17.3.13

Critical Thinking - A short opinion related to the 12 Angry Men movie.

Saya mulai saja sebelum malas dan lupa.
Tadi saya lihat si Syahrini itu jadi juri di acara Indonesia mencari berkat. Saya tak mengerti apa yang ada di pikiran orang cantik. Aneh dan pria jangan pernah coba menebaknya atau tahu rasa sendirinya.

Judulnya kontes cari bakat. Salahnya acara begitu menurutku juri yang tidak memposisikan sebagai penilai. Tapi hanya penceramah, memuji, cari aman saja. Safety player kata si Jim Beglin. Kalau menurut saya orang awam yang tidak mengerti kontes begitu, kalau saya lihat jelek ya jelek, bagus ya saya apresiasi bagus. Kasihan mereka yang ternyata jelek malah dibuai kata-kata penawar racun. Bagus katanya. Biar tidak sakit hati. Oh come on! The bitterest truth is better than the sweetest lie. Di American Idol saja contoh si Simon. Kalau kata dia buruk ya buruk apa adanya. Berpikir visioner. Ini hanyalah masalah pemilihan kata untuk mencambuk supaya nantinya peserta bisa introspeksi. Hanya saja, di negeri ini, semua terlalu takut untuk sakit hati saat ini dibanding sakit hati di kemudian hari.

Saya baru nonton 12 Angry Men. Film 1957. Ya siapa pun tiada percaya saya nonton film hitam putih tahun 50an. Saya ketiduran di 10 menit awal. Saya ulangi lagi 2 jam kemudian.




Awalnya saya sangsi kalau film ini memberi saya sesuatu nantinya (ketika si tokoh mati atau ketika 2 sejoli kawin di matahari terbenam). Apa ini? Film hitam putih? Saya pikir akan bertemu Marlyn Monroe atau Vena Melinda di film ini. Baca awalnya saja saya tak tahu para pemerannya. Saya terpengaruh rating bagus film ini di IMDB.

12 Angry Men berkisah tentang 12 juri yang menjadi penentu hukuman 1 orang anak yang tertuduh membunuh ayahnya. Di awal scene, sudah diceritakan kalau si anak sudah mutlak, pasti, tiada sangsi kalau dia akan divonis. Bukti-bukti dan keterangan saksi yang semakin menmojokkan dirinya. Lalu, hakim memberi jeda istirahat hingga petang untuk keputusan akhir yang benar-benar akhir. Keputusan yang diambil hakim ini berdasarkan 12 juri ini. Opsinya hanya 2. Bersalah atau tidak bersalah.

Latar tempat utama film ini hanya 1 ruangan. Di sini mulailah suatu praktik demokrasi yang benar-benar jujur dan cerdas. Saya hampir habis kata mendeskripsikannya. Davis, seorang arsitek, yang menjadi satu-satunya orang yang meragukan keputusan ke-11 orang lainnya yang menilai si anak bersalah. Si Davis ini tidak juga menganggap sang anak tidak bersalah, dia hanya ingin tahu yang sebenarnya.

Singkatnya, si Davis ini dengan logikanya mengungkap detail-detail di balik fakta yang orang lain sangka itu benar (ke-11 lainnya). Yang awalnya ke-11 orang itu bersikukuh menyatakan anak itu bersalah, hingga berbalik 180 derajat memutuskan anak itu TIDAK BERSALAH. Luar binasa mahabarata.

Sedikit saya menggali nilai-nilai di balik film tua ini. Saya salut dengan cara berpikir orang barat. Terbayang pada masa itu mereka berpikir sekritis itu masih dengan membawa logika, nalar, juga hati. Ya. Hati. Bicara demokrasi bukan hanya mengandalkan otak pintar dan banyak omong. Ada toleransi yang jelas batasnya.

1. Menghargai argumen orang lain, se-menjengkelkannya ia, tetap dihargai. Menghargai argumen itu bukan karena ia lebih tua, lebih punya jabatan, lebih nilainya. Bukan. Dilihat dari kebenaran. pula kejujurannya.

2. Sabar. Tak ada yang paling memalukan dari bos-bos kita di negeri ini selain ketika mereka banyak omong banyak tingkah sampai adu jotos waktu rapat soal rakyat. Semua seperti ingin dihargai, semua merasa benar, semua merasa pintar. Dengan kejadian itu malah terlihat semakin keledai. Karena yang dipakai untuk mendengarkan pendapat orang bukan hanya telinga. Sabar. Dua suku kata yang diajarkan guru SD kelas 1 saat menulis huruf sambung. Dan mereka lupa.

3. Kejujuran. Nilai hakiki. Tiada tertandingi.

Sekian untuk halaman ini. Di luar sedang hujan. Ada keripik nanas dari Bibi Gina yang baru pulang dari Bali. Sekarang, saya jadi ingin ke(m)bali.

No comments:

Post a Comment

Trip Intergalaksi

Selasa, 23 Juni 2020 03.22 dini hari Kisah ini saya tulis begitu bangun tidur dari mimpi yang tidak akan pernah saya lupakan. Mimpi yan...