31.1.16

Looking Things at the Bigger Picture.

January 31.

Pagi tadi, lupa minum garam beryodium lagi. Gondok kambuh.

Ini dalam rangka ‘meningkatkan happiness index’ tetangga-tetangga untuk melaksanakan senam pagi rutin. Amanah ketua RW baru khusunya kepada karang taruna yang ditunjuk sebagai leading sector. Entah ini dalih supaya ‘anak muda’ hanya dikerjai sebagai ‘tukang panggul’ saja atau memang dikerjai karena dianggap energi anak muda masih banyak ketimbang yang tua-tua. Ditinjau dari maksudnya memang baik, guna keharmonisan warga dan mengenal karang taruna. Namanya kerja sosial, di lapangan mah tetep saja enggan diperbudak layaknya kerja professional. Kecuali kita digaji dan asuransi. Minimal ‘uang rokok’, begitu kata orang sini, tapi saya bukan perokok. Ada motivasi selain hanya ‘agar dikenal masyarakat’. Cliché. Tapi pak komandan sepertinya tidak tahu kondisi sebenarnya. Apa yang terjadi dengan kami anak-anak muda di sini akhir-akhir ini.

***

Pagi tadi, sehabis subuh dan masih remang-remang, kiclik-kiclik saya berkunjung ke Ustad Yayan, yang pastinya seorang ustad, tapi dia jadi kepercayaan buat penitipan peralatan sound system untuk kegiatan-kegiatan RW. Urgensinya adalah pasti ngangkut-ngangkut peralatan itu ke spot senam pagi. Kira-kira ada 6 item yang harus dibawa sejauh 300 meter yang idealnya dibawa minimal oleh 2 orang. Belum lagi pemasangan panggung ukuran 2x2 meter yang partisi-partisinya banyak dan lebih berat. Kalau ada yang dipasang, tentu ada yang dibongkar dong? Ya, saya harus melakukan itu dua-duanya. Tapi tadi itu, saya sendiri. Mengangkut box-box besar tanpa gerobak alat bantu tanpa teman tanpa upah tanpa ada tawaran bantuan dari yang melihat. Kuat kan? Iyalah sarapan dulu kan sama ati. Begitu selesai angkut-angkut sound, barulah 2 bapak-bapak yang ikut bantu bawa panggung buat instruktur senam. Lalu beberapa jam setelahnya banyak pertanyaan basa-basi yang seolah-olah hanya untuk menghibur saya tapi terdengar seperti menyalahkan dan menjudge. Dijudge dan disalahkan setelah berbuat sekuat tenaga masuk kategori 'hal yang tidak disuka' versi saya. Kodrat laki-laki biasanya seperti itu. Bunyi pertanyaan-pertanyaan itu seperti ini :

“Kenapa gak ngajak yang lain atuh?”
“Anak karang taruna yang lain pada kemana? Sampeur ke rumahnya atuh!”
“Lain kali minta bantuan sama yang lain,, jangan sendiri!”

***

Lalu dengan mencoba senyum, saya jawab dengan lantang.
“Sudah dikabarin, Pak! Di grup (media sosial), bertemu langsung juga sudah.” Saya anggap itu cukup, plus harapan mereka adalah manusia dewasa yang sudah tahu tanggung jawab dan tidak perlu diingatkan apalagi digiring macam itik pulang ke kandang.
“Masih pada tidur, Pak! Disampeur juga gak ada yang keluar.”
“Lha udah, Pak, Bu!” (kalau saya tega dan agak tidak sopan, bisa ditambahkan dengan : “Mangga atuh bantuin bu, pak, jangan sekedar nyuruh saja.”)

Lalu obrolan itu hanya berakhir dengan senyum yang terpancar dari wajah mereka. Entah bagian mana yang lucu. Heran, kalau saya niatkan melucu, seringkali tidak lucu, garing. Giliran tidak melucu, orang senyum. Sense of humor yang aneh. Menawarkan solusi saja tidak. Makin aneh.

Nah, soal saya tidak dibantu tadi itu, bagi sebagian orang mungkin menilai saya tidak pandai me-manage SDM. “Anak muda di sini kan banyak, kok maneh doang yang kerja? Kasian. Gak bisa mimpin?”. Sudah sering selentingan macam itu saya dengar. Wah kalau saya tulis kesulitan memanage SDM terlebih untuk sosial seperti ini, bisa jadi novel, sob. Jaman sekarang, berapa banyak sih yang mau capek-capek buat sesuatu yang gak dia dapet terutama materi, yang dipercaya sebagai alat tukar membeli ‘kebahagiaan’? Kalau seorang leader harus persuasive, nah persuasif macam apa yang bisa dijadikan umpan buat mereka yang mencari timbal balik atas apa yang dilakukannya? Macam apa?!! I’ve been 3 years dealing with that things dan sudah pada tahap buntu. Sekarang ditambah instruksi ini itu dari pak komandan. Makin aja pada males lah kita juga. Banyak maunya tapi sedikit apresiasinya? Ya kan?

Soal habit. Kebiasaan. Bangun pagi buat mereka, teman-teman saya di karang taruna, itu kalau bermanfaat baginya, pasti dijabanin. Mau cuma tidur 2-3 jam saja karena begadang malamnya, tapi kalau mereka tau bakal dapat sesuatu yang ‘membahagiakan’, bukan ‘melelahkan’, itu pasti diusahakan bangun pagi. Saya yakin itu! Misalnya pagi-pagi hendak jalan-jalan ke tempat seru, gratis, dan senang-seang. Oh itu jelas massa membludak. Orientasinya bukan lagi memenuhi tanggung jawab sebagai karang tarunanya sebagai bagian dari masyarakat situ. Tapi hal yang sifatnya memberi timbal balik. Bahkan, maaf, bukan lagi menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim yang harusnya solat subuh. Apakah mereka yang bangun siang itu solat subuh? Apakah mereka tidak mau menjemput rezeki yang ada sebelum matahari terbit? Ya itu urusan dia sama Yang Di Atas. Saya sih husnudzon, bisa saja mereka bangun sampai jam 5, solat subuh, baru tidur bablas sampai jam 2 siang. Atau memang jam 6 itu bangun buat solat, lalu tidur lagi. Setelah itu, urusan membantu saya buat ngankut-ngangkut ini itu yang melelahkan, ya mana mereka pedulikan. Di benak mereka, itu semacam ‘menghukum’ saya dan saya patut menerima konsekuensi karena menerima perintah pak komandan. Mereka tiada urusan soal itu. Peduli amat toh tidak direncanakan bersama-sama. Ditambah konflik akhir-akhir ini yang kian memperburuk hubungan pertemanan di wilayah ini.

***

Yang bikin penyakit gondok makin kambuh adalah, kami ini, yang katanya dinamai karang taruna, Yang secara hierarki sejajar dengan lembaga di lingkungan, dan punya otoritas sendiri, masih saja disuruh ini itu. Kondisinya tadi itu yang di sana cuma 2 orang ( saya sama si Shinta, itu pun bukan warga RW situ, tapi mau saja bantu), Well, pak komandan bahkan agak membentak si Shinta itu karena katanya tidak professional mengurus absen. Lalu disuruh lagi membagikan air minum, menghitung absen, menghitung kencleng. Inikah yang dinamakan Leading Sector? Pemimpin/koordinator kan? Yha suka-suka kita dong, da kita juga percaya itu benar. Tapi kok kita jadi yang diatur? Diperintah sana sini seperti karyawan. Lucu sekali. Saya yakin model kepemimpinan seperti ini tidak akan bertahan lama jika diterapkan pada anak muda di sini ke depannya. Let see.

***

Saya tidak lelah karena angkut-angkut barang-barang tadi. Buat saya itu remeh-temeh. Laki-laki harus kuat. Fisik sama mental. Fisik sudah pasti, laki-laki diberi kelebihan disbanding perempuan. Kalau lembek mental, mangkal saja di veteran atau jadi boyband. Yang buat saya lelah itu ternyata perkataan-perkataan. Bapak ini, bapak itu, ibu ini, teteh itu. Syung meluncur bak rudal kapal selam tanpa dipikirkan dulu maksud perkataannya. Pak komandan gak mau kalah komentar.


Biar energi masih banyak, kalau digenjot terus dengan komando seperti itu enek juga. Itu beberapa suara dari orang-orang. Either he expects too much or he accelerated too much at the beginning. Macam ejakulasi dini. Kenceng banget di awal ujung-ujungnya terasa bikin capek ternyata. Ini masih tahap awal lho, pak. Bapak memang gesit, saya akui itu. Tapi bapak menghadapi manusia-manusia yang berbeda karakter, ego, bahkan suku. Jangan samakan. I used to be like that and ended up with disappointment. Padahal saya berbahasa sama,  suku yang sama, dan setidaknya lebih paham karakter lah dari bapak. Hormati ke-heterogen-an yang ada. You can’t control people. Gak ada yang jual remote controlnya.

Ha ha...

No comments:

Post a Comment

Trip Intergalaksi

Selasa, 23 Juni 2020 03.22 dini hari Kisah ini saya tulis begitu bangun tidur dari mimpi yang tidak akan pernah saya lupakan. Mimpi yan...