7.5.13

Mengalah. Jangan mengeluh.


Dari kecil manusia sudah dituntut mendapatkan kebutuhannya atas usahanya sendiri. Contohnya adalah disunat. Disunat itu, kata Arya Wiguna, itu buat tit—. Dengan mengorbankan bagian tubuh, seorang anak sudah bisa tuh mendapatkan sepeda atau majalah Bobo. Dengan pengorbanannya kesakitan setiap malam, biusnya habis, atau terkena sarung. Sang anak tabah menghadapi perihnya itu demi sepeda dan harga dirinya. Tanpa kekurangan akal, dia mengganjalkan potongan kulit kelapa di sarungnya. Supaya sarungnya tidak mengenai itu. Baru dibuka setelah sembuh benar.

Kalau dari kecil sudah belajar tidak banyak mengeluh saat berharap sepeda, kenapa mengeluh ketika sudah bisa naik sepeda? Apalagi sepedaannya cuma pas nyekil doang. Iya. Saya sering liat muda mudi pake fixie dempet2an mirip bak sampah organik anorganik. Munculnya tiap pagi dan sore hari menjelang.Hanya hari minggu. Berkacamata, celana pendek, topi, sneakers. Kalau si perempuannya ngeluh kepanasan, dia akan mengambil kanebo lalu menyemprotkan semir bodi mobil ke wajahnya lalu mengelapnya sehingga makeupnya setebel aspal jalan. Apasih saya. 

Tapi gini-gini kota Bandung suka curhat sama saya. Katanya banyak yang gak suka sama doski. Banyak yang ngeluh soalnya waktu dikasi hujan, dimarahin karena gabisa keluar rumah. Dikasi panas kaya barusan juga ada aja yang ngeluh gabisa hujan2an iindiaan sama pacarnya di flyover pasopati. Si Bandung ini masih sabar dan mengalah. Tapi gapapa kok, Dung. Saya suka kamu ada apanya. Saya suka sepedaan kapan saja asal di kota ini masih banyak yang senyum.

No comments:

Post a Comment

Trip Intergalaksi

Selasa, 23 Juni 2020 03.22 dini hari Kisah ini saya tulis begitu bangun tidur dari mimpi yang tidak akan pernah saya lupakan. Mimpi yan...