9.2.13

Bisa

Sabtu 13 Februari 2013

Mungkin di mata adik kandung saya, saya bukan kakak yang pantas jadi panutan. Kebanyakan  tak banyak bicara perihal hidup. Seperti hidup dalam jalannya masing-masing. Ya semenjak anggota keluarga kami hanya ada saya, adik dan ibu, semua berubah. hampir total. Saya seperti kehilangan arah, panutan hidup, karena umumnya anak laki-laki mencontoh ayahnya. Tak banyak yang saya pelajari. Ilmu mencari nafkah, ilmu pemberani, ilmu bertarung , ilmu mencari istri, dan ilmu lainnya yang wajar didapat seorang anak laki-laki dari ayahnya. Saat itu kelas 5 SD.
Meski pasca cerai ayah saya tetap menafkahi kami, namun ini tidak murni. Bukan kasih sayang sepenuhnya jika harus membagi ke dalam dua kubu keluarga. Saat itu saya masih menolak, tak peduli. Saya lebih mengkhawatirkan ibu, bagaimana kami ke depan, cita-cita anaknya, cita-cita kami bertiga.
Saya lulus SMA, kuliah, dan masih dibiayai ayah. Perlahan saya mengerti. Perlahan kebencian saya terkikis. Itu bukti bahwa ia masih peduli kami. Namun tidak bagi adik saya. Sampai detik ini.
Malam ini saya ingin marah besar. Pemikiran bocah 20 tahun itu masih semacam 7 tahun saja. Ini mengenai biaya kuliahnya yang katanya belum dibayar. Dengan nada bicara yang bukan sepantasnya dikatakan pada orang yang lebih tua darinya, itu kelewatan. Apa susahnya menunggu 1 hari saja. Kartu ATM saya hilang. belum bisa ngambil uang di atm. Haruslah senin. Setidaknya saya masih ada tabungan. Sisanya mungkin bisa pinjam sana sini.

No comments:

Post a Comment

Trip Intergalaksi

Selasa, 23 Juni 2020 03.22 dini hari Kisah ini saya tulis begitu bangun tidur dari mimpi yang tidak akan pernah saya lupakan. Mimpi yan...