24.12.14

Catatan Akhir Tahun

Life is not a matter of chances, it's a matter of choices. And finally it comes to an end, I've made a choice.

***

December 24th

Setelah sekitar 7 bulan saya di Karang Taruna Jatimandiri ini, saya sampai pada satu titik di mana saya harus mengambil keputusan hidup yang terbaik. Saya harus berhenti (dulu) untuk mengurusi organisasi. Alasannya? If you want to go far, go together. If you want to go fast, go alone. 

Jika melihat ke belakang, dari yang awalnya saya hanya orang asing di daerah ini, sampai sekarang menjadi ketua, rasanya itu mustahil dilakukan dalam 1 tahun. Namun memang begitu kenyataannya dan selama ini saya berusaha sebaik mungkin mengemban amanah dan menjalankan tanggung jawab tersebut. 

Selama ini saya berharap banyak dari Karang Taruna, sebagaimana dijelaskan dalam visi misinya untuk mencapai kesejahteraan bersama. BERSAMA. But what will you do if you are the only person who have such a huge spirit while the others just being silent? Dulu, saya pikir saya bisa menjadikan Karang Taruna ini sebagai tempat bekerja atau sekedar mencari tambahan uang jajan. Toh sudah banyak saya dengar cerita sebuah daerah yang berkembang karena Karang Taruna-nya. Berkaca dari situ, maka saya putuskan untuk fokus di sini, melakukan banyak perombakan, kegiatan-kegiatan, dan tak lupa juga ada mainnya. Terlalu serius itu membosankan bukan? Maka, satu persatu kegiatan pun berjalan. Anggotanya perlahan-lahan bertambah, meskipun ada juga anggota pasif. Tanggapan warga pun bervariasi, mostly positif sih, apalagi melihat antusias warga setiap ada event. Semakin saya melihat aura positif seperti itu, semangat saya makin liar dan harapan saya makin besar untuk ke depannya. But it's not that easy as a blinking of an eye. Once my friend said, don't expect too much. It'll kill you.

Agenda rapat akhir tahun barusan hanya berujung pada obrolan-obrolan singkat antara saya, bang omen dan dedi. Tadinya mau evaluasi dan sekedar say goodbye ke semua anggota karang taruna karena saya akan bekerja, di Bogor. Itu artinya kecil kemungkinan saya mengurusi tarka ini secara rutin like I used to be couple of months ago. Tapi ternyata gak pada datang juga. Ya sudah.

Antiklimaks di ujung tahun.
Thank you Jatimandiri 06. I don't know which one do I have to say. Goodbye or See you soon.

22.12.14

Pariwara Kerja - Marathon Film Loka

Everything happens for a reason.

Ini adalah begadang pertama semenjak pulang dari Rinjani.Kemarin-kemarin biasanya tidur cepat atau paling larut itu jam 11 setelah sebelumnya nongkrong-nongkrong atau ngajar bahasa inggris gratisan buat tetangga. Alasan sekarang begadang itu pertama karena ada deadline kerjaan yang amat banyak, kedua nonton film-film lokal. Akhir-akhir ini saya jadi suka nonton lagi film-film lokal jadul (tapi bukan horor esek-esek kelas terian itu). Tanggal 17 kemarin misalnya, pas in memoriam Gie, saya nonton lagi filmnya. Bisa dibilang ini film yang tidak pernah saya bosan menontonnya. Nah barusan saja, nonton lagi deh film lokal. Niatnya refresh sejenak eh malah keterusan.

Pertama nonton janji joni. Simpel sih ceritanya. Durasinya juga pendek. Pesan moralnya ya banyak, malah mungkin seringkali dialami. Ketika kita (merasa) sudah banyak berbuat baik, belajar ikhlas, sebagai bentuk respon terhadap lingkungan sekitar, terkadang masih saja kita dinaungi ketidak-beruntungan, yang tidak jarang dikait-kaitkan dengan tabi'at kita selama hidup. Jujur saja saya sendiri seringkali bertanya-tanya, apakah menjadi orang baik itu salah? Apakah salah menjadi terlalu baik sampai-sampai kepentingan sendiri tersisihkan? Di luar sana ada banyak orang beruntung sepertinya. Rezeki mereka banyak. Tapi begitu ditelusuri ternyata perilakunya terkadang keblinger. Pinter tapi keblinger. Sedangkan hidupnya orang-orang baik dan humble itu sederhana saja. Sampai sejauh ini, apa yang saya tangkap adalah bagaimana ikhlas itu dijalankan. Mungkin saja niat-niat saya kemarin berbuat baik itu bukan atas dasar ikhlas. Mungkin saja ingin dilihat gebetan, dan memang iya. Bersedekah hanya karena berfikir Allah akan melipatgandakan apa yang kita keluarkan, bukan mencari Ridha-Nya. Sulit sekali ikhlas yang murni itu.

Lalu saya lanjut ke film kedua. Mama Cake. Awalnya saya kira ini film-film alay atau komedi crunchy-lame gitu. Ternyata saya harus mengacungkan 4 jempol di akhir film.Saya bakal merekomendasikan siapapun yang saya kenal dan penyuka film untuk menonton film ini. Durasinya cukup lama dan kaya akan moral value selama cerita. Penuh nasehat tapi dikemas dengan cara yang mudah ditangkap maksudnya dan tidak terkesan menggurui. Saya tidak akan nulis soal moral values-nya ah. Ngantuk juga.

Oya one more thing, Happy Mothers Day. Sometimes I wonder kapan ya saya bisa seperti kawan-kawan yang memposting foto-foto kedekatan mereka dengan ibunya. Karena ya selama ini kita biasa aja. Saya canggung kalau masalah begini, mungkin karena sejak kecil tidak terbiasa dan dibiasakan menganggap orang tua adalah fren, tapi lebih pada sosok yang patut dihormati dan ditaati. Ah sudahlah. Besok ada short trip sama kawan-kawan SMA sebelum meninggalkan Bandung untuk waktu yang cukup lama. Ke Bogor. Kenapa Bogor? Only God knows and yes as I said, everything happens for a reason.

18.12.14

Selesaikan dulu sebelumnya

December 19th

Dalam perjalanan, ada hal-hal yang lebih berharga untuk dinikmati saja tanpa harus dipotret, apalagi selfie. Ya, karena saya merasa harus selalu meminta maaf kepada the real adventurers yang memang menikmati perjalanan tanpa sibuk dengan dokumentasi. Saya bukan traveler, bukan penjelajah, bukan tourist, petualang, atau apapun itu namanya. Saya ya orang yang menyukai perjalanan. Belum banyak yang saya kunjungi, kebanyakan di pulau jawa. Cita-cita ya pasti keliling dunia, namun seperti orang pada umumnya, harus tunggu waktu.

Jujur saja saya paling tidak suka bernarsis-narsis ketika di perjalanan. Foto diri sendiri di spot yang sama berkali-kali lalu dipost di media sosial bukan keahlian saya. Sehingga ketika saya bertemu orang semacam itu, saya agak alergi. Maklum lah, semenjak 'traveling' itu mulai dirambahi alay-alay dari planet Narsisme, esensi perjalanan itu sendiri menjadi hilang. Sudah jarang ditemui obrolan di kereta dengan orang asing, sudah jarang ditemui pendaki yang membuat karya di puncak gunung, sudah jarang. Kecenderungan manusia alay mengejar sunrise atau sunset di spot-spot tertentu yang merasa membuat dirinya 'penjelajah', petualang, traveler 'sejati' yang diukur dari kuantitas tempat yang sudah pernah dikunjungi membuat makna perjalanan ini luntur. Ya begitulah.

Kemarin pulang dari Bogor. Berangkat sore ke terminal Leuwipanjang dahulu, terus naik bis MGI ke Cibingong. Dijemput Mr. Riza di terminal sono membuat kekhawatiran saya berkurang. Jam 9 malam baru sampai di kantor tempat saya mengajukan application tempo hari. 

Esok paginya ke Ciawi dulu, melihat bengkel fiber glass bis-bis karoseri di Indonesia. Pertemuan singkat banyak manfaat : Ilmu nambah, air minum gratis, relasi. 

Perusahaan kecil sih, tapi saya optimis di sini saya bisa improve banyak, menggaet relasi dari berbagai bidang, meskipun gaji tidak sebesar multinational company dan hari Sabtu tetap masuk. Lokasinya agak di pedesaan memang, tapi sepertinya lebih baik ketimbang harus tinggal di kota seperti Jakarta. Next week saya diminta mulai start kerja. Dengan waktu sesempit ini, banyak hal yang harus saya bereskan terlebih dahulu di Bandung, mulai dari proyekan dari Ardan yang masih classified, bisnis yang sama2 masih dirahasiakan, dan juga karang taruna. Sanggupkah seminggu ini kelar? Lessgow saja..

10.12.14

Footprints Java-Lombok


December 5th 2014

Finally I’m home after 2 weeks in the middle of nowhere. However, t’s not that simply to define the meaning of ‘home’. Elizabeth Gilbert once said that Home is whatever in this world you love more than you love yourself.

Pare, November 23rd 2014

Ketika almamater saya tengah dalam hingar binger perhelatan acara besar bernama Pasar Seni, saya sedang dalam sebuah bis ¾ Puspa Indah jurusan Malang. Bukan maksud untuk mendurhakai almamater, namun perjalanan ini sudah saya rencanakan sejak tahun lalu dan harga yang harus dibayar amatlah mahal, event 4 tahunan di Bandung yang mungkin ada lagi 4 tahun yang akan datang. 


Oya, sebelumnya perkenalkan beberapa orang yang saya temuia selama perjalanan dan menjadi tim yang luar biasa. Si Jamal, kawan pertama yang saya temui di Pare ketika masih mengambil course bahasa. Dengan beliau ini saya melancong dari Pare-Banyuwangi sampai akhirnya bertemu Bang Janes. Yang terakhir si mbak Sundari/Cuncun/Ncum yang kami temui di Mataram.

Perjalanan dimulai dari Pare pukul 08.00 dan sekaligus perpisahan dengan kawan-kawan camp, ibu kantin mubarokah, dan bapak penyewaan sepeda. Dari kosan Si Jamal, diantar Saiput_Lengket ke halte bis terdekat sambil pamit-pamitan. Sepanjang perjalanan, saya hanya membuka media-media sosial untuk melihat update-an terbaru mengenai Pasar Seni. Ikut merasakan euphorianya sekaligus getir sendiri. Pukul 12.30 WIB saya tiba di stasiun Landungsari Malang dan bergegas menuju angkot yang menuju stasiun Malang Kotabaru untuk mengejar kereta Tawang Alun menuju Banyuwangi pada pukul 14.45 WIB. 

Setelah hampir 7 jam perjalanan, sampai di Banyuwangi sekitar pukul 11.00 WIB dan ketemu si Bang Janes yang sudah datang duluan setelah perjalanan jauh dari Bekasi. Kami putuskan untuk menginap sebentar di rumah kenalan Bang Janes di sekitar Banyuwangi. Alhamdulillah makanannya makmur dan bersyukur sekali karena bisa menghemat perbekalan, meskipun kita agak terlalu mengulur-ulur waktu di sana. Pukul 10.00 pagi kami putuskan untuk melanjutkan perjalanan. 



November 24th

Harga tiket Ferry Pelabuhan Ketapang-Gilimanuk Rp 8000,-/orang dengan waktu tempuh sekitar 1 jam. Sampai di Gilimanuk langsung disambut seorang calo pelabuhan yang menuntun kami ke sebuah bis di terminal. Bilangnya sih langsung ke pelabuhan Padang Bai, pelabuhan yang langsung menghubungkan ke Pulau Lombok. Saya pribadi sudah bisa nebak kalau calo-calo kelas teri begini hanya PHP semata. Buktinya, hamper 4 jam kami menunggu di terminal, bis tak kunjung berangkat. Berkali-kali saya meyakinkan si Jamal dan Bang Janes buat naik bis lain kea rah Denpasar lebih dulu baru lanjut, namun tak kunjung disambut. Setelah menunggu sekian lama, mereka ngajak saya juga naik bis ke Denpasar.

Bis ¾ jurusan Denpasar yang kami tumpangi ini awalnya ngasih harga 30rb. Tapi di tengah jalan, bis berhenti sementara, si supir bis turun di sebuah pura, mungkin beribadah, habis itu langsung minta ongkos ke semua penumpang. Dengan PD, si supir menagih ongkos lebih dari yang dibilang sebelumnya, dan itu ke semua penumpang. Kontan mereka berargumen keras “lah tadi katanya segini?” Namun si supir tetap bersikeras melebihkan ongkos semua penumpang 10rb lebih mahal. Alasannya karena BBM naik. Mengingat sebelumnya si supir beribadah dulu, mungkin dia berpikir kalau dosanya akan terhapus di kemudian waktu karena berbohong pada penumpang. Dosa berikutnya adalah playlist MV dangdut pelabuhan yang gak ada enak-enaknya deh asli. Salah satu penyanyinya adalah Renny Farida. Sampai hafal karena mungkin hanya dia satu-satunya penyanyi andalan studio rekaman yang bersangkutan.

Penderitaan naik bis ¾ barusan berakhir 4 jam kemudian. Di terminal Ubung kami sudah disambut oleh calo-calo terminal yang menawari berbagai opsi angkutan. Saya pribadi biasanya pasang muka ‘gak minat’ atau ‘sakarepku’ kalo ada calo-calo yang beginian. Namun karena saya dianggap paling muda, atau mungkin terlihat dak berpengalaman dalam hal traveling di mata kawan-kawan saya ini, seringkali ide saya dianggap angin lalu. So, dalam kasus ini, saya sudah serahkan saja keputusan sama mereka. Jam 9 malam, kami masih menunggu keputusan buat naik angkutan yang mana. Saya hamper kesal karena salah satu dari kami bertiga malah bermain HP ketika diajak rundingan, sedangkan si calo terus mendesak kami untuk masuk dalam bujuk palsunya dia, plus dia dibacking teman-temannya juga. Ya kalah lah kami yang cuma bertiga dan gak tahu apa-apa. Padahal kalau saja mau men cari tahu, Insya Allah dapat yang lebih murah, seperti yang saya alami ketika pulang (nanti saya ceritakan). And the result is : kami dapat bis seharga 155rb dari Denpasar ke Mataram (yang katanya plus makan tapi bullshit). Saya sih ikut-ikut saja, toh kalaupun berdebat malah makin gak jelas. FYI, bis yang ditunggu ternyata baru ada jam 3 pagi, kami terpaksa menunggu di pool dari jam 9 malam. Saya gelar sleeping bag di sana.

November 25th 2014

Jam 3 dini hari saya dibangunkan kasar sekali. Bis sudah datang dan sambil terhuyung-huyung saya membereskan sleeping bag dan barang lainnnya ke dalam carrier secara serampangan, masuk bagasi. Nama bisnya Langsung Jaya, jurusan Jakarta-Bima. Entah karena buruknya koordinasi atau apa, ada beberapa penumpang yang terpaksa berdiri tapi bayar sama. Adilkah? Saya sendiri duduk di pintu masuk paling depan-yang harus selalu turun kapanpun ada penumpang atau kondektur hendak turun-meskipun saya sedang terlelap tidur. Gila. Jam 5 subuh sampai di pelabuhan Padang Bai, menunggu kapal berikutnya. Karena kapal yang terdekat sudah dibooking puluhan truk pertamina, kami terpaksa menunggu kapal berikutnya lagi dan lebih lama lagi. Akhirnya kapal yang ditunggu datang, berangkat jam 5.30 sedikit mengobati kekecewaan saya karena beruntung mendapatkan pemandangan sunrise di tengah laut. Si Jamal dan Bang Janes di dalam kapal, tertidur. Saya keliling cari angin, literally a strong one.


Betul-betul perjalanan panjang dan lama. It took approx. 5 hours to reach Lembar Harbor, Lombok. Di pelabuhan Lembar saya mencari-cari mana sih calo-calo yang katanya ‘bahaya’ kata orang-orang di terminal Ubung semalam? Apa mereka hanya menakut-nakuti para turis agar naik travel mereka? And as I said before, I’ll tell you later. Naik bis yang sama sampai Mataram. Supir yang serampangan dan ugal-ugalan sedkit memberi terapi jantung, terlebih buat saya yang duduk tepat di belakang kaca depan. Dengan kecepatan seperti itu, kami tiba di terminal Mataram sekitar pukul 11.00 WIB. Di terminal ketemu mbak Ncum yang dalam 4 hari ke depan menjadi bagian dari tim kami ini. Then, we were heading to Sembalun directly.
Bener-bener deh kelakuan supir-supir di daerah wisata buat saya hilang respect sama mereka. Kali ini, kami dikibulin lagi. Dari Mataram, kami sudah dicegat beberapa orang yang menawari angkot (mirip elp). Supir yang nyerempet ini rebutan penumpang, dan doi malah ngedamprat temannya yang sepertinya sudah jatah dia. Si supir preman ini maksa kami masuk dengan iming-iming diantar langsung dari Mataram ke Sembalun hanya dengan 55rb. Saya masih ingat perkataannya : “Daripada nunggu lama lagi di Aimel, belum lagi susah, dan mobil bak kebuka, udah saya ante raja langsung pake mobil ini. Kan enak tertutup.” Begitu si supir merayu gombal kami. Saya, yang sudah sering bergaul sama orang-orang terminal tahu cara-cara persuasive mereka dengan sedikit-sedikit membual macam itu. Tapi teman-teman saya yang juga harus dihargai keputusannya, akhirnya naik juga.
Di perjalanan, si supir berulang kali bertingkah kasar. Ada mobil sejurusan di depannya dia kejar kebut-kebutan supaya jatah penumpang di depannya gak kesamber. Ada ibu-ibu tua di pasar yang mau naik dia ngedumel sambil banting pintu gara-gara si ibu masukin barangnya lama dan mobil dia kekejar angkot lain. Ada lagi kakek yang mau ke sembalun disuruh turun lagi. Lah saya kan jadi heran, ini katanya langsung ke Sembalun, tapi kok ada yang mau naik malah diturunin lagi. Dari sini saya sudah mulai suudzon sama si supir. Di Aimel, tiba-tiba si supir nagih ongkos 55rb/orang, padahal sampai tujuan akhir saja belum. Si jamal yang berusaha bertanya kenapa sudah ditagih lagi malah dibentak “Lah cepat lah bayar dulu!!”. Setelah transaksi itu, kami malah disuruh turun, lalu naik mobil bak terbuka pengangkut sayur dan buah. Semacam dioper begitu. Kami turun, pindahin barang-barang, si supir sialan itu lalu putar arah. Kalau dari awal jujur bakal dioper ke mobil bak terbuka, ya saya sih gak akan segeram ini. Kalau saja perlakuan terhadap turis dari luar daerah itu sama rata, jujur, tidak mengada-ngada, tidak melebihkan atau mengurangi, mungkin kehidupan supir akan lebih makmur dan rezeki mereka lebih berkah.
Okey kembali ke trip. Singkatnya, naiklah kami di mobil sayur menuju Sembalun. Kekecewaan kami terhadap kejadian supir sebelumnya terobati setelah melihat pemandangan elok sepanjang perjalanan. 


Bukit sana sini. Taman strawberry petik sendiri, buah-buahan, hutan rindang di sepanjang jalan disiram cahaya matahari yang malu-malu dari balik awan barat yang agak mendung. Tiba di RTC pukul 14.00 WIB dan langsung registrasi. Tapi kami diajak oleh supir mobil sayur itu untuk naik lewat jalur lain yang berada sekitar 500 meter dari RTC. Di sana kami turun dan re-packing perlengkapan dan persiapan ini itu di sebuah warung. Uniknya daerah itu, sapi-sapi milik warga yang sudah digembalakan hingga sore, pulang bergerombol pada waktunya, dan mereka akan pulang ke rumah masing-masing tanpa harus digiiring alias mandiri. So damn cool cows!


Di warung ini, kami bertemu sesama trekkers yang baru mau naik juga, namanya Ola from Norway dan guidenya sekaligus pacarnya Mbak Mimi from Semarang. Perkenalan singkat membuat kami tahu kondisi satu sama lain dan kesamaan satu sama lain : belum tahu track-nya. Jadi, kami putuskan untuk naik bersama-sama. Total 6 orang dan siapa sangka, kami berhasil membuat cerita luar biasa selama kurang lebih 5 hari 4 malam di Rinjani.
November 23rd 5.00 p.m.
Karena pendakian baru dimulai sore hari, baru 1 jam jalan sudah berkabut dan gelap. Situasi seperti ini bukan yang kami harapkan. Sekitar pukul 8 malam, kecepatan angin semakin tidak manusiawi. Karena saya yang memimpin perjalanan, saya berusaha mencari jalan-jalan yang agak rimbun oleh rumput ilalang supaya badan kami tetap hangat. Entah jam berapa, kami tiba di pos 2. Ada 2 orang pemuda yang sedang menyalakan api unggun. Saya coba membuka percakapan. Nama mereka Samsul dan Ahmad, katanya orang Lombok Timur. Mereka menggiring saya ke spot pasang tenda di balik bukit sementara yang lainnya beristirahat sejenak di pos 2. Singkatnya, malam itu kami habiskan di tenda di pos 2. Re-charge energi untuk keesokan harinya.

November 24th 7.00 a.m.




Packing ulang, sarapan, take some pictures lalu cabut. Si Ola, bule Norway, dia bilang dia gak biasa sama cuaca panas macam begini. Jadinya, dia mudah lelah, loyo, gak bersemangat. Baru-baru kami sadar persediaan air minum sudah menipis. Sampai di pos 3, air minum tinggal  botol. Ada stok malah dipake masak energen dan kopi. Mau gak mau cari sumber air. Dari pos 3 turun sedikit ke bawah, ada runtuhan jembatan. Info dari Mimi, katanya itu bekas akses presiden Soeharto sama Bu Tien dulu waktu nanam benih ikan di danau. Sepertinya alam menolak moderenisasi. Tiap kali akses jalan dan jembatan itu diperbaiki, kondisinya tidak berlangsung lama sampai sekarang hanya tinggal reruntuhan. Di bawah reruntuhan itu ada sungai kering. Sepertinya sudah lama tidak hujan. Saya sama si Jamal Cuma ambil 2 botol air lumut. Just in case kalau mau air, tinggal dimasak saja.



Perjalanan berlanjut. Di tengah jalan kami bertemu warga Sembalun yang sedang naik juga. Mereka mau mincing ikan di danau. Dihitung-hitung ada sekitar 12 orang bapak paruh baya dan seorang nenek. Kami sempat ngobrol-ngobrol sebentar soal Rinjani yang kian berubah dari tahun ke tahun. Alhamdulillah kami dapat seteguk air minum dari mereka. Saya bertukar carrier sama si Bang Janes. Katanya dia pegel kaki. Well me either. But I prefer to not talk about it and keep moving instead of complaining the circumstances. Di tanjakan terakhir sebelum Plawangan Sembalun hujan mulai turun. Awalnya kami berteduh sejenak untuk menunggu hujan reda. Tapi si bule sepertinya sadar bahwa hujan ini tidak akan berhenti menggigiti kulit sampai kita berusaha menggerakkan badan dan terus naik supaya suhu tubuh tetap hangat. It works! Tanjakan terakhir ini benar-benar menguras tenaga. Belum lagi hujan yang sedang mendera kami ini tiba-tiba berubah menjadi hujan es seukuran ruas jari. Baju, jaket, topi, sepatu saya sudah amat kuyup karena jas hujan yang saya pakai berkali-kali dihantam angina yang cukup kencang. Posisi tubuh saya miringkan supaya carrier yang berisi pakaian yang sedang saya bawa ini tak ikut kehujanan. Sambil terhuyung-huyung kehabisan tenaga, kehausan, kelaparan, dan hipotermia, saya coba tetap menggerakkan badan, jari, dan bicara ngalor ngidul, berhubung mulut dan jadi hampir sulit digerakkan.
Dari 6 orang di tim kami, baru saya dan si Ola yang sampai di Plawangan Sembalun. Si Ola sudah mulai mendirikan tenda dan saya masih harus menunggu Si Jamal, Bang Janes dan Mbak Ncum di bawah pohon yang cukup menutupi dari terpaan angin. Akhirnya mereka sampai beberapa menit kemudian. Saya usulkan untuk segera mendirikan tenda. Sementara saya membantu Si Jamal pasang tenda, si Ola ngajak Bang Janes buat ambil air di sumber air terdekat. Tapi doi malah nyuruh saya yang nemenin si bule karena alasan dia gak lancar bahasa inggris. Semakin saya menolak semakin dipaksa. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, saya sama Si Ola beranjak pergi bawa  botol besar + 1 jerigen. Saya kira sumber air terdekat memang dekat. Nyatanya saya harus berjalan lagi sekitar 1 km lagi. Di tengah jalan saya bertemu sesama pendaki. Sambil menanggung pikiran sudah tak karuan dan dahaga yang luar biasa, saya bertanya sumber air dan juga meminta air. Melihat kondisi saya, mereka langsung bergegas memberi saya minum. Setelah beristirahat sejenak, saya pamit undur diri dan melanjutkan perjalanan menuju sumber air. Medan yang cukup berat dan berkabut agak membingungkan saya. Untungn ya bertemu seorang porter yang bersedia menunggu saya mengisi air. Perjalanan kembali pasca mengisi air terasa lebih berat. Berkali-kali saya terhenti di tengah jalan hanya untuk mengumpulkan tenaga. Sampai di tenda, saya menjatuhkan badan sambil meminta makan. Beberapa menit dalam tenda dan makan makanan seadanya cukup untuk membuat saya tetap sadar.
Sore hingga malam kami habiskan untuk beristirahat, mempersiapkan diri sebelum Summit ke puncak jam 2 dini hari nanti.

November 25th 02.00 a.m.

Diantara kami ber-6, hanya si mbak Ncum yang memutuskan untuk tidak ikut Summit. Doi mau jaga tenda saja dan leyeh-leyeh. Perjalanan dimulai dan dipimpin oleh Si Ola. Baru beberapa ratus meter, mbak Mimi tiba-tiba berbalik dan memegang tangan saya sambil agak menjatuhkan diri. Belakangan diketahui ternyata malam tadi dia tidak nyenyak tidur karena dingin. Makan malam pun sedikit. Setelah beberapa menit beristirahat, Mbak Mimi bangkit kembali dan melanjutkan perjalanan dengan bimbingan si Ola.
Perlu diakui kalau trek ke puncak ini benar-benar berat. Tak heran banyak yang menyebutnya 7 bukit penyesalan, karena bagi yang gak sabaran pasti menyesal karena sering di-PHP-in. 


Kronologinya saat itu, saya dan tim berangkat paling awal, sekitar jam 2 dinihari. Tapi di perjalanan kami disusul banyak bule which mean mereka emang terbiasa sama suhu udara seperti ini. Badai pukul 4 pagi cukup membuat orang-orang pribumi frustrasi. Bahkan tidak sedikit juga yang pulang balik meskipun baru setengah jalan. Saya sama si Ola sudah duluan. Terhempas badai besar di sekitar jalan menuju puncak terakhir membuat saya berpikir ulang untuk meneruskan jalan. Saya berlindung di balik batu besar yang cukup menutupi arah datangnya angin. Di sana sama si Ola dan Mbak Mimi. Hampir 40 menit kami menunggu badai mereda tapi karena tak kunjung reda, si Mbak Mimi mungkin sudah kelelahan. Fisiknya sudah terlihat sangat lemah. Si Ola yang jadi kawan dekatnya memutuskan untuk pulang balik, dan pada saat itu, kondisinya kami tidak sadar bahwa puncak sebenarnya hanya tinggal 20 menit saja. Akhirnya menjelang matahari terbit, mereka turun kembali, meninggalkan saya sendiri di balik batu.


Sambil menunggu si Jamal dan Bang Janes yang tertinggal di belakang, saya duduk-duduk sambil mencoba buka mulut dan bergerak sebisa mungkin sampai akhirnya mereka datang, dan juga ikut berlindung di balik batu. Tak lama, ada seorang pendaki Perancis yang saya tanya tentang seberapa jauh lagi puncak. Dia bilang dia tidak sampai puncak. Kondisinya tidak memungkinkan. Badai besar apalagi. Lalu ada pula rombongan Belanda yang baru naik. Seorang diantaranya perempuan dan ikut berlindung di balik batu besar bersama kami. Terlihat dari tangannya yang mulai bengkak memerah, saya tawarkan dia sepasang kaos kaki kering yang ada di dalam tas kecil. Dia kegirangan. Sayangnya, saya lupa bertukar identitas sama dia. Sejauh yang saya tahu, si cewek ini dari Rotterdam. Setelah dapat kaos kaki, dia lanjut berangkat ke puncak. 





Sampai juga di puncak. Salah satu titipan dari Bandung. Semoga berikutnya ada yang lain yang menjejakkan kaki di sini.



***

November 26th. Sore

Jam 2 siang kami baru sampai di tenda. Istirahat beberapa jam dan makan seadanya karena stok nugget, kentang goreng, kopi lombok dan sambel pecel yang diembat monyet-monyet gunung. Pakaian-pakaian yang belum kering pun terpaksa dijejalkan ke dalam carrier mini ini. Jam 6 petang kami turun ke danau. Awalnya fine-fine saja sampai kabut datang dan kelelahan yang melanda setiap orang di tim kami.

Jalan menuju danau amat berbahaya. Tebing curam dan terjal disertai bebatuan tajam dan licin pasca hujan menyulitkan perjalanan. Menurut informasi porter-porter, biasanya Sembalun-Danau Segara Anak bisa ditempuh dalam 2 jam saja. Tapi malam itu sepertinya tidak memihak kami. Pukul 9 malam kami masih mencari-cari jalan. To be honest saya sama sekali buta arah, tapi tetap saja ditunjuk jadi yang di depan penunjuk jalan. Sampai pada satu jalan langkah saya terhenti karena jalan di depan adalah tebing. Setelah diskusi lama, akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke jalan sebelumnya, mencari jalan baru. Alih-alih mencari jalan yang benar, kami malah tersesat di dasar sungai kering dengan sarang laba-laba sana sini. Sepengetahuan saya, Sarang laba-laba itu berarti jalan itu sudah bukan jalan yang umum dilalui manusia. Setengah jam lebih kami hanya berputar-putar dan hilang arah di tengah hutan. Sampai pada titik lelah maksimal, kami memutuskan untuk mendirikan tenda saja, menginap semalam dulu, besok lanjut ke danau. Deal. Akhirnya, dalam hutan antah berantah kami tertidur pulas.

November 27th

Bangun pagi disuguhi pemandangan luar biasa dan juga tamu kehormatan. Monyet dan keluarganya. Sarapan pagi, packing, lalu lanjut lagi perjalanan.


Tibalah kami di danau Segara Anak yang dalam bahasa Lombok berarti Pantai Kecil. Sampai di danau kami buka tenda, jemur pakaian dan segala isi tas yang basah kuyup, lalu makan siang dengan racikan Chef Toto, treveler dari Pati yang sudah malang melintang kemana-mana. Sangat bersyukur kami bertemu Mas Toto. Beliau juga yang menjadi guide kami pulang lewat Senaru.





Maaf jadi kusut. Terima kasih sudah menemani sampai sejauh ini.

Tidak jauh dari sana ada kolam pemandian air panas berbagai level. Yang saya kunjungi ini level sedang. Lumayan lah buat melemaskan otot-otot badan dan pasang kembali mur-baut di kaki dan punggung.



Malam hari di danau tidak bisa ditangkap dengan kamera alakadarnya. Mungkin memang ditakdirkan seperti itu supaya malam yang bertabur bintang dan cahaya bulan itu cukup dikenang saja. Saya tidur agak larut malam setelah cuci piring dan berbagai alat masak. Kalau bukan ditemani A sky full of stars sih mana mau nyuci-nyuci piring. That was our last night, though. Jadi puas-puasin sebelum besok pulang.

November 28th

Jalur pulang kali ini berbeda dengan jalur berangkat. Umumnya dikenal dengan nama Jalur Senaru. Jam 7 pagi kami sudah angkat kaki dari tepi danau sambil agak bersedu sedan juga harus meninggalkan alam indah seperti ini. Untungnya, jalur pulang ini menyediakan berbagai view alam yang speechless-able. Baru berangkat sudah dikasih view danau pelangi. Makin naik makin outstanding deh.







Singkat cerita, kami tiba di pintu akhir sekitar pukul 17.30 WITA. Benar-benar jalan yang menguras stamina dan air minum. Masih untung di garis finish (Bjag Gawah) ada warung yang dijaga kakek. Meskipun harga-harganya agak ngaco. Maklumlah.

Pukul 20.00 kami tiba di pos akhir, betulan pos akhir, yang banyak penginapan-penginapan dan warung. Disuguhi teh manis hangat, kursi yang appropriate yang bukan lagi batu, mandi, dan nge-charge hp semuanya dihajar saat itu juga. Tadinya sih pengen nginep dulu semalam di sana, toh gratis ini. Tapi beberapa orang keukeuh mau ke Mataram malam ini juga, mengejar waktu besok mau ke Gili Trawangan. Jam 23.00 WITA kami cabs turun ke Mataram dengan mobil carteran yang superduper mahadur mahal. Beruntung kami bertemu Mbak Mimi dan si Ola. Kami dikenalkan pada satu tempat yang luar biasa dan di luar dugaan kalau di dunia ini ada tempat seperti ini. 


November 29th

Rumah Singgah Lombok Backpacker. Itulah namanya. Dengan Mamak dan Bapak yang sangat murah hati mau menampung para backpacker daripada luntang lantung di jalanan Lombok.hehe.. Saya kurang tahu detail sejarahnya sih, tapi usut punya usut, awalnya ada itu karena anaknya yang hobi traveling sekitaran lombok suka bawa teman-temannya ke rumahnya. Dari situ, mulailah Rumah Singgah ini diresmikan. Umurnya baru mau 1 tahun tanggal 22 Desember ini. Sayang sekali harus pulang cepat karena kantong yang makin menipis. Di sana bertemu kawan-kawan dari Borneo, Bang Dio, Rido, Juple, Mbak Tini, dll. Malahan kami ke Gili Trawangan barengan. Lumayan kan ongkos jadi murah.







Desember 2nd

Sudah waktunya saya harus cepat pulang. Si Jamal dan Bang Janes juga sudah pesan tiket pesawat dari Bali. Mbak ncum yang masa cutinya sudah habis juga. Tak lupa kami pamitan sama Mamak dan Bapak, juga semua penghuni rumah singgah. Semoga berkah selalu.

Jam 12.00 WITA, saya, Jamal dan Ban Janes sudah di Pelabuhan Lembar. Kami berpisah di warung kopi karena saya akan naik truk barang, mereka berdua naik kapal pertamina untuk ngejar pesawat secepatnya.


Di Pelabuhan Lembar inilah cerita ongkos yang super duper ngaco. Maksudnya, ongkos pulang saya bisa dibilang jauh lebih murah daripada ongkos berangkat. Semua itu karena curiosity (aseek). Iyalah. Coba kalau saya males nyari tau, saya pasti udah naik truk barang yang ongkosnya Rp 170rb langsung ke Banyuwangi, tanpa jaminan sampai tepat waktu dan yang paling utama, aman.

Di pelabuhan, saya kabur dari calo yang nguntit saya dari warung kopi tadi. Kabur saja lah. Saya beli tiket kapal sendiri. Rp 45rb untuk perjalanan sekitar 5 jam sampai pelabuhan Padang Bai Bali. Entah keajaiban apa, di kapal itu saya dipertemukan dengan seorang ibu-ibu beranjak nenek. Beliau sendirian, duduk di sampaing saya. Kami bercerita panjang lebar, soal background saya, domisili, tujuan ke lombok, dan sebagainya. Begitu juga beliau yang banyak bercerita soal keluarganya dan anak-anaknya. Satu ketika beliau hendak mengabari anaknya, namun HPnya habis pulsa. Saya tawarin pake hp sendiri, masa iya dibiarin. Eh dia malah ngasih saya Rp 50rb, yang katanya buat ganti pulsa. Semakin saya nolak semakin dia maksa "jangan ditolak!!" Selain jadi gak enak, jadi serba salah juga. Katanya, kalau liat saya, dia jadi inget anaknya dan membayangkan kalau anaknya lagi dalam posisi saya, sendiri, di daerah baru. Yang dia takutkan adalah anaknya kehabisan ongkos. Hiks. Saya terima deh itu uang seraya berdoa semoga rejeki beliau dimudahkan. 

Turun dari kapal barengan. Saya nuntun si ibu ke suaminya yang sudah menunggu di dermaga. Romantis gak tuh? Gokil deh. Bapaknya juga ramah. Tapi saya tidak bisa berlama-lama. Saya permisi duluan karena harus cabut ngejar angkutan ke terminal Denpasar. Akhirnya ketemu juga mobil carteran Rp 50rb. Dari terminal Ubung Denpasar, lanjut lagi bis menuju Pelabuhan Gilimanuk Rp 45rb. Sampai di sana hampir jam 2 malam. Untungnya masih ada kapal jam segitu yang menuju Pelabuhan Ketapang Banyuwangi dan seharga Rp 8rb saja. Tidur setengah jam cukup refresh energi. Nah kalau ditotal, ongkos pulang hanya sekitar Rp 148rb. Berbeda jauh sama ongkos berangkat yang terkesan tergesa-gesa dan ingin praktis (sekitar Rp 210rb). Jadi, sekarang saya makin percaya insting pribadi.

Tempat pertama yang dikunjungi di Banyuwangi saat dini hari tidak lain adalah Indomaret. Beli perbekalan secukupnya untuk menginap di staisun. Jam 3 pagi, gelar sleeping bag dan koran seadanya di bawa tulisan "Dilarang Tidur Di Sini". Ya mau bagaimana lagi wong kereta jam  pagi.



Solat subuh di masjid terdekat. Di sana ketemu beberapa ustad yang ternyata Pendaki Bersorban yang pernah diceritain si Juple waktu di Rumah Singgah. Dan ternyata memang benar. Setelah ngobrol beberapa lama, mereka bilang mereka juga habis dari Rinjani. Sekalian dakwah katanya. Cool!




Jam 5 pagi, kereta Tawang Alun jurusan Banyuwangi Malang siap berangkat. Perjalanan belum selesai. Tiba di Malang sekitar jam 2 siang. Lanjut cari angkot ke terminal, naik Bis lagi menuju Pare, menjemput barang-barang di koper. Keesokan harinya, berngakat lagi menuju Bandung dengan sisa-sisa tenaga.

Eh ternyata turun di Banjar, karena si Bapak nyiuruh mampir dulu. Dua hari di sana cuma ikut tidur, makan, dan mutihin kulit. Hari berikutnya baru pulang Ke Bandung.

Alhamdulillah selamat.

Sudah selesai (?)

Ternyata belum. Besoknya lanjut lagi ke Jakarta nikahan teman. Pulang tengah malam hari berikutnya. Semoga masih diberi kesempatan melancong ke tempat-tempat baru di kemudian hari. Thank God. 

Trip Intergalaksi

Selasa, 23 Juni 2020 03.22 dini hari Kisah ini saya tulis begitu bangun tidur dari mimpi yang tidak akan pernah saya lupakan. Mimpi yan...