16.5.14

A Voyage to Dieng Plateau

Saya hidup di negeri ini sudah 23 tahun. Sejak kecil punya mimpi bisa pergi jauh ke mana kaki berjalan. Anak kecil punya banyak waktu, tidak dengan tenaga, apalagi biaya. Tua, punya banyak uang (mungkin, bagi mereka yang telah menyebut dirinya sukses), tapi tidak dengan waktu dan tenaga. Transisi remaja menuju dewasa, punya tenaga, waktu, uang (untuk makan dan urusin hidup sendiri) mungkin masih cukup. Tinggal memilih, mana yang akan dipakai untuk setidaknya mengecap kesenangan-kesenangan dunia. Sedikit atau banyak bukan jadi soal.

***

| Mei 11-12 |

Stasiun Kiaracondong. Pukul 8.16 malam, saya dan 2 kawan bernama oji dan buluk, bergelar S.Ds sudah di kereta Kahuripan. Hendak menuju sebuah destinasi wisata yang bahkan dari 3 orang ini belum ada yang pernah ke sana sebelumnya. Hanya bermodal niat impulsif 1 minggu lalu, perlengkapan seadaanya, dan nekat. Tujuannya : Dataran tinggi Dieng. Perjalanan kereta malam itu membosankan. Melihat ke luar jendela hanya gelap saja. Tetapi, melihat ke sekeliling pun hanya ada penumpang-penumpang yang lupa sedang diperhatikan. Salah satunya mamang di depan kami.



Jam 4.06 WIB. Tiba di stasiun Kutoarjo dengan perasaan kurang tidur. Mata-mata panda ini pun jadi tidak bisa diistirahatkan di musholla setempat karena melihat tulisan "Dilarang tidur di mosholla". Merem melek boleh. Tidak seberapa lama, si gun baru juga sampai di stasiun yang sama, kereta susulan. Diajak mampir ke rumahnya, siapa yang ogah. Dalam rangka menekan biaya operasional, kami, 3 orang oportunis ini berangkat ke rumahnya si masgun. Di sana dengan sangat merasa tidak enak, kami disuguhi makan. Usai bercengkrama bersama gun's happily ever after family, kami harus lanjut ke tujuan utama. Berangkat dari rumah pukul 7. Diantar si masgun juga ke terminal baru Purworejo.


Di sana ternyata gak ada bis langsung jurusan Wonosobo. Ketemu supir mobil preman, ditawari harga 50 rb buat sampai di terminal lama yang ada bis ke wonosobo-nya. Saya masih penasaran, jalan keliling terminal buat nyari bis. Lucunya, si supir tadi malah ngikutin saya, bukan nungguin 2 teman saya. Dia terus ngejar saya sampai ke pojok terminal. Di pojok terminal itu ada ibu-ibu pedagang oleh-oleh yang bertanya 'mau ke mana mas e?' Saya jawab ke wonosobo. Dia bilang gak ada bis langsung. Beliau ngasih tau supaya naik angkot saja ke terminal lama. Di sana ada. Nah kan, ketemu juga celahnya supaya gak naik si supir mobil preman yang nguras kantong. Sejurus kemudian kami cabut dari terminal, menolak tawaran 50rb itu, beralih ke angkot kuning merah seharga 3rb perak saja bos. hahaha.. Mampus. Susah betul apa kerja jujur?

Dari terminal lama ada bis 3/4 (yang tampak seperti bombom car). Si oji duduk di samping pak kusirnya. Saya sama si buluk di belakang. Pantat panas, pantat keras, pain in the ass. Ada hal-hal yang tidak saya mengerti dari kebiasaan supir di jawa. Kalau Tokyo drift itu dari Jepang, dan dulu kita dijajah Jepang, adakah kemungkinan darah balap ngepot sana sini macam itu menurun pada keturunan jawa? Gila! Jalanan menanjak ukuran mentok 2 mobil sedan itu dijajal si supir bus ini sambil ngerokok, one-hand driving like a boss. Sampai di Wonosobo jam 11. Badass!



Wonosobo masih jauh ke Dieng. Naik bis 3/4 lagi. Cara mengemudinya yang ini lebih woles. Sampai Dieng jam 12.an. Sekarang kondisinya bisa dijelaskan dengan pertanyaan : "Now, what?". Tidak ada rundown acara, tidak ada guide, tidak ada parameter-parameter yang menentukan derajat kesenangan yang harus dicapai. Pokoknya asal sampai Dieng, sudah.


Mampir di masjid dekat tempat kami turun. Makan di warung makan dengan ibu baik hati bagi kami, dan tidak baik bagi penjaga tiket. Karena berkat beliau, kami menghemat, tetapi bagi penjaga tiket telaga, warna, mengurangi pemasukan mereka. Ibu warung nasi itu memberi tahu jalan menuju Telaga Warna secara cuma-cuma, hanya perlu naik bukit melewati ladang penduduk dan semak belukar.







Telaga warna hanya begitu saja. Saya pikir ada kora-kora atau perahu bebek. Tapi bagus lah tidak ada wahana itu. Elok dipandang tanpa macam-macam.

Lewat dari sana, berjalan lagi ke arah barat. Jam 15.23. Menemukan masjid di sekitar pemukiman warga. Saya pikir sudah waktunya ashar. Solatnya kelar, eh ada sang bapak baru adzan. Jadilah kami restart solat ashar, berjamaah.


Semakin sore. Sekitar 400 meter lagi ada objek wisata lain. Candi Arjuna. Dan lagi-lagi, kami sedang diberkahi keberuntungan. Masuk sana tanpa bayar seperak pun.








Di pintu keluar kami (atau seharusnya pintu masuk bagi wisatawan), banyak pedagang oleh-oleh. Entah, saya tertarik dengan barang satu ini. Hendak saya beli untuk cinderamata untuk yang di kota tapi ujung-ujungnya membeli cinderamata lain.

 Magrib tiba di spot awal. Sewa penginapan hanya seharga 80rb, dibagi 3 orang. Saya hitung-hitung, sampai hari itu, mungkin belum mengeluargkan hingga 200rb. Padahal tiket kereta sudah beli PP.


***

| Mei, 13 |

Pukul 1.20 dini hari. Tiga orang buta arah yang belum tahu medan hendak mendaki Gunung Prau. Karena dari awal, saya adalah pihak yang mengajak 2 orang tadi, saya perlu sok-sok an tahu medan. Take a lead dari SMP Negeri Dieng, lewat jalan berbatu, ladang penduduk, ikut insting. Karena google maps tidak bisa diandalkan. Pendakian malam lebih banyak hambatan. Saat itu, selain cuaca dan pasokan oksigen yang relatif tipis, air minum juga hampir setengahnya habis, padahal 1/2 jalan saja belum. Barulah setelah kurang lebih 3 jam pendakian, kami tiba di puncak pertama. Kami yang tidak tahu apa-apa mengira ini puncak utamanya. Tapi saya penasaran, memang semudah ini? Lagi pula, di depan masih ada gunung lagi. Setelah pikir-pikir lagi, barulah kami sepakat untuk lanjut ke gunung berikutnya. Lewat semak belukar dengan kanan kiri adalah jurang. Malam hari memang tidak terlihat. Ketika pulang, kami sadar kalau semalam itu kami berjalan di bibir jurang. Gila. 

Kata seorang kawan, mendaki gunung bukan masalah menaklukan gunung itu, namun menaklukan diri sendiri. Apalagi yang dilihat ketika berada di atas gunung yang gelap pada malam hari selain langit? Merasa kecil, tidak berdaya, lalu terkadang malu akan dosa-dosa. 



Dari carrier saya keluarkan Al Qur-an. Hendak mau berdekatan dengan Tuhan. Saya mencari surat yang tepat. An-Najm pikir saya. Bintang. Memang dari atas sini, mereka memperlihatkan diri. Cantik bukan buatan. Dalam kondisi angin kencang, membacanya malah membuat semakin merinding. Lanjut ke Ar-Rahman. Baru setelah itu, tinggal do'a-do'a yang perlu dipanjatkan. Dan juga nama-nama yang perlu disisipkan dalam do'a.

Pukul 5.02. Itu adalah momen di mana saya mengumandangkan adzan kembali setelah 12 tahun tidak melakukannya. Sejak pindah dari kampung ke Bandung. Mistis rasanya. Sampai saat ini, saya belum menemukan susunan kalimat yang tepat untuk menggambarkan saat itu. Saya punya mimpi mengumandangkan adzan di puncak di tempat lain. Menara Eiffel. Kita lihat nanti.






Pukul 7.30. Turun dengan jalan agak memutar. Mungkin sekitar 3 km. Menuju tempat makan, sarapan. Istirahat sebentar, siang meninggalkan dieng menuju Temanggung. Untuk tujuan lain.



***

Ada banyak budaya jawa yang saya kagumi. Di bis menuju temanggung misalnya. Ada bapak yang membayarkan ongkos seorang nenek. Ada seorang ibu pedagang yang menwarkan anak SD untuk duduk di pangkuannya. Semua itu elok dipandang.



Di temanggung, niat awal adalah bertemu pak singgihh. Saya mau bertanya-tanya soal bibit mahoni dan sonokeling. Mau minta atau beli untuk ditanam di sepetak lahan di pangandaran. Tapi beliau tidak ada. Sedang ke Bali beserta keluarga. Saya agak kurang enak menginap di rumah orang yang tidak ada pemiliknya, meskipun ada orang kepercayaan beliau. Yang bisa dilakukan untuk membalas budi hanya menyapu dan mencuci piring sendok gelas saja.


Semalam saja kami di temanggung. Esoknya bergegas ke Jogja karena si Oji mau berurusan dengan perusahaan tempat dulu dia KP. Dai temanggung ke magelang, dari magelang ke jogja. Bis setan yang membawa kami dari Magelang dan Jogja benar-benar Syaitonnirrojim. Supirnya terutama. Dia bunyikan klakson berkali-kali sepanjang perjalanan. Entah apa maunya. Hampir-hampir saya cocok hidungnya pakai kapal selam karena kesal sudah di puncaknya. Untunglah turun lebih dulu.


Ke Stasiun Lempuyangan. Niat awal adalah menukar tiket, menyewa motor, pergi ke kawasan sleman, jalan-jalan sambil menunggu kereta pulang pukul 7 malam. Saya pikir si oji sudah paham medannya. Nyatanya kami masih harus jalan agak jauh mencari tempat sewa motor. Hasilnya pun nihil. Si Oji jadinya naik ojek ke sekitar Sleman, saya dan si buluk ke malioboro.




Sore sudah hampir habis. Berkumpul kembali di Lempuyangan. Transit di masjid terdekat sampai agak magrib, lalu masuk stasiun. Kereta datang, kami pun pulang. 

***

| Mei, 15 |

Oleh-oleh tertinggal di musholla Pom bensin kiaracondong. Buru-buru balik lagi setelah setengah jalan naik angkot. Masih ada dan alhamdulillah belum kadaluarsa.

No comments:

Post a Comment

Trip Intergalaksi

Selasa, 23 Juni 2020 03.22 dini hari Kisah ini saya tulis begitu bangun tidur dari mimpi yang tidak akan pernah saya lupakan. Mimpi yan...