2.4.13

Explore! Dream! Discover!

Kepada para desainer dan seniman muda 2012.

Selasa, pukul 3.10 WIB.

Saat saya menulis ini, Bandung sedang dini hari dan saya telah melalui 7,2 kilometer jalan kota dengan menerobos kabut, dari kampus menuju kamar. Dengan jaket bulu tebal dan itu masih belum cukup.

Saat saya menulis ini, di jalan raya sana sedang pikuk para pedagang membuka lapak pinggir jalan. Sejarah bilang, pasar tradisional sudah bertarung melawan hidup bahkan sebelum kokok ayam.

Dalam benak saya, ini waktu normal manusia untuk beristirahat. Lalu kenapa di luar sana masih saja ada orang membuka mata berlalu lalang?

Kemudian saya teringat 5 jam sebelumnya di jantung kampus ini. Itu berarti jam 10.10 malam di hari sebelumnya. Di jam-jam itu, kalian tahu sendiri suhu kota ini yang bisa mengubah menu teh manis panas menjadi es teh manis dalam hitungan menit saja.

Kalau saya membayangkan malam tadi, ada sekumpulan anak muda berteriak-teriak ea ea ea eo nyanyian aneh yang setan pun tak tahu artinya. Di saat yang sama, anak muda lainnya sedang bernyanyi lagu yang lebih jelas artinya dan lebih merdu. Mungkin di kamarnya, mungkin di jalanan, mungkin di panggung, mungkin sendirian.

Malam tadi, ada sekumpulan anak muda membenamkan setengah badannya di tengah kolam kotor yang kodok saja enggan hidup di dalamnya. Di saat yang sama, anak muda lain yang seumuran dengannya sedang membenamkan badannya dalam selimut bulu tebal yang kodok saja bisa hidup beranak pinak di dalamnya.

Malam tadi, ada sekumpulan anak muda dengan wajah-wajah kelelah, kusam, juga ketakutan. Saya pikir itu bukan ketakutan karena bentakan, bukan ketakutan karena tekanan bahkan ancaman. Itu ketakutan pada ketidakpuasan. Takut melewatkan momentum bahagia juga bersenang-senang. Takut akan penyesalan.

Saat saya menulis ini, dunia yang saya huni ini mampu menciptakan 236 lulusan desain dan seni rupa tiap tahunnya. Itu hanya dari satu perguruan tinggi ini saja. Katakan saja satu kota 3 perguruan tinggi, maka ada sekitar 600 lulusan. Di kota-kota besar lain. Di provinsi lain. Di negara lain. Di dunia. Dan terus bertambah setiap tahunnya.

Malam ini, ketika surat ini saya ketik dengan komputer yang mampu mengumpulkan 411 juta informasi dalam 0.23 detik untuk pencarian kata "KULIAH". Lalu saya membayangkan keterbatasan mencari pengatahuan yg dihadapi ayah saya, saat mimpinya untuk sekolah sirna karena desakan ekonomi. Saya memikirkan daya apa yang dimilikinya, sehingga dia berani mendobrak keterbatasannya dengan merantau dan berjibaku untuk survive di berbagai kota di Jawa Barat hingga akhirnya sampai di Bandung, Tidakkah dia takut dengan keterbatasannya? Tidakkah dia takut dengan perkataan orang yang pesimis? Saat itu umur saya masih satu bulan dalam janin. Belum tahu apa-apa.

Tahun 1998, saat itu negeri ini kalang kabut. Moneter. Harga-harga kebutuhan pokok membumbung. Pun harga menuntut ilmu. Saat itu, saya 7 tahun, harus pindah SD karena biaya terlalu mahal. Berlanjut SMP, SMA, hingga lulus. 
Sampai pada saatnya saya bersekolah di sini, saya adalah turunan pertama keluarga yang pernah bersekolah di kampus negeri. Satu sisi saya bersyukur. Sangat bersyukur. Satu sisi lain, ini justru sebuah tantangan besar. Belum lagi harus meyakinkan pada orang tua kalau fakultas yang saya pilih ini kerjanya bukan hanya melukis dan menggambar.

Tahun pertama perkuliahan menjadi ajang pembuktian bahwa memang INI sekolah yang saya cita-citakan. Dari awal saya berniat saya harus kuliah dengan rajin, IP tinggi, tak usah ikut-ikut acara gak jelas, lalu lulus mencari pekerjaan. Titik! Lalu sesimpel itukah kehidupan masa remaja? Semudah itukah menuntut ilmu di kampus dengan label 'terbaik bangsa'
 ini? Banyak cara menuntut ilmu. Dan ilmu sesungguhnya bukan di sini saja. Ilmu sesungguhnya bukan didapat dari tulisan rapi pada buku catatan. Ilmu sesungguhnya bukan hanya dari suapan dosen tentang materi kuliah ini itu. Ilmu sesungguhnya bukan dari rentetan absen yang tanpa celah. Yang saya tahu, ilmu sesungguhnya ada di luaran sana. Di balik tumpahan cat yang mengenai baju saat mural. Di balik tertawaan orang ketika melihat perform berdansa-dansi. Ilmu sesungguhnya bukan diukur dari tingkat keahlian pada suatu hal yang biasa dilakukan, tapi hal yang belum pernah dilakukan sama sekali. 

Akan sia-sia hidup di kampus yang konon terbaik jika hanya numpang lewat. Nikmati sulitnya perang di kampus ini, syukuri kemudahannya. Kalaupun mati, saya akan mengakhiri perang ini dengan senyum, karena saya tahu saya telah belajar hidup sebaik-baiknya di kampus ini.

Saat saya menulis ini, saya mahasiswa tingkat akhir. Masa-masa di mana sudah tidak ada kuliah dalam satu ruangan dengan manusia lainnya. Sendiri dan mandiri. Andaikata saya lulus besok, sudah tidak ada kata menyesal dalam diri saya, karena saya pernah melewati tahun-tahun ketika sahabat sepenanggungan masih banyak dan jaraknya hanya 2 langkah saja dari tempat saya berdiri meminta pertolongan. Yang ada hanya rasa belum puas. Belum puas berkarya. Tapi memang itu sifat manusia dari zaman Adam Hawa.

Mark Twain pernah menulis : "Twenty years from now you will be more disappointed in the things that you didn't do than in the ones you did do. So throw off the bow lines. Sail away from the safe harbour. Catch the trade winds in your sails. Explore. Dream. Discover."

Saat saya menulis ini, saya sudah bisa menceritakan bagaimana kehidupan mahasiswa desain dan seni rupa dari awal masuk hingga lulusnya. Saya berani bertaruh, selepas saya bercerita, maka siapapun yang mendengarnya akan berkata dengan raut wajah cerah "seru ya anak SR, rame ya tiap harinya berbeda, penuh warna". Dengan cerita ini pula saya berhasil meyakinkan orang tua bahwa saya kuliah di tempat yang luar biasa bersama orang-orang luar biasa.

Selamat membuat cerita kalian sendiri. Tapi jangan pernah mau bersenang-senang sendirian. Karena bersenang-senang itu kemudian.

Bandung, 2 April 2013.

Untuk para desainer dan seniman muda 2012.

No comments:

Post a Comment

Trip Intergalaksi

Selasa, 23 Juni 2020 03.22 dini hari Kisah ini saya tulis begitu bangun tidur dari mimpi yang tidak akan pernah saya lupakan. Mimpi yan...