12.3.15

Such an Irony

Alhamdulillah menang lomba. Ironisnya, tabungan saya tidak ada isinya.

***

March 12

Curi-curi waktu sepulang ngantor. Berhubung di luar juga masih hujan dan saya belum ada payung atau jas hujan. Parahnya, sepeda kesayangan sedang masa recovery karena gear depan yang miring which mean I have to walk along the road every morning and evening.

Baru submit lagi sebuah lomba kecil-kecilan dalam rangka mencoba peruntungan. Lumayan hadiahnya bisa buat nabung nikah. Tapi di luar itu semua, solely to push my self to work harder than before. Karena selama mengerjakan lomba ini, saya seperti bekerja di dua dunia. siang hari berkutat kerja kantor, malam hari garap yang lain. Ada lelahnya, tapi itu bukan untuk diratapi.

***

Throwback ke beberapa hari yang lalu.

March 7
Alhamdulillah menang lomba. Alhamdulillah!! Hadiahnya cukup gede + trip ke Afrika Selatan yippie! Dapet kabarnya dari si agri, kawan seperjuangan di itdg. Dipajang di fanpagenya Datsun. Can’t wait to see the upcoming news related to this. Yang jadi pertanyaan, bagaimana caranya mereka menghubungi saya, lha wong waktu submit lombanya aja gak ada ketentuan buat mencantumkan identitas atau nomor hp. Entahlah. Ini kan jaman serba edan. Pasti selalu ada cara. 

Euphoria itu masih terasa sampai hari ini. Sabtu. Meskipun gaji belum turun-turun sedangkan kebutuhan makin tak terbendung, saya tetap merasa fine-fine saja. Bahkan saya berencana pulang ke Bandung untuk menghadiri nikahan teman SMP bernama Dini. Sorenya, setelah otak dan hati berdebat sana sini,  saya berangkat jam 5 sore.


March 8
Pagi hari sudah necis. Salah bawa kemeja dari Bogor. Malah bawa punya si Rohman karena waktu itu dia nitip ke laundry. Tapi ada untungnya. Kemeja dia punya tidak membuat saya terlihat jadi pak RT atau pegawai MLM.

Jam 10 pagi si Romi jemput. Daripada saya bawa motor sendiri dan sampai di kondangan pun sendiri, ya mending bareng komplotan yang juga sama-sama masih sendiri. Ya, kadang kita merasa punya satu visi yang sama karena merasa senasib sepenanggungan. Ha ha ha.

Dan ternyata betul. Di gedung nikahan itu saya cuma sama si Romi masuk duluan karena nunggu yang lain pun alahmaak lama kali, bah. Salam-salam ke mempelai lalu turun kembali.

Pas turun baru muncul rombongan qosidah dari Ujungberung. Digawangi oleh Tika, Asni, Citra, Yuni, Ayu. Kawan-kawan SMP yang tidak banyak berubah. Kelihatannya. Tapi pasti ada perubahan besar dalam hidup mereka semua. Tika lagi ngerjain proyek di PAU ITB, pulang pergi Garut Bandung. Asni baru lulus S2 Manajemen, mau kerja juga. Citra, lagi bisnis online shop, doi juga bawa bodyguard mungkin siap melempar undangan nikahnya dalam waktu dekat. Menyusul kemudian si Adi KM gila. Doi sekarang mau lanjut S2 di ITB juga. Dapat beasiswa. Gokil. Dan terakhir Ayu. Saya terlalu banyak tahu soal beliau. Singkatnya, dia sedang Koass. Yaa semuanya terlihat tidak banyak berubah tapi sebenarnya banyak berubah. Mungkin karena kita saja yang telah lama tak saling berjumpa, jadi perubahan itu terasa begitu kentara.









Siang itu saya pulang cepat-cepat meskipun rasanya ingin juga berlama-lama berbincang dengan seorang kawan lama. Si Romi, yang saya tebengin ada acara, dan saya pun harus segera pulang ke Bogor jika tidak ingin ketinggalan bis terakhir. 

***

March 9-11

Belakangan perusahaan tempat saya bekerja sedang dilanda badai kencang terkait isu korupsi. Sudah beberapa hari ini banyak karyawan khususnya bagian keuangan yang lembur, merekap transaksi pembelian sana sini yang dilakukan dari tahun 2013. Well, it's definitely not that easy though. Akibatnya, gaji karyawan pun dipostpone hingga tanggal 11, menurut surat pengumuman. Tiap istirahat makan siang, saya, Pak Asep, dan Pak Ginting seringkali berbicara soal upah yang diterima karyawan di sini. Menurut mereka, pegawai lama, di sini ada dua kubu yang gap-nya seolah sangat lebar. Kubu ITB, dan non-ITB. Biarlah saya blak-blakkan, toh memang ini kenyataannya. Kubu ITB ini, seringkali dianakemaskan. Contoh, untuk perekrutan 1 orang alumni ITB, maka perusahaan akan memutus kontrak sekitar 2-3 pegawai lapangan non-ITB. Tentu semua itu berdasarkan perhitungan, terutama gaji pokok. Jadi bisa dibayangkan nilai seorang alumni ITB itu sebanding dengan 3 orang lapangan. Lalu, pembayaran gaji alumnus ITB biasanya didahulukan dan full payment. Yang lainnya terkadang setengahnya dulu, atau bahkan ditunda hingga berhari-hari. Mendengar cerita-cerita semacam itu, saya merasa segan jika membahas ata berguyon soal terlambatnya gaji. Saya masih bujang. Kebutuhan saya belumlah seberapa dibandingkan mereka, bapak-bapak yang umurnya 2 kali lipat saya yang sudah mempunyai anak istri. Sudah kebutuhan banyak, gaji tidaklah seberapa, ditunda pula. Tak terbayangkan jika saya harus hidup seperti itu nanti. Semoga Allah melancarkan rezeki saya, orangtua, dan semua umatNya.




No comments:

Post a Comment

Trip Intergalaksi

Selasa, 23 Juni 2020 03.22 dini hari Kisah ini saya tulis begitu bangun tidur dari mimpi yang tidak akan pernah saya lupakan. Mimpi yan...