15.7.14

Mini Kontemplasi

Belakangan aku disibukkan dengan kegiatan yang cukup penting : memilih kata 'aku' atau 'saya' sebagai kata ganti orang pertama di blog ini. Akhirnya, setelah mempertimbangkan dan menimang-nimang anakku sayang, aku pilih 'aku'. Terdengar aneh.

***

Ada satu waktu di mana kebingungan karena bingung. Bingung kan? Contoh nyatanya adalah pagi ini. Mungkin ada sekitar 23 detik hidupku sia-sia. Memandang tembok putih, bengong. Aku seperti kehilangan kendali atas diriku sendiri. Aku ini siapa? Harus berbuat apa? Ingin apa? Dan semua itu terkumpul dalam 23 detik yang sia-sia. Seperti burung lupa sarangnya.

***

Belakangan aku harus extra sabar jika sedang berada di sekre karang taruna. Aku tidak suka rokok dan perokok. Tiap malam aku harus merelakan beberapa detik untuk menghirup asap rokok yang berseliweran di udara. Ditegur? Sudah. Peringatan? Sudah cukup diingatkan. Apa yang saya perbuat ini bukan membiarkan anak-anak muda ini bebas merokok, tapi karena aku adalah minoritas. Minority always lose. Kalau sudah sangat tidak tahan, aku harus ke luar. Mengalah itu berarti kalah. Karena aku kalah dalam berdebat secara batin dengan anak-anak muda perokok yang berhasil mengusirku tanpa kata-kata. Siapa yang benar?

***

Tidak ada manusia yang serba tahu, bahkan seorang nabi. Maka dari itu, manusia butuh sosok yang ahli pada bidang tertentu untuk dijadikan role model atau sekedar numpang tanya tentang apa yang tidak diketahuinya. Hal-hal spesifik seperti belajar agama, pada kiyai. Belajar musik pada musisi. Belajar astronomi pada penjaga observatorium, misalnya. Tapi belajar menulis tidak harus pada penulis. Belajar berlari tidak harus pada pelari. Namun tetap saja, ketika kita tidak tahu menahu soal ilmu kehidupan, perlu sesosok orang hebat yang dikagumi untuk dicuri ilmu-ilmunya. Dan soal cinta, aku tidak tahu harus belajar pada siapa. Sejauh ini, mungkin Ali dan Fatimah -- yang hanya bisa kubaca ceritanya tanpa bisa bertanya bagaimana caranya.

***

Aku sedang hidup sebagai sebatang kara di kehidupan masyarakat. Sebatang kara yang aku artikan sendiri : tidak ada sebaya, tidak ada kawan sepemikiran, tidak ada tempat berkeluh kesah. Tiap hari karang taruna. Memang banyak anak muda tapi betul-betul masih muda, puber, dan mostly masih menganggap galau karena cinta itu termasuk dalam menu 4 sehat 5 sempurna, masih menganggap tato=cowok macho, masih berpikiran 'aku mau kaya tapi santai-santai saja'. Seringkali aku bingung menghadapinya. Seringkali aku lelah. Semoga Tuhan memberiku kekuatan lebih. Dari fisik, keteguhan hati, dan komitmen akan tanggung jawab yang kupikul ini.

***

Kit-kat green tea dari si Ausie belum diambil. Tadinya mau dikasih ke orang, tapi tidak di bandung. Kartu ATM belum diambil. Foto wisuda belum diambil. Semua itu bisa diselesaikan dalam satu hari dan satu tujuan saja sebenarnya. Tinggal ke kampus. Tapi Masya Allah, malas kali. Memang ada hal-hal yang bisa saya handle sepenuhnya sendiri, tapi ada pula hal-hal yang tidak bisa sepenuhnya sendiri. Bisa saja sih sendiri, tapi lebih dari satu orang berarti ada obrolan. Mengasah kemampuan bersosialisasi.

No comments:

Post a Comment

Trip Intergalaksi

Selasa, 23 Juni 2020 03.22 dini hari Kisah ini saya tulis begitu bangun tidur dari mimpi yang tidak akan pernah saya lupakan. Mimpi yan...