27.5.12

Belajar itu pada ahlinya

May 20th


Rentetan UAS di penghujung semester adalah pemerasan. Pemerasan waktu, tenaga pikiran. Diperas terus sampai kering kerontang. Bukan perkara remeh-temeh kalau hidup ini hanya kuliah. Tapi sayang sekali bung dosen, kita manusia sosial bukan manusia sial. Ada urusan hidup lain selain tugas-tugas mulia yang anda berikan. Sementara beliau hanya masuk beberapa pertemuan saja. Bravo!. Sekian pembukaan ini.

Ini buntut akibat dari sehari yang lalu mmbaca kisah Ki Hajar Dewantara. Kalau saja aku tak membaca 3 paragraf itu, yang memang keterusan hingga beberapa halaman, aku akan menghormati dosen-dosen dan pengajarku. Setidaknya sampai saat ini. Sejak kecil ditanya cita-citamu jadi apa? polisi, dokter, pelukis, tukang ojek, presiden, tukang demo, apapun itu anak kecil selalu menjawab. Lantas calon polisi, dokter, pelukis, tukang ojek, presiden, tukang demo, apapun itu mau-mau saja dihadapkan pada seorang guru yang kenyataannya dia bukan polisi, dokter, pelukis, tukang ojek, presiden, tukang demo, apapun itu. Maksudku, kalau mau jadi dokter gigi anak, ya belajar dari awal pada dokter gigi umum sampai Phaeodontia. Kalau mau jadi polisi, belajar pramuka, akmil, jadi polisi yang bertanggung jawab bukan cuma mangkal di pertigaan nyegat orang nerobos lampu merah. Nyari-nyari perkara orang. perkara sendiri gak mau diurusin orang toh?

Lantas kesemrawutan masa depan bertambah kalau seorang yang hendak ingin jadi desainer produk, belajar pada dosen desain produk. Aku tidak menyalahkan. hanya saja, lihatlah, bukankan dosen adalah profesi cadangan karena tidak mencapai cita-cita utamanya? Aku ingin jadi desainer, lalu belajar pada desainer tidak kesampaian. Jalan buntu. Sempurna. Diamini oleh semesta.

Nahas benar. Nahas semakin benar saat sebulan lalu aku masih ingat. Hari itu aku hanya konsultasi dengan tugas yang membabi buta. Aku tunjukkan saja presentasi produkku. Lalu tanpa dinyana sang dosen terhormat berkata kalau bikin desain jangan bagus2 lah. Kalau tanpa akhiran ‘lah’ itu, aku masih terima. tapi itu lewat 3 kata. Dia lanjut berkata kalau produk kamu perhatikan dulu lalalala lilili insana oh insana. Aku bilang saja ini teknik presentasi ya harus enak dilihat. Terus debat sampai semaput. Nihil. Sudah malas aku bertanya. Kuputuskan saja tidak salam hari itu. Pulangnya aku tanya langsung sama si Pak Wen. Jelas-jelas dia desainer. Bukan dosen. walaupun dia lulusan teknik mesin, dia mau menghargai.

Tak salah aku memutuskan meluncur sebagai tukang kayu murahan semester lalu. Yang tiap hari kerjanya nyerut-nyerut kayu mahoni, ebony, spruce, rosewood. Disini aku benar-benar belajar desain. Konkrit. Bukan membahas masalah produk tidak usah cantik-cantik. Aku menyenangi sebagai tukang kayu. setidaknya untuk sekarang. Kalau nanti dijadikan profesi, akan kupikir ulang.

Tugas memberendel malam ini aku akhiri saja. 3 selesai, 1 tersisa. Mata kuliah dia. Dosen tidak usah cantik-cantik.

No comments:

Post a Comment

Trip Intergalaksi

Selasa, 23 Juni 2020 03.22 dini hari Kisah ini saya tulis begitu bangun tidur dari mimpi yang tidak akan pernah saya lupakan. Mimpi yan...