10.1.14

Mahasiswa Paruh Baya

Kamis, 9 Januari 2014. Pukul 17.59 WIB.



Ternyata, itu hanya 3 buah huruf saja. Dari 3 huruf itu, permasalahan datang setelahnya. Bisa diurutkan seperti : habis ini mau kemana? Kalimat itu selaksa makna. Artinya bisa juga "mau ngapain? pergi ke mana? kerja apa? jodoh sama siapa? tinggal dimana?dll. Kedua, bagaimana tugas akhirnya bisa memberikan sumbangsih yang signifikan bagi kehidupan masyarakat? Ah bahasa itu terlalu berat. Ketiga, mau jadi apa setelah ini? Jadi pegawai bank? Bos perusahaan? MLM? Dosen? atau cuma jadi sampah dengan casing bagus akibat label institusi ternama saja? Ah ampun tuan diksi saya jelek. Tak punya kata yang lebih mudah dicerna selain itu.

Kurang lebih 5 bulan. Menjalani tugas akhir dengan status mahasiswa paruh baya itu perkara sepele. Kamu bisa bertindak semaumu karena menyandang gelar senior. Kamu bisa berkuasa. Kamu bisa seenaknya. Tapi ternyata ini bukan proses seenaknya sekedipan mata. Proses panjang harus berlalu dengan beberapa catatan. Saya tidak menilai catatan ini buruk atau baik. Hanya catatan. Sebagai sejarah yang patut menjadi bahan refleksi bagi saya khususnya, dan bagi institusi ini umumnya.


Bukan baik bukan buruk. Nasib saya tidak seperti mahasiswa lain kawan-kawan saya. Dosen pembimbing sejatinya mengayomi apa yang tidak diketahui, mendidik menjadi cerdik, membela ketika mahasiswanya 'dianiaya'. Bagi saya, percuma mengeluh atau bersungut-sungut karena bukan mendapat dosen pembimbing seperti itu. Dosen pembimbing saya tidak pernah hadir sekalipun dalam sidang. Tercatat 3 kali sidang tidak hadir dari awal. Hanya pernah 1 kali ketika sidang kedua dan itu pun di sesi akhir (tanya jawab). Dan coba tebak? Bukannya membela ketika saya dicecar pertanyaan, tapi beliau ikut bertanya. Kekecewaan ini tak terbendung ketika yudisium. Ketika semua dosen pembimbing berhadapan dengan mahasiswa bimbingannya masing-masing, dosen pembimbing saya malah pergi angkat kaki sesaat sebelum pengumuman nilai. Kecewa bukan berarti marah membara. Mungkin memang kami tak sepaham. Bukan berarti saya butuh dikasihani dosen pembimbing. Hanya mempertanyakan apakah boleh saya menaruh nama beliau di bawah orang-orang yang memang berperan banyak dalam proses belajar ini? Adik kelas, staf bengkel, tukang akrilik, atau bahkan nyamuk yang selalu menggigit membangunkan ketika ketiduran. Menurut saya mereka lebih pantas ada di daftar paling atas ucapan terima kasih. 

Namun, saya juga berteima kasih pada dosen tersebut. Kalau bukan karena itu, saya mungkin akan bergantung selalau padanya. Manja, ingin selalu disuapi, tidak mau cari lebih banyak. Karena itulah saya ucapkan terima kasih pada beliau.


***



Sepertinya tugas berakhir. Tapi saya harap belum berakhir. Masih ingin melanjutkan. Semoga bukan hanya wacana awal tahun yang umum diberi nama dengan : resolusi. 



Inilah ujung kalimat. Saya terlalu bangga pada orang-orang hebat di sini. 

No comments:

Post a Comment

Trip Intergalaksi

Selasa, 23 Juni 2020 03.22 dini hari Kisah ini saya tulis begitu bangun tidur dari mimpi yang tidak akan pernah saya lupakan. Mimpi yan...