4.10.15

Mahasiswa, Di Mana Otaknya?

Saya mencari otaknya, bukan orangnya. Otaknya mau saya pasang di kepala anak muda lain di dekat rumah saya yang kakinya masih dipakai melangkah ke rumah tetangga, yang tangannya masih dipakai untuk berbagi, yang matanya dipakai melihat kondisi orang lain, yang mulutnya sibuk meladeni obrolan manula-manula, dan yang waktunya ada untuk orang banyak, bukan satu orang yang belum tentu jadi pasangan seumur hidupnya.

***

October 5th

Begini.Kata Soekarno, melawan penjajah itu lebih mudah dari pada melawan bangsa sendiri. Sebuah tulisan tentang tantangan. Apakah ini tanda harus menyerah karena lelah atau karena merasa sendiri?

Akhir-akhir ini di aplikasi messaging ternama banyak bermunculan shared post di timeline saya yang bertajuk #ITBHitz #girl. Saya tidak meng-add akun tersebut, tetapi teman-teman saya, yang juga teman-teman dekat si ‘fulan’ yang ada di postingan tersebut, ng-eshare/nge-like postingan tersebut. Seperti ini ya ‘side project’ mahasiswa sekarang di luar jam kuliah? Oh kalau ini konteksnya ‘why so serious?’ sebagai dalih refreshing dari penatnya kuliah, apakah se-level ini sense of humor anak muda sekarang? 

Look-ism. Sebuah isme/faham di mana penilaian dilakukan berdasarkan tampilan fisik luar. Cantik-tampan, seksi, mulus, dan penialaian lain yang termasuk kategori ‘beauty-judgment’. Pertanyaannya, jika mahasiswa adalah elemen masyarakat yang berfungsi sebagai pelita baru/lilin yang baru dibuka dari tempatnya, yang mampu mengubah apa yang salah menjadi sebuah kebenaran, apa yang bisa dilakukan dengan kecantikan dan kegantengan itu di masyarakat? Buka salon kecantikan?

Berada di lingkungan yang masih banyak PR-nya dalam berbagai bidang adalah tantangan. Kalau ada seorang pemuda berpendidikan yang tantangan terberatnya selama ini hanya ke puncak gunung lalu hanya pamer foto, let’s talk and share each other about ‘challenges’. Jika persepsi kita sama, ya bagus. Kalau berbeda, coba bandingkan ego siapa yang lebih tinggi. Lalu bersediakah buat nurunin ego itu (kalau kamu yang lebih tinggi egonya) untuk menyamakan visi.

Saya bersyukur pola pikir saya ditempa di sekolah-sekolah yang luar biasa, bertemu orang-orang hebat, dan juga ilmu-ilmu yang melimpah ruah. Selama itu saya mencoba memanfaatkan ketiga unsur tersebut untuk diolah dalam otak sehingga membentuk pola pikir. Urusan jadinya baik buruk, benar salah, itu bisa dilihat setelah saya menerapkannya dalam perilaku sehari-hari.

Di tempat saya tinggal, ada banyak anak muda. Tipikal anak muda lulusan SD, SMP, atau SMA/SMK yang masih senang bermain tapi kehidupan ekonomi keluarganya menuntut dia untuk bekerja tanpa harus menambah ilmu di perguruan tinggi. Pekerjaan yang ia geluti saat muda tersebut pun seringkali tidak sesuai kemampuannya, bakatnya, juga passionnya. Akibatnya, kerja kadang sambil main (HP), bawaannya gak sungguh-sungguh, males kalau sudah bosan. Mirip seperti bermain bukan? Misalnya saja, main monopoli. Awalnya excited bukan main. Lama-lama bosan. Bubar. Tercermin juga di kehidupan sehari-hari. Kurang menghargai waktu, tidak tepat waktu, tidak disiplin, pemalas, kebluk (bangun siang, karena sering begadang kebanyakan hiburan), ceroboh, kurangnya rasa tanggung jawab, tidak inisiatif, rendah diri, tidak berani, tidak mau mengakui kesalahan, malu bertanya. Kerjanya seiprit maunya gak dikit. Kalo gak diikutin maunya, anarki, manja, drama. 

Bukan salah mereka, bukan salah orangtuanya. Memang, life is not a matter of chances, it’s a matter of choices. Tapi mereka tidak punya pilihan, tidak juga kesempatan. Orang-orang beruntung seperti kita lah, para sarjana, cendekiawan, yang berkewajiban menggandengnya untuk maju bersama.

Tetapi, jika keadaan masih seperti itu, cukup sulit bagi saya yang benar-benar memimpin sendirian pemuda-pemudi kawasan ini, untuk membuat sebuah gebrakan atau inovasi atau realisasi ide-ide gila yang impact-nya besar untuk kemajuan kawasan ini. Saya menyerah? Tidak. Belum lebih tepatnya. Saya masih mencoba mengajak dan meminta bantuan pada mereka-mereka, para cendekiawan muda untuk menyumbangkan pikiran-pikiran dan ilmu-ilmu luhurnya untuk ditanamkan di kawasan ini. Meskipun ada saja yang masih sibuk atau sok menyibukkan diri di kamar hangatnya, di balik jendela kamar yang mungkin pura-pura tidak ada ketika di-samperin ke rumahnya, di motor-motor kreditan yang dipakai pacaran penuh drama ecek-ecek, dan di tempat lainnya yang membaca tulisan ini tapi tidak berbuat apa-apa. Saya memanggil hati kalian, para cendekiawan muda, calon sarjana muda, calon pemimpin bangsa untuk turun tangan, bukan tunjuk tangan. Saya memanggil hati kalian karena memanggil lewat telinga kalian, hanya masuk lalu keluar. Memanggil lewat smartphone canggih kalian, hanya dibaca tanpa dibalas. Jika masih ada sedikit saja panggilan hati di tengah padatnya kesibukan, ikutilah. Kesibukan kalian tidak 24 jam/7 hari kan? Kecuali sudah mati rasa iba kalian wahai cendekiawan muda. Bersiaplah mati tidak berguna digerogoti rayap yang lebih banyak gunanya.

No comments:

Post a Comment

Trip Intergalaksi

Selasa, 23 Juni 2020 03.22 dini hari Kisah ini saya tulis begitu bangun tidur dari mimpi yang tidak akan pernah saya lupakan. Mimpi yan...