14.5.18

Instant Gratification Monkey

Procrastinating. Istilah halus dari membuang-buang waktu, lalai, malas. Jaman ngaji masih pake lampu cempor, cuma ada istilah malas, which ia lawan kata rajin. Belum ada istilah keren ini. 

Saya hanya menginterpretasikan presentasinya om Tim Urban di TED Vancouver supaya mudah dimengerti saya sendiri, atau kalau ada pembaca dari ras melanesia. 

Tiap hari manusia dihadapi tantangan mengelola waktu, baik itu pekerjaan, sekolah, kuliah, meeting, rapat, project, ataupun yang sifatnya pribadi seperti kapan harus tidur, main, istirahat, keluar rimah, makan, dan lainnya. Dalam mengelola waktu, ada batas akhir pengerjaan aktivitaa yang umum disebut deadline.  Idealnya, di pikiran kita, akan secara otomatis mampu memetakan bagaimana tahapan suatu aktivitas harus dilakukan sesuai dengan porsi waktu yang disediakan. Idealnya seperti ini... 


Tapi kenyataannya, seperti ini...


Kita terjebak dalam pola buruk dalam mengelola waltu karena ada sesuatu yang mengganggu, distraksi, pengalih perhatian.

Kalau yang tadi tipikal orang yang plotting waktunya secara harian, ada pula tipe orang yang pengelolaannya mingguan. Dan sama saja, dalam benak mereka, minggu pertama yang ada di pikirannya adalah bagaimana caranya membagi waktu untuk mengerjakannya.

Gagal di mingggu pertama, lantas workload / porsi kerja dilimpahkan ke minggu kedua dan ketiga. Masih masuk akal dan sepertinya bisa dikejar. Sepertinya.

Lalu kembali gagal. Setengah minggu terakhir dan dikebut belum memunculkan hasil.

Dan pada akhirnya, Sangkuriang mode on. Beban kerja ditumpah curahkan di sepertiga malam terakhir. Berharap mendapat faedah lailatul Qadar mungkin. Namun bisa ditwbak hasil akhirnya. Penilaian akhir yang mengecewakan, buruk, tipikal supir bis malam. Tidak peduli bagaimana rupa bis di akhir terminal, yang penting bisa sampai dalam semalam. Disappointing result..




Jadi menurut om Tim, kalau di-breakdown isi otak para deadliners/procrastinator/tukang begadang/pemalas, sebetulnya di awal waktu, ia sudah bisa membayangkan 5W 1H terhadap apa yang menjadi kewajiban dan tugasnya. Mereka punya target yang bisa dicapai secara rasional.  Tapi...

Di pikiran mereka ada yang namanya "Instant Gratification Monkey". Kalau diterjemahkan, monyet pengganggu yang selalu ngajak berbuat sia-sia tapi menyenangkan. Menurutku, ini sama saja dengan syaitan. Bisikin hawa nafsu, cuma mungkin dikemas dengan lucu-lucuan versi om Tim. Yea whatever.




Setiap kali pikiran mentrigger motivasi untuk mulai beraktivitas sesuai kewajiban, mengeluarkan booster untuk take action, si monyet gaib ini yang selalu membisikkan untuk menunda niatan tersebut. 



Kalau pikiran kalah, si monyet bakal ambil alih kemudi untuk melakukan hal-hal yang di luar tugas dan kewajiban. That's what syaithan do, right? 



Karena ternyata si monyet ini senang akan hal-hal yang menyenangkan dan mudah dikerjakan. Saya tambahkan : juga murah. Seseorang akan menghabiskan kesenangan di game balap, karena lebih gampang, no significant risks, and also cheaper than the real ferrari. Jauh lebih murah. Dan di game itu, everyone can be anything. Pembalap, pemain bola, manager tim bola, penjahat, even a terrorist. Oke ini side effect dari game yang menurutku sangat tidak bermanfaat.

Dan berita buruknya lagi, keinginan si monyet itu berseberangan dengan tekad diri sendiri. 


Ujung-ujungnya, para procrastinator akan mengambil jalan tengahnya, dan berpendapat : "gak apa-apa lah senang-senang dulu" atau "work hard, play harder" atau "refreshing dulu di tengah tugas" atau "santai dulu napa? Serius mulu!" sambil mempengaruhi orang lain yang justru telah memulai langkahnya lebih dulu. 

Gak salah, tapi terlalu lama ambil jalan tengah itu malah masuk ke wilayah Dark Playgorund atau Taman Bermain Kegelapan. Lebay sih kalau dibahasa Indonesiakan. Tapi intinya, itulah jebakan batman.
Di kondisi dan momentum seperti itu, justru keinginan si monyet terpenuhi. Hasrat untuk terus terusan bermain menenangkan pikiran malah jadi melupakan apa yang menjadi prioritas.  Dan sekali lagi, kita bicara waktu yang terbuang.

Dalam posisi itu, kewajiban, tugas, obligasi, prioritas, apapun itu namanya, nampak sesuatu yang amat sulit dikerjakan. Yap karena si monyet berhasil menanamkan mindset "Fun things can be easy and cheap. So why would you choose the hardest one? Udeeh mending have fun aja terus. Santaiiii" gitu bisik si monyet yang niru ajakan syaitan.

Si monyet akan terus meracuni pikiran produktif hingga datang makhluk ini. Monster Panik. Pfft.. 


Si monster ini datang untuk menampar si manusia supaya sadar, kalau waktunya mepet. Dia bakal berteriak dan semuanya kaget, termasuk si monyet.



Dan memang, si monyet hanya takut sama monster ini. Dia bakal kabur tak kembali lagi. Menyisakan si nahkoda yang seolah baru bangun dari hipnotis. Kebingungan, ketakutan, gundah, galau, bahwa waktunya sempit sekali. Tapi dia berusaha kendalikan kemudi. Kemungkinan kecelakaannya besar, tapi setidaknya dia sadar dan bisa berbuat sesuatu meskipun di ujung tanduk. 


Dengan begitu, mulailah dia melaksanakan apa yang sudah menjadi tugas dan kewajibannya. Dan dia sudah tidak memikirkan hasil akhir, setidaknya ada yang bisa dikerjakan, demi menyelamatkan sesuatu yang menurutnya berharga. 

****

Dan inilah tabel waktu, jika seorang manusia punya waktu 97 tahun untuk mengejar tujuannya. Saya pikir, yang menjadi masalah adalah, mereka bukannya tidak mampu menggapai impiannya, target hidupnya, cita-citanya, tapi mereka tidak mau memulainya. 


***

Ada dua tipe procrastinating. Yang pertama, mereka yang diberikan batas waktu, deadline, yang masih dalam frame umur mereka hidup. Misalnya, minggu depan, bulan depan, tahun depan. Itu batas waktu yang besar kemungkinan manusia akan melewatinya selama masih hidup. 

Namun ada tipe kedua, dimana target itu tidak ada batas waktu. Sebetulnya ada batas waktu tapi manusia tidak bisa mengukurnya. Batas waktu yang dinamakan kematian, which is gak ada yang tau kapan seseorang mati. Yang menjadi masalah, ketika deadline mati ini habis, sedangkan kita tidak menyangka akan secepat itu, we will ended up in regret. Menyesal, mengapa kemarin-kemarin waktu habis dengan procrastinating, buang waktu, main, have fun, dan malah but banyak dosa. Kalau yang menjadi target adalah kehidupan dunia, jabatan, kekayaan, deadline tak terbatas ini bukan masalah besar. Hasil kerja keras akan terlihat di sisa umur nanti jika Allah berkenan. Tapi kalau targetnya adalah kehidupan setelahnya, tidak mungkin surga didapat jika mindset kita mengikuti si instant gratifigratication monkey tadi. Muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk surga? Kasihan mereka yang miskin, atau yang habis-habisan beramal ketika muda, dan pihak lainnya. Surga itu mahal pastinya. Logikanya, untuk dapat satu buah villa di dago pakar, ribuan jam, pikiran, tenaga, dan materi pasti dicurahkan betul untuk bekerja, sampai dapat keuntungan yang kemudian bisa dipakai membeli villa. Lalu buat beli surga, sudah modal apa? 


3 comments:

  1. wow, jadi selama ini aku melihara monyet juga dong walah

    ReplyDelete
  2. Ini nggak dikasih sumbernya? kaya nya ini dari Video Ted Talks deh, ayo aku yakin mimin orang yang berpendidikan

    ReplyDelete
  3. ini harus dipasang link asalnya, tidak boleh kalo tidak ada sumbernya min

    ReplyDelete

Trip Intergalaksi

Selasa, 23 Juni 2020 03.22 dini hari Kisah ini saya tulis begitu bangun tidur dari mimpi yang tidak akan pernah saya lupakan. Mimpi yan...