11.12.18

Sensasi dibungkus Gimmick

Kontestasi politik tahun ini mempertontonkan adu akal sehat. Tidak usah marah kalau negara ini dilabeli negara yang tertinggal 150 tahun. Entah darimana angka itu didapat, tapi label "tertinggal" memang harus diakui dan dijadikan cermin, ngaca! 


Dari momen-momen pemilu yang masih prematur ini saja, banyak orang yang terbawa pada hal-hal yang konyol saja. Saya tidak hanya bicara soal 2 calon presiden, lebih ke tingkat grass-root, melihat para caleg memaparkan visi dan misinya saja sudah nampak kalau politik demokrasi Indonesia masih belum dewasa. Dalihnya mau meraup suara wong cilik, maka mencari sensasi dengan permainan kata-kata yang standar kasta tersebut dan gimmick yang, maaf, kampungan. Dalihnya mau meraup suara millenials, usia muda dan produktif. Lalu sensasi yang dilakukan adalah dengan gimmick motor, jaket kulit, atau campaign content yang berwarna-warni tralala-trilili dibalut bahasa kekinian yang justru memperliatkan kalau dia cacat linguistik. Bahasa Nasional aja blepotan apalagi dibawa ke kancah dunia? Kalau kekonyolan demi kekonyolan ini muncul dari timses, yang sebelumnya hanya simpatisan, asal mau kerja lalu bertarung dengan jargon andalan, maka yang jadi adalah perang tokoh, memenangkan sosok, kepentingan, bukan lagi urusan cakupan wilayah yang ia wakilkan. Visi dan misi sudah tidak lagi digubris. Sama-sama niat baik tapi karena itu tadi, para pelaku kontestasi politik ini sebagian kecil pakarnya, sebagian besar preman.


***



Masalah ini muncul karena visi dan misi bernegara yang sebelumnya di-scrutinize (ditelaah, digodok, dan dicek kematangannya) oleh kalangan yang kritis berdasarkan ilmu, sekarang malah langsung dilempar ke publik yang kritis tapi berdasarkan nafsu. Media sosial menyediakan peluang itu. Jadinya, tafsir masyarakat awam politik hanya menjudge tokoh. Coba lihat sekarang, satu kesalahan kata saja bisa dijadikan counter oleh publik yang bersebrangan. Padahal hanya masalah kata, tanpa ditelusuri lebih lanjut maknanya. Karena bisa jadi itu bernada majasi, metafor, hiperbol, dan perumpamaan lainnya yang jika diartikan seara gamblang, itu bukan hal penting-penting amat. 

Kenapa salah kalau langsung dilempar ke publik? Karena heterogeneity thinking yang ada di sana terlalu luas. Begini misalnya, orang lulus SD dengan lulusan SMA, punya pola pikir berbeda. Kalau dilibatkan langsung dalam penggodokan dan penilaian calon presiden, mereka akan kritis sesuai ilmu yang pernah didapatnya sejauh ini, meskipun usia bisa sama. Proses pendewasaannya berbeda. Lantas siapa yang lebih mendingan untuk proses scrutinize ini? Saya bilang lebih mending karena belum tentu ini opsi terbaik, tapi pasti lebih baik daripada dilempar ke publik.

Masukkan program kampanye ke kampus-kampus. Karena di sana, calon negarawan akan diuji kematangan pikirannya dengan landasan ilmu yang jelas tersedia di kampus. 

Kalau ada yang bilang, karakter masyarakat Indonesia memang senang sensasi dan gimmick, harusnya jangan melayani masyarakat dengan kekonyolan serupa, karena pemimpin bukan untuk menghibur penumpang dengan sensasi-sensasi ataupun gimmick lewat blusukannya, tapi memimpin kapal ke tujuan akhir. Untuk masyarakat, kalau terus menerus dilayani dengan kekonyolan, maka akan terus menerus tidak bisa tumbuh dalam percakapan demokrasi khusunya dalam negeri, apalagi luar negeri. Bisa diketawain.

Terlihat kalau pola kampanye calon-calon negarawan saat ini hanya untuk menarik perhatian publik. Tapi mereka rakus, inginnya semua kalangan. Mereka lupa kalau mencari sensasi melalui gimmick itu sama seperti tayangan televisi. Tidak semua orang berselera sama pada talkshow receh. Padahal di negara-negara berkembang, cara mencari perhatian publik dalam kontestasi politik itu dengan meminta diuji pikiran para calon tersebut di kampus-kampus.

***



Saya terpaksa menyebut jenjang pendidikan, karena hal ini menjadi salah satu faktor pola berpikir di masyarakat Indonesia pada umumnya. Para sarjana akan lebih mampu kritis mengenai konsep menjalankan negara karena mereka kritis pada hal-hal fundamental dan essentials dibandingkan mereka yang SMP saja tidak mau lulus. Nah mereka ini yang belum beruntung mengecap jenjang pendidikan tinggi, akan melihat seorang negarawan itu "menjalankan tugasnya", itu dinilai dari hal-hal yang nampak saja, seperti infrastruktur, pemberian bantuan, blusukan, masuk got, dan sebagainya. Padahal, executive itu fungsinya lebih banyak pada pembuatan kebijakan, rancangan undang-undang, delegasi, dan banyak fungsi lain yang bukan harus tampil.

***


Bicara lagi mengenai campagin/kampanye, yang saat ini mulai ramai. Kalaulah setiap calon, baik dari level DPRD Kota/Kabupaten hingga level presiden, itu masuk ke ranah kampus, kampanye di sana, atau pemaparan visi misi saja, saya yakin kebanyakan jargon hanya enak didengar tapi tidak enak didiskusikan, karena percuma, itu hanya jadi bahan tertawaan saja. Kalau diperiksa seluruh indikator pertumbuhan negara, dibandingkan dengan apa yang nampak di media melalui sensasi-sensasi dan gimmick-gimmick yang ada, itu justru memburuk. Cadangan devisa terkuras, neraca perdagangan defisit, jumlah penganggruan bertambah, angka kemiskinan meningkat, dan kegagalan-kegagalan lainnya yang dicoba ditutup-tutupi melalui sensasi konyol saja. Misalnya saja, dari kubu petahana, mereka mau sulap, menutup infografis tersebut, tapi bagi orang-orang yang berpikir, yang mempunyai metoda dan landasan ilmu yang didapat lewat jenjang pendidikan tinggi, melihat bahwa ada yang palsu di situ. Sedangkan dari kubu oposisi, visi dan misi penyelesaian masalah negara masih belum teruji kematangannya karena belum melalui orang-orang tadi, yang memiliki metoda dan landasan ilmu yang cukup untuk dikritisi dan tukar tambah pemikiran. Padahal politik adalah tukar tambah gagasan, tukar tambah ide, dan proses tukar menukar itu hanya ada di kampus. Kalau selesai di kampus, bolehlah dibawa ke talkshow, dipaparkan ke publik, supaya tidak ada misleading dalam penafsiran konsep bernegara yang sesuai aturan. 

Sekarang kan malah semua orang bicara sekehendaknya, sepemikirannya, lebih parahnya tanpa landasan ilmu yang kuat. Jadilah politikus freestyle. 

No comments:

Post a Comment

Trip Intergalaksi

Selasa, 23 Juni 2020 03.22 dini hari Kisah ini saya tulis begitu bangun tidur dari mimpi yang tidak akan pernah saya lupakan. Mimpi yan...