29.3.14

Nowhere to Go

Ada masanya ketika pikiran dan rasa tidak saling berhubungan. Kalau bukan karena masih merasa waras, mungkin akan lebih buruk keadaannya. Linglung. Kikuk mencari-cari cara supaya tidak tertekan. Dan kabur malam ini is the only way out.

Rupayanya gerimis, rupanya gerimis, mengungdang..ang..ang..ang.. Begitu kata SLAM. Saya pergi bawa sepeda dengan tujuan : entah kemana rimbanya. Saat itu saya bahkan seperti tidak punya kesadaran. Mati rasa, padahal air menghujani kulit. Padahal nafas terengah-engah. Padahal iklim menyuruh diam saja di bawah selimut bersama kopi. 

Sabtu malam kondisi jalan lebih ramai dari biasanya. Anggapan saya, saya bisa bersepeda sampai larut atau sampai subuh memanggil. Selama jaket ini masih kuat menahan suhu kota.



Jam 9 malam. Di salman masih ada beberapa orang saja. Di dalamnya ada beberapa orang juga, sedang tidur. Mungkin perantau. Saya habiskan berjam-jam di sana. Mungkin mengadu, mungkin berkeluh kesah, padaNya yang selalu ada. Soal pikiran yang menghantui akhir-akhir ini. Apapun itu.


Sedikit menghangatkan badan di kedai kopi dekat kampus. Ada yang bilang, seseorang yang selalu memotret makanan itu karena tidak ada objek lain yang menemani saat ia makan. Damn you right. 

***

Mari, sini sayangku
Kalian yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpati padaku
Tegakklah ke langit atau awan mendung
Kita tak pernah menanamkan apa-apa,
Kita takkan pernah kehilangan apa-apa”

- Soe Hok Gie (1942-1969) -

No comments:

Post a Comment

Trip Intergalaksi

Selasa, 23 Juni 2020 03.22 dini hari Kisah ini saya tulis begitu bangun tidur dari mimpi yang tidak akan pernah saya lupakan. Mimpi yan...