Januari 22. 12.20 WIB
Habis jumatan di sebuah masjid dekat rumah di Bandung. Al
Ikhlas namanya. Masjid ini sudah ada sejak saya lahir dan pendirinya adalah
Bapak H. Oman (alm). Beliau adalah ulama yang saya kagumi ketika masih mengaji
dulu di sana bersama kawan-kawan sebaya. Ditemani Mas Muhammad, yang amat keras
dalam mengajar, berlawanan dengan sifat Pak Oman ini yang sungguh kalem dan
sabar pembawaannya dalam mengajar ilmu-ilmu Islam. Saya hanya mengenal 2 orang
pengajar ini karena SD pindah ke desa. Di desa di Pangandaran, saya bersyukur ‘dibekali’
ilmu agama yang cukup, meski ada penyesalan kenapa tidak lebih banya. Di sana
dibimbing Pak Solihin dan keluarganya dari awal buta huruf sampai hafalan Qur’an,
solat-solat, Murottal (lagam), dan lainnya. Lingkungan yang islami juga sedikit
banyak menempa saya agar jadi orang yang agak bener dikit. Ha ha. Lalu kembali
ke Bandung ketika SMP dan saat itu entah kenapa agak segan untuk mengaji lagi
di masjid ini meskipun pengajarnya masih sama. Maka saya pindah ke masjid lain
di sebelah utara yang jaraknya agak jauh. Di sana dibimbing A Ndep, yang
seringkali diledek anak-anak dengan sebutan Ustad Jet li karena wajahnya yang
mirip Jet Li tapi ngomong Sunda asli. Singkat kata, dari 3 masjid berbeda, saya
mendapat keyakinan bahwa Islam itu Rahmatan Lil ‘Alamin.
Kembali ke masa kini, saat ini, beberapa saat setelah saya
jum’atan di masjid yang sama untuk yang kesekian kalinya, ternyata, banyak hal
telah berubah. Bangunan, akses jalan, penerangan, fasilitas, guru-guru, murid, dan
kegiatan keagamaan lainnya kecuali satu hal : kualitas khutbahnya.
Dulu saya berpikir bahwa badan ini tak ubahnya seperti HP.
Both mentally and physically need to be charged. Perlu di-cas, kata orang sini.
Fisik yang lelah bisa dicas dengan istirahat. Sedangkan mental ini berhubungan
dengan nurani, hati, pola pikir, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan
keyakinan. Kalau boleh saya tekankan pada kata : Iman. Ya, ngecas Iman. Tetapi,
makin ke sini, saya sadar bahwa Iman ternyata tidak seperti baterai HP, karena
jika baterai sudah kadaluarsa, lalu diganti dengan yang baru, itu berarti saya
menganalogikan keimanan yang bisa diperbaharui jika beralih
kepercayaan/keyakinan. Jadi sekarang saya menganalogikan keimanan seperti
tembok rumah saja. Yang membentengi kita dari panas dingin kehidupan namun bisa
ditebalkan/dilapis kembali seandainya terkikis.
Di zaman sekarang yang arusnya sangat kencang dan panas yang
amat terik, namanya tembok tentu bisa makin cepat terkikis. Perlu semakin
sering ditambal dan diperbaiki. Tidak hanya itu, kualitas tambalannya pun pasti
yang anti bocor lah. Nah, kalau isi khutbah standar ‘kacang goreng’ masih saja
dipertahankan di masjid-masjid seperti masjid Al-Ikhlas ini, apakah sanggup
menambal tembok-tembok rumah banyak orang dengan hanya satu pertemuan di setiap
jum’at ini? Khutbah kacang goreng yang saya maksud di sini bukan semata-mata
menjelekkan atau mendustakan agama Islam, bukan! Naudzubillahimindzalik! Tapi
lebih ke kritik pada para khotib untuk lebih memperhatikan konten dan kualitas
materi yang hendak disampaikan di pertemuan yang jarang ini, moment Jum’atan
ini.
Here’s the thing. Setiap saya menghadiri jumatan di
lingkungan tempat tinggal saya, atau pengajian-pengajian tabligh akbar,
seringkali yang saya dapatkan dari penceramah adalah himbauan. Himbauan untuk selalu
bertaqwa kepada Allah SWT, beriman, mengikuti perintah Allah dan Nabi Muhammad
SAW, supaya kita selamat dunia akhirat lalu masuk syurga. Beberapa diantaranya
bahkan disampaikan dengan bahasa daerah. That’s it? Yup that’s it. Gitu doang. Memang
ada beberapa improvisasi tapi pesan utama seringkali HANYA seperti itu. Itulah
yang saya sebut khutbah kacang goreng. Kemudian saya lihat respon para hadirin siding
jum’ah rahimakumullah lainnya. Ada yang mendengarkan, lebih banyak yang
ngobrol, lebih banyak lagi yang tidur, lalu bangun ketika sudah mau berdoa di
khutbah ke-dua, bahkan ada yang bablas sampai hendak solat. Itu orang tua, yang
harusnya lebih dewasa dengan mendengarkan dan mencontohkan pada remaja dan
anak-anak malah tidur. Jadi jangan salahkan anak-anaknya juga malah ikut
ngobrol lebih bising, pukul-pukulan, bahkan ketika solat, masih saja
pukul-pukulan dan berkata-kata kotor. Lalu apakah anak-anak yang muda ini akan
tumbuh kembang, dewasa, dan tua dengan didikan seperti it terus menerus? Oh
come on! Kerja samanya hey para orang tua!
Jarang sekali saya mendengar khutbah jumat (khususnya) yang
membahas bagaimana mendidik anak ala sahabat Ali bin Abi Thalib, misalnya. Atau
tentang pergaulan anak muda, menikah, taarufnya, rumah tangganya Rasulullah, peringatan
akhir zaman, dajjal, penemu-penemu Muslim, Al-Qur’an yang membahas sains dan
teknologi, dan lainnya yang bukan lagi khutbah ‘kacang goreng’ atau ‘bala-bala’
lagi. Ada yang memang berkualitas tapi hanya di acara tertentu saja yang
mubalighnya didatangkan dari kota mana lah. Memangnya mubaligh sini gak bisa
seperti itu? Yha bisa lah wong tinggal mau saja. Sumber-sumber dakwah bisa dari
Tafsir-tafsir Quran yang sudah modern dan mudah dipahami, hadist-hadist,
ceramah ulama besar di website-website yang sudah ditranslate, dan buanyak
lagi. Itu semua adalah sebagian saja cara penyampaian yang diharapkan membuat
hadirin menjadi semangat berbuat baik beramal sholeh, yang membuat orang
menemukan ‘oooh ternyata gitu’-nya masing-masing, yang membukakan pintu-pintu
ilmu yang selama ini tertutup karena ketidaktahuan dan kemalasan mencari tahu mencari
petunjuk. Soal bahasa penyampaian, terserah, bahasa daerah atau asing atau Indonesia
sah-sah saja, asal kontennya itu tadi. Toh tujuannya sama : agar hadirin dapat petunjuk tentang bagaimana sih tindakan realnya dari bertaqwa dan beriman? Gimana sih mengaplikasikan keimanan dan ketaqwaan dalam bentuk tindakan sehari-hari, sikap, dan sifat individu maaing-masing supaya mendapat surga Allah SWT itu tadi.
Masjid ini umurnya memang sudah tua dan apa-apa yang sudah
tua biasanya mati lalu ditinggalkan. Fisiknya boleh tua, tapi jiwanya tetap
segar dengan pembaruan-pembaruan, perubahan yang agak berani keluar dari adat
istiadat, radikal, dan bahkan ada kemungkinan ditolak. Maaf kalau salah dan sok
tahu, karena setahu saya, Rasulullah pernah bilang dan diriwayatkan dalam
sebuah hadist kalau satu saat nanti aka nada masa di mana orang teguh akan
agamanya seperti memegang bara api. Seperti orang takut, asa-asa kalau kata orang Sunda bilang. Asa-asa kalau memulai dengan
salam ketika bertemu orang. Asa-asa kalau mau makan di kondangan sambil duduk,
asa-asa kalau mau berhenti rapat untuk solat berjamaah bersama, asa-asa mau
jadi muadzin, dan perasaan takut lainnya yang disebabkan karena kurangnya dorongan,
motivasi, dan juga petunjuk melaksakan itu semua. Toh kalau motivasi dan
petunjuk itu disampaikan pada setiap majlis ta’lim tentu impactnya bisa lebih
besar dari sekedar himbauan kacang goreng tadi yang sudah barang tentu semua
umat muslim menyadarinya.
Jum’atan ini adalah momen terbaik menyampaikan ilmu dan
petunjuk yang selama ini belum banyak diketahui, atau pun sebagai reminder jika
seseorang khilaf. Jemaah yang berbondong-bondong ke masjid, serempak seluruh
kota, di tengah kesibukan. Maka di situ, target pencapaian mempertebal keimanan
seseorang setidaknya bisa tercapai. Atau gausah muluk deh, buat khutbah itu
menjadi menarik saja sudah cukup. Sejatinya khutbah itu obat hati, bukan obat
tidur.
***
Tulisan ini saya khususkan sebagai bahan instrospeksi diri
pribadi, bukan untuk memperdebatkan soal keyakinan masing-masing pihak yang
merasa di-summon atau disenggol oleh tulisan ini. Agama itu letaknya di dapur.
Begitu kata Cak Nun. Kalau saya dikomentari : "Yah kenapa bukan kamu saja yang ceramah!", maka saya jawab saja "Asal bapak-bapak dengan murah hati mau mendengarkan anak muda yang agamanya saja belum tentu lebih baik ini dari bapak-bapak sekalian, maka saya mau." Tapi adat di sini kan selalu hormat pada orang tua dan yang muda nanti dulu saja. Orang tua selalu pandai, dan yang muda tau apa.
***
Islam itu datang dalam keadaan asing, dan kembali dalam
keadaan asing pula. Berbahagialah orang-orang yang terasing.
No comments:
Post a Comment