3.3.15

Penantian-penantian

Februari 28

Penantian itu datangnya di awal. Yang di akhir itu bisa dua probabilitas : kebahagiaan atau penyesalan. Tapi penantian-penantian ini lain ceritanya. Bagi hampir separoh bangsa di dunia mayapada ini, akhir bulan adalah penantian besar. Yap, terutama bagi para buruh dan pekerja kantoran. Gajian. Bagi saya, ada penantian lainnya. Hari ini saya ada rencana bertemu teman lama. Harus hari ini, karena besok dia ke Jakarta dan saya pun entah kapan lagi pulang ke Bandung. Singkatnya, kami deal. Jika  meeting point dan waktu sudah ditentukan, maka nikmat Tuhan yang manakah yang kamu dustakan?

Seharusnya saya masuk kerja. Di sini, sabtu memang tetap masuk kerja, dan hitungannya lembur. Tetapi jam 9 pagi saya sudah bergegas ambil langkah pulang. Cegat angkot 72 ke arah terminal Cibinong tanpa ambil gaji terlebih dahulu, walaupun kenyataannya gajiannya di-postponed sampai sekitar tengah bulan depan.

Dari terminal cibinong jam 10. Traffic madness di daerah pintu tol citeureup buat saya ragu apakah bisa sampai bandung tepat jam 3 atau tidak, karena kami sudah janjian jam 3 di salman. Tapi beruntung saya naik bis MGI. Sepertinya mereka memang sudah di-training untuk bisa melakukan maneuver di bahu jalan tol. I can feel the thrill and excitement at the same time. Jadi, jam 2-an saya sudah sampai di sekitar padalarang. Sambil berharap-harap cemas.

Di windshield bis mulai tampak rintik hujan tapi tak seberapa. Tidur saya dibangunkan oleh pesan masuk di Line. “Maaf saya tidak bisa bertemu hari ini. Daerah rumah saya sedang hujan besar. Saya tidak diperbolehkan ke luar oleh orangtua.”

Perlu puluhan detik bagi saya untuk menyerap kata-kata tersebut. Ini sama sekali bukan kesukaan saya, atau mungkin setiap manusia di muka bumi ini. Terlalu mendadak. Dan bagi saya, alasan hujan itu bukan suatu excuse yang logis. Sudah terlalu banyak produk di dunia yang bisa mempermudah manusia melewati hujan tanpa basah kuyup. Tapi ini, sigh. Saya hanya balas : OK. Suatu ekspresi netral yang biasa saya keluarkan meskipun perasaan kesal berkecamuk.

Jam 3 sore. Saya baru sampai di Leuwi Panjang. Cuaca cerah. Tadinya saya berniat langsung pulang saja ke rumah. Tapi keinginan berkata lain. Saya tetap pergi ke meeting point yang telah ditentukan. Semata-mata menguji diri sendiri, sejauh mana saya bisa memegang komitmen pada tujuan meskipun saya tahu tidak akan menemui siapa-siapa di sana. Jam 16.08 WIB tiba di Masjid Salman.


Makan, minum, solat lalu pulang. Mungkin tidak bertemu teman lama, tapi balasannya bertemu Tuhan. Dan semoga Tuhan mengabulkan doa-doa umatNya.

***

Jarang-jarang sampai di Bandung ketika matahari masih bersinar. Biasanya larut malam. Momen ini saya manfaatkan untuk sekedar jalan-jalan sekitar Dago. Salman-Gedung Sate jalan kaki sambil sesekali mencari angkot pink ke arah Gede Bage. Duduk di bangku depan sambil masih memikirkan kekesalan beberapa jam yang lalu.

Saya inisiatif mencari tahu informasi cuaca kota Bandung dengan bertanya sana sini. Ibu bilang Cicaheum terang. Gasibu Dago juga terang walaupun ada bekas hujan. Pikiran saya langsung tertuju pada twitter yang selalu memperlihatkan info terbaru tentang apapun. Di sana saya cari tentang kondisi cuaca sekitar rumah kawan lama ini, karena dulu pernah ke sana beberapa kali.  Kenyataannya memang hujan besar disertai angin kencang dan banjir. Kasihan juga.

Malamnya, saya merasa agak terlalu kasar pada kawan lama saya ini karena sudah mengirim pesan soal pembatalan janji tadi. Semata-mata saya melatih keterbukaan saja, dan bukan emosi belaka. Memang kesal, tapi saya perlu belajar lebih banyak tentang mengatur ego dan menghormati hak orang lain. Saya juga mengerti mengapa orangtuanya melarangnya ke luar rumah. Bayangkan saja sendiri menjadi orang tua yang punya anak. Dan tentu suatu pelajaran juga buat kawan lama saya ini soal menepati janji dan mengurangi gengsi. Karena sejujurnya, saya berharap kawan lama saya ini mengontak saya lagi dan menawarkan waktu lain untuk bertemu. Tapi itu hanya angan-angan. Obrolan kami terputus di emoji jari kelingking yang saling berkaitan. Apakah ini pertanda baik-baik saja atau apa? Ah sudahlah. Sudah cukup sering seperti ini. Semoga Allah menguatkan dan melindungi  saya dan kawan lama saya juga. Aamiin.

***
 March 1

Rencananya sore ini saya pulang lagi ke Bogor diantar keluarga. Ayah ibu adek naik mobil pribadi. Berangkat jam 4 sore agar lolos dari peak hour macetnya tol Cipularang. Sepanjang perjalanan saya hanya tertidur karena malam sebelumnya begadang di sekre karang taruna. Jam 6 sudah di gerbang tol Cikunir. Saya pikir mudah saja. Tanpa disadari, mobil yang dikemudikan si bapak belok kiri ke arah cikunir. Literally. Maka terperosoklah kami dalam kemelut planet antah berantah bernama : Bekasi. Hehe.. Kidding, dude.

Macet membuat kami kebingungan dan tersesat di daerah Jatiasih. Niat mencari jalan kembali ke tol malah semakin jauh. Putar balik, baru ketemu tol lagi. Total time wasted : 1hour 26minutes. Dan perut semakin tak terkendali ingin segera muncrat.


Untungnya sudah masuk tol Jagorawi dan singgah sejenak di Rest Area Cibubur. Plong. Jam 22.00-an sampai di kontrakan. Mampir dulu ke tetangga kanan kiri yang masih bangun kemudian tidur hanya beralaskan karpet pinjaman. Mohon do'anya saja bapak ibu supaya anakmu ini kelak mempunyai rumah sendiri agar kita tak usah tidur di lantai lagi.

***

March 2

Kembali ke peraduan meski gajian masih sekitar 2 mingguan. Tapi janganlah gaji menjadi motivasi kita untuk bekerja. Bekerja hanya karena ridha Allah dan proses belajar setiap manusia.

No comments:

Post a Comment

Trip Intergalaksi

Selasa, 23 Juni 2020 03.22 dini hari Kisah ini saya tulis begitu bangun tidur dari mimpi yang tidak akan pernah saya lupakan. Mimpi yan...