18.8.13

Tujuh Belas Agustus. Betis Amblas tapi Maknyus

Perkara cinta tanah air bukan sembarang cinta. Kalau tak salah dengar, konon cinta tanah air sebagian dari iman. Itu sebuah hadist, namun saya masih meragukan kekuatannya. Tapi asalkan cinta tanah air itu tidak melebihi cinta pada Yang Maha Kuasa ya boleh.

***

Kemarin adalah hari kemerdekaan sebuah negeri. Negeri yang usianya masih terbilang muda untuk ukuran negeri namun nyatanya tua. Namanya Indonesia. Itu tempat lahir beta, juga ngana yang mengerti bahasa yang beta bilang ini. Umur beta sekarang 22 tahun. Dikurang 6 tahun waktu balita dan 4 tahun waktu kuliah. Sisanya 12 tahun. Maka, beta sudah menghabiskan 12 kali upacara bendera setiap pagi di lapangan sekolah sambil mendengar lagu 17 Agustus tahun empat lima itulah hari kemerdekaan kita. Dengan khidmat, dengan hormat. Dan nyatanya, selama 12 kali upacara kemerdekaan itu, saya tidak bisa mengingat-ingat pesan moral di tiap ceramah pembina upacara. Tidak sedikitpun kecuali kalimat "Laksanakan" dan "Bubarkan". Mungkin sifat nasionalis saya tidak sekuat mereka-mereka yang nasionalis. Atau mungkin Nasionalis ini yang sudah menjadi Buburonalis.

***

17 Agustus 2013.

Jam 6.26 ketemu Hani di depan smp 14. Dia sudah pake batik dan bawa sepeda tentunya. Saya sudah di sana dari jam 6.15. Makan bubur dulu, ketemu seorang bapak buaya kayaraya di tukang bubur. Seperti biasa, si bontel sepeda ontel dan baju saya jadi topik pembicaraan orang-orang baru kenal. Beres santap bubur, kembali menunggu di smp 14. Mimen, Chitra, dan Festy menyusul kemudian. Si Blek Radit tak jadi ikut rupanya. Dan pagi bersepeda kali ini, saya mema(n)du 4 gadis ini.

Rencana awal : tidak tahu. Rencana berikutnya : masih tidak tahu, cenderung terserah, dan kemana ajah. Ke gasibu, mau liat upacara bendera, belum mulai. Nunggu orang penting. Lalu ke balai kota, Sudah mulai upacara, tapi kami ogah masuk. Bukan orang penting. Kalaupun masuk, salah kostum.

Oya bicara soal kostum, kami sepakat bersepeda memakai batik. Seru-seruan juga wujud pemuda pemudi cinta ibu pertiwi.

Di balaikota, rute selanjutnya adalah bingung. Saya bilang ke punclut saja. Lalu semuanya seirama. Jam menunjukkan pukul 7.25. Harusnya jam 8 saya ke kampus, ada kerja bakti kabinet dan warga. Harusnya. Di rencana saya sih pulang bersepeda ini. Tapi nyatanya saya melewatkan agenda kerja bakti ini. 

Jam 8 masih di tanjakan dago. Saya selalu minder kalau lewat jalan ini pagi-pagi menuju atas. Mayoritas sepeda gunung, road bike, atau sepeda-sepeda bergigi lainnya. Sedangkan saya pakai sepeda tua bersandal jepit saja. Karenanya, suka menjadi bahan tontonan bikers-bikers lain yang sedang istirahat di pinggir-pinggirnya. Depan terminal Dago berhenti sejenak. Setelah kumpul semua, belok kiri ke arah perumahan citra lalala. Turunan lalu tanjakan. Sama-sama curam sama-sama suram.


Jam 9.45. Fix saya cus kerja bakti di kampus karena masih menuntun sepeda di tanjakan perumahan di atas bukit. Ketika tiba saatnya kami di jalan setapak, kami menemukan sebuah ladang dengan panorama alam mayapada kota bandung se-raya. Sebetulnya ini belum tujuan akhir. Masih ada satu tanjakan lagi sebelum punclut. Tapi rasanya ini sudah klimaks. Kalau kata anak jaman sekarang : pecyah. Entah karena efek usaha sampai tempat ini atau apa itu namanya, tapi beginilah rupanya rasanya jerih payah. Dari dulu saya percaya kalau sesuatu yang indah itu memang susah pada awalnya. Selalu begitu dan akan terus begitu sampai kita tahu bagaimana rasanya surga nanti.

Kalau saya mau sok sok nasionalis di sini, saya bisa. Ini adalah bentuk konkret tindakan mengisi kemerdekaan. Bersepeda, jelas ramah pada lingkungan, sehat pada badan. Keliling kota, jelas sebagai bentuk rasa memiliki pada lingkungan. Menuju puncak kota, kita akan tahu indahnya negeri ini, kaya raya, zambrud khatulistiwa, tapi gedung-gedung mewah yang menancapkan akarnya itu ternyata milik cukong-cukong asing yang mudah memiliki negeri ini dengan kapital besarnya. Saya jadi sadar sendiri, apa manfaat saya untuk orang lain? Untuk keluarga, bangsa, negara? Kalau saya mau sok sokan nasionalis, pagi itu saya berpikir masa depan tanah indah ini akan seperti apa? Bangsa ini akan dibawa ke mana? Oleh siapa? dan saya telah berbuat apa? Tapi sayangnya, saya bukan Yolanda.

Di bukit belum bernama ini, kami hanya berfoto-foto dibantu seorang turis domestik asal kalimantan. Lupa satu seremonial yang paling utama. Pasang bendera. kalau foto di bawah, itu hanya rekayasa belaka.




Setelah dari sana, lalu lewat satu tanjakan terakhir, kami sampai di Punclut. Makan di saung dengan pemandangan yang Subhanalloh. Nikmat jiwa raga. Sebuah achievement yang luar biasa bagi para perempuan perkasa ini. Dan tentu bagi betis pribadi saya. Kapan-kapan mau saya asuransikan. Berangkat berjam-jam, turun lewat Ciumbuleuit tidak sampai 20 menit. Jam 11.15, para gadis pulang, saya ngampus.

Rencananya minggu depan akan ada rute khusus di Bandung Selatan. Saksikan kelanjutan acara 1 Suami 4 Istri ini minggu depan di Televisi kesayangan bapak ibu Anda.

***

Foto-foto di atas dokumentasi smartphonenya jeng Festy. Itu yang pake kacamata segede tutup panci yang bikin idungnya ambles.

No comments:

Post a Comment

Trip Intergalaksi

Selasa, 23 Juni 2020 03.22 dini hari Kisah ini saya tulis begitu bangun tidur dari mimpi yang tidak akan pernah saya lupakan. Mimpi yan...