus ini sendirian. Ketika orang-orang lain berjalan beriringan dengan kawanan atau pasangan, saya sibuk mencari kontak di hp yang kira-kira akan ke wisuda ini dengan kondisi senasib. Hasilnya : nihil. Untung di sana ketemu adik-adik kelas. Meskipun gak akrab-akrab banget, ya ikutan aja sok-sok akrab. Demi menyelamatkan diri dari ke-awkward-an.
Suasana wisuda terasa kurang semarak kala posisi selebrasi diadakan di DPR. Kurang greget.



Kokoh Irfan & Ana

Arak-arakan kemudian bergerak ke depan fakultas, lapmir. Saya mencari-cari alasan untuk melarikan diri dari perhelatan akbar ini sebelum saya menjadi objek dalam majas ironi yang berbunyi : kesepian di tengah keramaian. Ashar, saya cabut ke Salman. Ba'da Ashar ada Salim A Filah di GSG. Berkisah soal sejarah negara-negara di timur tengah dari era Rasulullah hingga pemerintahan yang sekarang. Saya nongkrong di sana sampai Maghrib. Pulang. Mampir sebentar ke sekre karangtaruna. Rumah.



25.3.15

Rezeki. Bukan Soal Materi

March 20

Ada banyak hal yang ingin saya tulis akhir-akhir ini. Hanya saja waktu yang tak bisa kompromi. Pola hidup saya seperti para pekerja pada umumnya yang berangkat pagi pulang petang. Tapi saya harus kembali 'kerja' sepulang kerja. Ada tetangga yang inta dibuatkan gambar untuk tunangannya. Ada pula tetangga yang berulang tahun dan juga minta dibuatkan gambar. Ada pula teman yang minta dibuatkan logo, yang mungkin menurutnya mudah saja dan gratis. Tapi seringkali mintanya lebih. Bahkan tanpa ucapan terima kasih di akhir pertukaran email. Walaupun sudah terbiasa, namun semua itu terasa berat rasanya jika sedang merasa benar-benar sendirian. Seringkali keluhan-keluhan atau kekesalan terlontar begitu saja. Bukan pada individu-individu yang bersangkutan, tetapi karena ketidak-kuasaan diri menghadapi rentetan kesibukan dan juga pikiran-pikiran yang lain.

***

24 tahun. Niat hati ingin mencoba mengetuk pintu hati seseorang, belum apa-apa sudah dibunuh harapan.

Kekecewaan saya tempo hari soal janjian dengan seseorang menambah folder di otak. Ini soal hati. Dan perkara macam ini enggan saya endapkan lama-lama karena tiada guna. Maka dari itu saya buat ramuan kimia buatan yang saya cekoki ke otak. "Laki-laki punya 3 kesempatan mengajak bertemu seorang perempuan. Jika semua kesempatan sudah habis, sudah bisa disimpulkan bahwa she's just not that into you". Buat apa juga saya berharap banyak pada perempuan yang tidak mau tahu seberapa banyak pengorbanan saya terhadapnya. Memang perempuan itu bergengsi tinggi, tapi terlalu tinggi malah membuatnya terlihat pongah.

***

Beruntungnya saya. Hidup di lingkungan yang diisi orang-orang sederhana namun kaya jiwa. Sebelah kontrakan ada sebuah rumah sederhana. Kalau saya dulu tidak diajak si Rohman, mungkin mana tau di situ ada penghuninya. Bu Yanti dan Pak Sam atau Babeh. Pasangan ini punya 3 anak perempuan yang cantik-cantik : Wisya, Geisya, Tasya. Kalau sedang jenuh, sering saya berkunjung ke rumah mereka. Ngobrol-ngobrol sampai larut malam. Topik apa saja tak jadi soal. Di sini saya bertemu keluarga baru yang mau menerima siapapun apa adanya.

Malam minggu kemarin misalnya. Saya tak pulang ke Bandung. Masak-masak di rumah Babeh. Pempek alakadarnya namun nikmat rasanya. Sampai jam 2 pagi baru pulang.


Pagi-paginya, si Geisya sudah ngetok-ngetok pintu belakang. Pagi ini saya ajak dia dan si Kaka ke IKEA. Si Rohman gajadi. Dari rumah naik kereta sampai Pasar Minggu lalu dijemput si Hasbi. Seharian keliling store belum puas. Saya beli beberapa item seperlunya saja, padahal semaunya itu lebih banyak.

***

Sudah sepantasnya manusia mensyukuri nikmat-nikmat Tuhan. Bukan hanya ketika mendapat sesuatu yang sifatnya materil, tapi non-materil. Desainer Kampung. Saya syukuri label itu dengan sepenuh hati. Siapa bilang bekerja di pinggiran kota banyak pilunya? Malah banyak serunya.

***

March 22

Pulang kantor langsung cabut ke Bandung. Agenda karang taruna yang sudah lama direncanakan. Tadinya ini bukan agenda besar, lebih tepatnya hanya mengembalikan eksistensi Karta di lingkungan rumah. Eh kebetulan dari kota ada agenda Kerja Bakti Keren. Ya sekalian aja kita keren. 


















And suddenly, something happens.



Memang bukan suatu hal yang luar biasa sih. tapi buat karang taruna yang masih balita dan keabisan dana, ini ibarat angin surga dan achievement luar biasa. hahaha.

***

March 24

Baru pulang dari rumah tetangga. Anaknya si Babeh yang bungsu, Tasya, ulang tahun. Saya ngasih kado karikatur. Memang officially retired dari tahun kemarin, tapi itu dalam konteks bisnis. Itu artinya, kalau saya buat karikatur, itu bukan berarti jilat ludah sendiri. Ini soal hubungan sosial saja. Lagipula saya tak ambil profit sepeserpun dari proyek ini.




March 25

Terkadang kita salah kaprah soal prinsip rezeki. Mengucap syukur Alhamdulillah jika mendapat rezeki nomplok uang jutaan rupiah, entah itu dari gaji, hadiah, atau hibahdari seseorang . Itu yang lumrah di ras kita. Padahal, ban motor yang tak pernah bocor adalah rezeki. Anak soleh solehah adalah rezeki. Orang-orang di sekitar kita yang peduli pada kita adalah rezeki. Penglihatan yang normal di usia muda adalah rezeki. Dan masih banyak rezeki lain yang terkadang kita lupa untuk mensyukurinya.

Ini soal tetangga saya. Si babeh dan keluarganya. Sore tadi habis lari, saya ke rumahnya, diajak makan duku sambil ngobrol-ngobrol soal si Kaka yang mau magang di perusahaan tempat saya bekerja. Kebetulan ada si Rohman juga. Seperti biasa, ngobrol sana sini sampai maghrib yang dijadikan alasan untuk pamit terlebih dulu. Ba’da isya ke sana lagi. Everything looks so good until I realize something heartbreaking. Di meja depan, tempat biasa kami beradu pembicaraan, ada sepiring singkong. Di meja makan juga. Saya pikir memang cemilan. Biasanya, Ibu di rumah selalu buat cemilan singkong kalau sedang ada maunya singkong.  Kalau sedang mood, ditambah keju. Tapi ini bukan cemilan. Ini makanan utama. Si kaka bilang belum makan dari siang. Si Geisya katanya udah makan siang ditraktir cowonya di sekolah, nasi kuning. Samar-samar saya mengintip di balik tembok, si Rohman lagi dibisikin sama si Ibu. Entah apa katanya. Setelah di luar, baru-baru saya tahu, di dapur hanya ada raskin.

Kisruh para pimpinan di Jakarta belum menunjukkan perubahan ke arah yang lebih baik. Dampaknya terasa di mana-mana tapi media tak banyak berbicara. Mati rasa. Salah satu contoh realnya itu ya kehidupan si Babeh dan keluarganya ini. Jika jaman dulu, pegawai negeri sipil dianggap suatu profesi prestisius, maka di hadapan saya sekarang, imej itu tak ubahnya seperti televisi kotak sabun yang sudah hitam putih gambarnya. Pudar oleh moderenitas dan gempuran produk KW China. Berbulan-bulan gaji tak turun. Kondisinya sekarang, semua anaknya masih bersekolah dan kuliah. Yang kuliah mau magang, yang sekolah kelas 3 SMA mau kuliah, dan yang bungsu kelas 3 SMP mau ke SMA. Things aren’t going so well and Babeh couldn’t predict that this hard situation is happened earlier.

Weekend ini saya berencana ke Bandung. Wisuda, balikin HD si Abeng yang tak sengaja saya rusak, dan Ulang Tahun si Ibu. Semua itu sepertinya harus saya lewati saja jika melihat situasi sekarang ini. Saya bisa saja acuh pada sekeliling saya and don’t give a single glance to what happened with them. Tapi saya toh masih sangat mau jadi orang waras dan berharap kewarasan saya ini long-lasting sampai saya tutup usia.Kewarasan untuk peduli, apalagi ditambah ikhlas, itu lebih sulit. Jika suatu hari nanti ketika saya punya keluarga dan anak-anak, jika suatu hari saya mengalami kondisi seperti itu, I would say that I got used with it, sudah pernah melihat dan ikut merasakan. Saldo di atm saya habiskan dan saya bagi 2 : untuk bertahan hidup sampai akhir bulan dan untuk sekedar bantuin si Babeh. Bukan mentahnya saya kasih duitnya, tapi kata Si Rohman kita beliin aja semacam sembako. Good idea.

Jam 9 malam. Untungnya Pasar Pucung masih ada beberapa yang buka. Saya suruh ikut si adek, gesa, kaka buat belanja. Malam itu kami makan alakadarnya tapi begitu nikmatnya. Alhamdulillahilladzi at amana wasaqona waja’alana minal muslimin. Hope things will be better soon ya Beh.

Saya selalu kagum pada keluarga yang masih bisa menebar senyum dan kebaikan meskipun dalam masa sulit. Apalagi anak-anaknya yang mau mengerti keadaan. Memang, anak-anak si Babeh itu banyak maunya, buset. Mau HP baru, motor, gazebo belakang rumah, mobil baru, dan banyak barang tersier lainnya yang selalu jadi bahan cerita malam. Tapi toh semua itu hanya keinginan selewat. Begitu melihat keadaannya sekarang ini, mereka mau mengerti dan maklum tanpa harus diminta.

Bukan suatu kebiasaan, saya dan keluarga berkumpul di satu meja berbicara soal hidup, mau yang susah-susah atau senang-senang. Rasa-rasanya itu suatu kebiasaan asing di keluarga saya. Padahal sudah seharusnya itu dilakukan. Makanya, terkadang saya hanya banyak diamdi meja depan rumah si Babeh ketika orang lain berbicara hidupnya masing-masing. Mungkin hanya melempar pertanyaan sesekali atau menunjukkan ekspresi keseruan. Seringkali ingin ikut ambil bagian, tapi sadar kalau kehidupan keluarga saya bukan sesuatu yang begitu manis untuk diceritakan pada khalayak ramai begini.

Menelpon ibu begitu melegakan di tengah kesepian. Ulang tahunmu sebentar lagi. Sepertinya anakmu ini tak bisa mengucapkan secara langsung. Sepertinya. Semoga ada rezekinya biar anakmu ini bisa pulang bawa sayang. Amin.

12.3.15

Such an Irony

Alhamdulillah menang lomba. Ironisnya, tabungan saya tidak ada isinya.

***

March 12

Curi-curi waktu sepulang ngantor. Berhubung di luar juga masih hujan dan saya belum ada payung atau jas hujan. Parahnya, sepeda kesayangan sedang masa recovery karena gear depan yang miring which mean I have to walk along the road every morning and evening.

Baru submit lagi sebuah lomba kecil-kecilan dalam rangka mencoba peruntungan. Lumayan hadiahnya bisa buat nabung nikah. Tapi di luar itu semua, solely to push my self to work harder than before. Karena selama mengerjakan lomba ini, saya seperti bekerja di dua dunia. siang hari berkutat kerja kantor, malam hari garap yang lain. Ada lelahnya, tapi itu bukan untuk diratapi.

***

Throwback ke beberapa hari yang lalu.

March 7
Alhamdulillah menang lomba. Alhamdulillah!! Hadiahnya cukup gede + trip ke Afrika Selatan yippie! Dapet kabarnya dari si agri, kawan seperjuangan di itdg. Dipajang di fanpagenya Datsun. Can’t wait to see the upcoming news related to this. Yang jadi pertanyaan, bagaimana caranya mereka menghubungi saya, lha wong waktu submit lombanya aja gak ada ketentuan buat mencantumkan identitas atau nomor hp. Entahlah. Ini kan jaman serba edan. Pasti selalu ada cara. 

Euphoria itu masih terasa sampai hari ini. Sabtu. Meskipun gaji belum turun-turun sedangkan kebutuhan makin tak terbendung, saya tetap merasa fine-fine saja. Bahkan saya berencana pulang ke Bandung untuk menghadiri nikahan teman SMP bernama Dini. Sorenya, setelah otak dan hati berdebat sana sini,  saya berangkat jam 5 sore.


March 8
Pagi hari sudah necis. Salah bawa kemeja dari Bogor. Malah bawa punya si Rohman karena waktu itu dia nitip ke laundry. Tapi ada untungnya. Kemeja dia punya tidak membuat saya terlihat jadi pak RT atau pegawai MLM.

Jam 10 pagi si Romi jemput. Daripada saya bawa motor sendiri dan sampai di kondangan pun sendiri, ya mending bareng komplotan yang juga sama-sama masih sendiri. Ya, kadang kita merasa punya satu visi yang sama karena merasa senasib sepenanggungan. Ha ha ha.

Dan ternyata betul. Di gedung nikahan itu saya cuma sama si Romi masuk duluan karena nunggu yang lain pun alahmaak lama kali, bah. Salam-salam ke mempelai lalu turun kembali.

Pas turun baru muncul rombongan qosidah dari Ujungberung. Digawangi oleh Tika, Asni, Citra, Yuni, Ayu. Kawan-kawan SMP yang tidak banyak berubah. Kelihatannya. Tapi pasti ada perubahan besar dalam hidup mereka semua. Tika lagi ngerjain proyek di PAU ITB, pulang pergi Garut Bandung. Asni baru lulus S2 Manajemen, mau kerja juga. Citra, lagi bisnis online shop, doi juga bawa bodyguard mungkin siap melempar undangan nikahnya dalam waktu dekat. Menyusul kemudian si Adi KM gila. Doi sekarang mau lanjut S2 di ITB juga. Dapat beasiswa. Gokil. Dan terakhir Ayu. Saya terlalu banyak tahu soal beliau. Singkatnya, dia sedang Koass. Yaa semuanya terlihat tidak banyak berubah tapi sebenarnya banyak berubah. Mungkin karena kita saja yang telah lama tak saling berjumpa, jadi perubahan itu terasa begitu kentara.









Siang itu saya pulang cepat-cepat meskipun rasanya ingin juga berlama-lama berbincang dengan seorang kawan lama. Si Romi, yang saya tebengin ada acara, dan saya pun harus segera pulang ke Bogor jika tidak ingin ketinggalan bis terakhir. 

***

March 9-11

Belakangan perusahaan tempat saya bekerja sedang dilanda badai kencang terkait isu korupsi. Sudah beberapa hari ini banyak karyawan khususnya bagian keuangan yang lembur, merekap transaksi pembelian sana sini yang dilakukan dari tahun 2013. Well, it's definitely not that easy though. Akibatnya, gaji karyawan pun dipostpone hingga tanggal 11, menurut surat pengumuman. Tiap istirahat makan siang, saya, Pak Asep, dan Pak Ginting seringkali berbicara soal upah yang diterima karyawan di sini. Menurut mereka, pegawai lama, di sini ada dua kubu yang gap-nya seolah sangat lebar. Kubu ITB, dan non-ITB. Biarlah saya blak-blakkan, toh memang ini kenyataannya. Kubu ITB ini, seringkali dianakemaskan. Contoh, untuk perekrutan 1 orang alumni ITB, maka perusahaan akan memutus kontrak sekitar 2-3 pegawai lapangan non-ITB. Tentu semua itu berdasarkan perhitungan, terutama gaji pokok. Jadi bisa dibayangkan nilai seorang alumni ITB itu sebanding dengan 3 orang lapangan. Lalu, pembayaran gaji alumnus ITB biasanya didahulukan dan full payment. Yang lainnya terkadang setengahnya dulu, atau bahkan ditunda hingga berhari-hari. Mendengar cerita-cerita semacam itu, saya merasa segan jika membahas ata berguyon soal terlambatnya gaji. Saya masih bujang. Kebutuhan saya belumlah seberapa dibandingkan mereka, bapak-bapak yang umurnya 2 kali lipat saya yang sudah mempunyai anak istri. Sudah kebutuhan banyak, gaji tidaklah seberapa, ditunda pula. Tak terbayangkan jika saya harus hidup seperti itu nanti. Semoga Allah melancarkan rezeki saya, orangtua, dan semua umatNya.




3.3.15

Penantian-penantian

Februari 28

Penantian itu datangnya di awal. Yang di akhir itu bisa dua probabilitas : kebahagiaan atau penyesalan. Tapi penantian-penantian ini lain ceritanya. Bagi hampir separoh bangsa di dunia mayapada ini, akhir bulan adalah penantian besar. Yap, terutama bagi para buruh dan pekerja kantoran. Gajian. Bagi saya, ada penantian lainnya. Hari ini saya ada rencana bertemu teman lama. Harus hari ini, karena besok dia ke Jakarta dan saya pun entah kapan lagi pulang ke Bandung. Singkatnya, kami deal. Jika  meeting point dan waktu sudah ditentukan, maka nikmat Tuhan yang manakah yang kamu dustakan?

Seharusnya saya masuk kerja. Di sini, sabtu memang tetap masuk kerja, dan hitungannya lembur. Tetapi jam 9 pagi saya sudah bergegas ambil langkah pulang. Cegat angkot 72 ke arah terminal Cibinong tanpa ambil gaji terlebih dahulu, walaupun kenyataannya gajiannya di-postponed sampai sekitar tengah bulan depan.

Dari terminal cibinong jam 10. Traffic madness di daerah pintu tol citeureup buat saya ragu apakah bisa sampai bandung tepat jam 3 atau tidak, karena kami sudah janjian jam 3 di salman. Tapi beruntung saya naik bis MGI. Sepertinya mereka memang sudah di-training untuk bisa melakukan maneuver di bahu jalan tol. I can feel the thrill and excitement at the same time. Jadi, jam 2-an saya sudah sampai di sekitar padalarang. Sambil berharap-harap cemas.

Di windshield bis mulai tampak rintik hujan tapi tak seberapa. Tidur saya dibangunkan oleh pesan masuk di Line. “Maaf saya tidak bisa bertemu hari ini. Daerah rumah saya sedang hujan besar. Saya tidak diperbolehkan ke luar oleh orangtua.”

Perlu puluhan detik bagi saya untuk menyerap kata-kata tersebut. Ini sama sekali bukan kesukaan saya, atau mungkin setiap manusia di muka bumi ini. Terlalu mendadak. Dan bagi saya, alasan hujan itu bukan suatu excuse yang logis. Sudah terlalu banyak produk di dunia yang bisa mempermudah manusia melewati hujan tanpa basah kuyup. Tapi ini, sigh. Saya hanya balas : OK. Suatu ekspresi netral yang biasa saya keluarkan meskipun perasaan kesal berkecamuk.

Jam 3 sore. Saya baru sampai di Leuwi Panjang. Cuaca cerah. Tadinya saya berniat langsung pulang saja ke rumah. Tapi keinginan berkata lain. Saya tetap pergi ke meeting point yang telah ditentukan. Semata-mata menguji diri sendiri, sejauh mana saya bisa memegang komitmen pada tujuan meskipun saya tahu tidak akan menemui siapa-siapa di sana. Jam 16.08 WIB tiba di Masjid Salman.


Makan, minum, solat lalu pulang. Mungkin tidak bertemu teman lama, tapi balasannya bertemu Tuhan. Dan semoga Tuhan mengabulkan doa-doa umatNya.

***

Jarang-jarang sampai di Bandung ketika matahari masih bersinar. Biasanya larut malam. Momen ini saya manfaatkan untuk sekedar jalan-jalan sekitar Dago. Salman-Gedung Sate jalan kaki sambil sesekali mencari angkot pink ke arah Gede Bage. Duduk di bangku depan sambil masih memikirkan kekesalan beberapa jam yang lalu.

Saya inisiatif mencari tahu informasi cuaca kota Bandung dengan bertanya sana sini. Ibu bilang Cicaheum terang. Gasibu Dago juga terang walaupun ada bekas hujan. Pikiran saya langsung tertuju pada twitter yang selalu memperlihatkan info terbaru tentang apapun. Di sana saya cari tentang kondisi cuaca sekitar rumah kawan lama ini, karena dulu pernah ke sana beberapa kali.  Kenyataannya memang hujan besar disertai angin kencang dan banjir. Kasihan juga.

Malamnya, saya merasa agak terlalu kasar pada kawan lama saya ini karena sudah mengirim pesan soal pembatalan janji tadi. Semata-mata saya melatih keterbukaan saja, dan bukan emosi belaka. Memang kesal, tapi saya perlu belajar lebih banyak tentang mengatur ego dan menghormati hak orang lain. Saya juga mengerti mengapa orangtuanya melarangnya ke luar rumah. Bayangkan saja sendiri menjadi orang tua yang punya anak. Dan tentu suatu pelajaran juga buat kawan lama saya ini soal menepati janji dan mengurangi gengsi. Karena sejujurnya, saya berharap kawan lama saya ini mengontak saya lagi dan menawarkan waktu lain untuk bertemu. Tapi itu hanya angan-angan. Obrolan kami terputus di emoji jari kelingking yang saling berkaitan. Apakah ini pertanda baik-baik saja atau apa? Ah sudahlah. Sudah cukup sering seperti ini. Semoga Allah menguatkan dan melindungi  saya dan kawan lama saya juga. Aamiin.

***
 March 1

Rencananya sore ini saya pulang lagi ke Bogor diantar keluarga. Ayah ibu adek naik mobil pribadi. Berangkat jam 4 sore agar lolos dari peak hour macetnya tol Cipularang. Sepanjang perjalanan saya hanya tertidur karena malam sebelumnya begadang di sekre karang taruna. Jam 6 sudah di gerbang tol Cikunir. Saya pikir mudah saja. Tanpa disadari, mobil yang dikemudikan si bapak belok kiri ke arah cikunir. Literally. Maka terperosoklah kami dalam kemelut planet antah berantah bernama : Bekasi. Hehe.. Kidding, dude.

Macet membuat kami kebingungan dan tersesat di daerah Jatiasih. Niat mencari jalan kembali ke tol malah semakin jauh. Putar balik, baru ketemu tol lagi. Total time wasted : 1hour 26minutes. Dan perut semakin tak terkendali ingin segera muncrat.


Untungnya sudah masuk tol Jagorawi dan singgah sejenak di Rest Area Cibubur. Plong. Jam 22.00-an sampai di kontrakan. Mampir dulu ke tetangga kanan kiri yang masih bangun kemudian tidur hanya beralaskan karpet pinjaman. Mohon do'anya saja bapak ibu supaya anakmu ini kelak mempunyai rumah sendiri agar kita tak usah tidur di lantai lagi.

***

March 2

Kembali ke peraduan meski gajian masih sekitar 2 mingguan. Tapi janganlah gaji menjadi motivasi kita untuk bekerja. Bekerja hanya karena ridha Allah dan proses belajar setiap manusia.

Trip Intergalaksi

Selasa, 23 Juni 2020 03.22 dini hari Kisah ini saya tulis begitu bangun tidur dari mimpi yang tidak akan pernah saya lupakan. Mimpi yan...