1.1.16

Insiden Pak Brutus, seorang alkoholik yang sedang kritis

Selamat datang pada sebuah masa di mana kebaikan/keburukan adalah suatu relativitas yang tidak lagi diukur oleh norma adat, sosial, atau norma agama sekalipun. 

Hampir semua orang sepertinya berniat untuk melakukan perubahan dalam dirinya semenjak pergantian tahun masehi. Hari yang baru, tahun yang baru, jiwa yang baru, semangat yang baru begitu katanya. Buat saya kedengarannya klise. Bahkan saya menganggap malam tahun baru seperti malam biasa saja. Pergantian kamis ke hari jumat kemarin itu seperti pergantian hari yang biasanya terjadi. Nothing special. Meskipun malam tadi saya habiskan meramaikan acara di tetangga, tapi tetap saja saya anggap bukan sesuatu yang harus dirayakan besar-besaran atau hura-huraan. Such a waste of time.

Kalau harus menunggu tahun baru untuk re-charge semangat, duh, kelamaan om, mbak. Recharge semangat bisa tiap hari toh? Contoh mudah ya dengan tidur tidak larut malam dan bangun pagi. Itu menurut saya. Nah kebayang kalau manusia harus menunggu momen hura-hura sebagai dalih refreshing hanya untuk me-recharge semangat. Habis materi duluan gitu mah.

Masih soal tahun baruan. Ada fenomena yang aneh pada satu malam itu. Identitas manusia seakan menjadi bias. Laki-laki dan perempuan yang menyatu bahkan tanpa batasan yang jelas. Melebur, menyatu dalam euphoria kemegahan ‘malam tahun baru’ di benak masing-masing. Bahkan orang tua yang mendorong anak-anaknya yang umumnya remaja agar ‘gaul’ menurut definisi mereka. “Gak taun baruan, Nak? Seru-seruan atuh jug!” Salah? Benar? Menurut mereka bisa jadi suatu kebenaran. Menurut saya kesalahan fatal. Relatif. Mereka mengukur kebenaran itu indikatornya adalah perkembangan zaman, kesetaraan gender, sekularitas. Indikator saya adalah norma agama.

Mabuk-mabukan, judi, begal, geng motor yang ikut serta ‘memeriahkan’ malam tahun baru menjadi hal lumrah dan mayoritas dari kita semua seolah disuntik mati melihat kondisi itu padahal kejadiannya dekat dengan kita. Kita tidak mencegah dari tahap paling awal. Kita disibukkan mengatasi akibatnya yang makin ke sini makin sulit diurai. Pencegahan tahap awal itu dari keluarga. Dan itu ditentukan dari bagaimana seorang insan manusia bertumbuh dan berkembang dalam satu lingkungan keluarga. Bagaimana orang tua yang cerdas mendidik akhlak dan pengetahuannya agar ketika remaja, pemikirannya sudah matang untuk bisa menentukan baik buruknya sesuatu didasari atas norma-norma yang ada.

***

Sekarang saya dihadapkan pada satu relativitas ini. Saya tidak membatasi teman. Saya membatasi pergaulan. Saya berteman dengan pemabuk, preman, tukang judi, geng motor. Tapi pergaulan kami dibatasi, mostly saya yang membatasi diri. Beberapa hari yang lalu seorang tetangga, tokoh masyarakat yang memang cukup dikenal di daerah saya mengalami insiden serius. Sebut saja Brutus. Usianya 65 tahun dan berasal dari keluarga kurang mampu. Ia mengalami penggumpalan darah, pecah pembuluh darah dan keretakan tengkorak belakang serius. Dibawa ke UGD rumah sakit terdekat untuk ditangani intensif. Sayang, BPJS yang dimilikinya tidak bisa mengcover biaya penanganan rumah sakit yang meliputi operasi, rawat inap, dan obat-obatan lainnya secara menyeluruh. Penyebabnya adalah indikasi alkohol yang terkandung dalam tubuhnya. Menurut dokter, pihak rumah sakit tidak bisa menerima bpjs jika kondisi pasien adalah sakit/cedera yang disengaja oleh pasien sendiri. Usut punya usut, ternyata menurut pihak keluarga, indikasi alkohol yang terdeteksi pada tubuh pak Brutus itu semata-mata untuk kesehatan pak Brutus itu sendiri. Pak Brutus mengalami insomnia akut dan seringkali, minuman beralkohol adalah obat tidurnya. Dan ketika kejadian, ada kemungkinan korban terjatuh sangat keras atau menghantam benda keras. Saksi satu-satunya adalah korban sendiri dan sampai saat ini masih tidak bisa diajak komunikasi.

Sampai saat ini, biaya yang terbilang besar itu masih belum bisa dicover sepenuhnya oleh pihak keluarga meskipun, menurut keterangan keluarga, rumah sudah digadaikan. Mengupayakan biaya besar dan cepat tidak mudah apalagi jika dilihat latar belakang kebiasaannya. Keluarga pak Brutus tentu tidak mau mendengar sentimen-sentimen negatif dari orang lain yang hendak memberi bantuan. Mereka hanya butuh biaya dan tanpa melihat latar belakang tersebut. Jika dilihat dari segi kemanusiannya, kita semua tentu iba dan merasa ingin sekali membantu, apalagi orang yang kita kenal cukup baik. Tetapi, jika kembali ke norma-norma yang berlaku, terutama norma agama, menolong pak Brutus seolah-olah memberikan legitimasi bahwa menjadi alcoholic itu merupakan suatu kewajaran. Satu sisi kita dituntut untuk menolak segala jenis minuman beralkohol tetapi di sisi lain terbentur rasa kemanusiaan. Saya inginnya bersikap apatis untuk memberi pelajaran bahwa minuman beralkohol nyatanya sama sekali jauh dari kebaikan. Tapi bersikap seperti itu ternyata malah jadi cemoohan karena sebagai salah satu pemimpin lembaga kemasyarakatan, saya dianggap tidak memberi banyak bantuan pada warganya. Ironis dan dilematis.

Sampai saat ini, follow up bantuan ke beberapa pihak yang fokus di bidang kesehatan masih di postpone. Pihak-pihak pemberi bantuan masih ingin melihat kejelasan latar belakang, status kesehatannya saat ini dan kemungkinan-kemungkinan ke depannya.

***

Kuncinya ada pada keluarga. Pendidikan keluarga yang selama ini diaplikasikan oleh masyarakat Indonesia hanya dilakukan atas dasar pengetahuan mereka sendiri. Saya menyebutnya sok tahu. Entah kata apa yang lebih layak selain itu. Karena ketika diberi pendidikan parenting, ada saja yang mangkir dan seenaknya. Padahal pendidikan parenting tersebut didasari banyak kelimuan baik dari segi adat, budaya, sosial, dan agama. Bagi seorang Muslim, pendidikan keluarga ada dalam kitab suci Al-Qur’an dan hadist. Lantas kenapa tidak membaca? Lantas kenapa menjadi sok tahu dan enggan bertanya? Apakah bertanya masih dianggap sebagai tanda bodohnya seseorang? Kalau masih beranggapan seperti itu, dan nantinya masih terjadi lagi seperti kasus di atas, maka jangan salahkan mereka yang sudah merelakan waktu dan tenaganya untuk peduli pada sekitarnya.

No comments:

Post a Comment

Trip Intergalaksi

Selasa, 23 Juni 2020 03.22 dini hari Kisah ini saya tulis begitu bangun tidur dari mimpi yang tidak akan pernah saya lupakan. Mimpi yan...