30.3.15

Loyalitas

March 31

Once Mr. Dedi, the CEO of body kit company near Bogor said to me, 'Be a loyal employee! It might be good to seek a new career opportunities in other prospective company, but dude, please don't you ever try to quit your job too early even when you really want it. Yes you might think to resign for couple of reasons: you didn't fit with the job, you hate your stubborn boss, and so on. Just be patient and do whatever you can do. As long as you keep on your hella-work, great things will follow after.'

***

Pagi ini cerah sekali. Bangun pagi adalah nikmat tersendiri. Selain perubahan pola hidup yang lebih baik, bisa sempat cuci pakaian lalu jemur di bawah mentari. 

Masuk pagi seperti biasa, hanya telat 2 menit saja dan ruang kerja pun baru ada satu orang. Suram sekali. Sebelum duduk di kursi kerja bermerk chitose-yang biasa buat kondangan-, saya switch AC ke mode swing. Tak tahan dinginnya. Semata-mata demi menjaga kondisi tubuh tetap fit tanpa masuk angin atau masuk penyakit-penyakit lainnya. Akhir-akhir ini saya seringkali merasa lambung perih. Jarang sarapan mungkin. Karena mau bagaimana lagi, gaji yang tak seberapa bulan lalu sudah habis untuk dibagi-bagi. Ada tabungan tapi sama juga nasibnya. Berhemat banyak caranya.

Saya bukan tipe orang boros. Keinginan membeli barang-barang tertentu selalu tertahan oleh kebutuhan yang menduduki kasta skala prioritas tertinggi. Salahnya, saya kurang cerdik mengantisipasi kondisi-kondisi tak menentu yang seringkali terjadi tak terduga. Misalnya sekarang ini, tabungan habis, gajian di-postpone lagi, 'kebutuhan tak terduga'. Kalimat dalam kutip tersebut panjang ceritanya.

***

Perkara krisis moneter kehidupan saya bukan tanpa alasan. Bahkan boleh dibilang ada kejadian-kejadian yang tak terduga yang seolah ada maksudnya Allah menempatkan saya di sana.

30 Maret. Saya bingung menyebutnya hari yang berbahagia atau sebaliknya. Ibu ulang tahun yang ke 49. Tak sempat saya bertemu langsung dan memberi hadiah berupa salam atau kue (seperti yang biasa orang lain lakukan pada orang terkasih). Hanya ucapan via telepon dan diteruskan obrolan lain. Hari yang sama juga, adik satu-satunya berangkat menuju peraduan. Dia baru saja berangkat ke Jakarta untuk kemudian bekerja di Papua. Kata 'Papua' terdengar sangat jauh dan asing ketika saya membuka peta dan memastikan jarak dari Bandung ke sana. Belum lagi saya membayangkan kehidupan sehari-hari di sana. Tak jarang saya mendengar berita soal kelangkaan gas, bbm, dan barang pokok. Atau bentrokan-bentrokan antar suku. Semua itu buat saya resah. Keresahan yang diperparah karena saya belum bisa memberi bekal buatnya di sana. Hanya doa yang saya panjatkan untuk sementara ini.

30 Maret. Hari ini belum selesai. Malam harinya, saya dapat bbm dari ibu tetangga. Dia menawarkan tv-nya. Tanpa balas apa-apa, saya langsung bergegas ke rumahnya. Saya tanya persoalannya detail, meskipun saya tau persoalan ekonomi keluarganya dari cerita anak-anaknya. Tapi kali ini saya hanya mau bicara 4 mata sama si ibu. Gaji suaminya yang PNS belum juga turun dari Januari. Dengan kondisi seperti itu, mana ada ibu yang tak pusing memikirkan kebutuhan sehari-hari keluarga. Belum lagi biaya sekolah anak-anaknya. Anak yang pertama sedang Tugas Akhir. Yang kedua mau Ujian Nasional sebentar lagi. Yang terakhir SPP bulanan SMP. 

Kalau jadi manusia berakhlak itu banyak tidak dikenalnya, saya lebih baik terasing di dunia dan masih menjadi manusia yang masih dikaruniai pikiran yang sehat dan hati yang masih bisa merasa. Buat apa memangnya saya diam saja? Buat apa juga saya acuh? Pura-pura tidak tahu dan buta hati bukanlah yang saya mau. Rasulullah itu kaya raya tapi masih mau bantu sesama. Saya belum kaya raya, tapi semoga dengan membantu sesama, saya bisa kaya dan mata hati yang masih terbuka. Memang gaji saja belum ada. Menunggu hadiah lomba pun belum tentu besok adanya. Tapi siapa tau ada jalannya, saya usahakan bantu si ibu biar mudah rezekinya, rezeki saya juga. Amin.

***

Mengenai prolog di atas, saya masih bingung dengan batasan kapan ketika seseorang memutuskan this is the time to resign. Saya masih bingung menemukan 'eureka'nya. Boleh dibilang, saya enjoy dengan pekerjaan yang sedang saya jalani ini. It's my passion, I'm paid for it, and the world needs it. Lingkungan kerja juga sangat sangat bersahabat. Tapi memang benar apa kata bapak, jangan terlalu menggantungkan karir pada pekerjaan saat ini. Tidak ada jaminan pekerjaan itu akan menjadi ladang mencari nafkahmu sampai tua nanti. Perusahaan yang saya tempati sedang di ujung tanduk. Terlilit utang dan terkait kasus korupsi pengadaan fasilitas yang dulu kerjasama dengan salah satu kementrian di negeri ini. Hal ini diperparah dengan manajemen yang buruk, relasi dengan kolega-kolega yang tidak harmonis, fasilitas yang kurang memadai, dan lain-lain. Saya masih ingin bertahan, mungkin kalaupun worst case-nya perusahaan ini collapse, saya mau sampai titik darah penghabisan perusahaan. Semua tergantung keputusan yang diambil pimpinan. Jika pola pikirnya masih seperti sekarang dan terus dipertahankan, semua ini tinggal menunggu bom waktu meledak. Tapi jika ada perbaikan dari dalam diri pimpinan, manajemen yang dirombak, dan segala improvement yang mendukung terwujudnya visi misi perusahaan, Insya Allah semuanya ada jalan keluar. Man jadda wa jada. Hanya Allah yang maha membolak balikkan hati seseorang.

No comments:

Post a Comment

Trip Intergalaksi

Selasa, 23 Juni 2020 03.22 dini hari Kisah ini saya tulis begitu bangun tidur dari mimpi yang tidak akan pernah saya lupakan. Mimpi yan...