21.1.16

Khutbah Kacang Goreng

Januari 22. 12.20 WIB

Habis jumatan di sebuah masjid dekat rumah di Bandung. Al Ikhlas namanya. Masjid ini sudah ada sejak saya lahir dan pendirinya adalah Bapak H. Oman (alm). Beliau adalah ulama yang saya kagumi ketika masih mengaji dulu di sana bersama kawan-kawan sebaya. Ditemani Mas Muhammad, yang amat keras dalam mengajar, berlawanan dengan sifat Pak Oman ini yang sungguh kalem dan sabar pembawaannya dalam mengajar ilmu-ilmu Islam. Saya hanya mengenal 2 orang pengajar ini karena SD pindah ke desa. Di desa di Pangandaran, saya bersyukur ‘dibekali’ ilmu agama yang cukup, meski ada penyesalan kenapa tidak lebih banya. Di sana dibimbing Pak Solihin dan keluarganya dari awal buta huruf sampai hafalan Qur’an, solat-solat, Murottal (lagam), dan lainnya. Lingkungan yang islami juga sedikit banyak menempa saya agar jadi orang yang agak bener dikit. Ha ha. Lalu kembali ke Bandung ketika SMP dan saat itu entah kenapa agak segan untuk mengaji lagi di masjid ini meskipun pengajarnya masih sama. Maka saya pindah ke masjid lain di sebelah utara yang jaraknya agak jauh. Di sana dibimbing A Ndep, yang seringkali diledek anak-anak dengan sebutan Ustad Jet li karena wajahnya yang mirip Jet Li tapi ngomong Sunda asli. Singkat kata, dari 3 masjid berbeda, saya mendapat keyakinan bahwa Islam itu Rahmatan Lil ‘Alamin.

Kembali ke masa kini, saat ini, beberapa saat setelah saya jum’atan di masjid yang sama untuk yang kesekian kalinya, ternyata, banyak hal telah berubah. Bangunan, akses jalan, penerangan, fasilitas, guru-guru, murid, dan kegiatan keagamaan lainnya kecuali satu hal : kualitas khutbahnya.

Dulu saya berpikir bahwa badan ini tak ubahnya seperti HP. Both mentally and physically need to be charged. Perlu di-cas, kata orang sini. Fisik yang lelah bisa dicas dengan istirahat. Sedangkan mental ini berhubungan dengan nurani, hati, pola pikir, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan keyakinan. Kalau boleh saya tekankan pada kata : Iman. Ya, ngecas Iman. Tetapi, makin ke sini, saya sadar bahwa Iman ternyata tidak seperti baterai HP, karena jika baterai sudah kadaluarsa, lalu diganti dengan yang baru, itu berarti saya menganalogikan keimanan yang bisa diperbaharui jika beralih kepercayaan/keyakinan. Jadi sekarang saya menganalogikan keimanan seperti tembok rumah saja. Yang membentengi kita dari panas dingin kehidupan namun bisa ditebalkan/dilapis kembali seandainya terkikis.

Di zaman sekarang yang arusnya sangat kencang dan panas yang amat terik, namanya tembok tentu bisa makin cepat terkikis. Perlu semakin sering ditambal dan diperbaiki. Tidak hanya itu, kualitas tambalannya pun pasti yang anti bocor lah. Nah, kalau isi khutbah standar ‘kacang goreng’ masih saja dipertahankan di masjid-masjid seperti masjid Al-Ikhlas ini, apakah sanggup menambal tembok-tembok rumah banyak orang dengan hanya satu pertemuan di setiap jum’at ini? Khutbah kacang goreng yang saya maksud di sini bukan semata-mata menjelekkan atau mendustakan agama Islam, bukan! Naudzubillahimindzalik! Tapi lebih ke kritik pada para khotib untuk lebih memperhatikan konten dan kualitas materi yang hendak disampaikan di pertemuan yang jarang ini, moment Jum’atan ini.

Here’s the thing. Setiap saya menghadiri jumatan di lingkungan tempat tinggal saya, atau pengajian-pengajian tabligh akbar, seringkali yang saya dapatkan dari penceramah adalah himbauan. Himbauan untuk selalu bertaqwa kepada Allah SWT, beriman, mengikuti perintah Allah dan Nabi Muhammad SAW, supaya kita selamat dunia akhirat lalu masuk syurga. Beberapa diantaranya bahkan disampaikan dengan bahasa daerah. That’s it? Yup that’s it. Gitu doang. Memang ada beberapa improvisasi tapi pesan utama seringkali HANYA seperti itu. Itulah yang saya sebut khutbah kacang goreng. Kemudian saya lihat respon para hadirin siding jum’ah rahimakumullah lainnya. Ada yang mendengarkan, lebih banyak yang ngobrol, lebih banyak lagi yang tidur, lalu bangun ketika sudah mau berdoa di khutbah ke-dua, bahkan ada yang bablas sampai hendak solat. Itu orang tua, yang harusnya lebih dewasa dengan mendengarkan dan mencontohkan pada remaja dan anak-anak malah tidur. Jadi jangan salahkan anak-anaknya juga malah ikut ngobrol lebih bising, pukul-pukulan, bahkan ketika solat, masih saja pukul-pukulan dan berkata-kata kotor. Lalu apakah anak-anak yang muda ini akan tumbuh kembang, dewasa, dan tua dengan didikan seperti it terus menerus? Oh come on! Kerja samanya hey para orang tua!

Jarang sekali saya mendengar khutbah jumat (khususnya) yang membahas bagaimana mendidik anak ala sahabat Ali bin Abi Thalib, misalnya. Atau tentang pergaulan anak muda, menikah, taarufnya, rumah tangganya Rasulullah, peringatan akhir zaman, dajjal, penemu-penemu Muslim, Al-Qur’an yang membahas sains dan teknologi, dan lainnya yang bukan lagi khutbah ‘kacang goreng’ atau ‘bala-bala’ lagi. Ada yang memang berkualitas tapi hanya di acara tertentu saja yang mubalighnya didatangkan dari kota mana lah. Memangnya mubaligh sini gak bisa seperti itu? Yha bisa lah wong tinggal mau saja. Sumber-sumber dakwah bisa dari Tafsir-tafsir Quran yang sudah modern dan mudah dipahami, hadist-hadist, ceramah ulama besar di website-website yang sudah ditranslate, dan buanyak lagi. Itu semua adalah sebagian saja cara penyampaian yang diharapkan membuat hadirin menjadi semangat berbuat baik beramal sholeh, yang membuat orang menemukan ‘oooh ternyata gitu’-nya masing-masing, yang membukakan pintu-pintu ilmu yang selama ini tertutup karena ketidaktahuan dan kemalasan mencari tahu mencari petunjuk. Soal bahasa penyampaian, terserah, bahasa daerah atau asing atau Indonesia sah-sah saja, asal kontennya itu tadi. Toh tujuannya sama : agar hadirin dapat petunjuk tentang bagaimana sih tindakan realnya dari bertaqwa dan beriman? Gimana sih mengaplikasikan keimanan dan ketaqwaan dalam bentuk tindakan sehari-hari, sikap, dan sifat individu maaing-masing supaya mendapat surga Allah SWT itu tadi.

Masjid ini umurnya memang sudah tua dan apa-apa yang sudah tua biasanya mati lalu ditinggalkan. Fisiknya boleh tua, tapi jiwanya tetap segar dengan pembaruan-pembaruan, perubahan yang agak berani keluar dari adat istiadat, radikal, dan bahkan ada kemungkinan ditolak. Maaf kalau salah dan sok tahu, karena setahu saya, Rasulullah pernah bilang dan diriwayatkan dalam sebuah hadist kalau satu saat nanti aka nada masa di mana orang teguh akan agamanya seperti memegang bara api. Seperti orang takut, asa-asa kalau kata orang Sunda bilang. Asa-asa kalau memulai dengan salam ketika bertemu orang. Asa-asa kalau mau makan di kondangan sambil duduk, asa-asa kalau mau berhenti rapat untuk solat berjamaah bersama, asa-asa mau jadi muadzin, dan perasaan takut lainnya yang disebabkan karena kurangnya dorongan, motivasi, dan juga petunjuk melaksakan itu semua. Toh kalau motivasi dan petunjuk itu disampaikan pada setiap majlis ta’lim tentu impactnya bisa lebih besar dari sekedar himbauan kacang goreng tadi yang sudah barang tentu semua umat muslim menyadarinya.

Jum’atan ini adalah momen terbaik menyampaikan ilmu dan petunjuk yang selama ini belum banyak diketahui, atau pun sebagai reminder jika seseorang khilaf. Jemaah yang berbondong-bondong ke masjid, serempak seluruh kota, di tengah kesibukan. Maka di situ, target pencapaian mempertebal keimanan seseorang setidaknya bisa tercapai. Atau gausah muluk deh, buat khutbah itu menjadi menarik saja sudah cukup. Sejatinya khutbah itu obat hati, bukan obat tidur.

***

Tulisan ini saya khususkan sebagai bahan instrospeksi diri pribadi, bukan untuk memperdebatkan soal keyakinan masing-masing pihak yang merasa di-summon atau disenggol oleh tulisan ini. Agama itu letaknya di dapur. Begitu kata Cak Nun. Kalau saya dikomentari : "Yah kenapa bukan kamu saja yang ceramah!", maka saya jawab saja "Asal bapak-bapak dengan murah hati mau mendengarkan anak muda yang agamanya saja belum tentu lebih baik ini dari bapak-bapak sekalian, maka saya mau." Tapi adat di sini kan selalu hormat pada orang tua dan yang muda nanti dulu saja. Orang tua selalu pandai, dan yang muda tau apa.

***


Islam itu datang dalam keadaan asing, dan kembali dalam keadaan asing pula. Berbahagialah orang-orang yang terasing.

No comments:

Post a Comment

Trip Intergalaksi

Selasa, 23 Juni 2020 03.22 dini hari Kisah ini saya tulis begitu bangun tidur dari mimpi yang tidak akan pernah saya lupakan. Mimpi yan...