25.3.15

Rezeki. Bukan Soal Materi

March 20

Ada banyak hal yang ingin saya tulis akhir-akhir ini. Hanya saja waktu yang tak bisa kompromi. Pola hidup saya seperti para pekerja pada umumnya yang berangkat pagi pulang petang. Tapi saya harus kembali 'kerja' sepulang kerja. Ada tetangga yang inta dibuatkan gambar untuk tunangannya. Ada pula tetangga yang berulang tahun dan juga minta dibuatkan gambar. Ada pula teman yang minta dibuatkan logo, yang mungkin menurutnya mudah saja dan gratis. Tapi seringkali mintanya lebih. Bahkan tanpa ucapan terima kasih di akhir pertukaran email. Walaupun sudah terbiasa, namun semua itu terasa berat rasanya jika sedang merasa benar-benar sendirian. Seringkali keluhan-keluhan atau kekesalan terlontar begitu saja. Bukan pada individu-individu yang bersangkutan, tetapi karena ketidak-kuasaan diri menghadapi rentetan kesibukan dan juga pikiran-pikiran yang lain.

***

24 tahun. Niat hati ingin mencoba mengetuk pintu hati seseorang, belum apa-apa sudah dibunuh harapan.

Kekecewaan saya tempo hari soal janjian dengan seseorang menambah folder di otak. Ini soal hati. Dan perkara macam ini enggan saya endapkan lama-lama karena tiada guna. Maka dari itu saya buat ramuan kimia buatan yang saya cekoki ke otak. "Laki-laki punya 3 kesempatan mengajak bertemu seorang perempuan. Jika semua kesempatan sudah habis, sudah bisa disimpulkan bahwa she's just not that into you". Buat apa juga saya berharap banyak pada perempuan yang tidak mau tahu seberapa banyak pengorbanan saya terhadapnya. Memang perempuan itu bergengsi tinggi, tapi terlalu tinggi malah membuatnya terlihat pongah.

***

Beruntungnya saya. Hidup di lingkungan yang diisi orang-orang sederhana namun kaya jiwa. Sebelah kontrakan ada sebuah rumah sederhana. Kalau saya dulu tidak diajak si Rohman, mungkin mana tau di situ ada penghuninya. Bu Yanti dan Pak Sam atau Babeh. Pasangan ini punya 3 anak perempuan yang cantik-cantik : Wisya, Geisya, Tasya. Kalau sedang jenuh, sering saya berkunjung ke rumah mereka. Ngobrol-ngobrol sampai larut malam. Topik apa saja tak jadi soal. Di sini saya bertemu keluarga baru yang mau menerima siapapun apa adanya.

Malam minggu kemarin misalnya. Saya tak pulang ke Bandung. Masak-masak di rumah Babeh. Pempek alakadarnya namun nikmat rasanya. Sampai jam 2 pagi baru pulang.


Pagi-paginya, si Geisya sudah ngetok-ngetok pintu belakang. Pagi ini saya ajak dia dan si Kaka ke IKEA. Si Rohman gajadi. Dari rumah naik kereta sampai Pasar Minggu lalu dijemput si Hasbi. Seharian keliling store belum puas. Saya beli beberapa item seperlunya saja, padahal semaunya itu lebih banyak.

***

Sudah sepantasnya manusia mensyukuri nikmat-nikmat Tuhan. Bukan hanya ketika mendapat sesuatu yang sifatnya materil, tapi non-materil. Desainer Kampung. Saya syukuri label itu dengan sepenuh hati. Siapa bilang bekerja di pinggiran kota banyak pilunya? Malah banyak serunya.

***

March 22

Pulang kantor langsung cabut ke Bandung. Agenda karang taruna yang sudah lama direncanakan. Tadinya ini bukan agenda besar, lebih tepatnya hanya mengembalikan eksistensi Karta di lingkungan rumah. Eh kebetulan dari kota ada agenda Kerja Bakti Keren. Ya sekalian aja kita keren. 


















And suddenly, something happens.



Memang bukan suatu hal yang luar biasa sih. tapi buat karang taruna yang masih balita dan keabisan dana, ini ibarat angin surga dan achievement luar biasa. hahaha.

***

March 24

Baru pulang dari rumah tetangga. Anaknya si Babeh yang bungsu, Tasya, ulang tahun. Saya ngasih kado karikatur. Memang officially retired dari tahun kemarin, tapi itu dalam konteks bisnis. Itu artinya, kalau saya buat karikatur, itu bukan berarti jilat ludah sendiri. Ini soal hubungan sosial saja. Lagipula saya tak ambil profit sepeserpun dari proyek ini.




March 25

Terkadang kita salah kaprah soal prinsip rezeki. Mengucap syukur Alhamdulillah jika mendapat rezeki nomplok uang jutaan rupiah, entah itu dari gaji, hadiah, atau hibahdari seseorang . Itu yang lumrah di ras kita. Padahal, ban motor yang tak pernah bocor adalah rezeki. Anak soleh solehah adalah rezeki. Orang-orang di sekitar kita yang peduli pada kita adalah rezeki. Penglihatan yang normal di usia muda adalah rezeki. Dan masih banyak rezeki lain yang terkadang kita lupa untuk mensyukurinya.

Ini soal tetangga saya. Si babeh dan keluarganya. Sore tadi habis lari, saya ke rumahnya, diajak makan duku sambil ngobrol-ngobrol soal si Kaka yang mau magang di perusahaan tempat saya bekerja. Kebetulan ada si Rohman juga. Seperti biasa, ngobrol sana sini sampai maghrib yang dijadikan alasan untuk pamit terlebih dulu. Ba’da isya ke sana lagi. Everything looks so good until I realize something heartbreaking. Di meja depan, tempat biasa kami beradu pembicaraan, ada sepiring singkong. Di meja makan juga. Saya pikir memang cemilan. Biasanya, Ibu di rumah selalu buat cemilan singkong kalau sedang ada maunya singkong.  Kalau sedang mood, ditambah keju. Tapi ini bukan cemilan. Ini makanan utama. Si kaka bilang belum makan dari siang. Si Geisya katanya udah makan siang ditraktir cowonya di sekolah, nasi kuning. Samar-samar saya mengintip di balik tembok, si Rohman lagi dibisikin sama si Ibu. Entah apa katanya. Setelah di luar, baru-baru saya tahu, di dapur hanya ada raskin.

Kisruh para pimpinan di Jakarta belum menunjukkan perubahan ke arah yang lebih baik. Dampaknya terasa di mana-mana tapi media tak banyak berbicara. Mati rasa. Salah satu contoh realnya itu ya kehidupan si Babeh dan keluarganya ini. Jika jaman dulu, pegawai negeri sipil dianggap suatu profesi prestisius, maka di hadapan saya sekarang, imej itu tak ubahnya seperti televisi kotak sabun yang sudah hitam putih gambarnya. Pudar oleh moderenitas dan gempuran produk KW China. Berbulan-bulan gaji tak turun. Kondisinya sekarang, semua anaknya masih bersekolah dan kuliah. Yang kuliah mau magang, yang sekolah kelas 3 SMA mau kuliah, dan yang bungsu kelas 3 SMP mau ke SMA. Things aren’t going so well and Babeh couldn’t predict that this hard situation is happened earlier.

Weekend ini saya berencana ke Bandung. Wisuda, balikin HD si Abeng yang tak sengaja saya rusak, dan Ulang Tahun si Ibu. Semua itu sepertinya harus saya lewati saja jika melihat situasi sekarang ini. Saya bisa saja acuh pada sekeliling saya and don’t give a single glance to what happened with them. Tapi saya toh masih sangat mau jadi orang waras dan berharap kewarasan saya ini long-lasting sampai saya tutup usia.Kewarasan untuk peduli, apalagi ditambah ikhlas, itu lebih sulit. Jika suatu hari nanti ketika saya punya keluarga dan anak-anak, jika suatu hari saya mengalami kondisi seperti itu, I would say that I got used with it, sudah pernah melihat dan ikut merasakan. Saldo di atm saya habiskan dan saya bagi 2 : untuk bertahan hidup sampai akhir bulan dan untuk sekedar bantuin si Babeh. Bukan mentahnya saya kasih duitnya, tapi kata Si Rohman kita beliin aja semacam sembako. Good idea.

Jam 9 malam. Untungnya Pasar Pucung masih ada beberapa yang buka. Saya suruh ikut si adek, gesa, kaka buat belanja. Malam itu kami makan alakadarnya tapi begitu nikmatnya. Alhamdulillahilladzi at amana wasaqona waja’alana minal muslimin. Hope things will be better soon ya Beh.

Saya selalu kagum pada keluarga yang masih bisa menebar senyum dan kebaikan meskipun dalam masa sulit. Apalagi anak-anaknya yang mau mengerti keadaan. Memang, anak-anak si Babeh itu banyak maunya, buset. Mau HP baru, motor, gazebo belakang rumah, mobil baru, dan banyak barang tersier lainnya yang selalu jadi bahan cerita malam. Tapi toh semua itu hanya keinginan selewat. Begitu melihat keadaannya sekarang ini, mereka mau mengerti dan maklum tanpa harus diminta.

Bukan suatu kebiasaan, saya dan keluarga berkumpul di satu meja berbicara soal hidup, mau yang susah-susah atau senang-senang. Rasa-rasanya itu suatu kebiasaan asing di keluarga saya. Padahal sudah seharusnya itu dilakukan. Makanya, terkadang saya hanya banyak diamdi meja depan rumah si Babeh ketika orang lain berbicara hidupnya masing-masing. Mungkin hanya melempar pertanyaan sesekali atau menunjukkan ekspresi keseruan. Seringkali ingin ikut ambil bagian, tapi sadar kalau kehidupan keluarga saya bukan sesuatu yang begitu manis untuk diceritakan pada khalayak ramai begini.

Menelpon ibu begitu melegakan di tengah kesepian. Ulang tahunmu sebentar lagi. Sepertinya anakmu ini tak bisa mengucapkan secara langsung. Sepertinya. Semoga ada rezekinya biar anakmu ini bisa pulang bawa sayang. Amin.

No comments:

Post a Comment

Trip Intergalaksi

Selasa, 23 Juni 2020 03.22 dini hari Kisah ini saya tulis begitu bangun tidur dari mimpi yang tidak akan pernah saya lupakan. Mimpi yan...