23.2.15

Phobia

“Terkadang saat kita sudah benar-benar lelah dan menyerah, Allah bercanda dengan mengabulkan harapan yang sudah lama kita relakan.”

Itu sebuah update status seorang kawan di timeline Line. Mungkin kata ‘bercanda’ di atas agak terdengar sarkas. Mungkin maksudnya bahwa Allah selalu tidak terduga. Dia yang selalu mengawasi, yang paham timingnya kapan sebuah harapan dan do’a kita harus dikabulkan.

Februari 22

Cuaca begitu cerah. Saya hanya keluar untuk makan di warung padang dekat kantor setelah terbangun dari tidur pagi jam 2 siang, karena semalam sebelumnya begadang bersama tetangga. Sore tadi, di kamar kecil ini, saya hanya terlentang sambil memandang langit-langit kamar. Lamunan saya  tentang hidup ini kemudian diinterupsi oleh panggilan telepon ayah. Beliau bertanya kabar dan mengobrol sana sini terutama tentang rencana bulan depan yang akan berkunjung ke sini. Panggilan ditutup, saya kembali melanjutkan lamunan.

Langit-langit kamar kontrakan terlihat seperti cermin. Ada pantulan diri saya di sana. Melihat manusia perawakan cungkring yang tidak tampan-tampan tetapi cukup keren membuat saya geer sendiri. Di langit-langit itu saya pun melihat diri saya lebih dalam. Terlihat dari luar, kau memang seperti banyak kawan tapi sebenarnya ada ruang sepi yang amat luas di dalamnya.

Menulis tentang kesepian membuat saya linglung, tidak tahu harus memulai dari mana. Kalau saya mulai dari perempuan yang saya taksir, selalu terkesan cheesy ketika dibaca ulang. Kalau saya mulai dari kegelisahan hati, terlalu drama. Kalau saya mulai dari… ah kebanyakan mikir. Mungkin harus mulai dari sekarang.

Ini tentang hati yang seolah diayun-ayun oleh kora-kora dufan. Akhir-akhir ini saya kembali diajak bernostalgia oleh kenangan-kenangan masa SMP SMA dan awal-awal perkuliahan. Nostalgia sialan. Karena datangnya keroyokan di saat saya perfectly lonely. Ada monitor besar di otak saya yang sedang memutar film lama di mana di dalamnya terdapat scene-scene yang saya hafal. Misalnya, scene di jalan sumur bandung, habis magrib, dan cuaca hujan. So melodrama. Saat itu, jujur saja, saya sedang tergila-gila pada perempuan ini. Yang saya tunggu ketika ia pulang lesnya. Yang saya harap saya bisa mengantarnya pulang tapi dia berlalu begitu saja di depan mata. Atau scene di sebuah gigs band favorit yang diadakan salah satu universitas. Atau scene ketika saya adalah anak yang tidak tahu sopan santun di mata orang tuanya. Dan scene-scene lainnya. Dan semuanya sama. Tentang seorang perempuan yang pernah lewat dalam hidup saya. Perempuan yang dulu saya harap,yang pernah saya kejar hingga membuat lelah, yang kemudian saya relakan, tenggelamkan dalam kesibukan saya, dan kini , dengan izin Allah, harapan ini kembali menyeruak ke permukaan.

Di kamar ini, sore tadi. Pembicaraan dengan langit-langit itu sejatinya hanya satu arah, namun saya merasakan ada obrolan sengit. Ini tentang cara pandang saya pada perempuan yang saya kagumi, sukai, hingga saya (seolah-olah) perjuangkan (habis-habisan). Apakah benar saya mencintai perempuan dan saya membutuhkan kasih sayangnya atau hanya nafsu belaka? Apakah saya butuh cintanya atau hanya ingin memilikinya dalam konteks hubungan saja?

Postingan saya yang lalu terkesan sangat kental dengan aroma drama. Tutur kata dalam tulisan saya seolah-olah seperti pria yang mendamba cinta pada wanita-wanita yang pernah dijumpai dalam hidupnya. Saya pernah melakukan hal ini itu padanya, saya sedang merasa seperti ini itu, hingga saya seolah-olah punya rencana matang bahwa saya ‘akan kembali’ padanya dengan kondisi yang lebih baik. Entah baik macam apa. Setan pun tak tahu itu. Saya merasa bahwa saya belum cukup paham tentang cinta. Pria matang atau dewasa itu relatif. Semakin lama saya memandang langit-langit itu, semakin besar gaung yang terdengar itu. “Sudah dewasakah saya dalam menyikapi urusan hati?”

Setiap dewasa, laki-laki dan perempuan tentu berharap mendapat sosok jodoh yang ideal di masa depannya. Seorang teman hidup sampai maut memisahkan. Begitu kata lagu-lagu dan syair puitis. Saya pun ingin seperti itu. Bahkan saya ingin mencintai seorang perempuan sampai mati lalu bertemu lagi di surga kelak.

Kora-kora Dufan ini seperti tidak mau berhenti. Bahkan semakin kencang. Ingin sekali saya menjajaki kembali hubungan asmara-asmara masa muda. Namanya juga manusia. Tapi menyadari  akan ketakutan saya pada kendali nafsu, dan juga umur sudah bukan remaja, saya selalu dihadapkan pada preseden-preseden buruk masa lalu atau kemungkinan-kemungkinan di masa datang. Entah itu baik atau buruk untuk saya dan juga pasangan saya nantinya. Hal ini yang menjadi pertimbangan saya untuk menerima hati perempuan pilihan yang nantinya akan menjadi partner seumur hidup saya. Lewat jalur resmi yang namanya pernikahan.

Langit-langit kamar ini juga mencerminkan saya seolah-olah sambil bertanya, “Sudah sesiap apa kamu untuk menjadi imam? Bagi istrimu, anak-anakmu, keluargamu.” Karena kehidupan rumah tangga bukan hanya sekadar cinta. Itu yang masih menjadi bahan renungan saya akhir-akhir ini. Semoga Allah memberi kemudahan dan cahaya terang bagi setiap jalan saya. Aaamiin.



Pagi ini di kontrakan



No comments:

Post a Comment

Trip Intergalaksi

Selasa, 23 Juni 2020 03.22 dini hari Kisah ini saya tulis begitu bangun tidur dari mimpi yang tidak akan pernah saya lupakan. Mimpi yan...