18.1.16

Lagi-lagi Soal Ngurusin Orang.

We are not too far away from that age when singularity will come into reality. Just a matter of time. Jadi, saya tidak meragukan akan sebuah teknologi yang bisa membuat ide yang terlintas di kepala baik berupa thoughts (pemikiran), ideation sketch (sketsa, gambar, image board), fantasy, daydreaming (lamunan), dan segala isi kepala, akan bisa dengan mudah dicatat/didokumentasikan/direkam saat itu juga dalam sebuah alat/aplikasi/system/cloud supaya mempercepat proses brainstorming. Misalnya sekarang, saya nulis blog sambil mikir. Biasanya, proses mikir ini yang kelamaan, overthinking katanya. Dan ujung-ujungnya ga jadi nulis. Coba kalau ada teknologi itu tadi. Saya jadi tidak usah mengingat-ngingat kembali kejadian-kejadian kemarin yang terlewat yang ingin saya tulis di sini.

***

Januari Awal.

Saya sudah merasa tidak kerasan berkeliaran di sekitar rumah di Bandung terutama tetangga-tetangga. Ditambah beberapa hari kemarin juga tersungkur nambru di tempat tidur, di kamar, karena ngecharge badan yang baterenya habis dipakai rapat sampai larut, kesana kemari, ngerjain ini itu sendiri karena meminta bantuan di media sosial (yang katanya memudahkan) malah seperti monolog, atau ngomong sama tembok. Lebih parah bahkan, karena tembok saja bisa membalas dengan gaungnya. Ini sama sekali tidak.

Intuisi saya biasanya selalu berkata benar. Saya percaya intuisi/naluri saya hampir 90% bahkan sejak usia 8-9 tahunan. Intuisi saya saat ini boleh dikata kurang sedap, bahkan seringkali saya merenung lama karena ini. Masa-masa saya dihormati, atau setidaknya didengar, dalam kapasitas saya sebagai ketua karang taruna sepertinya sudah di ujung tanduk. Saya bisa merasakan auranya. Ketidakkompakan, kabar yang tidak pernah saya dapat baik itu bahagia, duka, senang-senang, atau lainnya. Manusia itu aneh. Ingin berubah tapi tidak mau diubah. Ingin teratur tapi tidak mau diatur. Kalau sekarang saya dibilang tidak becus meng-handle SDM dan organisasi, yes saya akui dan saya tidak akan mempermasalahkan pembicaraan-pembicaraan di belakang saya lagi. Toh orang-orang yang berkata demikian tidak akan paham posisi saya, begitu juga kondisi di dalam organisasinya. Nah kalau seorang pemimpin sudah dirasa tidak lagi dibutuhkan, untuk apa mengupayakan, kan?. Sok lah silakan kembali lagi seperti dahulu saling tidak mengenal, tidak ada lagi kegiatan-kegiatan sosial anak muda, dan silakan nyanyi-nyanyi sampai larut malam tidak aka nada yang melarang lagi. That’s fair enough.

Prediksi saya, ini karena selama ini saya dianggap cenderung terlalu ‘serius’, disiplin tinggi, banyak aturan oleh sebagian orang. Hey, asa saya pun pernah bercanda-canda dengan kalian kan? Atau memang karena sudah jenuh dan seperti rollercoaster yang mau ke atas lagi, kalau hanya saya yang mendorong, berat. Atau mungkin karena beberapa diantaranya pernah merasa tersinggung dengan perkataan saya dan tidak mau angkat bicara di depan saya. Well, orang Sunda itu melankolis. Cengeng. And they tend to exaggerated it. Berlebihan. Seringkali saya sesalkan itu. Maka tidak usah komplen kalau sekarang RW sendiri saja dipimpin keturunan Jawa Tengah. Yang memanggil saya dengan sebutan Mas, padahal saya maunya disebut Kang, atau Mang. Tapi semua warga setuju dengan pemimpin baru itu karena beliau amat vocal, tegas, disiplin. Beda dengan bapak-bapak sunda di sini. Bisanya hanya berkomentar-komentar yang obvious, yang orang lain juga sudah tahu, identik dengan telat, lelet, santai, dan yang lesu-lesu lainnya. Memang ada yang vocal, cerdas, tapi begitu disuruh memimpin, takut. Takut urusan duniawinya keteteran, pekerjaan, bisnis, liburan, dll. “Say amah di belakang aja, di balik layar”. That’s bullshit! Ha ha. Yakin saya, perkataan itu tidak akan berlangsung lama. Komitmen di balik layar hanya dalih agar lepas dari tanggung jawab dan yang seperti itulah mental-mental lembek, serba takut jika diberi tantangan dan tanggung jawab. Yah, memang itu dampak dari geografis kota ini yang menurut saya terlalu nyaman dan membuat penghuni aslinya terlena dengan kenyamanan ini, sampai tidak sadar rumahnya sudah dikuasai orang luar. Ha ha.

***

January 17

Romi, seorang teman seperjuangan, sekelas di SMP, sekelas di SMA, sekampus, se-geng sepedaan, sekelas sekolah pra nikah (yang agak impulsive), se-band, senyambung-nyambungnya waktu ngobrol, kini sudah melepas status lajang. Bahagia campur terharu sih ngeliatnya. Notabene cukup tau lika-liku hidup dan percintaannya dari SMP karena memang sering bertukar pikiran soal masalah perempuan. Terlebih waktu ikut SPN Salman. Mulai kemarin, apa yang dia dapat di sekolah itu sudah mulai dipraktikan sepertinya. Doaku untuk mereka yang sama-sama baik dan tepat, Insya Allah.

Now, what?

Di dinding kamar masih ada satu future plan spekulatif ketika masih di bangku kuliah tingkat 2. Di sana tertulis bahwa tahun 2016 ini saya merencakan menikah. Urusan sama siapanya saya belum tahu. Ha ha ha. Wongedhan.

Motivasi? Ibadah lah pastinya. Karena Allah. Lainnya, personally, saya takut. Takut gak kuat iman kalau tidak menikah. Boys know that. Namanya iman manusia umat-umat akhir zaman mah kan naik turun. Mau saya sih selamat dunia akherat. Semua juga seperti itu kan? Opsinya, kalau bisa tahan gejolak hawa nafsu pake iman yang kuat, ya nikah ae biar halal.
Kalau orang ngeliat saya mana keliatan siap menikah, ya memang belum siap. Ha ha ha. Dan kalau saya tanya ke tiap calon mempelai kalau ditanya siap enggaknya ya mostly they said they haven’t ready yet. Tapi kalau percaya bahwa semesta mendukung, Allah mendukung, ya pasti diyakinkan. Insya Allah.

Bukan perempuan yang sempurna, tapi yang tepat. Begitu kata Ustad Salim A Filah. Kalau belum nemu, katanya sih Solah Dhuha, minta dibukakan pintu rezeki dan jodoh. Lalu  Solat Istikharah. Nah ini. Karena menyerahkannya pada Yang Ngasih, kalau sekarang punya kecengan, harus diikhlasin. Rada beurat tah. Jadi terkadang, doanya diplesetkan: “Kalau dia bukan jodohku, maka jodohkanlah.” Memang istikharah itu solat dengan maksud ‘minta yang agak maksa’ but Allah loves that tho’. Tapi yang betulnya memang “Kalau bukan jodohku, palingkanlah ia dariku, palingkanlah aku darinya”. “Kalau dia baik untukku, dekatkanlah, kalau buruk untukku, jauhkanlah”. Mengesampingkan hawa nafsu itu susah meureun. Da ai yang cantik mah tetep mau. Tapi kalau mau dipilihkan yang oke, ya memang kudu diserahkeun ka Nu Kawasa.

***

Lagi-lagi soal ngurusin orang lain. Emang orang lain peduli dan ngurus lu juga, Dhy? My? Yas? Atau apapun nama panggilan lu.


No comments:

Post a Comment

Trip Intergalaksi

Selasa, 23 Juni 2020 03.22 dini hari Kisah ini saya tulis begitu bangun tidur dari mimpi yang tidak akan pernah saya lupakan. Mimpi yan...