19.7.13

Tentang Ramadhan - Komparasi Jaman Dulu dan Jaman Edan

20 Juli 2013 

Menurut saya, di dunia ini ada 2 profesi yang paling ditakuti. Menjadi ahli sejarah dan menjadi ahli astronomi.

Menjadi ahli sejarah artinya ia telah siap lahir batin menerima kenyataan pahit di masa kini akibat dari apa-apa yang terjadi di masa lalu (yang tentu bukan salah dirinya). Misalnya kondisi hidupnya yang mungkin bisa lebih baik jika dahulu para leluhurnya bertindak benar. Tapi itu semua hanya sejarah. Itu semua hanya ilmu yang ia dapatkan dari studi literatur atau ekspedisi sana sini. Maka, pada ahli sejarah itulah yang harus mmenanggung beban pikiran lebih berat tentang masa lalu dibanding manusia-manusia alakadarnya.

Menjadi ahli astronomi artinya ia orang paling tahu kondisinya di masa depan. Bukan hanya tentang bumi yang jadi tempat tinggalnya, namun juga alamnya, atmosfernya. kesehatannya. Hidup mereka ibaratnya lebih cepat 4 hari dari kami manusia alakadarnya. Namun, terkadang ia dibayang-bayangi ketakutan akan tabrakan asteroid sebesar pulau jawa 10 tahun mendatang, misalnya. Yang bisa saja membuat punah manusia, atau bahkan sekedar melubangi atmosfer hingga dirinya terkena kanker kulit akibat sinar UV. Prediksi yang ia ketahui datangnya, tapi sendirinya tak mampu berbuat apa-apa selain memberi kabar lalu menunggu. Tiga hal yang mungkin ia tunggu. Teknologi dari para engineer untuk menghancurkan asteroid, menungu datangnya asteroid, atau menunggu keputusan Tuhan. Maka, para ahli astronomi itulah yang harus menanggung beban pikiran lebih berat tentang masa depan dibanding manusia-manusia alakadarnya.

***

Saya mau bacot tentang sejarah dan masa depan.

Sepekan kemarin saya ke kampung halaman di perbatasan tanah sunda dan jawa. Banjarsari. Dekat-dekat Pangandaran. Di sana, bahasa Sunda bisa 'medhok'. Beberapa hari di sana cukup melemaskan syaraf-syaraf akibat kejepit kisruh perkotaan. Re-fresh, re-charge, re-cycle. Karena kembali ke kampung halaman itu selain menyejukkan raga, juga jiwa. Tapi bukan anaknya pak tisna. Jujur saja, beberapa hari puasa di kampung halaman mengingatkan kembali pada masa anak-anak. Pengalaman ini lah yang sering dirindukan kawula muda saat bulan ramadhan. Bulan ramadhan yang seru alakadarnya.

Di saat sebagian besar kawan bertanya-tanya kenapa bulan puasa di usianya yang remaja kini tak seperti dahulu kala lagi, saya hanya senyam-senyum saja. Saya tahu kenapa, tapi saya tidak rela bagi-bagi, karena saya bukan silverqueen chunkybar, saya hanya chuanki bar. Tapi ya sudah saya kasih tau saja kenapa banyak kawan tidak merasakan 'keseruan puasa' seperti dulu kala saat negara api belum menyerang. 

1. Dulu ya seperti itu, sekarang ya seperti ini.
Pepatah bilang, manusia berubah. Bukan jadi goban, bukan satria bajamusti. Saya bilangnya 'Level Up'. Baik secara fisik juga pemikiran. Anak kecil mau puasa sambil main petasan di kebun jagung ya seru. Ya kalau seumuran begini main begituan ya pikir aja tingkat kepantasannya sampai mana.

2. Lingkungan baru
Saya pribadi sebagai seorang urbanisasiman merasakan adanya perbedaan yang signifikan antara puasa di kampung sama puasa di kota. Di kampung itu, budaya masih kental, manusia masih bisa dihitung, jadi kenal banyak sampai ke kecamatan sebelah. Di kampung saya ada budaya Munggahan (menyambut ramadhan), Lilikuran (makan-makan pada sekitar tanggal 20-an, 10 hari terakhir ramadhan), Tadarusan (baca Qur'an habis tarawih sampai tengah malam), Ngadulag (nabuh bedug dengan irama tertentu, umunya anak laki-laki), Boy-boyan (permainan pakai bola kasti, lempar tumpukan genteng), Ngabuburit main karambol, halma, monopoli, sampai bangunin sahur keliling bawa bedug naik gerobak kayu, bawa obor.
Berbeda semenjak saya pindah ke Bandung. Petasan, ngabuburit ke gasibu, nongkrong-nongkrong, anak muda sana sini berpasangan, atau bangunin sahur yang agak sedikit vandal. Saya sendiri pernah mematikan meteran listrik sebuah rumah waktu mereka lagi santap sahur. Setelah ada teriakan 'AAAA!!!' di dalam rumah tersebut, langsung tancap seribu langkah!

3. Pengaruh teknologi
#aduh #saya #gak #ngerti #napa #bangun #sahur #musti #foto #sih #trus #dipagerin #banyak #kayak #domba. Teknologi makin canggih makin keliatan bego. Sekarang mah bangunin sahur udah pake jam weker. Masih masuk akal. Lah ini ada yang minta dibangunin dengan cara mensyen di twitter. Lu kate itu logo burungnye bisa cicitcut ape? Ada lagi. Dulu di kampung saya, anak-anak tetangga pada kumpul di masjid, di sana sudah ada tumpeng swadaya masyarakat. Doa berbuka dipimpin ustad, lalu makan bersama. Semenjak ada teknologi, buka puasa jadi ajang kontes foto makanan, lupa berdoa, sebelum dan/atau sesudahnya. Televisi juga. Semakin datar teknologinya, acaranya semakin hambar. Saya lupa acara-acara tv dulu saat ramadhan, tapi saya ingat betul kalau acara-acara tv dulu lebih berbobot ketimbang sekarang yang isinya sudah punya template seperti ini :komedi-gosip-sinetron-berita kriminal. Kalau tidak salah, dulu ada Asep Show di TPI (sebelum buka puasa ada si Cepot), Amigos di SCTV (walaupun ada adegan si Pedro cium kening si Ana, tetep lanjut puasa), Kultum Jenudin Emjet jam 5 subuh, acara sejarah islam di rcti (dulu masih nyatu sama antv). Ya pokoknya itu. Televisi sekarang jadi media pembodohan dan pembohongan publik. #bacotpisanurang

4. Makanan
Ini sih di kampung saya. Ada cangkaleng pake ontan (bahasa indonesianya cangkaleng apasih? kalau ontan itu sirup yang warana warni). Cingcau hitam, es dawet, kelapa muda pake gula aren, dll. Itu yang desert yang manis-manisnya. Makan besarnya ya ke masjid tadi. Ada tumpengan, nasi besek, orak arik kacang mete, daging masih dianggap barang tersier. Gehu lah paling. 
Sekarang saya di kota. Katanya ada Dimsum, Bibimbap, Cekidot, Tenderloin, Heroin. Minumnya Deep Blue Sea (minuman warna biru laut rasa apel), ada Orang Float (gak beda jauh sama orson), Sop buah rumput laut. Yang manis-manisnya memang manis, tapi harganya mahal abis. Tapi yang lebih manis di sana malah lebih jual mahal. #eh

5. Ngabuburit
Tak bisa dipungkiri kalau kesibukan ketika usia beranjak dewasa itu makin menggila. Anak SD sekarang saja Bahasa Inggris mulai kelas 2. SMP mulai les bahasa. SMA ada tugas akhir bersama. Kuliah, Tugas Hari Raya (THR). Kerja, pulang jam lima. Dan pada jam-jam seperti itu, ada namanya ngabuburit. Sekarang, tradisi  ngabuburit sudah berubah sob. Tidak di kota tidak di desa, menjelang buka puasa, di jalan raya, edan elingnya sudah tidak manusiawi. Semuanya mau anak sd, smp, sma, orang kerja, orang nganggur, ibu rumah tangga, ibu rumah warga, bapaknya, anaknya, nenek moyangnya ikut-ikutan tumpah-tumpah di jalan. Motor, mobil, delman, sepeda, dalan kaki, gerobak, flying fox, kapal pesiar juga ikut-ikutan menuh-menuhin jalan. Padahal kapal pesiar gak penting-penting amat. Arus lalu lintas kayak orang diuber-uber setan. Kalau boleh diberi judul, tiap sore ada acara, namanya : "Race-madhan Jalanan Di mana Tiap Insan Merasa Paling Berpuasa". Itu judul turnamen tahunan ini. Kalau diingat-ingat, 10 tahun lalu saya masih dibonceng sepeda BMX di roda belakangnya. Ngabuburit pada jaman anak saya nanti mungkin sudah pake mobile suit.

Sepertinya itu saja dari beta. Beta kehabisan opini. Hanya tinggal opi kumis di antv acara pesbukers yang gak jelas itu (yang jelas cuma jessica iskandar). Kalau-kalau ada baca, bisa menambahkan menurut jalan pikiran masing-masing. Saya mau tidur dulu sampai sore. Mau ngabuburit sama koboy nonton di bioskop. Mong naon.

Sarangeyo~  Kamshamida~

No comments:

Post a Comment

Trip Intergalaksi

Selasa, 23 Juni 2020 03.22 dini hari Kisah ini saya tulis begitu bangun tidur dari mimpi yang tidak akan pernah saya lupakan. Mimpi yan...