8.6.14

Masa Transisi

| Juni 1 |

Ke pak utju ambil piala sama si arie. Di bengkel cuma ada Pak Aka. Oh kuterpesona oleh keindahan piala ini. Dari yang saya kira bakal biasa saja, ternyata, wow. I mean, WOW! Suatu kehormatan dipercaya untuk mendesain piala ini. Satu hari nanti ini pasti jadi cerita. 

Tahap desain : 


Konsep


Revisi 1 - Material
Revisi 2 - Desain & Material




Dan ini hasilnya. Overall saya puas, kami puas. Di bawah ini dokumentasi si arie.








Tadinya mau berkunjung ke si budi penganten kemarin sore. Cuma jam 1 ada perlu di salman. SPN-SPN-an. Jam 3 si ausi mau minta dibuatin model TA tapi belum dateng-dateng juga. Ke pameran 'pokemon' tpb dulu sama si romi. Ketemu si Gigi, kidnapper waktu wisuda kemarin. Ternyata dia mau masuk desain produk. Saya nulis di notes-nya supaya 'jaga diri' di DP. Ha ha.. Di luar ada si gya jeme ari sandy irvan edo dan beberapa pokemon lain. Ngobrol-ngobrol. Maunya agak lama tapi si ausi nelpon katanya sudah di parkiran. Buru-buru nyamperin. Di lapmir, ketemu lagi si tante. Pakai dress putih, kalau tidak salah. Manis. Siapa yang sengaja? Padahal saya sudah bilang tidak akan bertemu sebelum kau jadi perempuan hebat dan saya lebih hebat. Tapi, sore itu saya cuma senyum saja. Senyum bodoh si gila. Gila karena... ah sudahlah.

Bantu-bantu si ausi di warpas dari mulai pelayannya masih pasang muka ramah sampai mukanya lelah. Jam 10.27 baru selesai. Padahal kami cuma berdua tapi duduk di kursi yang khusus ber-6 cuma karena butuh colokan listrik. 


Pulang ke arah parkiran SR. Saya kira parkir motor di sana. Kebiasaan. Eh sadar-sadar waktu ambil kunci motor. Motor saya parkirkan di basement salman. Sibodooh. Jam 11 itu. Jalan ke salman lihat gerbang basement sudah dikunci. Baah... Saya pikir bulan juni ini kesialan saya bakal berkurang. Keliling-keliling salman akhirnya ketemu seseorang. Saya tanya kalau satpamnya dimana. Dia bilang 'kelluar'. Saya kira intonasi dia bukan intonasi bertanya. Jadi saya bilang 'ooh terima kasih pak' saja sambil pergi lagi. Eh ternyata itu si bapak satpamnya. Jam stengah 12 baru bisa keluar.


| Juni 2 |

Bis ekonomi dengan rem karatan membawa saya 220 km ke arah timur jawa. Pangandaran. Mencari kesibukan berbuah uang jajan. Di jalan, sms dari si omen ketua karang taruna. Panggilan buat malam nanti ada rakor di balai RW katanya. Dari si ibuk saya tahu kalau DKM minta bantuan karang taruna buat bantu-bantu Isra Mi'raj dan menyambut Ramadhan. Tapi sayang, sekarang saya sudah di jalan. Amanah lain juga datang. Seminggu sebelumnya sms dari fika. Katanya, saya disuruh jadi wakil ketua penyelenggara peringatan 17 agustus di kelurahan. Maygad. Satu sisi saya bersyukur diberi tanggung jawab, artinya saya dipercaya kawan-kawan. Satu sisi, saya ada pekerjaan lain yang menuntut untuk selalu ke luar kota. Jadi bingung kan ente?



Itu adalah pemandangan di bis. Sebetulnya bukan si bapak bertopi dan tangan yang ngodok karung yang jadi pusat perhatian saya. Tapi justru si ibu-ibu beserta anaknya (di foto pertama) dan si anak muda kampring berbaju putih (di foto kedua). Si pemuda cukup merasa gaul sepertinya untuk merokok di dalam bis yang belum berjalan.


| Juni 3 |

Tidak selamanya pagi hari di kampung selalu damai. Cekcok rumah tangga orang. Si bapak sama istrinya yang ono noh, entah soal apa. Kedengarannya sepele. Sedari pagi saya enggan ke luar kamar. Hanya main pocket tank di laptop sambil menahan perut yang meronta-ronta minta disuapi sarapan. Siang baru reda. Cuaca di sini buat saya ingin mandi setiap jam. Apalagi kemarau begini. Besok ada project di wonosobo. Minimarket baru minta dikirimi barang. 


| Juni 4-5 |

Subuh-subuh sudah meluncur ke daerah jawa tengah. Tujuan utamanya ke wonosobo, kirim stok barang dan pasang beberapa item. Si bapak cuma cerita soal perusahaannya yang sudah kesekian kalinya diulang. Soal SDM. Saya cuma nyeletuk oh, hm, ya, sesekali. Mampir di purwokerto ke pak budi buat ambil beberapa stok cadangan. Di banjarnegara beli 8 kilo salak pondoh fresh. Dua kilonya habis dimakan sendiri sampai perut susah BAB. Sampai di wonosobo sekitar jam 4 sore setelah nyasar-nyasar ke Dieng. Beres urusan di 2 toko berbeda sekitar jam 7 malam. Pulang lewat Wangon. Saya pikir bisa lebih cepat, di GPS sih terlihat meyakinkan. Tapi berujung nyasar juga ke Cilacap kota. Saya ganti nyetir saja dari sana lewat sidareja lalu tembus ke pangandaran. Jam 2 pagi sampai. Tidur.

Pagi-pagi ke area pantai. Cari tuna tapi di pasar ikan cuma ada size Double S. Mana bikin kenyang. Ke Pasar pangandaran baru ada. Selesai urusan di pasar, pulang ke rumah betulan jam 12 siang. Tanpa sadar tertidur dari jam segitu sampai bablas magrib.

Malam ada obrolan seru di watsapp. Si ryan, sobat SD yang sudah beranjak dewasa cerita soal kehidupannya di ibukota. Sudah kerja dan mau menikah. Tapi dia malah curhat soal pacarnya yang sedang senewen, tapi si ryan bilang masih sayang (banget). Tadinya saya mau minta nasihat tapi saya urungkan niat. Tiba-tiba dia bertanya soal saya, kehidupan, karir, asmara, dan kesehatan. Saya jawab seadanya. Entah gosip darimana, dia bilang saya sedang dekat dengan sesama kawan SD dulu bernama dian yang sekarang di bogor. Dia tau dari si uni. Gebetan dulu sewaktu cinta monyet. Jadi, si uni adalah anak pak jaja yang sekarang sudah bersuami dan beranak serta tinggal di cikarang. Kata si ryan, si uni ini masih saja tanya soal saya, terutama yang ada sangkut pautnya soal kedekatan saya dengan perempuan manapun. Aneh sekali. Saya sudah tidak punya rasa apa-apa sama si uni, soalnya. Karena saya lagi punya rasa pada si ini, soalnya. Tapi sayang tidak bernasib baik. Jadi saya klarifikasi saja kalau itu gosip belaka. Memang susah urusannya kalau jadi pria ditaksir banyak gadis.

Ada project baru. Alhamdulillah. Dari mahasiswa-mahasiswi universitas sriwijaya. Buat gambar anatomi tubuh yang nantikan bakal dicetak jadi gantungan kunci. Ngobrol-ngobrol sama si dinta sampai dini hari baru beres.

| Juni 6 |

Berita lenyapnya ribuan ikan di tambak ilegal tepi sungai desa bikin geger setidaknya 2 orang ini. Si bapak dan kompatriotnya di desa, pak eeng pemilik bengkel mobil. Dua-duanya kehilangan masing-masing 1,5 kwintal, alias 3 kwintal kalau ditotal. Konon kabar akibat semalam hujan deras di hulu sungai, jadi meluap ke sungai ini, air naik, ikan juga manjat-manjat keramba. Voila! Lenyap tanpa sisa. Sayup-sayup ada kabar kalau banyak orang menemukan ikan mas di hilir sungai pagi harinya.

Habis jum'atan guyon-guyon soal lenyapnya ikan masih saja dilempar ke permukaan. Jam 2an mereka ke gym. Saya ikut. Di sana pun masih saja bahas ikan. Mungkin karena kesalnya sudah meluap, si pak eeng habis-habisan menjajal fasilitas gym-gym-an dangdut koplo itu sambil sesekali goyang-goyang bersenandung "pusing lauk beak, pusing lauk beak" (pusing ikan habis, pusing ikan habis.  -red.)



Ini pertama kalinya saya mencicipi tempat fitness. Di benak saya, tempat fitness itu semacam yang di iklan-iklan itu. Peralatan canggih dan instruktur yang ade-rai wannabe. Di sini lain cerita. Alat-alatnya dirakit sendiri sama empunya. Bahkan waktu datang ke tempatnya, masih terlihat si bapak pemiliknya masih ngelas besi-besi batangan buat dibikin alat baru. Kreatif gila. Di tembok-tembok terpasang foto-foto pria paruh baya dengan biceps dan perut yang berlekuk-lekuk, atau perut yang seperti roti sobek. Ada foto bertuliskan "before-after" dengan foto seorang pemuda kurus dan sebelahnya pemuda yang sama namun badannya membesar. Aneh. Tidak proporsional dengan ukuran kepala. Di sana saya cuma kuat 2 jam saja. Pegal-pegal seluruh badan itu urusan malam harinya. Jalan pun ongkeng-ongkeng.



Di alun-alun banjarsari mau ada pasar malam sepertinya. Seperti masa-masa kecil dulu, pasar malam adalah event sekelas Fujirock di Jepang. Kalau tidak datang, niscaya jadi orang paling hina se kecamatan, karena keesokan harinya, teman-teman akan banyak bicara soal pasar malam itu tentunya. Tapi pasar malam kali ini berbeda. Saya hanya sendirian saja di sini. Saya pikir, kalau saya datang ke pasar malam dalam umur segini, malah menjadi orang hina. Bukan umurnya. Dan lagi pula, kawan-kawan sebaya sudah tidak di sini. Mereka sudah pergi merantu, kebanyakan sudah menikah dan berencana menikah tentunya. Bagi orang-orang sini, menikah adalah salah satu menaikkan taraf hidup keluarga. Bagi orang-orang sini pula, memiliki motor gede ketika muda adalah modal utama mencari pasangan untuk menikah tentunya.

| Juni 7-8 |

Sore-sore waktu masih baca-baca buku TOEFL dan belajar nulis motivation letter, tiba-tiba si bapak ngajak ke bandung. Pulang lah, apalagi. Selalu saja seperti ini. Biar apa? Dikata sigap? Memang setelah itu saya bergegas. Tapi apa tidak pikir dulu ada waktu mandi, solat, packing. Di depan sudah kencang sekali klakson dan teriakan panggilan setengah membentak. Biasa.

Di perjalanan tidak banyak omong. Selain karena ada si neng Ai yang ikut nebeng ke garut, saya malas. Sampai garut, mampir ke toko, ngedrop neng Ai. Beli nasi goreng lalu ke penginapan. Wisma PKPN namanya. Saya pikir saya bisa ngobrol sesuatu sama si bapak selama mau tidur. Karena di sana ada dua tempat tidur. Ya obrolan soal anak sama bapak seperti kebanyakan orang lah. Tapi mana ada. Malam itu entah dia tidur di mana saya tidak peduli. Saya tidur sendiri saja. Pintu depan bahkan saya buka sedikit, kalau-kalau dia mau masuk. Sampai subuh, tempat tidur sebelah masih rapi. Tau-tau pagi hari sudah ada di teras dengan 2 piring nasi kuning. Dari garut, langsung menuju bandung. Tidak berharap banyak diantar sampai depan rumah, karena tahu, semenjak kecil hidup saya penuh dengan wacana seorang ayah. Diantar sampai depan terminal sambil ongkeng-ongkeng bawa sekarung beras+backpack. Dari dompetnya beliau keluarkan 220rb. Untuk saya? Jazakallah.

Jujur saja, saya mempermasalahkan nominal itu. Pertama, karena ongkos dari bandung ke pangandaran minggu lalu, itu setengahnya. Which is 100rb. Lalu satu minggu di sana saya beli peralatan mandi juga makanan kecil pengganjal perut kalau-kalau waktu jam makan, belum ada nasi. Enggan saya masak sendiri/minta dimasakin kalau ada istrinya/sama istrinya itu. Kedua, setelah berbagai rencana hidup yang sudah saya utarakan, les bahasa lah, S2 lah, cari kosan buat kerja lah, atau sekedar biaya hidup sehari-hari, selama sebulan (?), 2 bulan (?), si bapak hanya membekali anaknya ini saja. Tapi terima kasih.

Biarlah. Saya memang sudah biasa. Biasa makan hati pasti menyehatkan hati, nantinya. Itu berdasarkan anjuran dokter. Saya memang menangkap maksudnya, supaya saya berusaha sendiri, cari akal sendiri, cari cara bagaimanapun supaya survive dalam kondisi di bawah seperti ini. Tapi, namanya anak, bukan materi yang perlu diperdebatkan di sini. Satu pertanyaan saya, apakah selama ini saya diperlakukan sebagai anak atau pegawainya? Karena saya pikir ini sama saja. Diminta setiap ada waktu luang supaya ngecek toko, periksa ini itu, atau ikut bantu-bantu di toko. Oke lah saya kerjakan. Toh berbakti itu kewajiban anak. Tapi bukan ini pula yang saya harapkan. Saya sadar, mungkin anaknya ini banyak mengecewakan dia, tidak mau meneruskan usaha, gagal dapat kerja, tak laku di depan wanita, atau sebagainya. Mungkin sedikit yang bisa dibanggakan. Saya akui dan saya minta maaf akan hal itu, Pah. 

Begini saja lah, saya, si adek, rasanya kehilangan apa itu perhatian seorang ayah. Perhatian bukan hanya uang uang dan uang saja. Karena engkau bukan donatur beasiswa. Untuk biaya hidup, bekal kuliah, atau sebagainya. Saya berani jamin kalau masalah itu selama ini tidak ada sepeser pun yang tidak saya gunakan untuk hal-hal aneh menurutnya. Tidak pernah. Dan kalau ditanya biaya sekolah, tentunya sudah saya usahakan maksimal selama 12 tahun terakhir ini. Tapi perhatian, kasih sayang, atau apalah tetek bengek itu dinamakan orang-orang yang hidupnya harmonis-harmonis saja. Saya sadar mendasar bahwa ada gap status 'satu keluarga' yang mungkin membatasi. Dan saya tidak mengerti saya adalah anak di posisi apa. Broken home menggantung? Ragu-ragu. Entahlah. 

Yang hendak saya bilang malam kemarin, di perjalanan, di desa, dan waktu-waktu kemarin, itu tentu soal bulan mei lalu. Atau selama 12 tahun beliau hanya terasa seperti donatur. Kemana dirimu? Yang saya maksudkan adalah jiwa. Karena raga jelas tentu ada di depan mata. Anakmu ini sedang belajar berlari. Berlari kencang mengejar layang-layang yang tinggi di awan. Jatuh ke dalam kubangan yang cukup dalam. Memang bisa bangun sendiri, tapi bantulah. Setidaknya, berteriaklah dari ujung sana. Sehingga aku tahu kau masih melihatku, memperhatikanku. Aku bahkan ingin belajar berlari kencang sepertimu. Kencang dan kuat seperti kuda sumbawa. Setelah aku mengerti bagaimana berlari dengan gagah, niscaya aku tidak mau sepertimu, seperti kuda sumbawa yang buruk perangainya, menurutku. Aku ingin menjadi kuda mustang. Namun pasti, aku tidak akan lupa dari siapa aku belajar hingga aku mencapai hal itu.

I thought i had my life mapped out
***

Tulisan di atas, lemah kali. Memperlihatkan kepecundangan, haru biru, tampak ingin dikasihani. Tapi maaf, tidak perlu. Mungkin nanti sepulang ibu saya bicara ini itu. Besoknya mungkin lega kembali. Atau nanti sibuk-sibuk di karang taruna. Sesekali tidak memikirkan diri sendiri dulu. Sesekali memikirkan orang lain juga.


No comments:

Post a Comment

Trip Intergalaksi

Selasa, 23 Juni 2020 03.22 dini hari Kisah ini saya tulis begitu bangun tidur dari mimpi yang tidak akan pernah saya lupakan. Mimpi yan...