15.9.16

Tentang Impresi

Saya memaknai kata ini dalam hal hubungan antar manusia. Misalnya, ketika saya melihat profil si anu lah gausah disebutin kalau namanya Aurel. Iya misalnya ngeliat doi di instagram, ternyata kesan yang saya dapat berbeda when I met her in person, secara langsung. Ketika di instagram ternyata agak cantik, pas langsung, kalau kata si dadang konelo, agak rumeuk, misalnya ini mah.

Lalu saya pun berkaca, literally ngaca. Kalau orang ngeliat saya di media sosial, dengan bertemu langsung, apa yang mereka pikirkan ya? Well. seperti kaya Sayyidina Ali, aku tidak sebaik yang dikira, namun tidak seburuk yang terlintas di benak kalian.

Ini pengakuai jujur, bahwa saya, yang nampak di berbagai media sosial yang saya miliki, adalah tidak sepenuhnya asli. Namanya media sosial, apapun yang di-upload, di-post, di-share di sana adalah hasil memamahbiak dari pikiran. Ada jeda waktu cukup lama bagi otak untuk mencerna apakah postingan yang hendak dipost di sana itu akan menghasilkan likes yang banyak atau tidak, akan membuat pribadinya terlihat keren atau tidak, akan terlihat seru atau tidak, akan terlihat baik atau tidak. Kalau dipandang buruk, aneh, dan segala impresi negatif, saya sih terima saja. Biar jadi kifarat dosa. Namun yang jadi masalah adalah kalau saya dipandang baik karena definisi baik dan benar itu luas dan saya bukanlah orang baik. Percaya saja lah ini langsung dari orangnya. Adapun kalau saya terkesan baik dari media sosial dan interaksi langsung, mungkin bisa jadi niat saya bukan untuk berbuat baik tapi terlihat baik. Sama seperti orang yang menulis angka 9, tapi orang lain melihatnya angka 6. Orang rampok ibu-ibu di ATM juga awalnya kan karena first impression yang ia tunjukkan di awal ketemu. Pura-pura membantu, tapi kan kecolongan. Atau yang pacaran, yang tadinya sayang-sayangan, eh es cendol dikalapaan, Gundal gendol euweuh bapaan. :(. Masih mau ngeliat yang baik-baiknya saja dari luarnya? Cobalah kenali seseorang lebih dalam. Sekalipun menemukan keburukan, setidaknya kita ada opsi untuk menerima keburukan itu atau tidak. Itu lebih bijak.

Saya pikir, akan lebih baik jika first impression (kesan pertama) orang lain pada saya memandang bahwa saya adalah orang jahat, jutek, nakal, bodoh, atau segala bentuk impresi negatif lainnya. Supaya mereka tidak kecewa. Lain halnya jika saya dipandang orang sebagai orang baik, keren, pintar, dan impresi-impresi manusia sempurna lainnya. Karena begitu mereka tahu bahwa saya tidak sebaik yang mereka sangka pada first impression, saya takut mengecewakan angan-angan yang mereka harapkan dari saya. Jika saya dipandang baik, mungkin karena Allah juga yang menutup-nutupi aib saya yang amat banyak.

***



Lalu masuk ke level-level berikutnya setelah first impression. Tentang awal mula kisah cinta yang umumnya diawali dari impresi / kesan satu sama lain. Jika kisah cinta dua sejoli pada umumnya diawali karena saling terpukau HANYA pada sisi baik satu sama lain, maka bersiaplah terkaget-kaget atau meneguk pil kekecewaan jika sisi-sisi buruknya mulai bermunculan. Contoh paling mudah itu kalau kisah cinta sepasang kekasih yang dimulai atas impresi fisik, cantik-tampan, misalnya. Memang faktor fisik juga disunnahkan Nabi Muhammad dalam menentukan pasangan, hanya saja.. bukan yang utama. Kalau pasangan cantik-tampan tadi belum siap dengan konsekuensi sisi-sisi buruk yang belum nampak pada pasangannya, ya tadi itu, bisa jadi saling mencekoki pil pahit, saling menyakiti perasaan dengan banyaknya kekecewaan yang diperoleh dari sisi-sisi lain pasangannya. Beda dengan sepasang sejoli yang cantik-tampan, namun mereka mengedepankan akidah, agama, kematangan pikiran dan perasaan. Mereka akan lebih siap menghadapi sisi-sisi buruk yang akan bermunculan dari pasangannya. Bahkan bukan dihadapi, tapi ditutupi, dilengkapi, dimengerti dengan sisi-sisi baik yang dimiliki satu sama lain. Hanya saja, yang seperti ini, dimanaaa barangnaaa??? :((

Oh ardhyaska amy, terus maneh maunya apa?

Saya ingin punya kemampuan peka lebih banyak euy, kemampuan bisa mengerti keadaan orang lain yang lebih super, bukanlah orang yang selalu dan terlalu cuek. Bukan juga orang yang selalu ingin dimengerti orang lain. (Pengen sih dimengerti, tapi saya juga ingin bisa mengerti orang lain lebih dari orang tersebut mengerti saya). Bukan kemauan saya juga untuk ingin selalu dilayani, dihargai, dihormati orang lain. Ini sih prasangka pribadi terhadap diri sendiri. Mungkin kalau saya ada keturunan daun putri malu, dan kepekaan saya cukup tinggi, saya bisa menekan sikap dingin atau gak pedulian ini. Jadi bisa membuat orang lain lebih nyaman ketika berinteraksi dengan saya. Kata "nyaman" inilah yang lebih cocok dijadikan impresi ketika berinteraksi dengan orang lain. Saya merasa saya belum bisa mengeluarkan impresi nyaman ini pada orang-orang di sekitar saya. Seolah-olah bagi saya, terlalu sulit memahami makna nyaman menurut definisi orang lain. Lalu ketika orang lain lebih mampu membangkitkan impresi nyaman ini, saya merasa kalah dan..

cemburu.

***

Sudah jam pulang. Sampai bertemu lain waktu.

No comments:

Post a Comment

Trip Intergalaksi

Selasa, 23 Juni 2020 03.22 dini hari Kisah ini saya tulis begitu bangun tidur dari mimpi yang tidak akan pernah saya lupakan. Mimpi yan...