3.3.16

Sabar Ada Tempatnya.

Sabar ada Batasnya.

Penemu quote itu layak mendapatkan penghargaan setinggi-tingginya. Bagaimana tidak? Qoute-nya dipakai banyak orang. Laku di pasaran. Dipakai oleh orang-orang yang kurang fight, mudah putus asa, tempramen, medioker, dan biasanya ingin dikasihani karena pamrih (mengharapkan sesuatu tapi tidak kesampaian). Pertanyaannya, memang sudah mencapai titik habisnya kesabaran? Atau yang mudah dulu saja. Sudah punyakan kita sifat sabar?

Sabar ini tanda keimanan. Kata ulama-ulama lho bukan kata saya. Saya menulis ulang saja tapi saya percayai hal itu. Dan sifat sabar yang paling jelas itu ada pada orang-orang beriman. Allah akan tahu seseorang itu beriman atau tidak dengan melihat respon orang itu jika dihadapkan pada sesuatu yang menguji kesabarannya. Apakah responnya emosi? Diam? Mendoakan hal buruk pada orang lain? Mendoakan hal baik pada orang lain? Jika seseorang merespon hal yang membuatnya jengkel dengan tersinggung, emosi, baper, sejatinya itu bukan kesabaran dan bukan tanda orang yang beriman. Orang-orang yang ‘sumbunya pendek’ ini biasanya sering bawa kaca pembesar. Apa-apa yang kecil dibesar-besarkan. Misalnya seseorang diuji karena menghadapi orang yang membuatnya kesal, ia akan mencari-cari sumber kekesalannya pada orang lain lalu membesar-besarkannya seolah-olah orang tersebut lebih salah dari dirinya. Pasang status di media sosial bahwa dia kesal, marah, dan bahkan dengan kata-kata yang kurang layak untuk dikatakan. Orang-orang sabar tidak akan seperti itu. Orang-orang sabar tidak akan membesar-besarkan masalah. Pepatah bilang, tutupi luka sebesar ukuran luka itu sendiri. Kalau luka gores di jari, perbannya gak lebay, obat merahnya gak bergalon-galon, cukup setetes sebesar luka itu sendiri. Orang-orang sabar tidak akan membawa kaca pembesar, melainkan membawa cermin. Kalau kita emosi, galau, lelah, putus asa yang disebabkan karena perbuatan/perkataan orang lain, cari solusinya dengan cermin. Dengan bercermin, kita akan selalu melihat kekurangan diri kita dan berusaha memperbaiki diri kita sendiri bukan menuntut orang lain untuk menjadi seperti kita atau mengikuti kehendak kita yang menurut kita baik tapi menurut orang lain tidak. Kan belum tentu kita itu lebih baik darinya, kecuali kebaikan yang kita tunjukkan itu ada sumbernya. Cari solusinya untuk diri sendiri, bukan untuk orang yang kita emosiin atau kita galau-in. 

Sabar itu tidak ada batasnya. Kalau ada batasnya, bukan sabar namanya. Sabar itu ada tempatnya. Bisa jadi itu emosi, galau, gegana (gelisah galau merana), dan ungkapan ketidakberdayaan lainnya. Galaunya orang-orang sekarang apalagi anak muda, biasanya hal-hal remeh temeh. Kalau bukan soal sekolah, orang tua, teman, cinta-cintaan. Beda dengan orang-orang zaman sebelum ini. Galau-galau mereka ketika muda itu galau karena memikirkan bangsa, umat, permasalahan negara, dan lainnya di luar permasalahan perasaan. 

Salah satu penyebab bangsa ini jadi bangsa yang menye-menye dan apa-apa main perasaan, melankolis, sensitif, itu karena setiap permasalahan yang dihadapi yang menguji kesabaran, sering dicekokin juga lagu-lagu penggiring kegalauan dan amarah. Sedang kecewa putus cinta, “listening to Kandas, Patah, Menangis semalam, dll". Sedang marah sejadi-jadinya, nyetel lagu Burgerkill. Malah semakin dipertegas dan terjerumus dalam kegalauan atau amarahnya menjadi-jadi. Bukannya menyemangati diri dengan lagu-lagu penyemangat, film-film inspiratif, kegiatan-kegiatan yang bisa mempertebal kesabaran atau setidaknya meredakan kegelisahan dan amarah.

Sabar itu juga dengan belajar mengajari telinga kita untuk ikhlas mendengar dan mata kita untuk ikhlas melihat. Belajar mendengar dan melihat sesuatu karena Allah bukan karena orang lain. Kalau karena orang lain, kita hanya mau mendengar dan melihat dari orang-orang yang kita anggap hebat, pintar, dari orang-orang yang akrab, se-pemikiran, se-pergaulan, nyaman. Kalau dari orang yang ia benci, tidak pintar di matanya, tidak hebat di matanya, akan dia hiraukan. Kalau telinga dan mata mau belajar ikhlas, dia akan sabar mendengar dan melihat apapun karena Allah, karena kebenaran. Mendengar kebenaran itu bebas dari mana saja sekalipun dari musuh, dari orang lulusan SD, dari orang yang DO, dari pemulung, dari mana saja. Bangsa ini tidak akan maju jika orang-orang tua tidak mau mendengar kebenaran dari orang-orang muda. Bangsa ini tidak akan besar jika orang pintar tidak mau minum tolak angin. Maaf salah. Jika orang pintar berpendidikan tinggi tidak mau mendengar kebenaran dari orang yang kurang pendidikannya. Terimalah kebaikan walau itu dari seorang budak. Terimalah kritik jika itu kritik konstruktif, membangun dan memang benar itu baik. Akui kesalahan jika itu nyata sebuah kesalahan. Tidak berdalih dan mengutarakan ribuan alasan agar terlihat tidak bersalah. Andai semua itu bisa kita terapkan, atau setidaknya ada usaha ke arah sana, Allah akan menunjukkan jalan keluar dari segala permasalahan yang kita hadapi. 

***

Sabar waktu.

Soal siang tadi di sebuah kampus di daerah Dipati Ukur. Saya hendak menghadiri sebuah acara seminar wirausaha. Ditawari, lebih tepatnya. Jadi saya anggap ini gratisan. He he. Daftarnya on the spot saja katanya. Ok. Begitu sampai di lokasi, tiketnya habis, kata panitianya. Oh yasudah saya pikir. Lalu sebelum pulang lagi, saya laporan saja pada orang yang mengajak saya itu bahwa tiketnya habis. Kecewa memang, tapi sudah terbiasa. You know what? Di sana saya semakin yakin hal ini > Apa yang menurut kita buruk, menyebalkan, mengecewakan, ternyata bisa jadi itu yang terbaik kata Allah. Dan apa yang menurut kita terbaik, menyenangkan, belum itu itu yang terbaik menurut Allah. Kuncinya sabar. Singkatnya, setelah itu, eh saya malah disuruh masuk sama panitianya, gratis, tapi tanpa konsumsi katanya. Karena saya mengejar ilmunya, tak apalah. Eh di acara itu, karena saya bertanya, saya dikasih voucher kafe, plus, pulangnya malah dikasih lagi konsumsi yang tadi katanya habis ternyata masih ada sisa. Allah doubled it! He he. 

*** 

Jujur saja, akhir-akhir ini saya merasa aneh jika bersikap seperti orang ‘bener’, I mean, ya semacam bener tapi gak merasa bener. Hanya menyampaikan kebenaran demi mengingatkan diri sendiri dan juga orang lain. Agak-agak sedikit dakwah, dan sebagainya. Bukan karena merasa lebih benar dan lebih tahu. Bukan! Kalau ini disampaikan oleh Aa Gym saya setuju, tapi kalau keluarnya dari saya, saya sendiri sering bertanya lagi soal tingkat kebenarannya. Tapi tanpa bermaksud menganggap diri lebih baik dari pembaca sekalian, tapi sekali lagi, saya menulis ini semata-mata sebagai reminder, ngelingan diri sorangan, pengingat diri sendiri khususnya, dan saya berharap orang-orang yang saya sayangi pun bisa mendapat kebaikan ini. Kebaikan dan kebenaran yang pada masa ini banyak dipertanyakan. Kebenaran yang datangnya dari langit. Ti Gusti Allah. Dari kitab suci umat Islam dan Hadis. Dengan melihat kondisi negeri saat ini, apakah ada yang punya solusi lain untuk menyelesaikan permasalahan ini dan menyelamatkan diri beserta orang-orang yang kita cintai selain dengan kembali ke agama Islam?

No comments:

Post a Comment

Trip Intergalaksi

Selasa, 23 Juni 2020 03.22 dini hari Kisah ini saya tulis begitu bangun tidur dari mimpi yang tidak akan pernah saya lupakan. Mimpi yan...