25.6.13

Tafakur diri

Akui saja sendiri. Terkadang, ketika seseorang sedang dalam masa menyukai lawan jenis, banyak hal dalam hidupnya yang mendadak berubah. Organ-organ tubuh mulai beralih fungsi. Mata, dari yang dulu senang membaca buku ratusan halaman kini sibuk membaca pesan 2 sampai 140 karakter. Jari, yang biasanya piawai membuka lembaran kitab suci, beralih fungsi jadi juru ketik pesan singkat. Hati, yang defaultnya sudah difungsikan sebagai penawar racun dalam tubuh, beralih fungsi jadi pembeli racun. Berprasangka, cemburu, sedu sedan. Senang pun karena ada tanggapan dari yang didamba. Tapi lagi-lagi, hanya sementara. Dan itu membuatnya lupa bersyukur. Terkadang.
Sifat temporal yang berubah ini bukan alami dihasilkan dari kepribadian hakiki. Tapi hanya dibuat-buat supaya diri pribadi tidak nampak cacat di mata orang yang digilai. Lalu sifat asli ditimbun dalam palsu. Palsu. Dan aku pernah seperti itu. Rasanya malu.
Andaikata sifat temporal ini hanya demi first impression belaka, tapi ingin mencinta hingga tua renta, sungguh tersiksa jika menjalin cinta dalam sandiwara. Sandiwara itu manis. Kebohongan itu manis. But the sweetest lie is worse than the bitterest truth. Ini klise, tapi kalau seseorang telah ditakdirkan menemani seumur hidup, tindakan sebodoh apapun akan dianggapnya pintar. Ketiak searoma dengan septic tank pun akan dianggapnya petrichor. Yang aromanya selalu dirindu walaupun raganya jauh di mana tahu.
Terlihat baik itu perlu. Tapi bukan dikondisikan. Terlihat baik itu akibat. Dari tingkah laku yang berdasarkan hati nurani. Bukan karena maksud tertentu yang sifatnya duniawi.
Tidaklah penting menjadi sempurna, kalau menjadi apa adanya itu adalah segalanya. 

No comments:

Post a Comment

Trip Intergalaksi

Selasa, 23 Juni 2020 03.22 dini hari Kisah ini saya tulis begitu bangun tidur dari mimpi yang tidak akan pernah saya lupakan. Mimpi yan...