27.7.16

Nyusurin Sejarah, Tentang Apa yang Bakal Terjadi Terkait Brexit & Trump

Akhir-akhir ini jadi jarang menulis juga membaca. Lebih sering lintas kota karena mencoba mengabdi pada orang tua. Lalu kemarin dalam perjalanan Bandung-Tasikmalaya, seorang teman ngepost artikel dengan judul "History tells us what may happen next with Brexit & Trump." yang cukup bikin terhanyut. Bacaannya cukup berat dan memacu adrenalin. Pokoknya siap-siapin mental kalau mau melanjutkan bacanya. Medium ini adalah website buat tulisan-tulisan indie berkualitas. Gak kayak situs-situs berita gak jelas dan berita yang belum jelas rujukannya. Artikel ini bisa benar bisa salah. Tapi setidaknya penulisnya sudah melakukan banyak kaji literatur. Bahkan profesinya juga mendukung tulisannya.

Saya coba tulis beberapa poin penting saja dalam bahasa Indonesia. Maaf jika ada salah-salah dalam mengartikan.

[catatan : di artikel aslinya, ada beberapa link ke luar yang digarisbawah yang menjadi rujukan lebih lanjut. Saran saya, itu dibuka juga biar gak ada salah-salah kaprah.]

***

Nyusurin Sejarah, Tentang Apa yang Bakal Terjadi Terkait Brexit & Trump


Kayaknya kita masuk ke babak baru kehidupan manusia yang sarat dengan kebodohan yang dipaksain. Saya nulis ini berdasarkan banyak informasi, bisa bener, bisa salah. Tujuannya biar menantang keterbukaan untuk berdialog lebih luas.

Background saya adalah arkeolog, sejarah, dan antropologi (ilmu tentang manusia). Jadi jelas saya banyak ngeliat peta besar sejarah. Secara teori, kebanyakan perspektif manusia tentang sejarah itu kebatas ama rentang generasinya misalnya dari ortunya ampe kakek buyutnya, taroh 50-100 tahunan. Jadi cuma dalam kurun waktu segitu manusia kenal sejarah, baik dari buku, sekolah, atau cerita.
Kita, ras manusia, punya kecenderungan untuk melakukan kerusakan, umumnya maksain diri sampai batas tertentu, batas yang bisa saja memicu korek api. Ini adalah Catatan peperangan yang pernah terjadi. Peperangan yang merupakan kewajaran bagi ras manusia. 

Ada kasus namanya Black Death (Kematian Hitam/Kelam), wabah penyakit yang nyerang Eropa sekitaran abad 14, yang menewaskan 1/3 populasi umat manusia dunia. Kita gak akan bisa ngebayangin kayak gimana, tapi buat mereka yang terkena wabah, mereka mikirnya itu adalah akhir dunia, kiamat kubra.

Tapi beberapa manusia dikasih kekebalan sama wabah itu. Banyak yang bilang kalau wabah itu ada positifnya juga. Dengan membinasakan 'manusia lemah' (gak cukup kebal sama penyakit itu) dalam waktu yang amat singkat, hitungan bulan/tahun, berarti sisanya manusia-manusia hebat, yang kuat dalam seleksi alam, dan nerusin kehidupan. Bahkan, Black Death ini mengubah struktur sosial secara signifikan : manusia dikit, pekerjaan banyak, gaji nambah gede, harga barang-barang turun drastis. Akibatnya, standar kehidupan mereka meningkat, yang miskin bisa kaya raya, bisa mengkonsumsi makanan yang kualitasnya jauh lebih baik dari sebelumnya.
Tapi buat orang-orang yang pernah ngalamin Perang Dunia, Holocaust, Krisis kelaparan Soviet, mereka pasti gak nyangka bisa bertahan dari kerjadian-kejadian itu. Banyak rentetan peperangan yang terjadi yang bikin banyak kerusakan dan ada pula manusia yang bisa pulih dan move on.

Awal-awal itu semua terjadi, orang-orang nganggapnya biasa aja. "Paling ntar juga bener lagi". Santai terus sampai tiba-tiba, dengan amat cepat jadi diluar kendali, gak bisa dihentikan, sampai melampiaskan kekesalan itu jadi kerusakan besar-besaran. Buat orang-orang yang yang hidup di tengah-tengah kondisi kayak gitu, mereka gak percaya, gak kebayang kok jadi kayak gini. Tapi para sejarawan udah tau lebih duluan kenapa ini terjadi dan bakal kemana ngarahnya. Contohnya deh, selama peristiwa Centenary of the Battle of the Somme , pembantaian yang dilakukan di Bosnia (assassination of an Austrian Arch Duke in Bosnia.) pada minoritas warga Eropa, mencapai 17 juta orang. Gak nyadar.

Ini semacam siklus, bakal kejadian lagi dan lagi. Tapi kayak tadi saya bilang, kebanyakan orang cuma tau sejarah 50-100 tahunan. Gak nyadar kalo kita lagi memasuki siklus itu lagi. Mungkin lebih besar. Di awal-awal Perang Dunia I, ada segelintir orang, segelintir orang pintar, hebat, cendekiawan yang nyadar kalau dunia bakal ngalamin hal besar. Tapi mereka diacuhkan, dianggap sedeng, gila, gak waras, bodoh, sama nih kayak orang-orang sekarang yang meragukan tentang Putin, Brexit, ama pak Trump, calon presiden Amerika yang justru lagi di atas angin, hampir pasti jadi presiden.Lalu abis Perang Dunia II, para sejarawan memprediksi lagi akan hal besar berikutnya. Ketika manusia gak lagi mengabdi ke negaranya, gak percaya negaranya, orang-orang bakal nyari pelarian, nyari pemimpin karismatik yang dikiranya bisa jadi jalan keluar mereka. Pemimpin yang banyak omong, retorika, gak jelas, cuma menyulut kemarahan dan kebencian, mengadu domba kubu-kubu. Abis itu nyampe ke puncaknya, ya udah, unstoppable, gak ada yang bisa menghentikan.

Dulu ada Hitler, Musolini, Stalin, Putin, Mugabe, dan banyak diktator lainnya. Mugabe itu contoh gampangnya. Dia nyulut kebencian nasional sama pemilik tanah yang minoritas kulit putih (yang kebetulan tahu caranya ngurus peternakan), dan menyita tanah mereka buat distribusi ke orang-orang, dalam sebuah langkah memecah perekonomian, pertanian dan industri negara terus ninggalin aja orang-orang yang punya tanah, ampe gapunya tempat tinggal, ampe kelaparan. (Pendapat pribadi saya, ini bisa kejadian loh di Indonesia. Gampang. Tapi teori dan teknisnya kepanjangan kalo ditulis di sini. Lain kali deh).

Ada juga tragedi kelaparan di Uni Soviet, yang disebabkan sama komunis Cina (and the one caused by the Chinese Communists last century) yang bikin 20–40 juta orang mati gitu aja. Saat itu, orang-orang gak nyadar loh kalo mereka lagi digiring ke jalur kehancuran. Mereka pikir itu tindakan bener dan sah sah aja. Awalnya mereka disulut kemarahannya sama pihak tertentu, lalu mereka mengagung-agungkan orasi pemimpinnya, kritiknya berupa cacian, kebencian, dan lainnya. Siklus ini keliatan pas awal kebangkitan Hitler, Treaty of Versaille, sampai Perang Dunia II. Siklus yang juga lagi kejadiaan tapi seperti yang saya bilang, kebanyakan manusia gak nyadar karena :

1. Mereka cuma liat kondisi sekarang, gak liat besok, lusa, taun depan bakal kayak gimana. Sibuk sama dunia sendiri.

2. Mereka cuma ngeliat yang nampak di sekelilingnya aja, gak liat secara global, bahwa ternyata kejadian demi kejadian di beberapa benua ternyata saling berhubungan.

3. Kebanyakan dari kita gak mau membaca, gak mau mikir, gak suka tantangan yang berat-berat, mau enaknya doang, gak mau dengerin sudut pandang orang lain, karena nganggep orang lain beda paham sama kita.

Well, asal tau aja, si pak Donald Trump lagi melakukan hal ini di Amerika sono. Om Plato yang hidupnya duluan bahkan bisa ngejelasinnya > brilliant, long essay in the New York magazine. Jargon Pak Trump adalah kalo dia bakal bikin Amerika hebat lagi (Make America Great Again), dimana kenyatannya, Amerika udah hebat, udah adidaya. Doi tunjukkin passion, cita-cita, sekaligus kebencian pada segelintir pihak (ras kulit hitam, muslim, imigran). Makin lama orang-orang makin percaya sama dia. Sekarang liat aja kondisi para imigran di US. Kita gabisa nyalahin warga, politisi, media, soal kondisi Amerika yang udah hampir pasti nunjuk si Pak Trump buat jadi pemimpin di sono. Yang jelas, sejarah udah banyak cerita apa yang bakal terjadi sama planet bumi kalau ada pemimpin semacam doi berkuasa di negara hebat.

Pindah ke Rusia, waktu dipimpin diktator yang berkarisma tapi pake cara-cara menyulut kebencian dan menakut-nakuti pihak lain. Turkey sekarang juga gitu. Hungaria, Polandia, Slovakia lagi proses ke arah sana dan sebagian Eropa lain bakal ada Trump-Trump dan Putin-Putin lainnya nunggu dilantik, bahkan dibiayain sama Putin (in fact funded by Putin).

Kok bisa api kecil nyulut kerusakan hebat? Lihat deh Brexit. Bukan jalan tol ya. Tapi kasus keluarnya Inggris dari Uni Eropa. Ibarat Endonesa keluar dari grup ASEAN. Jadi, menurut penulis, Brexit itu secara gampangnya, kumpulan/grup yang marah trus menang pertarungan tinju. Lalu menginspirasi orang-orang yang marahnya kependem juga buat melakukan hal yang sama terus menang. Satu negara bisa memicu lainnya. Marah kenapa? Sama kebijakan Uni Eropa yang selama ini dianggap merugikan. Panjang ceritanya.

Contoh gampang gimana Brexit bisa memicu Perang Nuklir, (kalau kejadian). Wallohua'lam. Kayak gini nih:

Brexit di Inggris bikin Italia sama Perancis menyamakan referendum. Le Pen menang pemilu di Perancis. Uni Eropa yang selama ini ada sebetulnya mencegah peperangan antara negara-negara Eropa. Rusia, yang notabene punya ambisi militer besar, banyak dihambat sama Uni Eropa ini soalnya kekuatan ekonomi Rusia ada di industri militernya. Sekarang EU udah mulai ada perpecahan, si Putin agak seneng kayaknya. Trus kalo Trump menang pemilu di Amerika, dia bakal ngedukung Ruisa buat nyerang Baltics. Salah satu wilayah di Eropa yang entah ada apanya, gak dijelasin di sini. Dengan pecahnya Uni Eropa, dan lemahnya NATO, Rusia bisa selamat dari krisis sosial dan ekonomim karena barang-barang militernya laku. Om Putin juga membiayai aktivis anti Uni Eropa di Latvia. Rusia ngirim 'pasukan penjaga perdamaian' dan 'bantuan' ke Latvia, Georgia, Ukraina. Nah semuanya kan ngerasa berhutang sama Rusia, maka pada gabung deh tuh jadi Pro-Rusia, pendukung Rusia. Negara lainnya juga ikut-ikutan Pro Rusia kayak Perancis, Hungaria, Polandia, Slovakia. Melihat kesempatan ini, Rusia makin gencar memperluas geng-nya ke Estonia Timur dan Lithuania. Jadi udah hampir setengah Eropa pada ngedukung Rusia. Trus Turki kemana? ISIS? Siapa yang bakal ngelempar bom nuklir duluan?

Ini semacam skenario Arch Duke Ferdinand. Banyak kemungkinannya mengingat kompleksitas peristiwa dan pelaku. Keliatannya sih gak ngarah ke mana-mana. Keliatannya. Tapi sejarah udah ngebuktiin, dari banyak kejadian, kemiripan peristiwa, pemicu, dan hasil, semuanya ngarah ke satu hal : manusia memasuki gerbang kerusakan. Destruction itu artinya kehancuran. Tapi kalo ditulis gitu, kesannya nyeremin banget ya? 

Semua itu bakal kejadian secara tiba-tiba dan kebanyakan dari kita gak nyadar, tiba-tiba aja segalanya jadi kacau, semrawut, cepet banget sampai manusia sendiri gak bisa ngeberhentiin ini.

Para sejarawan berusaha untuk tegar dan tidak naif. Bagaimana bisa saya duduk santai di cafe keren di London, nulis tulisan ini, tanpa ada niatan pengen lari? Lari dari ketakutan. Bagaimana bisa orang-orang baca tulisan ini dan bikin komen-komen sarkas nyuruh para pendukung 'pemimpin-pemimpin' itu untuk berhenti dukung mereka? Dan bagaimana bisa kita nyalahin Brexit? 

Mengabaikan dan ngata-ngatain para pakar, orang-orang pintar di sana, soal kejadian Brexit atau kampanye Trump, itu gak ada bedanya sama mengabaikan saran dokter buat berhenti ngerokok, lalu kita baru sadar kita mengidap kanker yang gak bisa disembuhin.

Saya ngerasa sih kita gak bisa menghindar lagi. Saya gak tau apa yang bakal terjadi nanti, tapi suka atau gak suka, kita memasuki masa-masa buruk (we are entering a bad phase). Gak ada bayangan sama sekali bakal gimana kejadiannya, tapi ada kemungkinan manusia untuk bisa pulih, recover, dan move on dari kejadian-kejadian tersebut. Ras manusia akan baik-baik saja, berubah iya, bisa lebih baik, bisa lebih buruk. Namun, bagi sebagian orang, bagi ribuan guru yang diberhentikan di Turki, ribuan jurlanis dan pengacara yang dipenjara, para pengkhianat yang dihukum mati, orang-orang yang terkapar di rumah sakit-rumah sakit Perancis karena serangan teroris, mereka yang tewas, ini adalah derita terberat mereka.

Trus apa yang bisa dilakukan? Ya lagi-lagi, balik lagi. Para cendekiawan, orang-orang pintar yang punya solusi akan jadi minoritas. Orang-orang yang terbuka, berbuat baik pada sesama, gak rasis, gak gontok-gontokan, gak ribut-ribut, orang-orang yang hidupnya baik, mereka cenderung akan kalah dalam 'peperangan'/persaingan ini. Mereka ini gak main kotor. Mereka gak mau main kasar. Mereka inilah yang mungkin akan berakhir di penjara, jadi tahanan, jadi pengungsi, atau berakhir di pemakaman. Kita harus waspada untuk tidak mudah terpecah belah, untuk tidak mudah tersulut kebencian pada sesama, pada teman, saudara, pada penganut agama lain, ras lain, suku lain. Kita perlu menghindar dari perdebatan soal benar salah, fakta logika, dan segala bentuk doktrin akan kebencian yang disampaikan pihak-pihak tertentu baik di media sosial maupun di kehidupan nyata. Kita harus bijak menggunakan media sosial. We need to avoid our own echo chambers. Kita perlu menemukan cara untuk menjembatani kelompok yang satu dengan kelompok lain, mencoba untuk menghubungkan kembali kesenjangan sosial yang pernah melebar. 

(Perhaps I’m just writing this so I can be remembered by history as one of the people who saw it coming.)

(Mungkin, saya cuma nulis ini biar diingat sebagai orang yang nyadar akan kedatangan masa-masa berat yang akan datang.)

***

Bagi umat muslim, kembalilah pada Al-Qur'an dan Al-Hadist karena di sana lah sebaik-baiknya petunjuk untuk hidup baik di segala masa. Kita tidak akan tahu besok masih bisa tinggal di rumah, tidur di kasur yang empuk, makan enak, dan segala nikmat dunia ini. Gak akan tau. Penduduk Syria pun kebanyakan gak sadar bahwa dalam hitungan bulan saja, negaranya sudah tidak memiliki apa-apa selain menjadi arena pertempuran.



No comments:

Post a Comment

Trip Intergalaksi

Selasa, 23 Juni 2020 03.22 dini hari Kisah ini saya tulis begitu bangun tidur dari mimpi yang tidak akan pernah saya lupakan. Mimpi yan...