9.6.13

Catatan tingkat akhir

Kemarin, 8 Juni 2013, adalah hari dimana kekesalan pada institusi ini kembali mencuat ke permukaan. Pagi-pagi ketemu si jagil & bintang. Mereka anak teknik industri. Tambah satu lagi si akrim anak mesin. Kami berbicara tentang cita-cita bersama.

Mereka sedang mengembangkan segway. Masih pilot project tapi ingin diteruskan. Sekaligus dilombakan di Korea. Saya baca rinciannya beserta berkas-berkas penunjang. Menarik. Saya diajak jadi anggota tim karena si jagil dan si bintang ingin segway ini tidak terlalu engineering, tapi ada sentuhan desain, katanya. Tapi sayangnya institusi ini lagi-lagi bertingkah. Nama saya sudah diajukan ke dosen pembimgbing proyek ini untuk diikutsertakan sebagai delegasi dari program studi desain. Kata dosen mesin tersebut, memang ini proyek kolaborasi antar multidisiplin ilmu, tapi, ini hanya kerja sama antar teknik mesin, teknik industri, dan teknik elektro saja. Kalaupun ada anak desain yang ikut campur, itu tidak disarankan, karena tidak ada alur koordinasi kolaborasi yang jelas dengan fakultas seni rupa dan desain. Birokrasi sialan hanya malaikat pencabut nyawa. Alibi itu saya terima. Kini, saya tidak termasuk tim, tapi hanya sebagai tenaga outsource saja yang dibayar. Kenapa buat proyek antar jurusan saja dipersulit?

Lalu mau apa jadinya kalau mindset "kolaborasi ilmu" di kampus ini saja tidak becus dalam kenyataannya. Saya berani bicara begitu karena saya pernah mencicipi rasanya "kolaborasi ilmu gado-gado" ini.

Di kampus yang katanya terbaik bangsa ini, ada 4 ilmu besar. Teknik, sains, bisnis, serta seni rupa dan desain. Sejatinya setiap mahasiswa di dalamnya mencicipi minimal 1 saja proyek kerjasama yang melibatkan seluruh aspek ilmu besar itu. Kenyataannya, hanya segelintir orang saja yang rela gengsinya dinomorsekiankan. Saya bilang gengsi. Ya. Orang-orang di kampus ini gengsinya tinggi. Saya beropini seperti ini karena melihat kecenderungan siklus hidup di sini:

Tingkat pertama sudah melabeli diri sendiri dengan "terbaik bangsa". Harusnya beban, malah bahan tertawaan. Tidak sedikit saya melihat mahasiswa tingkat satu terlalu berbangga dengan sebutan itu sampai lupa bahwa itu bukan sesuatu yang perlu dibanggakan, namun sesuatu yang perlu dipertanggungjawabkan. Pada level ini, mindset "terbaik" itu disalahartikan. Tidak sedikit yang menganggap "terbaik:" itu haruslah dirinya sendiri. Maka kompetisi menjadi yang terbaik inilah menjadi awal pembentukan karakter mahasiswa mahasiswi di sini.

Tingkat dua ketika masuk jurusan masing-masing, kaderisasi yang mengatasnamakan "kebersamaan" banyak sekali. Tiap malam bergaung dari berbagai penjuru kampus ini berteriak yel-yel himpunan masing-masing. Tidak mau kalah satu-sama lain. Dan juga tidak tahu waktu. Pernah ketika saya lewat menjelang magrib ada orasi di campus center. Mereka berteriak yel-yel kearas sekali. Adzan dari salman berkumandang mereka hiraukan. Berteriak-teriak melawan suara ajakan beribadah dari surau. Attitude carut marut. Itukah yang disebut "demi kekompakan"? Itukah yang disebut "demi kekeluargaan"?. Oke let say, begitu masuk himpunan, kekeluargaan ini terbentuk. Intim sekali di dalamnya. Hangat. Sampai enggan buka jendela.

Tingkat ketiga berorganisasi. Kebanyakan himpunan oriented. Kenapa? Bisa dilihat acara-acara di kampus ini banyaknya acara himpunan. Ada juga acara dari kabinet, itu pun bisa dihitung jari : penerimaan mahasiswa baru, pagelaran seni budaya, itb fair, pemilu raya. Acara himpunan ini seakan berlomba-lomba paling mengundang banyak masa, paling meriah, paling ini itu, tanpa esensi.

Tingkat empat, sibuk tugas akhir. Di sini titik puncak individualis karena tugas akhir/skripsi dikerjakan secara individu. Apa yang terjadi? Mahasiswa tambang ya tugas akhir tentang pertambangan, mahasiswa bisnis ya tentang bisnis, mahasiswa lukis ya tentang lukis. Kebanyakan seperti itu. Jarang yang lompat ke disiplin ilmu lain karena pemahaman yang jauh berbeda.

Lulus membawa ilmu luhur, tapi di bidangnya saja. Percaya diri tinggi bahwa ilmunya itu akan membawa kesuksesan besar di masa datang karena dialah masternya. Begitu masuk dunia kerja sesungguhnya, dia hanya dipandang sebelah mata. Softskill yang buruk, kemampuan bergaul yang memprihatinkan, alih-alih ingin mencapai cita-cita malah terhambat karena hal tersebut. Begitu cita-citanya sulit dicapai karena hambatan softskill, maka dengan pemikiran analitisnya, dilakukanlah apa itu korupsi, money laundry, dosa, dosa, dosa, dan dosa.

Lihat saja pejabat-pejabat negeri ini yang jadi tikus-tikus idiot. Katanya sih banyak alumnus kampus ini. Katanya. Kalau analisa di saya di atas saya benar, berarti memang begitu siklus hidupnya.

Saya beruntung berkuliah di sini menekuni ilmu desain dan seni. Tidak hanya belajar menggambar yang katanya gampang, tapi juga belajar rasa. Anak seni itu menilai sesuatu menurut rasa. Rasio itu nomor ke-enam setelah pancasila. Maka dari itu jarang tuh orang seni korupsi, orang seni money laundry, orang seni berpolitik tai kucing.

Contoh kasus, rapat di Kabinet tentang keprofesian. Saat itu saya hanya bareng si Mifta sebagai delegasi dari fsrd. Sisanya dari seluruh jurusan di itb. Di forum itu, saya tanya ke seseorang di sana kenapa penelitian anda hanya sebatas di program studi masing-masing? kenapa tidak mengajak anak SR kek, anak SBM kek, anak Farmasi kek? Soalnya saya lihat ini peluang bagus buat kolaborasi. Lalu dia jawab, "karena segan ngajak anak Seni Rupa". Iya memang berbeda kulturnya. Ada yang gimbal disangka orang gila. Ada yang celana robek-robek disangka gembel. Gedung kuliah SR terlihat mencekam makanya mereka segan masuk. Lalu saya bilang di situ "Memang kami begini, aneh, nyeleneh, punya pemikiran berbeda dengan anda atau semua yang ada di sini. Tapi gimbal-gimbal juga tetep makan nasi bukan makan rambutnya yang mirip mie instant. Justru kami juga butuh ilmu teknik, sains, bisnis untuk menyempurnakan karya-karya kami. Kami memang di kamus teknik. Kami bukan anak tiri. Kami istimewa. Tanpa fsrd, kampus ini tak punya warna. Sekarang silahkan kalau ada yang butuh anak-anak fsrd, mau DKV untuk buat iklan, desain grafis, dll, atau desain produk untuk membuat robot mas ini yang dari elektro misalnya, atau kriya membuat baju-baju indah, silahkan hubungi saya. Nanti saya sampaikan ke yang lain". Malam itu, saya diminta kontak oleh si Dewe dari elektro, si Farhan dari Fisika, si Tinton dari mikrobiologi. Beberapa proyek kerjasama dengan desain produk mulai dilaksanakan di kemudian hari.

Saya pribadi merasa kalau hanya punya kemampuan rasa tanpa punya bekal rasio yang berimbang, apa jadinya ilmu saya nanti. Belajar desain yang bagus, ergonomis, estetika ngalor ngidul rasanya kurang. Mungkin mereka-mereka anak teknik,sains, dan bisnis juga merasa yang sama? Menguasai engineering, perhitungan, logika, dan semua hal eksakta membuat logika mereka jalan. Tapi rasa, kepekaan, dan hati kurang terasah. Kita saling membutuhkan. Keempat multidisiplin ilmu di kampus ini saling membutuhkan. Apa gunanya mesin pesawat canggih tanpa desain dan tampilan luar yang estetik. Apa juga artinya desain interior yang luar biasa indah tanpa arsitek dan teknisi sipil yang handal. Apa artinya semua itu tanpa manajemen yang baik. Kampus ini memang kurang memfasilitasi mahasiswanya untuk melakukan kolaborasi ilmu ini dengan matang. Memang di Badan eksekutif mahasiswa itb ada yang concern di bidang kolaborasi ilmu ini. Namanya I3M, Inkubator Ide Inovasi Mahasiswa. Saya pernah diajak ketuanya si Astrid beberapa kali membahas kegiatan ini itu. Dan hanya segelintir orang yang ikut dari ribuan penduduk kampus ini. Bisa dihitung jari lah. Perbedaan jadwal perkuliahan dan padatnya perkuliahan jadi kambing hitam. Klise. Itu mungkin karena kurang mampu mengatur waktu saja. Padatnya kalender akademik ini juga hanya akan jadi bom waktu yang nantinya hanya mencipta robot. Bukan manusia sesungguhnya. Kalau begini terus, beberapa tahun mendatang ITB hanya jadi arena cari ijasah KW super.

Kembali pada mindset mahasiswa masing-masing. Inisiatif. Bergerak sendiri tanpa harus dikendalikan orang lain. Mencoba sesuatu yang baru dan keluar dari zona nyaman di himpunan masing-masing. Dengan itu, pasti akan lebih banyak karya terbaik dari anak bangsa terbaik.

Ini hasil melamun kemarin malam setelah ngobrol dengan seseorang. Kalau saya punya wewenang ngatur kampus ini, saya bakal kosongkan waktu selama satu bulan di tengah periode akademik. Satu bulan KOSONG UNTUK SELURUH PROGRAM STUDI. Selama satu bulan itu tidak ada kuliah apapun, tidak ada libur. Isinya ya  mahasiswa dari berbagai prodi bergabung membuat sebuah karya/produk/penelitian apapun bentuknya untuk menjadi ajang kolaborasi ilmu. Tapi itu hanya 'kalau saja'. Selanjutnya, kembali ke cita-cita kampus ini bagaimana ia mencetak generasi yang berguna. In harmonia progresio.


No comments:

Post a Comment

Trip Intergalaksi

Selasa, 23 Juni 2020 03.22 dini hari Kisah ini saya tulis begitu bangun tidur dari mimpi yang tidak akan pernah saya lupakan. Mimpi yan...