2.2.16

Cita-cita. Disuruh berhenti atau berusaha lagi dengan jalan lain?

Buat saya, mendapat kalimat 'maaf kita tidak bisa lanjut ke tahap berikutnya' itu sudah biasa, saking terlalu seringnya, either work-related or love-related. Tapi kali ini, perlu waktu lama bagi saya untuk mencerna kalimat berikutnya yang berisi penjelasannya. Sebuah penjelasan panjang namun hanya satu kata yang saya tangkap. Jelas, meluncur deras, sampai roboh harapan-harapan saya selama ini.

Siapa tidak punya cita-cita? Anak kecil seringkali ditanya cita-cita oleh orangtuanya atau kerabat keluarganya kalau mereka sedang menggoda atau kehabisan topik untuk mengajak anaknya berbicara. Memang kebanyakan cita-cita masa kecil jauh berlainan ketika menginjak dewasa. Buat saya, perubahan cita-cita itu tidak terlalu jauh. Saya masih ingat lagu si joshua sama tukul soal pesawat terbang. 

* cita-citaku …u…u….u….ingin jadi professor (asik)
bikin pesawat terbang kubuat sendiri (wow canggih ya)
kalau bisa terbang kubawa mama kepasar ( ikutan dong…)
kalau bisa terbang kuantar papa kekantor ( wow ikut juga, ikutan ngeok )
Sepertinya dari situ awal mula saya senang mencorat coret bbuku atau tembok dengan gambar-gambar pesawat, mobil, motor, dan apapun yang seringkali ditunjukkan oleh orangtua ketika masih balita. Minat itu makin saya tekuni saat di smp, sma dan semakin menjadi ketika di perkuliahan. Bedanya, saat ini sudah mulai spesifik, saya mau membuat mobil. Biar kata orang mobil bikin macet, saya tetap ingin seperti joshua, bedanya, cita-citaku u u u u ingin jadi dhesainer, bhikin mobhil cangghih kubhuat sendhiri.. yang memang buat nganter ibu tak hanya ke pasar, tapi kemana-mana maunya beliau. tak mau tanggung, saya mau jadi top 4 desainer kelas dunia berjejer sama peter schreyer, chris bangle, giorgetto giugiarro. Ha ha..

Project kampus, mobil listrik. Lomba-lomba, mobil juga. Pekerjaan pertama, mobil listrik juga. Sampai sana saya bersyukur masih pada jalan yang benar. Oh Tuhan memang baik padaku.

Sampai kapanpun juga Tuhan amat baik. Saya yakin. Walaupun kelihatannya ke depannya agak sedikit sulit, Tuhan masih baik dengan memberi saya perkara ini. Pagi tadi, tahap final rekrutmen jadi desainer mobil sudah ada hasilnya. Hasilnya saya tidak lolos karena ternyata, saya divonis skoliosis yang sudah lama diderita, ketika medical check up minggu lalu. Tidak hanya itu, karena menurut dokter kelainan ini tidak dapat diperbaiki, dan umunya automotive company memiliki standar MCU yang sama, saya diberitahu bahwa akan tipis kemungkinan perusahaan2 lain juga menerima sampai menjadi pegawai tetap, desainer tetap. Untuk interview dan sampai apapun masih bisa, namun MCU tadi, sepertinya cenderung sulit lolos nika standarnya sama. Berapa kali dicoba pun, tidak akan berubah. Begitu kira-kira penjelasan hrd dan tim medisnya pagi tadi. Memang beginikah dunia? Seolah manusia makin ke sini makin dituntut untuk sempurna : pintar, memiliki keahlian di atas rata-rata, menarik itu nilai plus, lalu badan bagus. Lalu kemanakah mereka yang kurang salah satu di antara itu semua atau bahkan tidak memiliki sama sekali? Terasing? Tersisih? Terasing dan tersisih itu karena ada yang disishkan oleh objek yang menyisihkan.

Harapan saya terlalu tinggi. Mengingat beberapa rekan yang sudah menjadi pegawai di sana sudah mengontak saya beberapa kali menanyakan perihal factory visit, menawarkan tempat kosan sementara, menanyakan transport saya jika sudah di sana, dan sebagainya. Karena proses rekrutmen saya ternyata memang diketahui terutama tim rnd. Seolah saya sudah menginjakkan satu kaki di tim mereka dan hanya tinggal menunggu waku. Namun sepertinya bukan ini jalur yang harus saya tempuh untuk mengapai cita-cita.

Hal-hal yang sifatnya goib itu saya percaya. Kalau bukan rezekinya, berarti saya masih hutang banyak ibadah buat nutup dosa dulu. Mungkin dosa-dosa besar yang saya perbuat dan menghambat pintu rezeki, menyuruh saya mengambil jalur lain yang lebih berat sebagai 'hukuman' karena dosanya kebanyakan. Tapi saya rela dengan hukuman begini, asal Allah masih ada sayang pada saya biarpun sedikit. Tapi saya pun ingin disayang banyak. Ah banyak maunya.

Tulisan ini semata-mata saya jadikan pelajaran. Jatuh karena ekspektasi tinggi itu menyakitkan. Apalagi kita tahu bahwa kita harus menghadapi jutaan tangga kembali untuk naik ke posisi terakhir sebelum terjatuh itu, untuk selanjutnya meneruskan melangkah menuju gerbang cita-cita dan mebukanya dengan suka cita.

Mengahadapi tagihan asuransi (yang tadinya saya proyeksikan sekalian tabungan haji si ibu), lalu ketidakjelasan pemasukan saat ini untuk kebutuhan beberapa bulan ke depan, lalu target menikah, lalu ongkos ini itu, semuanya membuat pusing kepala sedari pagi. Hanya ada beberapa kerjaan kecil yang tidak seberapa dan itu tidak berkelanjutan. Seperti hilang haluan. Kapal oleng kapten, oleng.

Dipandang dan dibicarakan orang karena saya sebagai pengangguran cetakan perguruan tinggi sudah tidak saya gubris. Tapi kalau itu dihubung-hubungkan ke keluarga saya, mending gelut weh yu!

***

P.s. : saya berharap post script ini dibaca oleh para orang tua terutama sang ayah, bapak, sebagai pemegang keputusan, pemimpin keluarga yang dihormati. Selalu perhatikan anak-anakmu sampai saatnya kalian melepas menyerahkan tanggung jawab anakmu pada orang lain. Kalau anakmu berumur 30 dan masih satu rumah, artinya ia tanggung jawab orangtua, baik menuntut kewajibannya ataupun memberi haknya sebagai anak. Perhatian dan sayang bukan soal materi saja. Kondisi fisik dan mental anak. Mau itu anak usia SMP, kalau orangtua menyadari ada kelainan, atau tanda-tanda yang berbeda dari anak seumurnya, bergegaslah wahai para ayah, karena sang ibu seringkali hanya bisa mengingatkan, tapi si bapaknya yang memutuskan apa yang harus dilakukan. Karena ada hal-hal yang anak itu tidak bisa menyadari sendiri keadannya, tapi orang lain melihatnya. Kelainan saya ini sama sekali tidak saya ketahui ketika masih SMP, dimana awal mula terjadinya. Sma dan kuliah mulai terasa, dan orangtua saya hanya bertanya, yang bahkan saya sendiri tidak tahu. Ibu saya yang lebih memerhatikan, namun karena kondisi finansial yang tidak memungkinkan untuk tes kesehatan pada saat itu, dan bapak yang jarang menemui saya, maka dibiarkanlah sampai sekarang karena saya pikir ini bukan suatu kelainan yang menghambat aktivitas sehari-hari. Baru sadar sekarang kan. Dan buat anak-anak yang baru merasakan dampak dari kurangnya perhatian orang tua terutama ayah, semoga tiada kebencian pada mereka karena bagaimanapun, tidak ada istilah mantan ayah.

No comments:

Post a Comment

Trip Intergalaksi

Selasa, 23 Juni 2020 03.22 dini hari Kisah ini saya tulis begitu bangun tidur dari mimpi yang tidak akan pernah saya lupakan. Mimpi yan...