March 20
Ada banyak hal yang ingin saya tulis akhir-akhir ini. Hanya saja waktu yang tak bisa kompromi. Pola hidup saya seperti para pekerja pada umumnya yang berangkat pagi pulang petang. Tapi saya harus kembali 'kerja' sepulang kerja. Ada tetangga yang inta dibuatkan gambar untuk tunangannya. Ada pula tetangga yang berulang tahun dan juga minta dibuatkan gambar. Ada pula teman yang minta dibuatkan logo, yang mungkin menurutnya mudah saja dan gratis. Tapi seringkali mintanya lebih. Bahkan tanpa ucapan terima kasih di akhir pertukaran email. Walaupun sudah terbiasa, namun semua itu terasa berat rasanya jika sedang merasa benar-benar sendirian. Seringkali keluhan-keluhan atau kekesalan terlontar begitu saja. Bukan pada individu-individu yang bersangkutan, tetapi karena ketidak-kuasaan diri menghadapi rentetan kesibukan dan juga pikiran-pikiran yang lain.
***
24 tahun. Niat hati ingin mencoba mengetuk pintu hati seseorang, belum apa-apa sudah dibunuh harapan.
Kekecewaan saya tempo hari soal janjian dengan seseorang menambah folder di otak. Ini soal hati. Dan perkara macam ini enggan saya endapkan lama-lama karena tiada guna. Maka dari itu saya buat ramuan kimia buatan yang saya cekoki ke otak. "Laki-laki punya 3 kesempatan mengajak bertemu seorang perempuan. Jika semua kesempatan sudah habis, sudah bisa disimpulkan bahwa she's just not that into you". Buat apa juga saya berharap banyak pada perempuan yang tidak mau tahu seberapa banyak pengorbanan saya terhadapnya. Memang perempuan itu bergengsi tinggi, tapi terlalu tinggi malah membuatnya terlihat pongah.
***
Beruntungnya saya. Hidup di lingkungan yang diisi orang-orang sederhana namun kaya jiwa. Sebelah kontrakan ada sebuah rumah sederhana. Kalau saya dulu tidak diajak si Rohman, mungkin mana tau di situ ada penghuninya. Bu Yanti dan Pak Sam atau Babeh. Pasangan ini punya 3 anak perempuan yang cantik-cantik : Wisya, Geisya, Tasya. Kalau sedang jenuh, sering saya berkunjung ke rumah mereka. Ngobrol-ngobrol sampai larut malam. Topik apa saja tak jadi soal. Di sini saya bertemu keluarga baru yang mau menerima siapapun apa adanya.
Malam minggu kemarin misalnya. Saya tak pulang ke Bandung. Masak-masak di rumah Babeh. Pempek alakadarnya namun nikmat rasanya. Sampai jam 2 pagi baru pulang.
Pagi-paginya, si Geisya sudah ngetok-ngetok pintu belakang. Pagi ini saya ajak dia dan si Kaka ke IKEA. Si Rohman gajadi. Dari rumah naik kereta sampai Pasar Minggu lalu dijemput si Hasbi. Seharian keliling store belum puas. Saya beli beberapa item seperlunya saja, padahal semaunya itu lebih banyak.
***
Sudah sepantasnya manusia mensyukuri nikmat-nikmat Tuhan. Bukan hanya ketika mendapat sesuatu yang sifatnya materil, tapi non-materil. Desainer Kampung. Saya syukuri label itu dengan sepenuh hati. Siapa bilang bekerja di pinggiran kota banyak pilunya? Malah banyak serunya.
***
March 22
Pulang kantor langsung cabut ke Bandung. Agenda karang taruna yang sudah lama direncanakan. Tadinya ini bukan agenda besar, lebih tepatnya hanya mengembalikan eksistensi Karta di lingkungan rumah. Eh kebetulan dari kota ada agenda Kerja Bakti Keren. Ya sekalian aja kita keren.
And suddenly, something happens.
Memang bukan suatu hal yang luar biasa sih. tapi buat karang taruna yang masih balita dan keabisan dana, ini ibarat angin surga dan achievement luar biasa. hahaha.
***
March 24
Baru pulang dari rumah tetangga. Anaknya si Babeh yang
bungsu, Tasya, ulang tahun. Saya ngasih kado karikatur. Memang officially
retired dari tahun kemarin, tapi itu dalam konteks bisnis. Itu artinya, kalau
saya buat karikatur, itu bukan berarti jilat ludah sendiri. Ini soal hubungan
sosial saja. Lagipula saya tak ambil profit sepeserpun dari proyek ini.
March 25
Terkadang kita salah kaprah soal prinsip rezeki. Mengucap
syukur Alhamdulillah jika mendapat rezeki nomplok uang jutaan rupiah, entah itu
dari gaji, hadiah, atau hibahdari seseorang . Itu yang lumrah di ras kita.
Padahal, ban motor yang tak pernah bocor adalah rezeki. Anak soleh solehah
adalah rezeki. Orang-orang di sekitar kita yang peduli pada kita adalah rezeki.
Penglihatan yang normal di usia muda adalah rezeki. Dan masih banyak rezeki
lain yang terkadang kita lupa untuk mensyukurinya.
Ini soal tetangga saya. Si babeh dan keluarganya. Sore tadi habis
lari, saya ke rumahnya, diajak makan duku sambil ngobrol-ngobrol soal si Kaka
yang mau magang di perusahaan tempat saya bekerja. Kebetulan ada si Rohman
juga. Seperti biasa, ngobrol sana sini sampai maghrib yang dijadikan alasan
untuk pamit terlebih dulu. Ba’da isya ke sana lagi. Everything looks so good
until I realize something heartbreaking. Di meja depan, tempat biasa kami
beradu pembicaraan, ada sepiring singkong. Di meja makan juga. Saya pikir
memang cemilan. Biasanya, Ibu di rumah selalu buat cemilan singkong kalau
sedang ada maunya singkong. Kalau sedang
mood, ditambah keju. Tapi ini bukan cemilan. Ini makanan utama. Si kaka bilang
belum makan dari siang. Si Geisya katanya udah makan siang ditraktir cowonya di
sekolah, nasi kuning. Samar-samar saya mengintip di balik tembok, si Rohman
lagi dibisikin sama si Ibu. Entah apa katanya. Setelah di luar, baru-baru saya
tahu, di dapur hanya ada raskin.
Kisruh para pimpinan di Jakarta belum menunjukkan perubahan
ke arah yang lebih baik. Dampaknya terasa di mana-mana tapi media tak banyak berbicara.
Mati rasa. Salah satu contoh realnya itu ya kehidupan si Babeh dan keluarganya
ini. Jika jaman dulu, pegawai negeri sipil dianggap suatu profesi prestisius,
maka di hadapan saya sekarang, imej itu tak ubahnya seperti televisi kotak
sabun yang sudah hitam putih gambarnya. Pudar oleh moderenitas dan gempuran
produk KW China. Berbulan-bulan gaji tak turun. Kondisinya sekarang, semua
anaknya masih bersekolah dan kuliah. Yang kuliah mau magang, yang sekolah kelas
3 SMA mau kuliah, dan yang bungsu kelas 3 SMP mau ke SMA. Things aren’t going
so well and Babeh couldn’t predict that this hard situation is happened
earlier.
Weekend ini saya berencana ke Bandung. Wisuda, balikin HD si
Abeng yang tak sengaja saya rusak, dan Ulang Tahun si Ibu. Semua itu sepertinya
harus saya lewati saja jika melihat situasi sekarang ini. Saya bisa saja acuh
pada sekeliling saya and don’t give a single glance to what happened with them.
Tapi saya toh masih sangat mau jadi orang waras dan berharap kewarasan saya ini
long-lasting sampai saya tutup usia.Kewarasan untuk peduli, apalagi ditambah
ikhlas, itu lebih sulit. Jika suatu hari nanti ketika saya punya keluarga dan
anak-anak, jika suatu hari saya mengalami kondisi seperti itu, I would say that
I got used with it, sudah pernah melihat dan ikut merasakan. Saldo di atm saya
habiskan dan saya bagi 2 : untuk bertahan hidup sampai akhir bulan dan untuk
sekedar bantuin si Babeh. Bukan mentahnya saya kasih duitnya, tapi kata Si
Rohman kita beliin aja semacam sembako. Good idea.
Jam 9 malam. Untungnya Pasar Pucung masih ada beberapa yang
buka. Saya suruh ikut si adek, gesa, kaka buat belanja. Malam itu kami makan
alakadarnya tapi begitu nikmatnya. Alhamdulillahilladzi at amana wasaqona
waja’alana minal muslimin. Hope things will be better soon ya Beh.
Saya selalu kagum pada keluarga yang masih bisa menebar
senyum dan kebaikan meskipun dalam masa sulit. Apalagi anak-anaknya yang mau
mengerti keadaan. Memang, anak-anak si Babeh itu banyak maunya, buset. Mau HP
baru, motor, gazebo belakang rumah, mobil baru, dan banyak barang tersier
lainnya yang selalu jadi bahan cerita malam. Tapi toh semua itu hanya keinginan
selewat. Begitu melihat keadaannya sekarang ini, mereka mau mengerti dan maklum
tanpa harus diminta.
Bukan suatu kebiasaan, saya dan keluarga berkumpul di satu
meja berbicara soal hidup, mau yang susah-susah atau senang-senang.
Rasa-rasanya itu suatu kebiasaan asing di keluarga saya. Padahal sudah
seharusnya itu dilakukan. Makanya, terkadang saya hanya banyak diamdi meja
depan rumah si Babeh ketika orang lain berbicara hidupnya masing-masing. Mungkin
hanya melempar pertanyaan sesekali atau menunjukkan ekspresi keseruan.
Seringkali ingin ikut ambil bagian, tapi sadar kalau kehidupan keluarga saya
bukan sesuatu yang begitu manis untuk diceritakan pada khalayak ramai begini.
Menelpon ibu begitu melegakan di tengah kesepian. Ulang
tahunmu sebentar lagi. Sepertinya anakmu ini tak bisa mengucapkan secara
langsung. Sepertinya. Semoga ada rezekinya biar anakmu ini bisa pulang bawa
sayang. Amin.
No comments:
Post a Comment