18.4.13

Monolog tiga dini hari

Sejujurnya saya kurang suka postingan macam begini. Tapi ini sudah batas maksimum dan hampir tumpeh-tumpeh.

Belakangan, saya kerap kali disibukkan sama hal-hal yang sifatnya menguras waktu tenaga pikiran. Dari mulai jadi timses pemilu, pameran, prata, lomba, hingga beberapa kerjaan kecil yang saya tumpuk hingga menggunung. Saya suka saat mengerjakannya. Saya suka saat bertemu orang-orang baru. Mereka luar biasa. Tapi saya tidak suka saat menyadari bahwa semua hal ini sudah saya kerjakan. Ada momen yang tidak saya sukai di ujungnya. Itu adalah momen kosong. Masa reses. Di mana saya diingatkan kembali pada hal yang sudah lama terlantarkan. Di mana saya dihadapkan kembali pada kenyataan bahwa saya juga pemuda yang beranjak menjadi bapak. Dan tentu, jika ada bapak, maka ada ibu.

Dan ini masa reses.

Tiap hari rabu saya bertemu dika, kiki, masur, azhar. Kadang ada teman lain yang ikut nimbrung. Selama hampir 3 minggu kemarin saya diceramahi ini itu. Tentu tentang kodrat sebagai lelaki yang beranjak bapak. Dika dan kiki yang selalu bercerita si bagia dan si restunya masing-masing. Saya dengarkan tiap jengkal katanya. Saya ikut senang. Dan kalau memangitu jodohnya mereka, doaku setinggi langit untuk mereka.

Umur tidak bisa kompromi. Menginjak 23. Saya pernah menggambar Future Plan. Di sana, saya cantumkan tahun 2015 untuk menikah. Karena saya pikir lebih cepat lebih baik. Karena saya takut nafsu ini tak terjaga jika berlama-lama. Kalau dipikir, mustahil. Jangankan dipikir ke arah sana, saya terlampau acuh pada masalah cinte-cinte begini. Karena saya pernah membuang satu dekade dengan kesia-siaan.

Dilihat sekilas, track record saya masalah cinte-cinte tak seburuk yang lain. Pernah 2 kali memasang ikatan imajiner bernama pacaran adalah pencapaian yang tidak terlalu buruk bagi saya yang masih kampung. Tidak ada yang bertahan lebih dari 1 tahun karena satu dan lain hal.

Dua tahun berjibaku fokus pada hal lain selain hal remeh temeh cinte-cinte, mungkin, membuat saya lupa kalau saya punya mimpi 10 tahun mendatang. Dengan kehidupan baru, orang-orang baru, keluarga baru. Jika Allah menghendaki. Saya sadar mendasar kalau setelah fase kuliah, hidup sudah tidak ditemani teman sepergaulan. Saat itu tiba, saya bakal dihadapi kenyataan kalau nantinya tidak mudah bertemu teman untuk berbagi traktiran gaji pertama. Tidak mudah berbagi cerita dengan teman sebaya. Tentang sehari kemarin, hari ini, lalu harapan hari esok, juga seterusnya. Tidak ada kecuali teman hidup yang diikat oleh suatu hukum bernama pernikahan. Tapi itu masih jauh. 10 tahun mendatang.

Sekarang sedang meniti kembali. Memang sudah kata Rasul dari sana untuk mencari perempuan yang cantik parasnya, lalu agamanya. Saya dalam tahap itu. Dan sahabat saya juga. Dan sepertinya kami mengejar tujuan yang sama. Hanya saja, saya tidak mau membeberkan juga saya menuju perempuan yang sama pada sahabat saya ini. Kau tahu sendiri, jika membangun persahabatan  perlu setengah abad, maka hanya perlu waktu seminggu saja untuk menghancurkannya. Seminggu semenjak seorang perempuan hadir di dalamnya dan keduanya mengetahui satu sama lain.

Ini seru! seperti bermain permainan tebak kata. Siapa punyaku, siapa punyamu nantinya. Tapi saya semakin hilang selera membahas lebih lanjut. Sudah dini hari.

No comments:

Post a Comment

Trip Intergalaksi

Selasa, 23 Juni 2020 03.22 dini hari Kisah ini saya tulis begitu bangun tidur dari mimpi yang tidak akan pernah saya lupakan. Mimpi yan...