19.2.15

Antara Ibu Pertiwi, Anaknya, Cucunya dan Cicitnya

Membaca adalah aktivitas menuliskan sesuatu dalam benak, sedangkan menulis itu membacakan apa yangsudah ada di dalam benak. Menulis itu seperti membacakan ulang apa yang ada dalam benak. Saya senang membaca tapi tidak pandai menulis bagus, apalagi disertai kajian mendalam. Bahkan boleh dibilang setiap kali saya mencoba menulis, sebagian besar berupa opini yang saya bentuk dari comotan pengalaman dan kondisi yang terpantau, kecuali tugas akhir. Itu pun masih disertai kejanggalan-kejanggalan tata bahasa. Seringkali saya temukan tulisan-tulisan yang kontennya bagus tapi ada saja komentar-komentar yang menyebutkan bahwa kajiannya belum dalam. Saya kurang begitu mendalami kajian-kajian begitu. Kalau mengaji ya ngerti lah. Jadi, andaikata tulisan ini kurang berkenan, atau saya belum banyak mengaji, bolehlah kita perbincangkan, atau boleh kontak saya, kalau cocok ya kita lihat ke depannya.

***

Ibu Pertiwi. Sering sekali saya dengar personifikasi itu untuk negeri ini. Ada lagunya juga. Namun sayang, lagu tentang ibu yang satu ini, baru bait pertama saja sudah “sedang bersusah hati”. Tanpa bermaksud mengurangi rasa hormat saya pada Ibu Sud, seandainya dulu beliau sudah bertemu Indra Bekti, mungkin ceritanya lain. “Kulihat Ibu pertiwi, hidup sejahtera di khatulistiwa.” Energinya positif duluan.

Entah kebetulan atau bagimana, lagu Ibu Pertiwi sangat representatif dan ceriminan dengan kondisi Indonesia akhir-akhir ini. Ibaratnya Indonesia adalah Ibu, dan beliau memiliki 253.609.643 anak cucu cicit (BPS, 2014), sang ibu sedang pusing. Anak-anaknya tidak akur, anak yang paling tua gak mau ngalah, cucu-cucunya yang lagi merantau ke negara lain gak pulang-pulang, cicitnya bukannya sekolah malah hobi jadi groupis dahsyat, rumahnya kebanjiran, perhiasan emasnya dirampok garong, kebunnya kebakaran, aduh kasihan. Pisan.

Rumah si Ibu memang nyaman. Terlalu nyaman malah. Letaknya di belahan dunia yang terdapat 2 musim yang saling mengimbangi. Kolamnya banyak ikannya. Kebunnya banyak sayuran dan buah. Pokoknya serba nikmat. Tiada badai tiada topan kau temui, ikan dan udang menghampiri dirimu (Koes Plus, 1960). Saking terlalu nyaman, mereka kadang lupa bersyukur. Saking terlalu nyaman, mereka tidak mau ke mana-mana. Saking terlalu nyaman, jadi merasa fine-fine saja kalau dirampok sedikit saja, toh masih banyak ini. Begitu mungkin pikirnya. Namun, segala yang dimiliki akan terasa begitu berharga ketika telah kehilangan.

***

Ibu pusing, tapi ini bukan masalah rumah tangga biasa Mengurus anak cucu cicit yang bergiga-giga banyaknya tidak semudah mengurus-kan badan. Maka sang Ibu tentu punya cara. Ketika dulu masih muda dan anak-anaknya bisa dihitung jari, Ia mengasuh dan mendidik mereka seperti memperlakukan raja. Dididik menurut adat istiadat agar kelak tak jadi kacang lupa akan kulitnya, diberi asupan nutrisi terbaik, disekolahkan di sekolah-sekolah terbaik di luar negeri dengan harapan kembali ke rumah membawa kemaslahatan dunia akhirat bagi keluarga sang Ibu. Kondisi pada masa kini pun tak jauh berbeda. Sang Ibu tetap mengaplikasikan teknik parenting ini pada cucu-cucu dan cicit-cicitnya. Soal perkembangan zaman, si Ibu paham betul soal penyesuaian ini itunya.

***

2015. Waktu arisan di Bu Nippon bersama Bu Amrik, Bu Fin, Bu Van Basten, Bu Ausie, Bu Kajol, Bu Sancay, dan Bu Berlin, di situ Ibu Pertiwi kadang merasa sedih ketika mendengar cerita-cerita Ibu-ibu lainnya tentang keshalehan anak cucu cicitnya pada orang tua. Bu Nippon sendiri misalnya. Anak-anaknya sudah bisa memberikan robot asisten pembantu rumah tangga supaya gak kesusahan waktu mencuci baju. Cucunya Bu Amrik juga sudah membuatkan mobil listrik Tesla biar ibunya gak usah ngantri-ngantri lagi di pom bensin atau kehabisan. Anak cucu Bu Fin malah membuat sekolah-sekoIah terbaik di dunia yang membuat anak cucu cicit tetangga iri dengan kecerdasan mereka. Dengan begitu, Ibu-ibu yang lain tentu ingin menyekolahkan anak cucu cicitnya di sana. Ibu-ibu yang lain sama-sama punya kebanggan tersendiri pada anak-anak cucu-cucu cicit-cicitnya, meskipun terkadang mereka bandel-bandel atau susah diatur. Semua cerita itu sedikit banyak membuat Ibu Pertiwi menghela nafas. Mencoba recall ingatannya tentang pengabdian apa saja yang pernah anak cucu cicitnya perbuat untuknya. Sesungging senyum disertai air mata membuat Ibu Pertiwi pulang duluan dari arisan.

***

Dosen saya pernah meluncurkan statement soal ke-chaos-an sosial yang akan terjadi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat di negara ini. Karena minoritas-minoritas akan bergerak sendiri tanpa kendali, kehilangan kepercayaan pada pemimpin-pemimpin, dan faktor-faktor lainnya yang entah apa saja itu, saya pun kurang mendalami hal tersebut. Ketika ada suatu komunitas/masyarakat/bangsa yang besar dan mayoritasnya menaruh harapan pada satu orang pemimpin terdepan, yang dipercayai membawa kesejahteraan, bisa dibilang tahap ‘menyamakan arah dan tujuan’ itu sudah didapat. Tetapi satu orang terdepan ini tidak bisa melakukan semuanya sendirian untuk mengajak umatnya yang berada di jalur paling belakang. Perlu ada orang yang handal dan amanah untuk melakukan tugas ini. Orang handal ini pun pemimpin juga. Presiden, Menteri, Dirjen, Gubernur, Walikota, Bupati, Camat, Lurah, Ketua RW, Ketua RT.

Sudah hampir 3 tahun saya terlibat aktif di organisasi Karang Taruna unit RW dan Kelurahan. Sejak masih menjalani kuliah tingkat 3 sampai bekerja sekarang, perbedaan kehidupan sosial yang saya rasakan begitu signifikan. Dulu ketika kuliah, tergabung di beberapa organisasi kemahasiswaan kampus adalah pengalaman berharga yang saya kira bisa saya terapkan saat hidup di masyarakat kelak. Kenyataannya amat berbeda. Jauh sekali. Entah karena saya merasa lingkungan rumah dan kampus itu berbeda jauh atau bagaimana. Di kampus yang (alhamdulilah) saya dipertemukan dengan orang-orang hebat nan pintar dari berbagai pelosok negeri yang membuat pola pikir saya berkembang banyak. Entah apa jadinya kalau saya tidak dapat kesempatan bersekolah di perguruan tinggi, mungkin saya akan senang mengedit-edit gambar emo atau foto tampak atas dan efek motion blur 40 %. Sedangkan di sekitar rumah, jujur saja saya sulit ‘menyamakan arah dan tujuan’ bersama ini karena kendala pola pikir yang berbeda. Saya harus menyamakan komunikasi, bahasa, kosakata, budaya dengan (maaf) teman-teman yang belum seberuntung saya bisa sekolah tinggi. Memang ada juga kawan seumuran yang juga berkuliah di perguruan tinggi. Ada yang bergabung dengan sungguh-sungguh, tapi ada juga yang acuh. Diajak berkegiatan ini itu, ada saja excuse. Mungkin lain ceritanya kalau dia sedang PKL atau Kuliah Lapangan di mana dirinya akan mau berbaur dengan preman, tukang mabok, atau kuli panggul di daerah-daerah karena ada tuntutan kuliah saja. Mungkin.

Saya malu. Malu kalau dibilang sarjana perguruan anu yang selalu dipandang wah oleh orang lain tapi sumbangsihnya pada (minimal) lingkungan sekitar rumah/kosan/kontrakan saja hanya sumbangan rutin bulanan. Malu kalau kenalan tetangga saja hanya 1-2 rumah kanan kiri depan belakang. Itu pun diperluas ke 7 rumah sebelah utara kalau ada perlunya saja. Pernah seperti itu? Masih seperti itu? Malu juga nggak kalau begitu? Kalau ketika mati, lalu yang mengurusmu hanya orang-orang 1-2 rumah kanan kiri depan belakang saja bagaimana? Naudzubillah.

***

Ibu pertiwi sudah terlalu lelah dikhianati anak-anaknya yang dulunya bercita-cita setinggi angkasa tapi sekarang mengobral asset-aset pribadinya ke tetangga. Ibu pertiwi masih punya cicit-cicit hebat. Guru, dokter, engineer, scientist, atlet, seniman, dan lainnya. Di dalam rumah juga di luar rumah. Sama-sama belajar tapi yang belajar di luar rumah sejatinya mendapatkan lebih daripada mereka-mereka yang di dalam rumah saja. Mungkin kelak akan datang saatnya yang di dalam rumah juga mengitari bumi dan belajar banyak hal. Namun ketika sudah tiba waktunya pulang, pulanglah. Ambil kemudi yang selama ini dalam mode auto-pilot. Buat negara ini menjadi sehebat negara-negara yang ada di foto-foto kawan-kawan. Menjadi presiden, menteri, dirjen, walikota, camat, lurah, ketua RT, ketua RW, dokter, guru, pedagang sarung, seniman, motivator, semua profesi bukan jadi soal. Kalaupun berniat mulia kembali ke kampung asal, unit-unit terkecil masyarakat, lebih bagus bukan kepalang. Ayomi tanpa harus menggurui, bimbing tanpa merasa ‘paling’, mengajak tanpa harus memaksakan kehendak. Toh di sana juga arena belajar. Belajar hidup dan ladang amal. Pengabdian tidak harus dibatasi dari latar belakang pendidikan. Jadi lakukan apapun selagi mau dan mampu semata-mata untuk orang tua, keluarga, ayah, ibu, juga Ibu Pertiwi.

Memang manusia, apalagi laki-laki tidak senang didikte, dipengaruhi, atau diperintah apalagi oleh orang yang dianggap biasa saja. Berbeda dengan orang yang dianggap teladan. Kalau bisa, seseorang akan rela diceramahi oleh teladan ini berjam-jam demi kebaikannya. Tetapi sebenarnya apa-apa yang disampaikan seorang teladan pun bukanlah suatu dikte, bukan pula perintah untuk mengubah seseorang, tapi menyadarkannya tentang perannya sebagai manusia. Dengan kesadarannya, manusia berpikir. Tulisan seperti ini sepertinya lebih pantas disampaikan oleh seseorang yang pencapaiannya sudah bermacam-macam seperti Pak Habibie, Pak Ridwan Kamil, Luffy, atau Jack Sparrow. Bukan oleh saya yang masih mencapai hati kamu saja belum bisa. Tapi saya mencoba saja sharing sesuatu yang semoga berguna.

Sebaik-baiknya manusia , manusia yang paling banyak memberi manfaat bagi orang lain. (Nabi Muhammad kepada Ali bin Abi Thalib lalu sampai ke Ridwan Kamil, tapi orang-orang pada mengiranya ini quote dari Pak Emil). Kayu mati & lapuk masih memberikan manfaat, menghasilkan kehidupan.

***

Mengutip teman saya, cicitnya Bu Nippon, Si Luffy dari SD One Piece pernah bilang : “Mun urang pas keur ngusahakeun, nya sahenteuna urang geus usaha.” Atau dalam bahasa Sunda edisi Kamisnya : “If I die trying, at least I tried.”

No comments:

Post a Comment

Trip Intergalaksi

Selasa, 23 Juni 2020 03.22 dini hari Kisah ini saya tulis begitu bangun tidur dari mimpi yang tidak akan pernah saya lupakan. Mimpi yan...