We are not too far away from that age when singularity will
come into reality. Just a matter of time. Jadi, saya tidak meragukan akan
sebuah teknologi yang bisa membuat ide yang terlintas di kepala baik berupa
thoughts (pemikiran), ideation sketch (sketsa, gambar, image board), fantasy,
daydreaming (lamunan), dan segala isi kepala, akan bisa dengan mudah
dicatat/didokumentasikan/direkam saat itu juga dalam sebuah alat/aplikasi/system/cloud
supaya mempercepat proses brainstorming. Misalnya sekarang, saya nulis blog
sambil mikir. Biasanya, proses mikir ini yang kelamaan, overthinking katanya.
Dan ujung-ujungnya ga jadi nulis. Coba kalau ada teknologi itu tadi. Saya jadi
tidak usah mengingat-ngingat kembali kejadian-kejadian kemarin yang terlewat
yang ingin saya tulis di sini.
***
Januari Awal.
Saya sudah merasa tidak kerasan berkeliaran di sekitar rumah
di Bandung terutama tetangga-tetangga. Ditambah beberapa hari kemarin juga
tersungkur nambru di tempat tidur, di kamar, karena ngecharge badan yang
baterenya habis dipakai rapat sampai larut, kesana kemari, ngerjain ini itu
sendiri karena meminta bantuan di media sosial (yang katanya memudahkan) malah
seperti monolog, atau ngomong sama tembok. Lebih parah bahkan, karena tembok
saja bisa membalas dengan gaungnya. Ini sama sekali tidak.
Intuisi saya biasanya selalu berkata benar. Saya percaya
intuisi/naluri saya hampir 90% bahkan sejak usia 8-9 tahunan. Intuisi saya saat
ini boleh dikata kurang sedap, bahkan seringkali saya merenung lama karena ini.
Masa-masa saya dihormati, atau setidaknya didengar, dalam kapasitas saya
sebagai ketua karang taruna sepertinya sudah di ujung tanduk. Saya bisa
merasakan auranya. Ketidakkompakan, kabar yang tidak pernah saya dapat baik itu
bahagia, duka, senang-senang, atau lainnya. Manusia itu aneh. Ingin berubah
tapi tidak mau diubah. Ingin teratur tapi tidak mau diatur. Kalau sekarang saya
dibilang tidak becus meng-handle SDM dan organisasi, yes saya akui dan saya tidak
akan mempermasalahkan pembicaraan-pembicaraan di belakang saya lagi. Toh orang-orang
yang berkata demikian tidak akan paham posisi saya, begitu juga kondisi di
dalam organisasinya. Nah kalau seorang pemimpin sudah dirasa tidak lagi
dibutuhkan, untuk apa mengupayakan, kan?. Sok lah silakan kembali lagi seperti
dahulu saling tidak mengenal, tidak ada lagi kegiatan-kegiatan sosial anak
muda, dan silakan nyanyi-nyanyi sampai larut malam tidak aka nada yang melarang
lagi. That’s fair enough.
Prediksi saya, ini karena selama ini saya dianggap cenderung
terlalu ‘serius’, disiplin tinggi, banyak aturan oleh sebagian orang. Hey, asa saya
pun pernah bercanda-canda dengan kalian kan? Atau memang karena sudah jenuh dan
seperti rollercoaster yang mau ke atas lagi, kalau hanya saya yang mendorong,
berat. Atau mungkin karena beberapa diantaranya pernah merasa tersinggung
dengan perkataan saya dan tidak mau angkat bicara di depan saya. Well, orang
Sunda itu melankolis. Cengeng. And they tend to exaggerated it. Berlebihan. Seringkali
saya sesalkan itu. Maka tidak usah komplen kalau sekarang RW sendiri saja
dipimpin keturunan Jawa Tengah. Yang memanggil saya dengan sebutan Mas, padahal
saya maunya disebut Kang, atau Mang. Tapi semua warga setuju dengan pemimpin
baru itu karena beliau amat vocal, tegas, disiplin. Beda dengan bapak-bapak
sunda di sini. Bisanya hanya berkomentar-komentar yang obvious, yang orang lain
juga sudah tahu, identik dengan telat, lelet, santai, dan yang lesu-lesu
lainnya. Memang ada yang vocal, cerdas, tapi begitu disuruh memimpin, takut.
Takut urusan duniawinya keteteran, pekerjaan, bisnis, liburan, dll. “Say amah di
belakang aja, di balik layar”. That’s bullshit! Ha ha. Yakin saya, perkataan
itu tidak akan berlangsung lama. Komitmen di balik layar hanya dalih agar lepas
dari tanggung jawab dan yang seperti itulah mental-mental lembek, serba takut
jika diberi tantangan dan tanggung jawab. Yah, memang itu dampak dari geografis
kota ini yang menurut saya terlalu nyaman dan membuat penghuni aslinya terlena
dengan kenyamanan ini, sampai tidak sadar rumahnya sudah dikuasai orang luar. Ha
ha.
***
January 17
Romi, seorang teman seperjuangan, sekelas di SMP, sekelas di
SMA, sekampus, se-geng sepedaan, sekelas sekolah pra nikah (yang agak impulsive),
se-band, senyambung-nyambungnya waktu ngobrol, kini sudah melepas status
lajang. Bahagia campur terharu sih ngeliatnya. Notabene cukup tau lika-liku
hidup dan percintaannya dari SMP karena memang sering bertukar pikiran soal
masalah perempuan. Terlebih waktu ikut SPN Salman. Mulai kemarin, apa yang dia
dapat di sekolah itu sudah mulai dipraktikan sepertinya. Doaku untuk mereka
yang sama-sama baik dan tepat, Insya Allah.
Now, what?
Di dinding kamar masih ada satu future plan spekulatif
ketika masih di bangku kuliah tingkat 2. Di sana tertulis bahwa tahun 2016 ini
saya merencakan menikah. Urusan sama siapanya saya belum tahu. Ha ha ha. Wongedhan.
Motivasi? Ibadah lah pastinya. Karena Allah. Lainnya,
personally, saya takut. Takut gak kuat iman kalau tidak menikah. Boys know
that. Namanya iman manusia umat-umat akhir zaman mah kan naik turun. Mau saya
sih selamat dunia akherat. Semua juga seperti itu kan? Opsinya, kalau bisa
tahan gejolak hawa nafsu pake iman yang kuat, ya nikah ae biar halal.
Kalau orang ngeliat saya mana keliatan siap menikah, ya
memang belum siap. Ha ha ha. Dan kalau saya tanya ke tiap calon mempelai kalau
ditanya siap enggaknya ya mostly they said they haven’t ready yet. Tapi kalau
percaya bahwa semesta mendukung, Allah mendukung, ya pasti diyakinkan. Insya
Allah.
Bukan perempuan yang sempurna, tapi yang tepat. Begitu kata
Ustad Salim A Filah. Kalau belum nemu, katanya sih Solah Dhuha, minta dibukakan
pintu rezeki dan jodoh. Lalu Solat
Istikharah. Nah ini. Karena menyerahkannya pada Yang Ngasih, kalau sekarang
punya kecengan, harus diikhlasin. Rada beurat tah. Jadi terkadang, doanya
diplesetkan: “Kalau dia bukan jodohku, maka jodohkanlah.” Memang istikharah itu
solat dengan maksud ‘minta yang agak maksa’ but Allah loves that tho’. Tapi
yang betulnya memang “Kalau bukan jodohku, palingkanlah ia dariku, palingkanlah
aku darinya”. “Kalau dia baik untukku, dekatkanlah, kalau buruk untukku,
jauhkanlah”. Mengesampingkan hawa nafsu itu susah meureun. Da ai yang cantik
mah tetep mau. Tapi kalau mau dipilihkan yang oke, ya memang kudu diserahkeun
ka Nu Kawasa.
No comments:
Post a Comment