10.7.14

Kolaborasi

Parameter keberhasilan suatu sistem pendidikan adalah membuat suatu generasi yang lebih pintar dari generasi sebelumnya. membuat murid lebih hebat dari gurunya. Sudah bukan jamannya pemikiran bahwa guru adalah dewa dan murid adalah kerbau.

***

April 2014, saya diwisuda dari kampus ITB, di tengah kencangnya kritik dan opini masyarakat tentang mahasiswa-mahasiswa ITB yang dinilai tidak banyak berkontribusi pada perubahan bangsa juga negara. 

Tidak sedikit yang menyebut bahwa suatu kebanggaan masuk dan lulus di institusi yang termasuk bagus di negeri ini. Masa-masa SMA dulu adalah ketika nama ITB mulai memesona di mata saya. Singkat cerita, tahun 2009 saya diterima.

Semester demi semester saya jajaki dengan pengalaman berbeda-beda. Karena saya masuk di Fakultas Seni Rupa dan Desain, tahun pertama lebih banyak pada 'acara-acara' internal FSRD. Tidak bisa saya sebutkan karena bukan sesuatu yang mudah diceritakan, tetapi dirasakan dan dialami. Seru. Meskipun kontribusi saya tidak sebanyak kawan lainnya. Kalau saya bilang, tahun pertama bagi anak FSRD itu pasti tahun-tahun banyak ceritanya. Yang berikutnya pasti Pasar Seni. Tapi itu lain cerita dan bukan itu yang hendak saya utarakan di sini. Itu pendapat pribadi, tapi silakan tanya yang lainnya kalau tidak percaya.

Berbeda dengan tingkat pertama, tingkat 2 dan seterusnya sudah masuk program studi. Teman-teman yang waktu tingkat 1 masih satu pergaulan, sudah berbeda mainannya. Dituntut untuk mandiri. Mengenal teman-teman baru, senior, dosen-dosen, staf-staf, asisten, dan lainnya. Tanpa bermaksud mengeneralisir, mungkin sama saja dengan mahasiswa di program studi lain di luar FSRD. Masa-masa pasca TPB lebih banyak 'sendiri', yang bisa juga diartikan asyik sendiri, asyik di himpunan sendiri, asyik di komunitas sendiri. Memang masih banyak yang masih melirik dunia luar untuk sekedar bersosialisasi misalnya di unit, kepanitiaan, atau organisasi kemahasiswaan semacam KM-ITB. Namun tidak sedikit juga yang arena bermain dan berkaryanya hanya di kandang sendiri, himpunan sendiri, prodi sendiri. Masih untung di kandang sendiri tapi buat karya dengan tim. Nah ini, sudah di kandang sendiri, tugas atau karya masih saja digarap sendiri. Bukan soal benar salah. Bukan pula bermaksud menjudge sehingga terkesan negatif. Tapi di era seperti ini, sudah tidak relevan jika segala sesuatu masih dikerjakan sendiri. 

Saya mengutip perkataan Prof.Dr.Ir. Abdullah Alkaff di sebuah acara kementrian pendidikan. Saya lupa tema acaranya, tetapi kurang lebih mengenai pola pikir guru dan siswa di kurikulum 2013. Yang saya garis bawahi adalah pendapat beliau soal collaboration. Beliau menjelaskan soal rumus efektivitas kolaborasi : 1/2 n x (n-1). Jadi misalnya ada 10 orang berkolaborasi, itu efektivitasnya 45 kali. Itu hanya hitung-hitungan saja. Tetapi jika direalisasikan, impactnya terasa betul. Tidak usah tanya kenapa bisa. Pertanyaan itu bisa terjawab dengan cara googling dan cari saja perusahaan-perusaahaan bonafit yang produk/alat/jasanya kita pakai sehari-hari. Umumnya mereka memiliki banyak SDM dari berbagai bidang keilmuan.

Saya jadi teringat mengenai proses perkuliahan yang saya tempuh selama kurang lebih 4.5 tahun kemarin. Dari tingkat 1 sampai tingkat akhir, saya rasa kalau 83.56%-92.26% tugas-tugas perkuliahan umumnya sangat bergantung pada kemampuan pribadi dalam menganalisa, merumuskan, hingga menyelesaikan. Memang ada yang digarap secara tim, tapi ujung-ujungnya, maaf 'nyampah'. Banyak yang bilang 'asal jadi lah'. Saya juga pernah begitu. Kondisinya bisa karena tim itu hanya terdiri dari satu pergaulan itu-itu saja atau satu multidisiplin ilmu itu saja tapi bukan teman yang itu-itu saja, padatnya tugas lain, waktu, atau faktor lain. 

Di program studi Desain Produk, tugas studio sudah seperti project profesional. Saya selalu kepedean, merasa kalau saya sudah benar-benar menjadi desainer ketika menggarap tugas studio. Namanya mimpi boleh saja lah ya. Skill-skill dan materi kuliah yang disampaikan oleh dosen adalah teori, dan tugas studio ini adalah kesempatan mempraktikkannya. Dan tentu, skill tiap individu mahasiswa pasti berbeda-beda. Mayoritas tugas-tugas itu adalah tugas personal. Mungkin hanya 1 tugas studio saja yang bisa dibilang tim, tetapi konsep produk akhir tetap dikerjakan personal. Bagi mahasiswa desain produk, hal itu da kelebihan dan kekurangannya :

Kelebihan :
1. Mahasiswa dituntut mandiri
2. Merangsang curiosity (rasa ingin tahu) dengan inisiatif sendiri
3. Menguji kompetensi diri
4. Melatih kepercayaan diri.

Kekurangan :
1. Output produk mayoritas berkutat di jenis craft, footwear, tas, atau furniture. Karena jenis-jenis produk itu adalah tipikal produk yang teknik produksinya mudah, murah serta material pun mudah didapatkan. Memang ada sentuhan desainnya. Sentuhan desain baru tetapi image yang mirip seperti produk-produk yang sudah ada. Let say Magno, Jansport, Ikea.
2.  Kurangnya minat untuk mengerjakan project sustain yang menuntut kinerja tim. Karena terbiasa bekerja secara individu, begitu bekerja secara tim, merasa kesulitan terutama dalam membangun relasi. Kurangnya empati biasanya penyebab utama. Biasanya
3. If you want to go fast, go alone. If you want to go far, go together. Bekerja secara tim berarti ada keselarasan visi, goal yang ingin dicapai, dan siap bersusah payah terlebih dahulu, untuk akhirnya mencapai kesuksesan bersama yang lebih besar. Mostly, di kampus ini, mahasiswa maunya keberhasilan itu cepat. Makanya, daripada nungguin orang lain, mending jalan sendiri, urus sendiri. Meskipun tidak sedikit juga orang-orang idealis yang bersikukuh mewujudkan impiannya bersama timnya. 


Menurut hemat saya, bagi negara seperti Indonesia yang masih jauh dari maju, kolaborasi adalah senjata utama. Akan sulit maju jika bangsanya punya cita-cita sendiri dan diwujudkan sendiri. Menjadi negara berkembang saja terus, apa tidak bosan? Ketika negara jepang dan amerika sudah memupuk konsep kolaborasi pada generasinya semenjak usia dini, balita-balita di sini dijejali pendidikan yang justru membuatnya menjadi pribadi individualis. Disibukkan dengan PR-PR yang harus dikerjakan individu, bersaing, sistem peringkat, nilai, lulus/tidak lulus. Padahal sebaiknya, pendidikan itu tentang bagaimana melatih menyelesaikan secara prosedural, bukan hasil akhir yang instant. Biarkan jawaban yang panjang dan bertele-tele. Biarkan rasa ingin tahunya tetap liar. Dan guru itu sejatinya memang harus mengerti pola pikir anak. Dan jangan hanya menyerahkan pendidikan itu pada guru di sekolah saja, keluarga adalah pendidikan utama anak-anak. Ah kalau diteruskan malah semakin melebar. Sebenarnya masih ingin saya tumpah ruahkan isi kepala. Tapi mana becus saya bahas begituan. Masih butuh banyak belajar.

***

Singularity. Keanehan. pada tahun 2045 diprediksi, manusia bisa menciptakan suatu alat/produk yang lebih pintar dari penciptanya itu sendiri. Disebut keanehan karena memang aneh. Manusia sebagai kreator diprediksi bisa kalah oleh ciptaannya sendiri. Lihatlah film I, Robot-nya si will smith. Ya begitulah kira-kira prediksi para scientist dan engineer. Saat ini, peradaban manusia sedang mencapai ke arah sana. Otomasi. Diawali dengan kondisi manusia yang serba sibuk dan membutuhkan alat bantu, muncul komputer sebagai alat bantu menghitung. Berkembang semakin canggih hingga seperti sekarang. Ponsel yang serba bisa mengatur hidup manusia, seolah-olah tidak bisa hidup tanpa alat itu. Seperti hukum moore tentang otomasi. Segala pekerjaan sudah serba otomatis, dan itu membantu manusia. Waktu menjadi lebih efektif dan efisien. Pekerjaan menjadi lebih cepat dan mudah. Jika hal itu diterapkan dalam tatanan negara, bisa dilihat contohnya di negara-negara eropa, amerika, jepang, dan korea selatan yang kini mulai maju. Jika dilihat ke belakang, semua itu diawali karena kesamaan visi, tujuan, dan cita-cita bersama yang diwujudkan dalam kerja bersama, gotong royong, kolaborasi.

***

Melihat kondisi sekarang yang serba tidak tentu, jika bukan presiden, memikirkan cita-cita bangsa bersama sepertinya akan dicap tidak waras. Apalagi lulusan PTN yang hidupnya luntang lantung saja. Ini catatan pribadi saja :

Setelah kurang lebih 2 tahun mengamati pola kehidupan sosial di sekitar rumah, ada poin-poin yang ingin saya soroti terutama mengenai konsep kerja kolaborasi ini. Kebetulan masyarakat di sekitar sini memiliki sejarah gotong royong warga yang sangat baik. Sejak tahun 1980an sudah ada Karang Taruna yang menggagas program-program kerja yang sifatnya kolaborasi. Dan alhamdulillah, sampai sekarang sifat itu masih ada, dan harapannya ingin tetap ada. Yang menjadi kendala itu terkadang kaum pendatang yang justru sulit diajak beginian. Dan ya memang, semakin heterogen suatu sosialita itu semakin sulit dileburkan dalam satu konsep bermasyarakat. Tapi bukan berarti tidak bisa. Harapan itu tetap ada.







***

Tulisan ini dalam bentuk belasungkawa pada salah satu pendidik terbaik di kampus gajah. Meskipun saya tidak pernah bertemu, saya hanya sering mendengar sepak terjangnya. Selamat jalam Pak Hiskia Ahmad. 

Lakukan kegiatan yang berguna di luar ITB, berikan yang terbaik bagi masyarakat luas." 
- Alm.Drs. Hiskia Ahmad -

No comments:

Post a Comment

Trip Intergalaksi

Selasa, 23 Juni 2020 03.22 dini hari Kisah ini saya tulis begitu bangun tidur dari mimpi yang tidak akan pernah saya lupakan. Mimpi yan...