3.6.13

Life's to live and love's to love

Tempo hari bertemu lagi pak wen di secco. Luthier, desainer, life observer, wise man, atau sebutan lain yang selayaknya ditujukan padanya. Beliau itu yang bimbing saya waktu buat gitar setahun kemarin. (kalau ada yang pernah baca tulisan sebelumnya).

Hari sabtu tepatnya, saya sama si yodha ke secco bawa bolu gulung. Oleh-oleh atau apalah itu. Buat pak wen. Si bandrolnya belum dilepas. Ck ck ck.. Tertulis Rp 38.000. dan plastik kresek bertuliskan Primarasa. Fail.

Tapi anggap saja 38 rebu itu bayar mata kuliah 8 sks yang judulnya kuliah "Hidup". Mulai jam 11.11 lalu berakhir jam 14.14. Apa yang kami bicarakan selama itu adalah bekal yang tidak pernah ada di kehidupan akademika. Saya tulis ulang berdasarkan apa yang diingat.

Awalnya kami saling bertanya kabar. Pak wen seperti biasa dalam workshop akuariumnya sedang berkutat dengan kayu mahoni dan clamp F-nya. Saya menuju tugas akhir. Si yodha baru saja lulus. Baru kemarin. Lalu Pak wen bercerita tentang bagaimana ia lulus, setelah lulus, 10 tehun setelah lulus, lalu sekarang. Begitu inspiratif. Beliau bercerita sebagian fase hidup manusia yang saya anggap idealis tapi realistis.

Hidup. Katanya, hidup ibarat lukisan. Kanvas putih sudah disedaiakan sejak lahir. Kuas adalah raga, cat adalah jiwa, dan aliran lukisan adalah bagaimana kita menjalani hidup. Ekspresionis, surealis, realis, dadais, abstrak, dan banyak lagi aliran melukis. Apakah hidup kita tidak tentu, spontanitas, serba mendadak seperti ekspresionis? Atau hidup aman-aman saja seperti realis? Itu pilihan. Pilihan bagaimana kita mau menjalani hidup dan apa gunanya hidup. Kita tak bisa menilai lukisan sendiri. Orang lain yang menilai bagus tidaknya. Orang lain menilai lukisan kita ketika lukisan itu sudah rampung, dirapikan, dipasang figura, lalu dipajang. Hidup kita dinilai setelah kita meninggalkan dunia. Setelah kuas berhenti dan cat habis.

Kami terperangah sejenak. Berusaha mencerna dan ternyata mudah dicerna. Pak wen berhenti sejenak. Obrolan selanjutnya tentang fase : lulus - menikah - rumah tangga. Ini lebih spesifik.

Lalu muncul analogi kedua. Rumah tangga layaknya kereta kuda yang ditarik 2 kuda. Jantan dan betina. Kereta kuda memiliki tali kekang pada kedua kuda. Ini yang disebut perkawinan. Kereta kuda ini juga memiliki posisi awal dan tujuan akhir. Kedua kuda yang menarik kereta ini harus melewati banyak jalan menuju tujuannya. Terkadang ada persimpangan, jalan rusak, jalan lebar, sempit, jalan berliku. Terkadang kedua kuda saling bersinggungan ataupun saling menginjak kaki. Walau begitu, kedua kuda ini haruslah melangkah seirama. Tiada yang lebih cepat atau lambat. Memilih jalan yang sama. Karena, jika ada satu kuda yang memaksa memilih jalan yang berbeda, tali kekang akan terputus, dan kereta akan terguling. Itulah perceraian. Kereta terguling saja sudah merupakan musibah. Bayangkan kalau di dalam kereta tersebut ada penumpang. Mereka akan terluka atau bahkan hingga trauma.
Penumpang itu adalah anak-anak yang kelak menjadi tanggung jawab suami dan istri. Penumpang ini memiliki tujuan yang berbeda-beda. Mereka akan berhenti di satu terminal pada kurun waktu tertentu. Untuk lepas dari kereta kuda. Untuk bebas. Untuk berhenti membebani kedua kuda di depannya yang beranjak renta. Itulah masa-masa ketika anak-anak sudah beranjak dewasa dan mandiri.

source : http://farm4.staticflickr.com

Ketika kedua kuda beranjak tua, dan mereka sudah hampir sampai pada tujuan, mereka harus berhenti. Berhenti berlari. Mereka hanya mampu melihat keadaan penumpang-penumpang yang pernah naik di kereta mereka. Penumpang itu menghampiri untuk sekedar menjenguk, mengusap badan, mencucikan kereta kuda yang digerogoti rayap. Usang. Hingga tiba masa salah satu dari kedua kuda meninggalkan kandang. Tak lama kemudian kuda pasangannya mengikuti.

Menurut saya, itu analogi yang mudah diserap banyak kalangan. Saya mengerti maksudnya tapi saya tidak merasa seperti sedang digurui. Ini lebih terasa seperti sharing. Umur tidak nampak di sini. Berbeda rasanya kalau berbicara hidup dengan orang tua sendiri. Entah kenapa rasanya saya selalu segan. Merasa dinasehati, pasti. Mungkin itu sebabnya saya tak banyak diberi suapan rasa hidup dari orang tua. Saya lebih suka mencari sendiri di luaran sana. Mencicipi hidup dengan suapan sendok sendiri terasa lebih hidup.

Kepala saya pegal. 3 jam mengangguk-angguk. Lebih karena saya merasa tersindir dengan analogi pak wen ini. Selama kurang lebih 20 tahun sudah melukis seindah apa, sebagus apa, lukisan apa, bagaimana nanti lukisan ini dilihat orang, penilaian orang. Begitu pula dengan kereta kuda. Rasanya masih sangat jauh, tapi jika dilihat dari waktu, sebentar lagi giliran saya.

***

Kelulusan kuliah dianggap sesuatu yang klise karena banyak dikaitkan pada : "Ini baru awal". Begitu mendengar istilah itu, serta merta pandangan hidup, idealisme, paham, dan semuanya berubah. Tidak spontan namun perlahan. Bahkan sudah terasa saat 1 tahun terakhir. Hidup dengan dunia masing-masing. Puluhan atau bahkan ratusan teman yang waktu awal kuliah dibangga-banggakan, kini tak berkutik jika diminta menghampiri. Kita harus paham dan mengerti, mereka punya dunia mereka juga. Ini pilihannya : Jika ingin berjalan cepat dan di depan, berjalanlah sendiri. Jika ingin banyak teman, berjalanlah perlahan dan ikuti mau mereka.

Umur menginjak 22. Bukan saya menghindari perkara perasaan, tapi saya pikir ini waktunya. Tiada salah mencoba. Mencari pasangan hidup ketika muda akan lebih baik. Tak usah menunggu keadaan ideal untuk memiliki rumah tangga ideal. Rumah, pekerjaan, status, harta. Ada yang bilang "lebih baik semuanya itu dicapai bersama-sama, dengan pasangan. Dengan saling mendukung". katanya. Lalu kenapa sekarang? Saya tidak merasa harus sekarang, atau juga harus nanti saja mengurusi perkara ini. Biarkan mengalir, tapi alirannya harus dipercepat juga. Bayangkan kalau terlalu egois pada urusan karir (misalnya). Banyak rejeki, sudah punya rumah, bisa membiayai ini itu sampai lupa perkara pasangan hidup. Kasihan anak-anaknya nanti kalau mengundur-undur pernikahan. Bayangkan, anak umur SMA, beranjak kuliah, ketika tanggung jawab ayah sangat diuji di situ untuk membiayai studi atau kebutuhan hidup lainnya. Ketika sang ayah sudah tua bangka, tenaga, pikiran, semangat sudah terkuras. Sudah lewat masanya penuh energi. Kalau sudah begitu, sulit. Coba kalau beruntung umur tua sudah kaya banyak rejeki sehingga tak usah kerja tinggal menunggu mati. Tapi sayangnya tak ada yang seperti itu.

Bidak catur penuh perhitungan.
Salah langkah, patih termakan.
Sekarang atau nanti harus diputuskan.
Cerdik atau licik itu pilihan
Melintang, serong, L, satu langkah, itu macam jalan.
Yang kuat menyerang, yang lemah bertahan.
Sampai salah satu dari mereka tunduk perlahan.
Selesai permainan.

No comments:

Post a Comment

Trip Intergalaksi

Selasa, 23 Juni 2020 03.22 dini hari Kisah ini saya tulis begitu bangun tidur dari mimpi yang tidak akan pernah saya lupakan. Mimpi yan...