7.5.18

Anger Management




Ada kelompok manusia yang marah ketika tim sepakbola andalannya dihina. Ada kelompok manusia yang marah ketika dirinya direndahkan. Ada kelompok manusia yang marah ketika kepentingannya dicurangi. Manusiawi memang.. tapi itu bukan dalih permisif yang melegalkan marah dan berbuat seenaknya sebagai luapan kemarahan. 

Balik lagi deh sama guide book yang saya pake.  Al Qur’an, surah Ali Imran 134, yang artinya gini, “(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik pada waktu lapang maupun sempit, serta orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS Ali Imran [3]: 134)”. 

Nah jelas ya, saya gak butuh marah sebagai luapan emosi seperti orang-orang bilang "lo harus luapin kemarahan lo biar plong". Ya ini pilihan saya. Mau dikata saya orangnya terlalu memendam, kurang terbuka, ya terserah, namanya juga pilihan. Kalau kesel-kesel dikit mungkin ada sekilas tapi saya gak ambil pusing. 

Salah satunya saya menghindar dari marah, dari kesal, dari hal-hal yang nguras pikiran seperti itu, ya menghindar saja dari sumbernya. Menghindar dari sumber yang membuat amarah berbeda dengan menghindar dari masalah. Masalah harus dihadapi, amarah harus dihindari. 

Oke sampai sini dulu. Mau makan. 

***

Santai aja. 

Saya sedang belajar marah untuk hal lain. Belajar peka lebih tepatnyat. Peka untuk marah. Marah ketika agama, kepercayaan, way of life, cara hidup yang saya jalani dihina. Marah ketika idola hidup diolok-olok. Marah ketika kitab petunjuk hidup dinistakan. Marah ketika saudara seiman diperlakukan seperti serangga. Marah itu yang saya butuh. Dengan marah, ada  perasaan ingin membela kan? Dan jelas siapa dan apa yang ingin saya bela. 

Obrolan selentingan di sebelah sana baik dunia maya atau dunia nyata bukan fokus utama saya. Mohon maaf saja bagi haters. Sayang banget haters saya masih dikit. Belum bisa nyaingin orang2 saleh. Nabi Muhammad saja waktu di Thaif sampai dilempari batu. Nabi Musa dikejar presiden dan paspampres. Kalau saya, yang bari dikatain di belakang saja sudqh pundung dan bermental tahu, malu lah. Siapa gue? Ye gak? 

Mindset bahwa urusan sesama manusia akan ada perhitungannya di akherat kelak, saya pegang terus. Saya percaya kalau apa yang kita perbuat pada orang lain, baik buruknya akan saling berbalasan di yaumul hisab nanti. Biarlah saya lelah dengan semua perkataan, tidak akan saya masukkan ke hati, bahkan menjadi transfer pahala. Rugi kalau saya balas. Transferan itu akan lenyap dan tidak akan membedakan saya dengan mereka. Kalau jalan dakwah itu mudah, gak banyak musuh, mungkin saya salah jalan. 

***

Akhir-akhir ini saya kurang fokus. Karena fokus utama ada keluarga kecil yang sedang saya bangun fondasinya. Saya ingin bisa menemani istri ketika lelahnya, atau sekedar membantu pekerjaan rumah yang menurut ia pahala bagi suaminya. Ruh yang ada dalam rahim, titipan Allah itu, saya ingin menemani tumbuh kembangnya. Suatu kebanggaan. 

Orang lain tidak akan paham perasaan ini karena yang menilai saya hanya dzohirnya, yang kelihatannya saja. Tapi biarlah. Memang yang punya hak menilai semua tentang saya hanya Allah. 

Seandainya saja, amarah-amarah mereka itu atas dasar membela agama, amar mama'runahi munkar, mungkin tidak perlu seperti itu, karena sejatinya kita berjalan pada jalan yang sama. Namun, itupun setelah kita tau sama tau, bahwa saya dan mereka berada dalam satu barisan, satu shaff. Shaff perjuangan dan shaff shalat. Kalau shaff shalat kita sudah bersama, hal lain biar Allah yang menyatukan. Tetapi, kalau dalam ibadah shalat ini saja kita sudah berbeda, kalian tidak pernah, mungkin memang kita berbeda niat dalam berjuang. Saya tidak marah, tapi perlu penegasan bahwa kita belum sama. Semoga Allah memneri hidayah. 

No comments:

Post a Comment

Trip Intergalaksi

Selasa, 23 Juni 2020 03.22 dini hari Kisah ini saya tulis begitu bangun tidur dari mimpi yang tidak akan pernah saya lupakan. Mimpi yan...